26 February 2010

Up In The Air: Cerita tentang Kesepian dalam Keramaian

Jojo Raharjo

Kita ngomongin film lagi. Kali ini tentang “Up In The Air” film yang dibintangi aktor kawakan George Clooney dan meraih enam nominasi Oscar tahun ini. Film yang diputar di jaringan 21 dan XXI mulai 25 Februari ini Saya sendiri menyaksikan premiere film berdurasi 109 menit ini di Djakarta Theater sepekan lalu.

Namanya, Ryan Bingham yang diperankan George Clooney, memiliki riwayat pekerjaan unik karena 322 hari dalam setahun menghabiskan hidupnya di udara alias terus bepergian dari satu tempat ke tempat lain. Sebagai seorang eksekutif lajang, Ryan seperti hidup di antara awan, di atas kursi kelas bisnis pesawat, dan hotel mewah dan sesekali menyentuh bumi untuk memecat karyawan perusahaan orang lain.

Pilihan hidupnya adalah tidak menikah, tidak punya pacar tetap; tidak punya rumah, tidak punya komitmen apa pun dalam hidup kecuali terbang dari satu kota ke kota lain untuk memecat dan pergi.

Di antara perburuan menuju target ribuan kilometer di udara, Ryan bertemu dengan dua perempuan yang kemudian mengubah gaya hidup dan pilihannya. Satu bernama Alex (Vera Fermiga), sesama eksekutif dengan jadwal terbang tinggi yang kemudian menjadi teman dekatnya tanpa status, dan juga Natalie (Anna Kendrick), rekan kerjanya yang begitu muda namun memiliki posisi

Film ini disutradarai Sutradara Jason Reitman, yang namanya langsung melejit setelah film pertamanya, Juno. Jason Reitman mendapat pujian karena mengemas fakta menarik tentang bagian yang paling ditakuti manusia yakni hidup sendirian tanpa kepastian. Film ini memiliki pesan moral yang menarik untuk direnungkan.

Pertemuan Ryan dengan Alex membuat dia menyadari bahwa ternyata rasa keterikatan bukan sesuatu yang bisa dihalangi. Di sinilah dia menyadari betapa pentingnya arti rumah dan keluarga. Nah, saat Ryan memutuskan meninggalkan pekerjaannya sebagai sebuah pembicara seminar dan langsung terbang ke Chicago menemui Alex, ternyata dia baru tahu bahwa selingkuhannya itu sudah berkeluarga.

Dalam ulasan tentang film ini, Leila Chudori, penulis film di Majalah Tempo berpendapat, film Up in the Air adalah perjalanan seseorang yang selama ini mengira kakinya dijejakkan di udara. Tapi ternyata selama ini, dia tahu, rumah yang sesungguhnya adalah di bumi.

Selepas pemutaran film khusus untuk kalangan terbatas ini, saya berbincang dengan Anggara Diah Lusi, wartawati majalah Cita Cinta. Lusi memuji nilai nilai filosofi yang ditampilkan dalam Up In The Air. “Film ini bercerita bahwa sesuatu yang sudah kita dapat dan kita agung-agungkan ternyata bisa berbalik, dan kemudian kita melakukan kita melakukan hal yang berbeda dari sebelumnya. Dalam hal ini kalau kita membicarakan antara karir dan keluarga,” katanya.

Terus terang, Lusi mengaku ia bukan penggemar George Clooney. ”Tapi untuk film ini, aktingnya pas banget. Ia bisa dapat, terutama mimik-mimiknya saat kecewa atau adegan-adegan lain,” ungkapnya.

Lusi juga berpendapat, dalam skala berbeda, warga Jakarta atau kota kota besar lain di Indonesia dapat terjebak pada masalah serupa, sibuk di jalan untuk bekerja dan lupa berkeluarga. ”Jangan sampai hidup kita yang begitu sibuk dengan pekerjaan bisa seperti nasib Ryan Bingham. Untungnya, di Indonesia, masih ada nilai-nilai kekeluargaan tinggi. Masih ada teman atau kerabat yang menyentuh kekosongan dalam hidup ini,” katanya.

