27 November 2009

Pengorbanan Ismail oleh Ibrahim itu,..

Iman D. Nugroho

Ketika Ibrahim memutuskan untuk merebahkan anaknya, Ismail. Kemudian mengambil parang untuk bersiap menyembelihnya. Tiba-tiba keajaiban datang. Ismail diganti dengan kambing. Totalitas dan kepatuhan yang terus terkenal di dalam sejarah.

Penggalan sejarah Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail yang dipercaya oleh Umat Islam sebagai awal dari sejarah Idul Adha itu memang luar biasa. Seorang nabi yang disebut sebagai Bapak Para Nabi itu secara implisit ingin menunjukkan betapa seorang manusia yang dikaruniai keikhlasan bersedia berkorban apa saja untuk Tuhannya. Bahkan, ketika diminta untuk untuk menyembelih anaknya pun, seorang Ibrahim bersedia melakukannya.

Sejenak, mari kita abaikan batasan religi yang beragam di muka bumi, lalu lihatlah kisah Ibrahim. Keteladanannya, sepertinya mampu diadopsi oleh orang dengan bendera religi apapun. Bahkan, oleh orang yang mengaku tidak memiliki Tuhan pun, semangat itu bisa diambil. Yakni, semangat untuk berkorban secara total untuk sesuatu yang kita yakini. Apapun itu!

Aku, yang sejak kecil dikenalkan agama Islam, mau tidak mau meyakini kisah Ibrahim sebagai sebuah kebenaran. Otomatis, setiap tahun, Aku pun memeriahkan Idul Adha. Meski di awalnya aku berpikir, Idul Adha berarti makan sate kambing, namun dalam perjalanan, Idul Adha sempat berarti ratusan ribu untuk membeli kambing. "Tahun ini, kita tidak berkorban, tidak ada uang." Well. pasang surut.

Kepatuhan kepada Tuhan cara Ibrahim memang berat. Jangankan mengorbankan anak yang kita cintai untuk apa yang kita yakini, dalam skala kecil, mengorbankan waktu untuk mengantri saja, bagi kita adalah sesuatu yang luar biasa berat. Atau, membangun kepatuhan mengumpulkan uang receh untuk memasukkannya kedalam kotak sumbangan panti asuhan yang tersebar hampir di tiap supermarket (biasanya di dekat kasir). Atau apapun hal kecil lain bertema pengorbanan.

Dalam skala yang lebih "heroik". Bersikukuh menjalani kehidupan yang kita anggap benar, tanpa mempedulikan negative impact dari masyarakat sekitar kita. Soal pemberantasan korupsi misalnya. Cukup tangguhkah kita mengatakan "tidak" kepada seorang calo yang bersedia dengan "ikhlas" menawarkan bantuan untuk mengurus SIM atau STNK? Dan secara total kita menjalani proses pembuatan SIM atau STNK yang panjang, berliku dan menguras peluh,..

Well, sekali lagi. Pasang surut. Aku sendiri merasa bisa mengatakan: Aku total bersedia berkorban untuk Tuhanku demi apa yang Aku yakini. Apalagi, tak jarang bisikan biadab tertiup ke benakku: Tuhan kok tidak berpihak pada orang-orang yang berkeyakinan ya,..

Hmm,..

No comments:

Post a Comment