27 November 2009

Pengorbanan Ismail oleh Ibrahim itu,..

Iman D. Nugroho

Ketika Ibrahim memutuskan untuk merebahkan anaknya, Ismail. Kemudian mengambil parang untuk bersiap menyembelihnya. Tiba-tiba keajaiban datang. Ismail diganti dengan kambing. Totalitas dan kepatuhan yang terus terkenal di dalam sejarah.

Penggalan sejarah Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail yang dipercaya oleh Umat Islam sebagai awal dari sejarah Idul Adha itu memang luar biasa. Seorang nabi yang disebut sebagai Bapak Para Nabi itu secara implisit ingin menunjukkan betapa seorang manusia yang dikaruniai keikhlasan bersedia berkorban apa saja untuk Tuhannya. Bahkan, ketika diminta untuk untuk menyembelih anaknya pun, seorang Ibrahim bersedia melakukannya.

Sejenak, mari kita abaikan batasan religi yang beragam di muka bumi, lalu lihatlah kisah Ibrahim. Keteladanannya, sepertinya mampu diadopsi oleh orang dengan bendera religi apapun. Bahkan, oleh orang yang mengaku tidak memiliki Tuhan pun, semangat itu bisa diambil. Yakni, semangat untuk berkorban secara total untuk sesuatu yang kita yakini. Apapun itu!

Aku, yang sejak kecil dikenalkan agama Islam, mau tidak mau meyakini kisah Ibrahim sebagai sebuah kebenaran. Otomatis, setiap tahun, Aku pun memeriahkan Idul Adha. Meski di awalnya aku berpikir, Idul Adha berarti makan sate kambing, namun dalam perjalanan, Idul Adha sempat berarti ratusan ribu untuk membeli kambing. "Tahun ini, kita tidak berkorban, tidak ada uang." Well. pasang surut.

Kepatuhan kepada Tuhan cara Ibrahim memang berat. Jangankan mengorbankan anak yang kita cintai untuk apa yang kita yakini, dalam skala kecil, mengorbankan waktu untuk mengantri saja, bagi kita adalah sesuatu yang luar biasa berat. Atau, membangun kepatuhan mengumpulkan uang receh untuk memasukkannya kedalam kotak sumbangan panti asuhan yang tersebar hampir di tiap supermarket (biasanya di dekat kasir). Atau apapun hal kecil lain bertema pengorbanan.

Dalam skala yang lebih "heroik". Bersikukuh menjalani kehidupan yang kita anggap benar, tanpa mempedulikan negative impact dari masyarakat sekitar kita. Soal pemberantasan korupsi misalnya. Cukup tangguhkah kita mengatakan "tidak" kepada seorang calo yang bersedia dengan "ikhlas" menawarkan bantuan untuk mengurus SIM atau STNK? Dan secara total kita menjalani proses pembuatan SIM atau STNK yang panjang, berliku dan menguras peluh,..

Well, sekali lagi. Pasang surut. Aku sendiri merasa bisa mengatakan: Aku total bersedia berkorban untuk Tuhanku demi apa yang Aku yakini. Apalagi, tak jarang bisikan biadab tertiup ke benakku: Tuhan kok tidak berpihak pada orang-orang yang berkeyakinan ya,..

Hmm,..

24 November 2009

Yang Aneh Dalam Kasus Century

Iman D. Nugroho

Tulisan tentang Kasus Bank Century ini bukan untuk sekali lagi menguliti kasus perbankan yang bakal jadi kasus menghebohkan setelah Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) dan Bank Bali itu. Tapi hanya menggunakan pemikiran gaya proletar (baca: sederhana) untuk melihat kasus yang konon melibatkan "orang dekat" di lingkaran RI 1.


Komentar Mantan Presiden RI, KH. Abdurrahman Wahid atau Gus Dur di Kantor PBNU, Jakarta, 24 Nopember 2009 sepertinya menjadi titik pijak yang baik untuk membahas kasus Bank Century. Menurut Gus Dur, mestinya Wakil Presiden Boediono dan Menteri Keuangan Sri Mulyani nonaktif dari jabatan masing-masing dan diperiksa polisi atas kasus itu. Hal itu "harus" dilakukan karena Gus Dur menilai adanya persamaan di muka hukum.

Memang, kasus Bank Century tergolong aneh. Bagi publik, kasus itu menjadi sesuatu yang penting untuk diklarifikasi. Tidak hanya jumlah nominalnya yang tergolong tinggi, Rp.6,7 triliun, tapi siapa-siapa yang kemungkinan menyebabkan kasus itu terjadi bukan orang sembarangan. Belum lagi isu-isu yang mengiringi kasus itu. Seperti yang dikatakan Presiden SBY, ada isu yang mengatakan uang sengketa Bank Century mengalir juga ke Partai Demokrat. "Fitnah yang sungguh kejam dan sangat menyakitkan," kata Presiden SBY.

Pantas bila Presiden merasa tersinggung dengan isu itu. Bagaimana tidak, bila Partai Demokrat terpercik uang Bank Century, bisa-bisa seluruh kemenangan SBY-Boediono dalam Pilpres 2009 akan bisa digugat. Dan kalau sudah seperti itu, "Apa kata dunia!" Sekarang pun, ketika nama Wakil Presiden Boediono disebut-sebut ikut bertanggungjawab ketika masih menjadi Gubenur Bank Indonesia, SBY pun meradang.

Tapi, ada lagi yang lebih aneh. Yakni keputusan presiden yang meminta polisi dan kejaksaan mengusut kasus Bank Century. Sekali lagi aneh! Karena polisi, dalam hal ini Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) dan kejaksaan saat ini sedang masuk dalam ranah sengketa kriminal kasus Bibit-Chandra dan sekaligus disebut-sebut ikut cawe-cawe dalam kasus Century. Jelas ada conflict of interest. Bagaimana mungkin, kelompok yang disebut-sebut terlibat, bahkan mungkin bisa menjadi terjadi tersangka (bahkan terdakwa) harus memeriksa kasus yang sama. Please deh. Lalu baiknya gimana? Dalam logika sangat sederhana, mungkin yang harus dilakukan adalah membersihkan keolisian dan kejaksaan.

Copot orang-orang yang masuk dalam wilayah sengketa! Bersihkan, sebersih-bersihnya. Setelah itu, baru rock n' roll dengan memblejeti kasus Bank Century. Sorry, pak presiden, kalau diperlukan, bapak harus bersedia juga diperiksa,..maukan?

*Tulisan lain soal Kasus Bank Century, klik di sini.

23 November 2009

Apapun Pak SBY, Sejarah Sudah Mencatat Hukum Indonesia Telah Tercoreng

Iman D. Nugroho

Senin (23/11/09) malam, Presiden SBY akan mengumumkan sikapnya atas persoalan dua "jagoan" KPK, Bibit-Chandra. Secara jujur, pandangan publik atas sikap SBY ini tidak seberapa signifikan. Publik hanya mau tahu, apakah Bibit-Chandra akan dibebaskan atau tidak. Selain itu sejarah sudah mencatat bahwa (oknum) polisi, (oknum) kejaksaan dan mafia kasus sudah pernah "mengotori" hukum di Indonesia.

Presiden SBY bisa saja mengatakan penyesalannya atas kasus Bibit-Chandra yang meresahkan masyarakat, dan meminta penyelesaian kasus itu melalui jalur di luar pengadilan. Entah berupa deponeering atau abolisi. Di sisi lain, Presiden juga bisa memilih untuk mempercayakan polisi-kejaksaan untuk meneruskan kasus ini, dengan alasan dirinya tidak mau mengintervensi dunia hukum. Meski kata "hukum" yang dimaksud di sini adalah hukum yang tercemari dengan aksi makelar kasus.

Apapaun pilihan Presiden SBY tidak banyak berpengaruh pada opini mayoritas publik dalam kasus ini. Secara transparan, publik sudah mengetahui, seseorang bernama Anggodo dan teman-temannya telah terekam pembicaraannya saat akan melakukan aksi penyuapan. Tidak hanya itu, dalam rakaman itu juga disebutkan keterlibatan petinggi polisi dan kejaksaan yang -menurut rekaman itu- mendukung gerakan Anggodo dkk.

Publik juga memahami, sejak kasus ini mencuat, Anggodo and the gank masih bisa menghirup udara bebas, dan menjadi bintang di berbagai stasiun tivi dalam talk show yang berkesudahan. Petinggi polisi dan kejaksaan pun sama. Tanpa malu dan ragu-ragu, mereka membuat jawaban atas semua tuduhan yang secara otomatis tertuju kepada mereka.

Jadi pak Presiden, apapun penjelasan Anda, tidak akan banyak membawa perubahan. Kecuali, secara tegas Anda meminta pihak-pihak yang secara hukum di bawah Anda (polisi dan kejaksaan) untuk stay away dari kasus ini, dan menjatuhkan sanksi atas mereka. Serta, meminta Bibit-Chandra untuk bebas.

Satu lagi, Anda pasti tahu kasus Bank Century. Nah, ada baiknya Anda bersiap-siap atas kasus ini. Dari berbagai informasi yang beredar, akan ada banyak orang di lingkaran pemerintahan yang tergigit (kecakot-Jawa) kasus ini. Bukan tidak mungkin, Anda akan dipaksa untuk kembali "turun tangan".

Semoga kata "turun tangan" tidak berganti menjadi "turun tahta" di kemudian hari,..

***

Pidato Presiden SBY soal Kasus Bank Century dan Bibit-Chandra

Bismillahirrahmanir rahim. Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.

Salam sejahtera bagi kita semua Saudara-saudara se-bangsa dan se-tanah air yang saya cintai dan saya banggakan.

Dengan terlebih dahulu memanjatkan puji dan syukur ke hadirat Allah SWT, Tuhan Yang Maha Kuasa, serta dengan memohon ridho-Nya, pada malam hari ini saya ingin menyampaikan penjelasan kepada seluruh rakyat Indonesia, menyangkut dua isu penting yang berkaitan dengan penegakan hukum dan keadilan di negeri kita.

Isu penting yang saya maksud adalah pertama, kasus Bank Century dan kedua, kasus Sdr. Chandra M. Hamzah dan Sdr. Bibit Samad Riyanto, yang keduanya telah menjadi perhatian masyarakat yang amat mengemuka.

Kedua isu ini juga telah mendominasi pemberitaan di hampir semua media massa, disertai dengan percakapan publik yang menyertainya, bahkan disertai pula dengan berbagai desas-desus atau rumor yang tidak mengandungi kebenaran.

Oleh karena itu, selaku kepala negara dan kepala pemerintahan, malam ini, saya pandang perlu untuk menjelaskan duduk persoalan, serta sikap pandangan dan solusi yang perlu ditempuh terhadap kedua permasalahan tersebut.