Film Up In The Air menyadarkan kita betapa karir, pekerjaan, penghasilan dan apapun pencapain lain, tidak lebih penting dari rumah dan keluarga yang kita miliki.

| republish | Please Send Email to: iddaily@yahoo.com |

22 February 2010

Panggung Bagi Komik Indonesia

Press Release

Selama seminggu penuh, dari tanggal 22 Februari hingga 28 Februari, akan dilangsungkan Festival Komik Indonesia di Pasar Festival, Kuningan Jakarta. Acara ini akan dibuka secara resmi pada tanggal 23 Februari 2010 pk 14.00 oleh Fabianus Koesoemadinata (pengamat komik) dan Gerdi Wiratakusuma (komikus senior, pencipta tokoh Gina) di panggung area foodcourt Pasar Festival.

Di Festival Komik Indonesia ini, kami akan menyajikan arena bagi komik-komik Indonesia untuk tampil dan menjadi tuan rumah di negaranya sendiri, tidak lagi hanya sekedar pemanis belaka, atau berada di pinggir panggung, tidak lagi tenggelam atau ditenggelamkan di dunia perkomikan.

Masyarakat Indonesia banyak yang belum mengenal sejarah bangsanya sendiri, atau budaya dan alamnya sendiri. Begitu pula dengan komik dari negerinya sendiri. Padahal banyak sekali komikus dan illustrator Indonesia yang sangat berbakat akan tetapi lebih dikenal di luar negeri ketimbang di Indonesia.

Festival Komik Indonesia hadir untuk memberi ruang dan waktu lebih banyak bagi komik-komik Indonesia untuk dapat dikenal, sekaligus sebagai wujud apresiasi kami terhadap komik Indonesia yang tidak pernah lelah berkarya di negerinya sendiri mulai dari Si buta dari Goa Hantu, Panji Tengkorak, Mahabrata, Bharatayuda, hingga generasi baru seperti Benny-Mice, Mat Jagung, Lotif, dan lain sebagainya. Semua akan mendapat tempat di acara ini. Bahkan Hans Jaladara, komikus Panji Tengkorak, secara khusus hadir dan membuka stand di acara ini!

Selain pameran dan diskon buku komik, berbagai acara akan ikut meramaikan festival ini seperti temu komikus, bagi-bagi mobile comic gratis, talkshow, lomba menggambar dan mewarnai, kuis dan games komik, juga dimeriahkan dengan tampilnya band-band lokal seperti Original, Plug n Play, The En7oy, Anak Mamih, dll.

Acara ini diselenggarakan oleh Komunitas Penerbit Komik Indonesia (KPKI) dengan didukung oleh Pasar Festival, Perpustakaan Departemen Pendidikan Nasional, Museum Bank Mandiri, Erlangga for Kids, dan oleh komunitas-komunitas komik di Indonesia . Juga ada dukungan media partner dari Animonster, Women Radio dan Global Radio.

Kini saatnya pesta besar komik Indonesia dimulai!

| republish | Please Send Email to: iddaily@yahoo.com |

20 February 2010

Lagu "Terima Kasih" Jamrud untuk Gus Dur

Iman D. Nugroho | Youtube



Grup musik Jamrud menyuguhkan lagu "Terima Kasih" -new version- untuk Almarhum KH. Abdurrahman Wahid atau Gus Dur yang meninggal dunia di penghujung tahun 2009 lalu. Dalam video klip lagu itu, Jamrud memasukkan penggalan-penggalan peristiwa hiruk pikuk meninggalnya Gus Dur di RSCM Jakarta.

