30 December 2008

Hukuman Mati, Sebuah Catatan Akhir Tahun

Iman D. Nugroho, Surabaya, Jawa Timur

Tahun 2008 merupakan tahun kelam bagi penegakan Hak Asasi Manusia di Jawa Timur. Di tahun ini, ada empat penduduk Jawa Timur yang dihukum mati karena tindakan kejahatan yang didakwakan kepada mereka. Keempatnya adalah Sumiasih dan Sugeng (kasus pembunuhan sekeluarga di Surabaya), serta Amrozi dan Ali Gufron (kasus terorisme dalam tragedi peledakan Bom Bali 1 di Kuta, Bali).


Praktek hukuman mati yang hingga kini masih berlangsung di Jawa Timur tidak bisa dilepaskan dari kebijakan hukum nasional Indonesia yang juga masih membuka kesempatan bagi dilakukannya hukuman mati. Hal itu jelas bertentangan dengan komitmen Indonesia yang seharusnya tunduk dengan Kesepakatan Internasional tentang Hak Sipil, Politik, Ekonomi, Sosial dan Budaya.

Namun yang terjadi justru kebalikannya. Dalam waktu lima tahun terakhir, jumlah eksekusi hukuman mati di Indonesia terus bertambah. Termasuk empat warga Jawa Timur, Sumiasih, Sugeng, Amrozi dan Ali Gufron. Hal itu menguatkan pro-kontra hukuman mati di Indonesia yang sempat mencuat saat Fabianus Tibo, Dominggus da Silva, dan Marinus Riwu dieksekusi di Palu, Sulawesi Tengah setahun lalu. Bagaimana dengan tahun 2009?

Agaknya pelaksanaan hukuman mati akan kembali terulang. Kejaksaan Tinggi (Kejati) Jawa Timur mengatakan, setelah ekseskusi Sumiasih dan Sugeng, masih ada dua lagi terpidana mati di Surabaya yang akan dieksekusi. Dalam catatan KontraS, lebih dari 100 terpidana mati yang terancam pelaksanaan hukuman mati. Dari Jawa Timur, nama-nama terdakwa Nurhasan Yogi Mahendra (Lamongan), Kolonel M. Irfan Djumori (Sidoarjo), Sugianto alias Sugik (Surabaya) dan Rahem Agbaje Selami, warga negara Rep of Cordova) (Surabaya) terancam vonis mati.

Bisakah Indonesia melepaskan diri dari hukuman mati? Sepertinya hal itu tidak serta merta bisa dilakukan. Apalagi, sikap pemerintah Indonesia dalam hal hukuman mati, tergolong bermuka dua. Di satu sisi, memiliki regulasi hukum dengan ancaman hukuman mati, namun di sisi lain mengatasnamakan kemanusiaan. Simak saja, Indonesia memiliki 11 hukum yang masih menempatkan hukuman mati sebagai hukuman maksimal.

Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) misalnya, ada 10 hukum pasal yang mengancam pelakunya dengan hukuman mati. Mulai pasal Makar, Mengajak negara lain menyerang RI, Melindungi musuh atau menolong musuh yang berperang melawan RI hingga Pemerasan dengan kekerasan. Juga UU Darurat No. 12 Tahun 1951 tentang Senjata api, UU No. 11 Tahun 1963 tentang Pemberantasan kegiatan subversif.

UU No. 4 Tahun 1976 tentang kejahatan penerbangan dan kejahatan terhadap sarana/prasarana penerbangan, UU No. 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika, UU No. 22 Tahun 1997 Narkotika, UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Korupsi, UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM, dan UU No. 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme.

Di sisi berlawanan, justru Indonesia adalah pihak yang menandatangani Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (HAM) yang memposisikan hak hidup sebagai hak setiap manusia. Dan negara bertugas menjamin terpenuhinya hak itu. Atas nama kemanusiaan itu juga, Indonesia sempat melakukan lobby-lobby international untuk membatalkan hukuman mati bagi warga Indonesia yang melakukan kejahatan.

Meski demikian, dua posisi hukum yang berbeda itu tidak membuat majelis hakim yang menangani kasus dengan ancaman hukuman mati, menjadi "kebingungan". Mereka tetap memakai kaidah hukum positif Indonesia (dengan memvonis mati), dari pada harus melihat sisi kemanusiaan. Bukti kongkret dari penjelasan alinea ini adalah tetap saja ada vonis mati dalam berbagai kasus di Indonesia.

Sebagai bagian dari upaya menghormati hukum, mungkin keputusan majelis hakim "bisa diterima". Namun, dalam kerangka yang lebih lebar, jelas sekali, hukuman mati harus ditolak. Setidaknya, bobroknya sistem hukum di Indonesia bisa dijadikan salah satu alasan. Bukan tidak mungkin, keputusan yang dihasilkan dari sistem hukum yang bobrok, akan jauh dari rasa keadilan. Bisakah kita meyakini vonis hukuman mati di Indonesia benar-benar vonis yang adil?

Bila salah satu alasan pelaksanaan hukuman mati adalah "efek jera", hal itu jelas tidak terbukti. Tidak ada korelasi antara pelaksanaan hukuman mati dengan menurunnya angka kejahatan. Sialnya, hal itu ada di semua kasus yang selama ini dianggap "pantas" diganjar dengan hukuman mati. Mulai kasus pembunuhan, narkotika hingga terorisme. Bahkan, hukuman mati kepada pelaku terorisme, disebut-sebut menstimulus munculnya teroris-teroris baru.

Belum lagi pandangan diskriminasi hukuman mati. Selama ini, hukuman mati tidak pernah "menyentuh" pelaku kejahatan kerah putih. Seperti korupsi, misalnya. Padahal, kejahatan jenis ini lebih memiliki efek lebih keji kepada masyarakat dan negara. Karena berbagai hal itu, mengurangi angka kejahatan dengan perbaikan struktur kenegaraan banyak dipandang lebih pas ketimbang hukuman mati.

Lantas, apa yang harus dilakukan? Seperti halnya sikap 142 negara di dunia yang menghapus hukuman mati, Indonesia pun harus melakukan hal yang sama: Menghapus hukuman mati di Indonesia.

No comments:

Post a Comment