Dalam waktu dua minggu terakhir ini, saya sengaja menahan diri untuk tidak mengeluarkan pernyataan menyangkut Bank Century dan kasus Sdr. Chandra M. Hamzah dan Sdr. Bibit Samad Riyanto dengan alasan:

Kesatu, menyangkut kasus Bank Century selama ini saya masih menunggu hasil Pemeriksaan Investigasi yang dilakukan oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), yang dilakukan atas permintaan DPR RI.

Saya sungguh menghormati proses itu dan saya tidak ingin mengeluarkan pernyataan yang mendahului, apalagi ditafsirkan sebagai upaya mempengaruhi proses audit investigatif yang dilakukan BPK.

Tadi sore saya telah bertemu dengan Ketua dan Anggota BPK yang menyampaikan laporan hasil pemeriksaan investigasi atas Bank Century. Dengan demikian, malam ini tepat bagi saya untuk menyampaikan sikap dan pandangan saya berkaitan dengan kasus Bank Century tersebut.

Kedua, menyangkut kasus hukum Sdr. Chandra M. Hamzah dan Sdr. Bibit Samad Riyanto, malam ini saya pandang tepat pula untuk menyampaikan sikap pandangan dan solusi paling tepat terhadap permasalahan itu.

Mengapa? Saudara-saudara masih ingat, pada tanggal 2 November 2009 yang lalu, dengan mencermati dinamika di lingkungan masyarakat luas yang antara lain berupa silang pendapat kecurigaan dan ketidakpercayaan atas proses penegakan hukum yang dilakukan oleh Polri dan Kejaksaan Agung, saya telah membentuk sebuah tim independen yaitu Tim Independen Verifikasi Fakta dan Proses Hukum Sdr. Chandra M. Hamzah dan Sdr. Bibit Samad Riyanto.

Tim Independen ini, yang sering disebut Tim-8, bekerja selama dua minggu, siang dan malam, dan akhirnya pada tanggal 17 November 2009 yang lalu secara resmi telah menyerahkan hasil kerja dan rekomendasinya kepada saya.

Setelah selama lima hari ini jajaran pemerintah, termasuk pihak Polri dan Kejaksaan Agung saya instruksikan untuk merespons hasil kerja dan rekomendasi Tim-8, maka malam hari ini secara resmi saya akan menyampaikan kepada rakyat Indonesia, apa yang sepatutnya kita laksanakan ke depan.

Saudara-saudara

Sebelum saya masuk ke dalam inti permasalahan tentang bagaimana sebaiknya kasus Bank Century dan kasus Sdr. Chandra M. Hamzah dan Sdr. Bibit Samad Riyanto ini kita selesaikan dengan baik, saya ingin menyampaikan kepada segenap masyarakat luas, bahwa cara-cara penyelesaian terhadap kasus hukum yang memiliki perhatian publik luas seperti ini mestilah tetap berada dalam koridor konstitusi hukum dan perundang-undangan yang berlaku, seraya dengan sungguh-sungguh memperhatikan dan mendengarkan aspirasi dan pendapat umum.

Solusi dan opsi yang kita tempuh juga harus bebas dari kepentingan pribadi, kelompok, maupun golongan; tetap jernih dan rasional serta bebas dari tekanan pihak manapun yang tidak semestinya. Dan, di atas segalanya, kita harus tetap bertumpu kepada dan menegakkan kebenaran dan keadilan.

Rakyat Indonesia yang saya cintai,

Sekarang saya akan menjelaskan yang pertama dulu, yaitu sikap dan pandangan saya tentang kasus Bank Century.

Yang pertama-tama harus kita pahami adalah pada saat dilakukan tindakan terhadap Bank Century tersebut, situasi perekonomian global dan nasional berada dalam keadaan krisis. Hampir di seluruh dunia terjadi goncangan keuangan dan tidak sedikit pula krisis di dunia perbankan. Banyak negara melakukan tindakan untuk menyelamatkan perbankan dan perekonomian mereka.

Pada bulan November 2008 yang lalu apa yang dilakukan oleh pemerintah dan BI mestilah dikaitkan dengan situasi dan konteks demikian, sehingga tidak dianggap keadaannya normal-normal saja. Kita punya pengalaman sangat pahit dan buruk 10-11 tahun lalu ketika Indonesia mengalami rangkaian krisis yang menghancurkan perekonomian kita.

Dengan demikian kebijakan yang ditempuh untuk melakukan tindakan terhadap Bank Century yang di antaranya adalah tindakan hukum terhadap para pengelola Bank Century serta penyaluran dana penyertaan modal sementara, sesungguhnya bertujuan untuk mencegah terjadinya krisis perbankan bahkan perekonomian.

Meskipun ketika berlangsungnya proses pengambilan keputusan yang dilakukan oleh pihak-pihak yang memiliki kewenangan dan tugas untuk itu saya sedang mengemban tugas di luar negeri, tetapi saya memahami situasi yang ada di tanah air beserta rangkaian upaya untuk menyelamatkan perbankan dan perekonomian kita.

Tetapi, kini yang menjadi perhatian DPR RI dan berbagai kalangan masyarakat adalah:

Pertama, sejauh mana proses pengambilan keputusan dan tindakan penyaluran dana penyertaan modal sementara kepada Bank Century yang berjumlah Rp 6,7 triliun itu dinilai tepat atau proper?

Kedua, apakah ada pihak-pihak tertentu dengan kepentingannya sendiri dan bukan kepentingan negara meminta atau mengarahkan pihak pengambil keputusan dalam hal ini Menkeu dengan jajarannya dan BI, yang memang keduanya memiliki kewenangan untuk itu?

Ketiga, apakah penyertaan modal sementara yang berjumlah Rp 6,7 triliun itu ada yang bocor atau tidak sesuai dengan peruntukannya? Bahkan berkembang pula desas-desus, rumor, atau tegasnya fitnah, yang mengatakan bahwa sebagian dana itu dirancang untuk dialirkan ke dana kampanye Partai Demokrat dan Capres SBY; fitnah yang sungguh kejam dan sangat menyakitkan.

Keempat, sejauh mana para pengelola Bank Century yang melakukan tindakan pidana diproses secara hukum, termasuk bagaimana akhirnya dana penyertaan modal sementara itu dapat kembali ke negara?

Saudara-saudara,

Saya sungguh memahami munculnya sejumlah pertanyaan kritis itu yang tentunya memerlukan penjelasan dan klarifikasi dari pihak-pihak terkait. Saya pun memiliki kepedulian dan rasa ingin tahu sebagaimana yang dialami oleh masyarakat kita. Saya juga ingin, keempat pertanyaan kritis menyangkut kasus Bank Century yang saya sebutkan tadi juga mendapatkan jawaban yang tegas dan benar.

Dengan telah saya terimanya hasil pemeriksaan investigasi BPK atas kasus Bank Century sore tadi, pemerintah akan segera mempelajari dan pada saatnya nanti saya akan meminta Sdri. Menteri Keuangan dengan jajarannya, bersama-sama dengan pihak BI, untuk memberikan penjelasan dan klarifikasinya. Saya sungguh ingin keterbukaan dan akuntabilitas dapat kita tegakkan bersama. Saya juga ingin semua desas-desus kebohongan dan fitnah dapat disingkirkan dengan cara menghadirkan fakta dan kebenaran yang sesungguhnya.

Terhadap pemikiran dan usulan sejumlah anggota DPR RI untuk menggunakan Hak Angket terhadap Bank Century, saya menyambut dengan baik agar perkara ini mendapatkan kejelasan serta sekaligus untuk mengetahui apakah ada tindakan-tindakan yang keliru dan tidak tepat.

Bersamaan dengan penggunaan Hak Angket oleh DPR RI tersebut saya juga akan melakukan sejumlah langkah tindakan internal pemerintah berangkat dari hasil dan temuan Pemeriksaan Investigasi BPK tersebut.

Dan yang tidak kalah pentingnya adalah percepatan proses hukum bagi para pengelola Bank Century dan segera dapat dikembalikannya dana penyertaan modal yang berjumlah Rp 6,7 triliun itu kepada negara. Saya telah menginstruksikan Jaksa Agung dan Kapolri untuk melaksanakan tugas penting ini.

Saudara-saudara,

Pada bagian kedua ini saya akan menyampaikan sikap pendapat dan langkah tindakan apa yang perlu dilakukan menyangkut kasus hukum Sdr. Chandra M. Hamzah dan Sdr. Bibit Samad Riyanto.

Sejak awal proses hukum terhadap dua pimpinan KPK non-aktif ini telah menimbulkan kontroversi pro dan kontra di kalangan masyarakat. Kecurigaan terhadap kemungkinan direkayasanya kasus ini oleh para penegak hukum juga tinggi. Dua hari yang lalu saya juga mempelajari hasil survey oleh lembaga survey yang kredibel, yang baru saja dilakukan, yang menunjukkan bahwa masyarakat kita memang benar-benar terbelah.

Di samping saya telah mengkaji laporan dan rekomendasi Tim-8, saya juga melakukan komunikasi dengan dua pimpinan Lembaga Tinggi Negara di wilayah justice system yaitu Sdr. Ketua Mahkamah Agung dan Sdr. Ketua Mahkamah Konstitusi.

Saya juga melakukan komunikasi dengan segenap pimpinan KPK dan tentu saja saya pun telah mengundang Kapolri dan Jaksa Agung untuk mencari solusi terbaik atas kasus ini. Di luar itu, saya juga patut berterima kasih kepada para pakar hukum yang lima hari terakhir ini sejak Tim-8 menyampaikan rekomendasinya juga memberikan sumbangan pemikiran kepada saya.

Dalam kaitan ini sesungguhnya jika kita ingin mengakhiri silang pendapat mengenai apakah Sdr. Chandra M. Hamzah dan Sdr. Bibit Samad Riyanto salah atau tidak salah, maka forum atau majelis yang tepat adalah pengadilan. Semula saya memiliki pendirian seperti ini.
Dengan catatan proses penyidikan dan penuntutan mendapatkan kepercayaan publik yang kuat. Dan tentu saja proses penyidikan dan penuntutan itu fair, objektif, dan disertai bukti-bukti yang kuat.

Dalam perkembangannya justru yang muncul adalah ketidakpercayaan yang besar kepada pihak Polri dan Kejaksaan Agung sehingga telah masuk ke ranah sosial dan bahkan ranah kehidupan masyarakat yang lebih besar. Oleh karena itu faktor yang saya pertimbangkan bukan hanya proses penegakan hukum itu sendiri, tapi juga faktor-faktor lain seperti pendapat umum, keutuhan masyarakat kita, azas manfaat, serta kemungkinan berbedanya secara hakiki antara hukum dengan keadilan.