| republish | Please Send Email to: iddaily@yahoo.com |

[ Book for Good ] Lasmi

Diana A.V. Sasa

Judul : Lasmi
Penulis : Nusya Kuswantin
Penerbit : Kaki Langit Kencana, Prenada Media Group
Cetakan : 1, November 2009
Tebal : viii+232hlm; 11,5 x 19 cm
ISBSN : 978-602-8556-19-4

Lasmi, perempuan desa itu membaca Di Bawah Bendera Revolusi-nya Bung Karno, Habis Gelap Terbitlah Terang-nya Kartini, juga novel-novel Pujangga Baru. Ia terpesona gagasan Bung Hatta tentang koperasi dan menyukai gagasan Bung Karno tentang negeri ini. Sutikno terpesona Lasmi pada aktivitasnya, pikirannya yang progresif, dan caranya berargumentasi. Meraka kemudian menjalani kehidupan sebagai dua orang berpikiran terbuka, progresif, maju dan membangun rumah tangga ideal a la aktivis pergerakan masa itu.


Lasmi adalah seorang pecinta buku. Ia merintis Kerukunan Belajar Bersama hingga memiliki semacam perpustakaan yang antara lain diisi dengan buku-buku hasil karya warga desa sendiri. Yang ditulis dengan tangan dan berisi tentang apapun. Mulai dari seluk beluk bercocok tanam, hingga dongeng pengantar tidur. Untuk anak-anak, ia dirikan TK Tunas. Disana ia mengajar dengan semangat perubahan paradigma warga desa sedari usia dini.

Sayang, novel ini miskin dialog. Sosok Lasmi tak tergambar melalui percakapan maliankan tuturan Sutikno. Akhirnya, pembaca seakan digiring untuk melihat dan berpendapat seperti kacamata Sutikno. Lasmi menurut Sutikno, bukan Lasmi menurut bacaan pembaca. Hingga di akhir novel pun, konflik batin Lasmi hanya tergambar dalam surat yang ditulisnya untuk Sutikno.

Sekira tahun 1963, ketika Presdien Soekarno sedang getol menyerukan permusuhan dengan Negara tetangga, Malaysia, Lasmi mengambil keputusan penting: Menggabungkan Taman Kanak-kanaknya ke dalam Yayasan Melati dan sebagai konsekuensinya, Lasmi resmi mejadi anggota Gerakan WanitaIndonesia (Gerwani).

Di depan Taman Kanak-kanaknya kini ada tiga papan nama berjajar: TK Melati, Gerwani, dan Barisan Tani Indonesia (BTI). Aktivitas Lasmi pun berkembang. Ia tak hanya mengajar anak-anak, tapi mulai menggalang petani dan warga kampung untuk bergabung dalam BTI dan Gerwani. Ia membuat terobosan-terobosan pemikiran diantara masalah-masalah warga. Ia membuka ruang-ruang dialog antar warga. Ia mengikuti pelatihan dan pengkaderan. Hingga ia memiliki 5 anggota andalan yang suka membaca, bisa menulis, mampu menyusun surat, mengetik, berani bicara, dan tak segan menjadi ujung tombak; Sarip, Darsiyem, Jum, Bakir, dan Kamidi.

Lasmi berhasil. Warga tersadar akan pentingnya organisasi buruh tani dan petani penggarap. Mereka ingin memperoleh bagi hasil secara dil dengan pemilik tanah. Dengan payung BTI, warga bertekad melakukan demonstrasi melawan kekuasaan 7 setan desa: tuan tanah penghisap, tengkulak jahat, tukang ijon, lintah darat, kapitalis birokrat alias kabir, bandit desa, dan penguasa jahat.