Sebelum memilih opsi atau konstruksi penyelesaian kasus ini di luar pertimbangan faktor-faktor non-hukum tadi, saya juga menilai ada sejumlah permasalahan di ketiga lembaga penegak hukum itu, yaitu di Polri, Kejaksaan Agung, dan KPK. Permasalahan seperti ini tentu tidak boleh kita biarkan dan harus kita koreksi, kita tertibkan, dan kita perbaiki.

Oleh karena itu, solusi dan opsi lain yang lebih baik, yang dapat ditempuh adalah pihak kepolisian dan kejaksaan tidak membawa kasus ini ke pengadilan dengan tetap mempertimbangkan azas keadilan, namun perlu segera dilakukan tindakan-tindakan korektif dan perbaikan terhadap ketiga lembaga penting itu yaitu Polri, Kejaksaan Agung, dan KPK.

Solusi seperti ini, saya nilai, lebih banyak manfaatnya dibanding mudharatnya. Tentu saja, cara yang ditempuh tetaplah mengacu kepada ketentuan perundang-undangan dan tatanan hukum yang berlaku.

Saya tidak boleh, dan tidak akan memasuki wilayah ini, karena penghentian penyidikan berada di wilayah Lembaga Penyidik (Polri), penghentian tuntutan merupakan kewenangan Lembaga Penuntut (Kejaksaan), serta pengenyampingan perkara melalui pelaksanaan asas oportunitas merupakan kewenangan Jaksa Agung.

Tetapi sesuai dengan kewenangan saya, saya menginstruksikan kepada Kapolri dan Jaksa Agung untuk melakukan penertiban, pembenahan dan perbaikan di institusinya masing-masing berkaitan dengan kasus ini. Demikian pula, saya sungguh berharap KPK juga melakukan hal yang sama di institusinya.

Rakyat Indonesia yang saya cintai dan saya banggakan, jika pada akhirnya, insya Allah, kasus Sdr. Chandra M. Hamzah dan Sdr. Bibit Samad Riyanto ini dapat kita selesaikan, tugas kita masih belum rampung. Justru kejadian ini membawa hikmah dan juga pelajaran sejarah, bahwa reformasi nasional kita memang belum selesai, utamanya reformasi di bidang hukum. Kita semua, para pencari keadilan, juga merasakannya.

Bahkan kalangan internasional, yang sering fair dan objektif dalam memberikan penilaian terhadap negeri kita, juga menilai bahwa sektor-sektor hukum kita masih memiliki banyak kekurangan dan permasalahan. Sementara itu, prestasi Indonesia di bidang demokrasi, penghormatan kepada HAM dan kebebasan pers mulai diakui oleh dunia. Demikian juga pembangunan kembali perekonomian pasca krisis 1998 juga dinilai cukup berhasil.

Sementara itu, dunia juga menyambut baik peran internasional Indonesia pada tahun-tahun terakhir ini yang dinilai positif dan konstruktif. Oleh karena itu, sebagaimana yang telah saya sampaikan kepada seluruh rakyat Indonesia, bahwa lima tahun mendatang penegakan hukum dan pemberantasan korupsi tetap menjadi prioritas pemerintah.

Bahkan dalam program 100 hari, saya telah menetapkan gerakan Pemberantasan Mafia Hukum sebagai prioritas utama. Kita sungguh serius. Agar masyarakat bisa hidup lebih tentram, agar keadaan menjadi lebih aman dan tertib, agar perekonomian kita terus berkembang, dan agar citra Indonesia di mata dunia bertambah baik, maka reformasi di bidang hukum harus benar-benar sukses, dan korupsi harus berhasil kita berantas.

Khusus untuk menyukseskan gerakan Pemberantasan Mafia Hukum, saya sedang mempersiapkan untuk membentuk Satuan Tugas, di bawah Unit Kerja Presiden, yang selama dua tahun ke depan akan saya tugasi untuk melakukan upaya Pemberantasan Mafia Hukum.

Saya sungguh mengharapkan dukungan dan kerja sama dari semua Lembaga Penegak Hukum, dari LSM dan Media Massa, serta dari masyarakat luas. Laporkan kepada Satgas Pemberantasan Mafia Hukum jika ada yang menjadi korban dari praktik-praktik Mafia Hukum itu, seperti pemerasan, jual-beli kasus, intimidasi dan sejenisnya.

Dalam kaitan ini, saya menyambut baik rekomendasi Tim-8 dan juga suara-suara dari masyarakat luas agar tidak ada kasus-kasus hukum, utamanya pemberantasan korupsi, yang dipetieskan di KPK, atau juga di Polri, dan Kejaksaan Agung.

Kalau tidak cukup bukti hentikan, tetapi kalau cukup bukti mesti dilanjutkan. Hal ini untuk menghindari kesan adanya diskriminasi dan tebang pilih dalam pemberantasan korupsi. Apalagi kalau pemeti-esan ini berkaitan dengan praktik-praktik Mafia Hukum tadi.

Akhirnya, saudara-saudara, marilah kita terus melangkah ke depan, dan bekerja lebih gigih lagi untuk menyukseskan pembangunan bangsa.

Kepada jajaran Polri, Kejaksaan Agung, KPK, dan Lembaga-Lembaga penegak hukum dan pemberantas korupsi lainnya, teruslah berbenah diri untuk meningkatkan integritas dan kinerjanya. Bangun kerja sama dan sinergi yang lebih baik, dan hentikan disharmoni yang tidak semestinya terjadi.

Kepada masyarakat luas di seluruh tanah air marilah kita lebih bersatu lagi, dan cegah perpecahan di antara kita. Bersatu kita teguh, bercerai kita runtuh.

Semoga Allah SWT, Tuhan Yang Maha Kuasa, senantiasa membimbing perjalanan bangsa kita ke arah yang benar.

Wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.

19 November 2009

Kemungkinan Terburuk KPK

Iman D. Nugroho

Bisa dibilang, perjalanan kasus KPK-Polisi memang sudah separuh jalan. Bukan jalan untuk kembali menempatkan hukum di relnya yang benar, melainkan semakin menjerumuskannya ke dalam wilayah yang nista.

Inti dari rekomendasi Tim 8 kasus Bibit-Chandra sebenarnya sangat mudah dipahami: Bebaskan Bibit-Chandra dan hukum pihak-pihak yang merekayasa kasus itu. Namun sepertinya hal itu menjadi begitu rumit untuk dijalankan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Publik sama sekali tidak mengerti, apa sebenarnya hal yang membuat Presiden tidak segera mereaksi cepat, secepat mereka membentuk Tim 8 di awal-awal mencuatnya kasus ini.

Kelambanan Presiden berbanding terbalik dengan kegirasan Kejaksaan dan Kepolisian. Kejaksaan justru menganggap kasus Bibit-Chandra sudah tuntas, dan berarti siap diajukan ke pengadilan. Kepolisian malah lebih lucu. Mereka kembali "mempekerjakan" Kepala Badan Reserse Kriminal (Kabareskrim) Susno Duadji. Padahal sebelumnya Susno yang sudah jelas-jelas masuk ke dalam wilayah sengketa kasus ini sempat dinonaktifkan sebagai Kabareskrim.

Nah, berdasarkan berbagai gejala itu, sepertinya kemungkinan tidak berubahnya status Bibit-Chandra akan semakin jelas. Meski tidak ditahan, kasus mantan Ketua KPK non aktif itu akan segera masuk ke pengadilan. Apa artinya? Artinya, komisi yang bertugas untuk meranggas korupsi di Indonesia itu akan kehilangan dua jagoannya. Lantaran, mau tidak mau, Bibit Samad Riyanto dan Chandra M. Hamzah harus dicopot dari jabatannya, karena terlibat masalah hukum.

Ini jelas pukulan bagi gerakan melawan korupsi di Indonesia. Seperti kita tahu, KPK punya bertumpuk agenda pengusutan kasus. Bila dua taring KPK harus diadili, KPK menjadi tumpul. Tidak salah bila publik bertanya: mengapa penumpulan KPK dibiarkan? Apakah semua "pemain" yang terlibat di dalam kasus-kasus bidikan KPK sedang bersatu mengalahkan KPK? Dan pertanyaan kuncinya: Mengapa presiden diam saja melihat KPK dilemahkan?

Jangan-jangan,...

11 September 2009

Surga Kok Dikuponkan,..

Suyono Pastra

Ini cerita sudah agak lama, ketika itu aku mampir ke kampus almamaterku. Bertepatan pula ada bazar Unit Kegiatan Mhasiswa (UKM). Tak ketinggalan UKM Kerokhanian. Seperti biasa, kalau para alumni datang ke almamaternya yang dijujuk (dituju pertama kali) adalah kantin. Baru saya duduk datang beberapa mahasiswi yang naga-naganya adalah penjaga stan bazaar. “Pak beli kupon pak! Satu kuponnya Cuma Rp 2.000,- dapat makanan dapat makanan atau minuman ringan,” kata adik-adik mahasiswa itu.


Saya tahu hasil dari bazar tersebut untuk disumbangkan kepada para yatim dan faqir miskin jelang Ramandhan. Kenapa saya tahu, karena kegiatan macam itu tergolong warisan. Artinya telah dilakukan turun temurun di kampus kami tercinta. Pastinya aku pun pernah towo-dowo dagangan (menawarkan dagangan) pada semua yang ada di kampus. Awalnya, saya memang akan beli kupon barang 2 atau 3 buah. Belum sempat aku mengajukan pembelian untuk beberapa lembar kupon itu, meluncur dari bibir mahasiswi aktivis ini kalmat yang membuat saya tertahan sebentar. “Ayolah pak beli kuponya. Bonus surga,” kata mereka.

Saya pun tertegun sejenak, lalu saya nyelutuk “Lho kamu koq gitu, mendingan aku nggak jadi beli aku,” kata saya setengah menggoda mereka. “Kenapa? “ jawab mereka serempak. “Karena kalian kapitalis jawabku,” masih dengan nada guyon. “Kapitalis gimana?” kejar mereka seolah makin penasaran. Aku pun jawab sekenanya “Kapitalis pahala.” Para mahasiwi pun serentak “ Kapitalis pahaaalllaaa…?” sejurus kemudian aku mengulurkan tangan untuk meninta kupon dari mereka seraya meyerahkan uang.

“Besok lagi kalau kalian bikin bazaar kayak aq ga mau beli lagi kalau ada bonus surganya,” sahutku ketika mereka pamit dan berucap terima kasih karena aku dah beli beberapa lembar kupon. Mungkin kita sering tak sengaja, melakukan atau menemukan hal yang sama. Tentu dalam bentuk, kapasitas, tempat dan waktu yang berbeda. Tapi catatnya, kapitalisme ini memang telah melintas batas, dan menyeruak masuk di sebagian besar sanubari kita. Tak ada yang salah dari kapitalisme, hanya semua perlu penyikapan yang bening.

Sangkin kapitalisnya kita, dalam bahasa sederhana (jualan-red) Semua cara dipakai untuk memasarkan dagangan, termasuk agama dan aqidah. Disisi lain menggunakan agama sebagai alat penjualan tergolong cerdas, tapi kalau tak hati-hati bisa berubah tak beradab. Siapa tertarik?

06 September 2009

Aroma Busuk di Kasus Century

Iman D. Nugroho

Coba search di internet soal kasus Bank Century. Bisa dipastikan segebok data tentang kasus itu akan dengan cepat anda dapatkan. Tapi, apa yang kemudian bisa "diendus" dari kasus itu? Apakah hanya persoalan perbankan biasa, atau berindikasi lebih besar? Mengapa Wakil Presiden Jusuf Kalla sampai marah-marah dan menuduh Menteri Keuangan Sri Mulyani berbohong?


Dalam melihat kasus Bank Century, saya tiba-tiba teringat lagu Matta Band berjudul Ketahuan. "O,.o,..kamu ketahuan,.." tulis Matta Band dalam liriknya. Bagi saya, memang seperti itu adanya. Permainan perbankan yang rumit dan dimainkan oleh beberapa orang yang berbau uang, akhirnya keendus lantasan ada "lompatan" yang keliru. Ingat, "sepandai-pandainya tupai melompat, akhirnya jatuh juga".

Bank Century yang megap-megap dan akhirnya ditolong oleh Bank Indonesia, tidak membuat pengelola Bank Century untuk menjadi "anak baik". Grup Head Jakarta Network Bank Mandiri yang sempat ditunjuk sebagai Direktur Utama Bank Century, Maryono, juga tidak bisa berbuat banyak. Dalam perkembangannya, Bank Century pun kembali memperoleh bantuan pemerintah melalui Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) senilai Rp.6,7 trilyun.

Kata Menteri Keuangan Sri Mulyani, dirinya sudah melaporkan pengucuran dana itu kepada Wakil Presiden Yusuf Kalla. Tapi, buru-buru Calon Presiden kalah ini menolak keterangan itu. Bahkan meminta kasus Bank Century segera diusut. Wah, dua anggota kabinet Susilo Bambang Yudhoyono sedang saling sanggah menyangkut kucuran dana pada Bank Century.

Reaksi Jusuf Kalla ini, bagi saya menarik. Bagaimana seorang Wakil Presiden tiba-tiba membantah apa yang dikatakan Menteri Keuangannya! Kalau tidak ada persoalan serius, tidak mungkin hal ini bisa terjadi. Bagi Jusuf Kalla, Kabinet Indonesia Bersatu di bawah SBY, selangkah lagi sudah menjadi masa lalu. Dan masa lalu itu, harus dilalui dengan jejak yang tidak kotor. Atas semangat itulah, di JK ini ingin menaruh kasus Bank Century on the right track.

Sebagai seorang pebisnis, JK tentu saja tahu hitam putih dunia perbankan. JK yang sudah melangmelintang di dunia bisnis juga dengan mudah menilai, di mana celah yang bisa dimainkan seorang pebisnis. Kalau perlu, bagaimana permainan perbankan itu bisa berimplikasi, tidak hanya menghasilkan benefit untuk pelakunya, mungkin juga untuk orang-orang yang ada di dalam kelompok itu.

Sementara Sri Mulyani, menurut saya, sedang sial saja. Sosok kelahiran Bandar Lampung 1962 ini tidak piawai bertricky politics. Memang sih, tidak ada background politik sama sekali padanya. Sosok yang dikenal sebagai pengamat ekonomi ini memang "tenggelam" dalam berbagai aktivitas ekonomi nasional. Mulai Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia (LPEM FEUI) hingga akhirnya dipilih sebagai Menteri Keuangan oleh SBY. Kirahnya menghasilkan penghargaan Menteri Keuangan terbaik Asia 2006 oleh Emerging Markets dan julukan Wanita Berpengaruh oleh Bank Dunia dan IMF.

Weleh-weleh,..mengapa kemudian Mbak Sri ini berbuat "keliru" di mata JK? Apakah perempuan berparas menarik ini tidak mengerti permainan perbankan yang sedang terjadi di Bank Century? Are you kidding me! Coba tarik sedikit ke atas sudut pandang kita, akan sedikit terlihat berbagai keanehan. Saya sepakat dengan urusan Adhie M. Massardi yang meminta adanya audit di Lembaga Penjamin Simpanan (LPS). Memang harus diaudit! Coba tanya JK, saya yakin dia setuju. Iya kan pak?

*Teks foto: Wakil Presiden Terpilih Boediono menyalami Direktur Utama Bank Century, Maryono. Photo dok internet.

31 August 2009

Puasa [ku] yang Sama Sekali Tidak Perkasa

Iman D. Nugroho

Bisa jadi, tulisan ini adalah tulisan paling tidak islami di Bulan Ramadhan. Hanya sebuah catatan kecil tentang aktivitas berpuasa yang sama sekali tidak "perkasa". Benar, tidak hebat, hanya sebuah keinginan untuk memenuhi kewajiban sebagai seorang muslim. Tidak berpikir untuk mengejar pahala, dan begitu rapuh untuk dibatalkan. Solusi untuk itu, saya memilih tidur panjang di siang hari. Betapa tidak islaminya,..


Hari-hari menjelang puasa, selalu menjadi waktu bagi kaum muslimin untuk mengingatkan betapa pentingnya Bulan Ramadhan. Bahkan, dikenal pula istilah nisfu sya'ban sebelum menuju ke Bulan Ramadhan. Di berberapa daerah, Bulan Ramadhan bahkan disambut dengan gegap gempita. Dengan berbagai upacara syukuran secara massal, tradisional dan penuh makna.Di ingatkan pula tentang bebagai keunggulan bulan itu. Semua serba istimewa.

Saya, mungkin sebagian kecil manusia muslim yang kurang bisa merasakan gairah beribadah di Bulan Ramadhan. Tak perlu buru-buru mengecap dengan sebutan muslim "palsu", tapi setidaknya ada kejujuran dalam pengakuan ini. Ketika Bulan Ramadhan tiba, yang terbayang di benak saya adalah sebuah ritual tidak makan-minum di siang hari. Dan tentu saja, itu bukan hal yang mudah. Mengingat load pekerjaan sebagai orang lapangan. Mungkin, orang-orang yang bekerja di sektor kasar dan membutuhkan peran fisik, akan lebih bisa merasakan hal itu.

"Ah, buktinya meski puasa, aku kuat kok melalukan aktivitas seperti biasa," kata seorang kawan. Lho, bukankah setiap orang dikaruniai kekuatan fisik yang berbeda- beda? Artinya, mungkin kuat untuk yang satu, tapi tdak kuat untuk yang lain. Namun, kondisi itu tidak membuat Bulan Ramadhan menjadi diabaikan. Sebagai seorang muslim, terima atau tidak, tetap menjalankan puasa di bulan itu. Hanya saja, kesadaran tentang kekuatan fisik itu, membuat saya melakukan berbagai modifikasi kebiasaan. Yakni tidur di siang hari, dan terjaga sepanjang malam.

Dan lagi-lagi, kebiasaan itu menciptakan sinisme. "Kalau cuma tidur, tentu saja kuat. Lalu makna puasanya di mana?" kata seorang kawan. Hmm :( reaksi semacam ini sungguh membingungkan. Orang-orang seperti saya, yang memilih tidur (tapi tetap berpuasa) dari pada bangun tapi tidak puasa, tetap saja dianggap salah. Yang paling parah, hal itu memunculkan pertanyaan lain,"Bagaimana dengan kami, orang-orang yang kerja kantoran, pagi harus tetap masuk dong!" Nah, kalau itu, tentu saja menjadi urusan sampeyan-sampeyan. Saya yakin, orang-orang muslim yang tetap ingin berpuasa (tapi merasakan betul ketidakenakan-nya), memiliki solusi sendiri.

Misalnya, meluangkan waktu untuk istirahat saat sholat Dhuhur dan Ashar. Lumayankan? Ada waktu 5-15 menit untuk merebahkan diri sebentar di mushola atau masjid, untuk mengumpulkan tenaga, dan kemudian kembali beraktivitas. Atau, dengan 'kreativitas" masing-masing, sedikit "mencuri" waktu sebentar untuk tidur di kantor. Sambil sandaran dikursi, atau tertelungkup di atas meja. Solusi ini agak-agak membahayakan, dan beresiko kena semprot si bos.

Apapun dan bagaimana pun caranya, poin terpenting dalam tulisan ini adalah, mendorong kreativitas kita dalam mempertahankan puasa. Meski saya akui, dalam sejarah hidup saya, selalu ada mokel (membatalkan puasa di siang hari) saat Bulan Ramadhan. Saya tahu itu ilegal. Tapi,..udah ah. Mungkin untuk yang satu ini, alasannya ada di dalam hati.

Btw, selamat berpuasa.
*photo by internet

29 August 2009

Sengketa Malaysia dan Strategi Pertahanan

Iman D. Nugroho

Lagi-lagi hasil sebuah diskusi. Kali ini hubungan antara sengketa Indonesia-Malaysia dengan strategi pertahanan RI yang mengarah pada kembalinya lagi Tentara Nasional Indonesia atau TNI. "Apakah tidak mungkin, sedang dibangun suasana agar kita merasa perlu meminta TNI untuk kembali mengurusi teroris," tanya seorang kawan dalam diskusi akhir minggu ini. Hmmm,..


Pertanyaan kritis itu hadir dari analisa seorang kawan yang tidak henti-hentinya mempertanyaan berbagai fakta empirik dan fakta opini yang mengalir deras belakangan. Diawali dengan berbagai peristiwa "unik" yang hadir di sela-sela semangat menggebu polisi mengejar Noordin M. Top. Saat Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono atau SBY dengan bersemangat menganggat foto berlubang, penyerbuan Temanggung Jawa Tengah sampai digerebeknya kontrakan teroris di Jatiasih, Bekasi.

Lalu, muncul wacana memperbandingkan kerja polisi yang kedodoran dalam kasus terorisme, dengan penanganan teroris Woyla tahun 1981 oleh Kopassus TNI. Sebuah hasil yang nyomplang (tidak seimbang-JAWA). Nah, wacana kembalinya TNI itu semakin kuat saja, ketika fakta Noordin M. Top adalah orang Malaysia, yang berarti "ada ancaman dari luar negeri". Dan karena itu juga, prasyarat masuknya TNI ke dalam urusan terorisme menjadi semakin kuat.

Lalu, tiba-tiba saja muncul persoalan Tari Pendet Bali yang diklaim Malaysia. Pelan-pelan, opini rakyat Indonesia tentang semangat "musuh" dari luar pun menguat. Tiba-tiba ada gambar Tenaga Kerja Indonesia (TKI) yang dihajar oleh petugas keamanan Malaysia. "Hampir semua orang yang melihat tayangan itu pasti akan naik rasa marahnya," kata seorang kawan. Padahal, tanpa kita menyadari, persoalan TKI dan TKW di Malaysia sudah menjadi sego-jangan atau nasi-sayur (kebiasaan-kiasan Jawa Timuran). "Mengapa semua itu muncul saat ini?

"Apakah tidak mungkin sedang dibangun suasana agar kita merasa perlu meminta TNI untuk kembali mengurusi teroris?" tanya kawan itu lagi. Lantas apa yang kemungkinan akan terjadi setelah ini? Bukan tidak mungkin Presiden SBY akan mengerluarkan keputusan politik menyangkut mandat TNI mengurus teroris. Hebatnya, besar kemungkinan TNI akan dengan cepat menangkap Noordin M. Top. Peran TNI dalam urusan-urusan terorisme pun mendapatkan nilai A+.

28 August 2009

Agar Tidak Ada Lagi Klaim Budaya

Iman D. Nugroho

Sengketa yang terjadi antara Indonesia dan Malaysia, belakangan ini, di mata saya adalah sesuatu yang "menjijikkan". Bagaimana tidak, sebuah negara bertetangga, tiba-tiba meributkan sebuah produk kebudayaan. Malaysia berlagak pilon. Indonesia ragu-ragu untuk bersikap tegas.


Di sela-sela diskusi tentang terorisme, mengamat Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Ikrar Nusa Bhakti menyentil secuil opininya tentang kasus klaim Tari Pendet, Bali oleh Malaysia. "Kalau pendapat saya agak berbeda, kasus itu membuat saya teringat kisah wayang. Apakah Indonesia bisa mengklaim cerita wayang sebagai asli Indonesia, padahal ceritanya dari India?" tanya Ikrar Nusa Bhakti.

Saat mendengat Ikrar berbicara, tiba-tiba muncul pertanyaan besar; Yang mana dari produk budaya Indonesia yang benar-benar asli Indonesia? Bukankah bangsa-bangsa di seluruh dunia saling mempengaruhi satu sama lain dalam kebudayaan? Jangan-jangan, ini hanya persoalan ekonomi semata?

Coba kita jawab satu persatu pertanyaan-pertanyaan itu. Yang mana yang asli Indonesia? Bila kita mengacu pada tinjauan sosiologis tentang budaya, maka budaya adalah hal-hal yang berkaitan dengan budi dan akal manusia. Kebudayaan sangat erat hubungannya dengan masyarakat dan turun temurun dari satu generasi ke generasi yang lain. Di dalamnya mengandung keseluruhan pengertian nilai sosial,norma sosial, ilmu pengetahuan serta keseluruhan struktur-struktur sosial, religius, dan lain-lain. Selain itu, ada sisi intelektual dan artistik yang menjadi ciri khas suatu masyarakat (wikipedia).

Dari penjelasan itu, sudah beranikah kita mengklaim apa yang terjadi belakangan ini adalah sengketa "budaya asli Indonesia"? Wayang misalnya. Wayang memang sudah ada dan turun temurun diperkenalkan. Tapi, bila ditinjau dari sisi content pewayangan, hal itu tidak bisa dilepaskan dari agama Hindu dari India. Bila, kita sebut wayang adalah budaya Indonesia? Lalu kita kemanakan content Hindu India yang ada dalam cerita wayang itu?

Nah, ketika produk kebudayaan menjadi komoditi untuk "dijual", sebut saja sebagai komoditi pariwisata, itu baru menjadi persoalan. Karena, di dalamnya bukan lagi berbicara soal produk budi dan akal manusia, melainkan sudah merambah persoalan berapa banyak modal yang kita keluarkan, bagaimana performa produk budaya itu, dan apakah bisa diterima pasar atau tidak. Di sinilah kemungkinan titik singgung yang begitu keras dalam persoalan klaim tari Pendet, Bali oleh Malaysia.

Bukan begitu?

26 August 2009

Kontoversi Dalam Kasus Penangkapan Pimpinan Arrahmah.com

Iman D. Nugroho

Perkembangan pengungkapan kasus terorisme semakin nglambyar (melebar-JAWA) kemana-mana. Salah satunya dengan penengkapan M Jibriel Abdulrahman, pimpinan Ar Rahmah Media dan pengelola situs Arrahmah.com. Atasnama kasus terorisme, Jibril (berdasarkan keterangan Arrahmah.com) diculik oleh orang tidak dikenal, setelah sehari sebelumnya menjadi daftar pencarian orang (DPO) polisi. Apa yang bisa dilihat dari peristiwa ini?


Penting rasanya melihat kasus ini dari sudut pandang "apa itu Arrahmah.com"? Bagi yang belum pernah mengunjungi Arrahmah.com, secara sederhana situs ini bisa didefinisikan sebagai media online, seperti detik.com, vivanews.com dll. Sebagai sebuah situs internet, Arrahmah.com pun secara fair menjelaskan dengan detail mengenai "jenis kelamin" media itu. Dalam rubrik Tentang Kami, Arrahmah mendefinisikan diri sebagai "jaringan media Islam yang bertujuan memberikan informasi berimbang tentang Islam dan dunia Islam di tengah-tengah arus informasi modern dan globalisasi."

Agar lebih lengkap, bisa diklik link ini: http://www.arrahmah.com/index.php/info/about/ Arrahmah.com juga secara terbuka menjelaskan susunan redaksi (klik http://www.arrahmah.com/index.php/info/redaksi/) dan bagaimana cari mengontak mereka dengan menghubungi email (klik: http://www.arrahmah.com/index.php/contact/). Lantas, apakah Arrahmah.com bisa disebut sebagai pers Indonesia? Jawabannya: IYA.

Seperti yang diatur dalam UU No. 40 tahun 1999 tentang pers termuat, definisi pers adalah lembaga sosial dan wahana komunikasi massa yang melaksanakan kegiatan jurnalistik meliputi mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi baik dalam bentuk tulisan, suara, gambar, suara dan gambar, serta data dan grafik maupun dalam bentuk lainnya dengan menggunakan media cetak, media elektronik, dan segala jenis saluran yang tersedia. Karena itulah, penting sekiranya polisi menghormati Arrohmah.com seperti menghormati pers Indonesia lain.

Pertanyaan selanjutnya adalah apakah Arrohmah.com terkait dengan terorisme atau jaringan Noordin M. Top? Jawaban dari pertanyaan ini tentu saja sepenuhnya menjadi domain polisi. Hanya saja, perlu digarisbawahi, polisi tidak bisa mengaitkan Arrohmah.com dengan jaringan terorisme hanya berdasarkan pada content atau isi situs Arrohmah.com. Dengan bahasa yang lebih sederhana, apapun yang dimuat Arrohman.com tidak lantas bisa "dihakimi" sebagai keterlibatan dengan kelompok tertentu.

Seperti aturan main pers yang sudah disepakati, pers Indonesia tunduk pada dua regulasi; UU Pers dan Kode Etik Jurnalistik. Nah, polisi sebagai penegak undang-undang, harusnye melihat, apakah Arrohmah.com melanggar UU Pers atau tidak. Bila memang dianggap melanggar, maka hendaknya polisi menyebutkan bukti-bukti mengenai hal itu. Ingat, polisi tidak bisa sendirian, harus disertai dengan lembaga negara yang ahli di bidang pers, yakni Dewan Pers. Apalagi bila situs yang berjejaring dengan media Islam dari seluruh dunia ini dianggap melanggar Kode Etik Jurnalistik.Posisi Dewan Pers tidak bisa lagi diabaikan. Sebagaimana tertulis dalam Kode Etik Jurnalistik.

"Penilaian akhir atas pelanggaran kode etik jurnalistik dilakukan Dewan Pers. Sanksi atas pelanggaran kode etik jurnalistik dilakukan oleh organisasi wartawan dan atau perusahaan pers."

23 August 2009

Bendera Putih untuk Film Merah Putih

Iman D. Nugroho

Rasa penasaran untuk melihat film Merah Putih, terjawab sudah. Sayang, baru beberapa menit di dalam gedung bioskop, saya sudah menahan rasa untuk segera keluar dari gedung bioskop, lantaran film ini tidak layak untuk ditonton. Seburuk itukah? Menurut saya: IYA. Berikut ini beberapa hal yang sempat saya catat. Namun, untuk kehidupan berbangsa dan bernegara, ada baiknya anda segera melupakan catatan keburukan film ini, dan membuat catatan keburukan lain yang lebih lengkap.

ps.klik di gambar untuk lihat thriler film ini di Youtube.


ALURNYA LAMBAT:

Menurut saya, film yang bercerita tentang kehidupan lima laki-laki di Sekolah Tentara Rakyat setelah Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia pada 1947 ini berlangsung sangat lambat. Kalau menonton film ini dengan membayangkan sebuah "serangan" heroik dengan melibatkan Amir (Lukman Sardi), Marius (Darius), Tomas (Donny Alamsyah), Soerono (Zumi Zola) dan Dayan (Rifnu Wikana), baru akan terjadi di pertengahan film.

CERITA ANEH-ANEH:

Okey. Apa yang terjadi di dalam sekolah Tentara Rakyat, mungkin bisa diabaikan. Karena cukup bisa dianggap sebagai "kepala" film. Tapi, ketika sudah berperang, aduh mak. Serangan Belanda yang dilakukan beberapa saat setelah pesta inagurasi, memunculkan pertanyaan: bagaimana bisa Pasukan Belanda mendekat ke areal pesta, tanpa diketahui. Okey, setelah itu perang pun dimulai. Nah, sedang asyik-asyiknya perang, ada cerita di Senja (kakak
Soerono), pergi mencari adiknya ke hutan. Dan itu membuat Soerono, bingung dan mencari kakaknya, sambil berkelit dari peluru Belada. Dan akhirnya tertembak mati. Eh,..ternyata urusan pribadi saat perang itu juga menimpa tokoh lain, Amir (Lukman Sardi) yang juga mengejar istrinya. Aduhkah!

Masih soal peperangan. Nah, dalam suasana seperti itu, para "pejuang" di film ini terlalu banyak diskusi dalam peperangan. Ayolah kawan-kawan, ini bagiku sangat tidak masuk akal. Perang gitu loh! Ngapain harus berdiskusi dalam keadaan seperti itu. Ada sebuah dogma dalam tentara, kalau tidak salah, komando pimpina itu tidak terbantahkan. Nah, itu tidak tampak dalam film ini. Bantah-bantahan dalam perang! Come on!

Okey, ada lagi. Soal persenjataan. Pasukan Belanda itu bersenjata jauh lebih baik. Nah, bannyak sekali adegan pasukan Indonesia bisa membunuh Belanda. Namun, tidak ada satu adegan pun adegan yang menunjukkan pasukan Indonesia mengambil senjata Belanda itu. Sejauh yang saya tahu dari banyak film perang, adegan semacam itu banyak dilakukan. Lho,..kemana sisi natural dalam perang? Belum lagi soal kostum. Perang begitu rupa, tapi kostumnya tetap bersih. Bahkan setelah beberapa hari perperangan.

Sudah ah! Capek juga mendiskripsikan film ini.

Merdeka!

22 August 2009

Apakah Ramadhan Berarti Isak Tangis dan Kekerasan?

Iman D. Nugroho

Bulan Ramadhan baru saja berjalan beberapa jam, ketika Jumat (21/08) sore MetroTV menyiarkan berita dari Riau dan Lamongan. Di Riau, sekelompok orang mendatangi komplek prostitusi. Memukuli dinding, mengeluarkan perabotan, dan pada titik klimaks, mereka membakar rumah-rumah petak yang ada di sana. Di Lamongan, aksi Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP), merasia tempat mangkal pekerja seks, dan menangkapi mereka. Dalam sebuah adegan, seorang pekerja seks dibawa oleh empat Satpol PP yang masing-masing menjinjing dua tangan dan dua kakinya. Perempuan itu meronta-ronta.


Tontonan tragis itu, di mata saya bagaikan sayatan arti bulan penuh rahmat, Ramadhan. Bagaimana di awal bulan agung ini, orang tiba-tiba menjadi sangat "Islami" dan melakukan pengerusakan? Atau Satpol PP itu yang menjadi beringas dengan para pekerja seks? Dan ironisnya, hal ini selalu terjadi di setiap Ramadhan. Lihat saja di Ramadhan tahun-tahun lalu, dan mungkin dalam beberapa hari ini akan pula menghiasi layar kaca. Polisi melakukan rasia di hotel, restauran dan bar yang tetap buka. Atau---semoga saja tidak---sekelompok orang yang mengaku sangat cinta dengan Ramadhan, datang ke tempat-tempat yang dianggap "gelap" dan melakukan pengerusakan.

Saya tidak pandai mengkutip ayat atau mecuplik hadist. Hanya bisa merasakan, ada yang keliru dengan tindakan semacam itu. Dalam sebuah renungan sangat sederhana, prostitusi dan tempat hiburan malam adalah bagian dari kehidupan sosial di Indonesia yang (meskipun saya tidak sepakat), harus dilihat sebagai realita. Mereka-mereka yang ada di dalam lingkungan itu, adalah orang-orang yang mungkin bila diberi keleluasaan rahmat dan perubahan garis nasib, akan mampu pergi dari kehidupan yang (oleh banyak orang) dinilai sebagai dunia gelap.

Saya melihat Ramadhan justru sebagai pintu bagi kita, umat Islam, untuk menumbuhkan rasa cinta bahkan iba untuk mereka. Dengan semangat kasih sayang sebagai sesama umat di dunia, orang-orang yang "gelap" ini, harus ditemani dan dibimbing, dengan cara dan bahasa yang mereka paham, untuk keluar. Minimal sejenak berhenti. Dan cara itu bukan pentungan, razia apalagi kobaran api di rumah mereka. Tindakan-tindakan itu akan memunculkan rejected atau penolakan. Tidak hanya dari orang yang akan "diluruskan", tapi juga orang-orang lain yang tidak setuju dengan cara itu. Apakah itu yang kita inginkan?

Seorang kawan mengingatkan perlunya kita berlomba-lomba dalam kebajikan. Terutama di bulan-bulan baik. Ramadhan adalah salah satunya. Saya mungkin bodoh atau dungu dalam beragama. Tapi, saling bakar dan seret seperti yang terjadi di Riau dan Lamongan itu menurut saya bukan kebajikan. Apa bedanya dengan tindakan kekerasan lain yang juga mengatasnamakan "kebajikan" untuk sekelompok tertentu, namun menyusahkan untuk sekelompok lain?

Selamat menjalankan ibadah puasa. Semoga Ramadhan menjadi rahmat bagi semua,..

*link berita metrotv:http://www.metrotvnews.com/index.php/metromain/newsvideo/2009/08/21/88732/Kompleks.Lokalisasi.Sepakat.di.Pelalawan.Dibakar.Massa

08 August 2009

Pelajaran Pasca Penyergapan Teroris Temanggung

Iman D. Nugroho

Ada beberapa pelajaran yang bisa diambil usai penyergapan teroris di Temanggung, Jawa Tengah. Pelajaran yang membuat kita lebih waspada dan pada akhirnya tidak menyusahkan banyak orang. Dan yang tidak kalah penting, beberapa hal yang diungkapkan di bawah ini, bisa membebaskan kita dari jeratan hukum.


1. Jangan jadi teroris.
Ini poin paling penting. Pilihan aktivitas lain masih banyak. Misalnya, binaragawan, apoteker akan mendaftar sebagai polisi. Poin terakhir lebih afdol kalau memilih menjadi anggota Detasemen 88 Anti Teror. Kalau nggak terpilih, minimal jadi "polisi tidur".

2. Jangan Sombong
Kesombongan itu tidak baik. Lihat Noordin M. Top. Betapa sombongnya dia dengan memakai nama "TOP" di belakangnya. Hal ini menciptakan kebencian dari orang lain. Kalau namanya Noordin M "Slow", atau Noordin M. "Lumayan" (mirip Warung Lumayan-misalnya) atau Noordin M Ber (maksudnya "ember"), kan lebih berkesan humble (baca:sederhana). Gimana?

3. Jangan suka main "rahasia"
Ini lagi. Noordin M. Top ini sukanya main rahasia-rahasiaan. Sudah berapa lama dia dicari? Bukannya menyerahkan diri, malah umpet-umpetan. Mbok biasa saja. Misalnya, kalau memang dicari polisi dan nggak bisa datang (dengan alasan apapun), kan lebih baik kirim SMS. Toh Presiden SBY juga buka horline. Bilang saja,"Pak sorry, masih ada perlu dan nggak bisa datang." Atau pakai alasan yang lebih keren seperti, "Pak Kapolri, jangan pake nempel gambar gitu dong, aku kan malu." Atau apa kek,...

4. Konsisten
Ini soal chasing. Jangan suka ganti-ganti gaya. Kalau memang berambut pendek, ya pendek saja terus. Kalau berambut panjang, tetap saja seperti itu. Dan, kalau memang nggak cocok pake topi dan kacamata, nggak usah dipaksain. Kasihan yang lainkan! Jadi bingung mau pilih gambar yang mana. Bikin poster itu mahal, tau!

5. Jangan suka bohong
Kalau ditanya, lebih baik jujur. Bayangkan kalau Noordin M. Top itu jujur sama orang lain. Misalnya ketemu Polisi di Terminal Pulo Gadung dan ditanya,"Anda Noordin M. Top?" Jawab saja,"Iya pak, ada yang bisa saya bantu?" Pasti polisi itu langsung simpati (mungkin juga Mentari, Flexi atau Esia-RED), dan melindungi anda dari copet dan calo terminal. Enak to,...

ps. seperti biasa, abaikan artikel ini,..

:)

20 June 2009

Menahan Mual di Antara Para Tim Sukses Capres

Iman D. Nugroho

Entah, dosa apa yang saya perbuat selama ini. Kok bisa-bisanya kumpul dengan para tim sukses calon presiden dan calon wakil presiden 2009 plus para supporternya. Bisa dibayangkan, mereka sama-sama menunjukkan sisi baik kandidat yang mereka dampingi dan pura-pura bego dengan sisi negatif yang ada. Agak-agak memuakkan,..


Malam sudah berlalu, berganti dini hari. Tetap saja pembicaraan pagi ini berkutat masalah si pasangan capres/cawapres ini dan itu. "Memang pasangan ini lebih maju soal pendidikan, tapi masalah lain kan tidak," kata kawan yang tergabung dalam tim capres. "Tapi kalau persoalan Aceh, justru dia (menyebut nama capres) yang berperan," katanya. Kawan yang lain menimpali,"Itukan katamu, bagiku tetap si anu," katanya. Kawan yang lain, dari tim capres yang lain lagi, malah nggerundel. "Kalau memang seperti itu, mengapa tidak dilakukan kemarin-kemarin," katanya.

Begitulah. Kalau kita berada di antara para tim sukses, yang terjadi bisa ditebak. Kalau tidak mendengar nilai plus capres-cawapres, atau malah terhujani dengan hal-hal buruk yang belum pernah kita dengar sebelumnya. "Tahu nggak, kasus monorel itu, itu kan rebutan antara di ini dan si itu," kata seorang kawan. "Lain lagi soal IMF, aku ada data, si ini yang tanda tangan," katanya.

Dalam hati kecil, ingin rasanya mengambil kerupuk ukuran besar dan menyorongkan ke mulut mereka. Selain membuat konsentrasi bicara akan beralih menjadi konsentrasi menggigit kerupuk, juga (rasanya)mendengarkan suara krupuk tergigit lebih indah ketimbang mendengarkan semua hal tentang capres-cawapres. Tentu saja, hal itu tidak aku lakukan. Memilih untuk menjunjung tinggi prinsip dasar demokrasi dengan mendengarkan hasil "kerja" para tim sukses.

Kawan-kawan tim sukses ini lupa. Ada regulasi yang sudah dilanggar, ada kebohongan yang sudah ditebar dan ada persoalan rakyat yang terabaikan saat pilpres menjelang. Meski ada uang bertaburan, tapi juga ada airmata bercucuran. Ada cita-cita yang kandas ditelan hiruk pikuk iklan pilpres di televisi. "Pokoknya si ini yang harus jadi!". "Itu pilihanmu, tapi aku menyarankan si itu,". "Gimana kalau ini saja,"

Alamak,..

18 June 2009

Dan Bagi Saya, Jawaban yang Paling Tepat Adalah Golput

Iman D. Nugroho

Tulisan ini dibuat sebelum kantuk menyerang, beberapa jam usai debat(?) calon presiden RI di Trans7 dan TVONE (Transtv juga?). Kesimpulan dari aktivitas menonton tayangan yang menurut saya membosankan dari berbagai sisi itu, adalah golput atau tidak memilih atau mengabaikan pemilihan presiden 2009. Mengapa? (btw, lead pertanyaan seperti ini kayaknya sudah nggak jaman..)


Alasan terkuat dari semua itu adalah peristiwa politik dan hukum yang terjadi sejak pemilu legislative digelar, hingga saat ini. Mulai Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang menurut saya tidak independen dan cenderung tidak memahami kerjanya, sehingga memunculkan probem-problem turunan seperti Daftar Pemilih Tetap (DPT) hingga calon-calon legislative dan calon presiden yang bagi saya, sangat layak untuk diabaikan.

Belum lagi, tingkah polah mereka, orang-orang yang terkait dengan pemilu itu, sama sekali tidak menunjukkan sikap penghormatan kepada "aturan" yang sudah disepakati, dan lebih parah kepada masyarakat (baca: rakjat Indonesia). Mereka seperti asyik bermain catur di antara tumpukan persoalan yang kini dihadapi oleh masyarakat. Yang paling gampang soal lumpur Lapindo di Porong, Sidoarjo. Siapa yang memperdulikan mereka? Capres dan cawapres? Serius, aku tidak percaya itu akan terjadi.

Karena itulah, sepertinya bagi saya Golput adalah pilihan rasional. Saya, secara sadar menyimpan hak politik saya. Ada perasaan tidak rela, bila hak politik itu kemudian diberikan begitu saja kepada keadaan yang menurut saya tidak layak untuk menerimanya. Jadi, saya golput tahun ini.

17 June 2009

Apakah Blog Akan Terlunta-lunta?

Iman D. Nugroho

Belakangan ini, popularitas blog, perlahan-lahan surut. Banyak situs pertemanan dan situs interactive yang bisa memberikan pelayanan lebih kepada netter untuk bisa secara instan memberi ruang berekspresi. Sudah habiskan masa hidup blog? Sepertinya, justru tidak seperti itu.


Waktu pertama kali berkecimpung di dunia internet, pada tahun 2000 dengan Tehmanis.com, sudah ada feeling bahwa dunia internet di Indonesia akan menghantar negeri ini ke babak baru. Babak tanpa batas wilayah, dan sekat-sekat waktu. Ternyata, hal itu ada benarnya. Betapa internet bisa melipat jarak dan mendekatkan waktu. Belum lagi persoalan benefit lain berupa ilmu pengetahuan yang seakan tak habis-habisnya disajikan melalui internet.

Analogi yang sering saya pakai, internet ibarat kolam, yang di dalamnya berisi berbagai macam benda. Mulai ikan, tanaman air, hingga kotoran manusia dan binatang yang ketampul-ketampul (baca: mengambang)di permukaan air. Terserah kita yang menggunakannya. Bisa sangat bermanfaat, atau hanya melihat gambar bokep artis terkenal (lebih banyak yang nggak jelas).

Saat era blog datang, terlebih lagi. Kalau awalnya kita membutuhkan uang jutaan untuk sekedar memiliki beberapa halaman di internet, kini dengan adanya blog dengan berbagai situs blog, kita bisa secara gratis mendapatkan halaman kita sendiri. Apakah menguntungkan? Jelas. JELAS SEKALI. Ada yang bilang, kita bisa mencari uang dengan menggunakan blog. Ada berbagai fasilitas pencari uang, sebut saja google Adsense atau program banner exchange lainnya.

Saya bukan termasuk yang mencari uang dengan cara seperti itu. Blog, bagi saya adalah "ruang pamer" karya jurnalistik. Di sinilah, saya menggelar semua karya jurnalistik saya. Sebagian saya jual, sebagian lagi sebagai porto folio pribadi. Selain itu, blog juga menjadi sarana curriculum vitae online bagi saya. Misalnya, saya selalu meng-link situs www.iddaily.net dengan idnugroho.blogspot.com. Bermanfaat? Sekali lagi: SANGAT BERMANFAAT.

Sudah beberapa kali saya mendapatkan benefit tidak langsung dari blog. Dalam sebuah side job di Nanggroe Aceh Darrussalam misalnya, kawan dari sebuah NGO internasional melihat karya-karya saya di blog. Juga ketika ada side job lain yang sifatnya lokal, melainkan tetap memerlukan contoh tulisan dan foto.

Karena itulah, bagi saya, blog akan tetap ada gunanya, meski berbagai situs interaktif semakin tampak sexy di depan kita. Jadi, apa alamat blog anda?

19 April 2009

Berlomba Jadi Calon Wakil Presiden, Kebodohan Berpolitik di Indonesia

Iman D. Nugroho

Dan tiba-tiba, berita tentang munculnya Partai Demokrat sebagai partai pemenang Pemilu 2009, menjadi pembuka perlombaan menjadi calon wakil presiden atau cawapres. Ketua Dewan Pembina Partai Demokrat yang juga incumbent calon Presiden RI, Susilo Bambang Yudhoyono menjadi sosok yang digadang-gadang untuk ditawari bakal cawapres. Kebodohan cara berpolitik kita,..


Melalui tulisan ini, sekali lagi saya mendeklarasikan diri sebagai orang yang sangat bodoh dalam dunia politik. Tapi, untuk menilai apa yang sedang terjadi di Indonesia belakangan, agaknya tidak perlu keahlian itu. Karena yang tampak di depan mata, sungguh bukan sebuah permainan politik tingkat tinggi. Hanya perlombaan eker-ekeran memunculkan sosok yang paling pas untuk jabatan tertentu. Dan yang paling mutakhir adalah posisi bakal cawapres.

Sejauh yang saya tahu, ada beberapa nama yang muncul belakangan. Sebut saja Yusuf Kalla, Sri Mulyani, Hidayat Nur Wahid hingga pengusaha Chairul Tandjung. Dan yang paling akhir, Amien Rais menawarkan calon wapres dari Partai Amanat Nasional (PAN). Kalau anda tahu nama-nama lain, mungkin bisa menambahi sendiri. Benar-benar aneh! Aneh! Bagaimana orang-orang yang pada awalnya "bermusuhan", kemudian menjadi sangat berharap untuk dipilih.

Untuk hal yang satu ini, saya memberikan nilai lebih pada tokoh-tokoh politik yang berani mengibarkan bendera sendirian. Mungkin, kecil kemungkinan mereka akan kalah, tapi paling tidak menjadi gelombang sendiri! Terlepas dari gelombang lain, apalagi merengek-rengek untuk diajak dalam satu kendaraan. Di mana harga diri? Ini politik rek, tidak dikenal harga diri dalam kamus politik! Ah, siapa bilang. Tetap saja hal itu dikenal dan harus menjadi salah satu ukuran dalam kehidupan berbangsa ini.

Jadi, bagaimana memandang pada perengek itu? Sederhana saja. Kalau anda termasuk orang-orang yang memilih mereka, mungkin waktunya beristighfar. Atau paling tidak terus mendoakan, agar mereka segera tersadar. Oops,..bangun dari tidur! Mereka harus dibangunkan dari tidur agar tidak cuma mengejar kekuasaan melalui politik. Guys,..politik lebih dari sekedar kekuasaan. Ini penting.

Tapi, harga beras adalah jauh lebih penting!

:)

19 February 2009

Bu Hillary, Sampaikan Ini ke Pak Obama, please,..

Iman D. Nugroho, Surabaya


Hai Bu Hillary,..
Beberapa hari di Indonesia, bagaimana rasanya? Jelas sudah bukan hal baru. Kalau tidak salah, Bu Hillary pernah mengunjungi negara Asia. Kurang lebih, atmosfir di Indonesia tidak berbeda. Yang membedakan mungkin adalah senyum yang selalu terkembang. Senyum rakyat Indonesia adalah senyum yang berbeda. Senyum yang di baliknya ada tangis dan air mata. Tangis dan air mata yang terlalu sering hadir, akhirnya menjadi kebiasaan. Atau bahkan lupa, pernah melakukannya,..


Tapi semuanya tidak penting dibanding beberapa hal yang bakal menjadi catatan ini. Catatan pertama adalah persoalan ekonomi. Bu Hillary, perekonomian Indonesia sangat dahyat. Gambarannya seperti donut di Dunkin Donuts yang jarang sekali berubah bentuk. Bulat, tengah-tengahnya berlubang. Permukaannya berisi gula halus, coklat atau berbagai hal lezat lain. Begitulah, perekonomian permukaan memang manis. Jumlah plaza, supermarket dll semakin banyak. Juga bangunan tinggi, dengan berbagai ornamennya. Tapi di balik itu, tepat di tengah-tengah masyarakat---tak ubahnya seperti donut---kosong. Empty! Masyarakat miskin tetap ada.

Tak mampu menikmati manisnya. Tapi, justru di bangian tengah itulah the real Indonesia. Apa yang menyebabkan semuanya. Sistem kapitalisme yang ditawarkan dan (sorry to say) dipaksakan negara maju kepada negara berkembang yang menjadi salah satu stimulus semuanya. Pemerintah Indonesia seperti mendapatkan pelecut yang begitu keras. Ingin mengejar "syarat-syarat" yang diajukan negara maju, namun tidak mempertimbangkan objective fact di lapangan. Hasilnya, kemiskinan! Yup,..poverty, mam. Kemiskinan yang akut. Kanker kemiskinan ini suatu saat akan meledak menjadi revolusi sosial. Apakah itu yang diinginkan AS pada Indonesia. Revolusi sosial? Tentu saja tidak. But,...mungkin AS punya data-data yang lebih valid soal itu. Ada yang bilang, jaringan AS di Indonesia masih sangat kuat. Di setiap strata, AS pasti punya channel. Coba saja tanya channel-channel sampeyan. Dasti data yang ditunjukkan kurang lebih sama.

Dalam dunia politik. Ini yang paling penting. Coba tanya paman Google, dan search soal Indonesian politics issues. Pasti yang keluarga berbagai hal yang sangat menarik. Mulai sengketa pemilihan kepala daerah, kualitas calon legislatif yang minim dan euforia papan nama calon legislatif itu. Tentu saja, untuk kelompok politik yang kaya raya, mereka punya kuasa memasang iklan di televisi, radio dan media-media lain. Well,..itu memang sangat demokratis. Hanya saja, demokrasi ala Indonesia belum mampu bersaing di wilayah kualitas. Maksudnya, jangan pernah bicara soal kualitas demokrasi Indonesia. Bertanyalah soal kuantitas pelaksanaan demokrasi. Bu Hillary akan mendapatkan gambaran yang TOP BGT. Ini bahasa pro-kem Indonesia. Atau,..top banget or wow its great!

Tapi, seperti hal donut, yang justru terpengaruh itu hanya di bagian permukaan saja. Masyarakat Indonesia itu dont give a s**t about that! Masyarakat seperti lagu Indonesia lagi ngetop, judulnya Kepompong (i'm sure you will love this song), sudah berubah dari ulat menjadi kupu-kupu. Bukan kupu-kupu yang indah dengan warna-warninya, namun kupu-kupu hitam yang kuat dan kokoh. Tidak cengeng, namun tetap kecil dan tidak berdaya. Kondisi sosial indonesia adalah "hitam", tidak cengeng namun tidak berdaya. Mengapa? Karena hanya sedikit intelektual dan "orang pintar" Indonesia yang berpikir soal rakyat. Dalam hal ini the real condition of the people. Kebanyakan hanya berpikir soal dirinya sendiri, kelompoknya atau,...ah, tanya aja channel AS di Indonesia.

Dan kondisi sosial itu pun menggeser budaya masyarakat Indonesia yang "ketimuran" menjadi,...mmm,..budaya munafik. Tidak menampakkan hal yang sebenarnya. Memang ini tidak berlaku untuk semua orang, namun itu yang saat ini kental terasa. Yang miskin sok kaya. Yang kaya sok miskin. Yang pintar sok bodoh. Dan yang bodoh sok pintar. Memang seperti itu adanya. If you ask me why? Well, i dont know! Mungkin itu yang disebut dalam budaya jawa: Jaman Edan! Semua terjadi karena sebagai hal bodoh yang menghimpit Indonesia. Hey,...apa yang terjadi di dunia global dengan pernah-pernik negatif-nya ikut ambil bagian membentuk budaya Indonesia menjadi seperti ini.

Seperti numeric yang nggak akan pernah berhenti, persoalan di Indonesia juga masih banyak. Tapi sudahlah, mumpung sampeyan ada di sini, tolong sampaikan dulu hal itu ke Mr. President Barrack Obama. Bilang sama dia, tidak usah lagi bernostagia dengan Jakarta dan Indonesia. Nggak penting! Ada persoalan riil yang harus diadapi...

31 January 2009

Senandung Mendung Bergulung Mundur

Iman D. Nugroho, Surabaya

Mendung sore ini tidak begitu tebal. Tipis saja, namun warnanya masih mengabu-abu bak kabut. Sekilas, ada yang bilang masih berwarna putih. "Mendung tipis yang putih." Begitu aku penyebutnya. Hanya menggelantung di barat dan timur kota. Tak juga berarak bagai bagai karnaval. Apalagi seperti pusara badai. Tapi, di kedua tempat itulah kisah ini tertulis.


Di bawah mendung putih tipis itulah, taman kota tempatku selama dua tahun terakhir ini menghabiskan waktu. Tamannya sih sederhana saja. Ada pohon akasia tua berdaun lebat, yang tumbuh ditemani rumput hijau dengan sepihan kuning kering. Duduk di atas rumput itu, menyandarkan punggung di batang akasianya sejenak; nyaman. Bila ada rezeki, di tempat inilah aku nikmati legit durian, ayam bakar plus lalapannya, tahu goreng yang tersaji daun jati dan, sorry, sebatang rokok dalam negeri dengan cengkeh pilihan itu.

Dua tahun yang indah itu, memang indah. Setiap pagi, selalu ada pelangi di atas kepalaku. Ketujuh warnanya terang, namun terselimuti warna hijau yang juga tipis. Mejikuhibiniu kehijauan. Bila hujan datang, siang atau malam, warna-warna itu semakin tegas. "Melihatnya, bisa sembuh sakit mata hati yang selama ini aku rasakan," Apalagi ketika warna menyeret senja. Kuning keemasan yang ada di langit, memakin mengaya.

Suara adzan. Tanpa bermaksud sok religius, terdengar keras di sini. "Allahuakbar,.." Pujian kepada Tuhan itu menghunjam-hunjam. Hatiku memang tak selalu tergetar. Justru menciptakan resonansi. Resonansi yang justru tidak berhenti setelah suara adzan itu tak lagi ada. "Memang tidak setiap saat aku beribadah, tapi tak pernah lupa menyapa Sang Esa di sela-sela detakan jantungnya,.."

Siang. Saat matahari dan matahati menyinari, aku datang ke taman itu siang ini. Tetap indah. Seperti ratusan tahun tak bertemu, aku peluk akasia itu. Menyandarkan kepalaku di salah satu sisinya. Hangat. Damai. Surga. Sampai seekor semut menggigit leherku, menciptakan kemarahan. Dan meninggalkan taman indah itu. Keindahan dua tahun pun luruh karena gigitan itu. Hmmm,...

Bila tiba-tiba mendung bergulung mundur, itu karena itu napas besar penyesalanku yang belum sempat aku hembuskan...

30 December 2008

Hukuman Mati, Sebuah Catatan Akhir Tahun

Iman D. Nugroho, Surabaya, Jawa Timur

Tahun 2008 merupakan tahun kelam bagi penegakan Hak Asasi Manusia di Jawa Timur. Di tahun ini, ada empat penduduk Jawa Timur yang dihukum mati karena tindakan kejahatan yang didakwakan kepada mereka. Keempatnya adalah Sumiasih dan Sugeng (kasus pembunuhan sekeluarga di Surabaya), serta Amrozi dan Ali Gufron (kasus terorisme dalam tragedi peledakan Bom Bali 1 di Kuta, Bali).


Praktek hukuman mati yang hingga kini masih berlangsung di Jawa Timur tidak bisa dilepaskan dari kebijakan hukum nasional Indonesia yang juga masih membuka kesempatan bagi dilakukannya hukuman mati. Hal itu jelas bertentangan dengan komitmen Indonesia yang seharusnya tunduk dengan Kesepakatan Internasional tentang Hak Sipil, Politik, Ekonomi, Sosial dan Budaya.

Namun yang terjadi justru kebalikannya. Dalam waktu lima tahun terakhir, jumlah eksekusi hukuman mati di Indonesia terus bertambah. Termasuk empat warga Jawa Timur, Sumiasih, Sugeng, Amrozi dan Ali Gufron. Hal itu menguatkan pro-kontra hukuman mati di Indonesia yang sempat mencuat saat Fabianus Tibo, Dominggus da Silva, dan Marinus Riwu dieksekusi di Palu, Sulawesi Tengah setahun lalu. Bagaimana dengan tahun 2009?

Agaknya pelaksanaan hukuman mati akan kembali terulang. Kejaksaan Tinggi (Kejati) Jawa Timur mengatakan, setelah ekseskusi Sumiasih dan Sugeng, masih ada dua lagi terpidana mati di Surabaya yang akan dieksekusi. Dalam catatan KontraS, lebih dari 100 terpidana mati yang terancam pelaksanaan hukuman mati. Dari Jawa Timur, nama-nama terdakwa Nurhasan Yogi Mahendra (Lamongan), Kolonel M. Irfan Djumori (Sidoarjo), Sugianto alias Sugik (Surabaya) dan Rahem Agbaje Selami, warga negara Rep of Cordova) (Surabaya) terancam vonis mati.

Bisakah Indonesia melepaskan diri dari hukuman mati? Sepertinya hal itu tidak serta merta bisa dilakukan. Apalagi, sikap pemerintah Indonesia dalam hal hukuman mati, tergolong bermuka dua. Di satu sisi, memiliki regulasi hukum dengan ancaman hukuman mati, namun di sisi lain mengatasnamakan kemanusiaan. Simak saja, Indonesia memiliki 11 hukum yang masih menempatkan hukuman mati sebagai hukuman maksimal.

Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) misalnya, ada 10 hukum pasal yang mengancam pelakunya dengan hukuman mati. Mulai pasal Makar, Mengajak negara lain menyerang RI, Melindungi musuh atau menolong musuh yang berperang melawan RI hingga Pemerasan dengan kekerasan. Juga UU Darurat No. 12 Tahun 1951 tentang Senjata api, UU No. 11 Tahun 1963 tentang Pemberantasan kegiatan subversif.

UU No. 4 Tahun 1976 tentang kejahatan penerbangan dan kejahatan terhadap sarana/prasarana penerbangan, UU No. 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika, UU No. 22 Tahun 1997 Narkotika, UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Korupsi, UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM, dan UU No. 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme.

Di sisi berlawanan, justru Indonesia adalah pihak yang menandatangani Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (HAM) yang memposisikan hak hidup sebagai hak setiap manusia. Dan negara bertugas menjamin terpenuhinya hak itu. Atas nama kemanusiaan itu juga, Indonesia sempat melakukan lobby-lobby international untuk membatalkan hukuman mati bagi warga Indonesia yang melakukan kejahatan.

Meski demikian, dua posisi hukum yang berbeda itu tidak membuat majelis hakim yang menangani kasus dengan ancaman hukuman mati, menjadi "kebingungan". Mereka tetap memakai kaidah hukum positif Indonesia (dengan memvonis mati), dari pada harus melihat sisi kemanusiaan. Bukti kongkret dari penjelasan alinea ini adalah tetap saja ada vonis mati dalam berbagai kasus di Indonesia.

Sebagai bagian dari upaya menghormati hukum, mungkin keputusan majelis hakim "bisa diterima". Namun, dalam kerangka yang lebih lebar, jelas sekali, hukuman mati harus ditolak. Setidaknya, bobroknya sistem hukum di Indonesia bisa dijadikan salah satu alasan. Bukan tidak mungkin, keputusan yang dihasilkan dari sistem hukum yang bobrok, akan jauh dari rasa keadilan. Bisakah kita meyakini vonis hukuman mati di Indonesia benar-benar vonis yang adil?

Bila salah satu alasan pelaksanaan hukuman mati adalah "efek jera", hal itu jelas tidak terbukti. Tidak ada korelasi antara pelaksanaan hukuman mati dengan menurunnya angka kejahatan. Sialnya, hal itu ada di semua kasus yang selama ini dianggap "pantas" diganjar dengan hukuman mati. Mulai kasus pembunuhan, narkotika hingga terorisme. Bahkan, hukuman mati kepada pelaku terorisme, disebut-sebut menstimulus munculnya teroris-teroris baru.

Belum lagi pandangan diskriminasi hukuman mati. Selama ini, hukuman mati tidak pernah "menyentuh" pelaku kejahatan kerah putih. Seperti korupsi, misalnya. Padahal, kejahatan jenis ini lebih memiliki efek lebih keji kepada masyarakat dan negara. Karena berbagai hal itu, mengurangi angka kejahatan dengan perbaikan struktur kenegaraan banyak dipandang lebih pas ketimbang hukuman mati.

Lantas, apa yang harus dilakukan? Seperti halnya sikap 142 negara di dunia yang menghapus hukuman mati, Indonesia pun harus melakukan hal yang sama: Menghapus hukuman mati di Indonesia.