Dan hari pertama Oktober 1965 pun tiba. Tersiar berita di radio bahwa Pasukan cakrabirawa menangkap sejumlah jenderal. Keesokan harinya tersiar lagi kabar bahwa gerakan penculikan jenderal-jenderal adalah upaya kodeta yang dipelopori oleh Partai Komunis Indonesia (PKI) dan ormas-ormasnya. Berita itu mneyebutkan bahwa pembunuhan terhadap para jenderal dilakukan di daerah Lubang Buaya oleh Pemuda Rakyat dan Gerwani....Next click here.

| republish | Please Send Email to: iddaily@yahoo.com |

18 February 2010

Percy Jackson, Dongeng Fiksi Penuh Makna

Jojo Raharjo

Mari membedah film ”Percy Jackson and The Olympians: The Lightning Thief”, yang saat ini masih diputar di bioskop-bioskop jaringan 21 dan XXI.

Film Percy Jackson & the Olympians: The Lightning Thief bermula saat Percy Jackson yang berusia dua belas tahun mengetahui bahwa dirinya adalah anak blasteran antara manusia dan Dewa Poseidon. Dalam mitologi Yunani, Poseidon dikenal sebagai dewa pengusa laut yang memiliki senjata berupa triden dan dapat menyebabkan banjir dan gempa bumi.

Suatu saat, diawali dari kunjungannya bersama teman-teman sekolah di sebuah museum Yunani Kuno di Amerika, hidup Percy Jackson berubah. Saat tahu kedok siapa dirinya sebenarnya, Percy juga dikejar tuduhan sebagai tersangka pelaku pencuri petir milik Zeus. Sejak itulah, hidup Percy dan ibunya menjadi terancam. Akhirnya, ia harus melewati petualangan di tengah Amerika nan modern bersama tiga temannya untuk memburu pelaku pencurian petir Zeus yang sebenarnya, selain untuk menyelamatkan ibunya dan mencegah perkelahian antar dewa.

Film ini disutradarai Chris Columbus, pria di balik tiga film pertama Harry Potter. Beberapa bintang yang mendukung film ini antara lain Logan Lerman sebagai Percy, Brandon Jackson sebagai Grover dan Alexandra Daddario sebagai Annabeth.

Secara khusus, saya amati film ini tampil dengan kekuatan konten dan teknis sangat luar biasa. Di luar persoalan mitologi Yunani yang bercerita tentang kehidupan para dewa, sebenarnya film ini membuka cakrawala kita tentang adanya kehidupan di luar dunia yang biasa kita ketahui. Bahwa di alam semesta ini, ada sosok luar biasa yang mengendalikan seluruh kehidupan manusia dan fenomena alamnya. Selain itu, film Percy Jackson mengajarkan kasih yang begitu besar antara anak dan ibunya.

Maka, setelah pemutaran perdana untuk kalangan terbatas di Djakarta Theater XXI, saya berbincang dengan pengamat film Noorca Masardi. Noorca memuji film ini yang menampilkan perpaduan antara dunia mistik dan realistis. “Ini film fantastik dan sangat realistik, paduan antara mitologi dan kehidupan modern,” kata Noorca. Ia berpendapat, film ini memiliki kesamaan dengan Harry Potter. “Bedanya, Harry Potter hidup di dunia dongeng dengan tongkat sihir dan daya magisnya, sedangkan Percy Jackson lebih menonjolkan petualangan dan kemampuan olah fisik,” katanya.

Noorca Masardi juga menggarisbawahi teknologi gambar maupun efek dalam film Percy Jackson yang seolah membawa pemirsa langsung ke adegan riil pada film itu. “Teknologi komputer dan spesial efeknya sangat canggih dan luar biasa, seperti menjadi bagian dari keseharian. Bagaimana memanipulasi air, udara dan api, dan sebagianya, benar-benar realistis dan seperti yang kita khayalkan tentang adanya dunia di luar kenyataan,” katanya.

Itulah, kisah tentang Percy Jackson dan Pencuri Petir, film fiksi penuh makna yang di Amerika ditayangkan mulai President’s Day, yakni hari libur di Senin Ketiga Bulan Februari.

| republish | Please Send Email to: iddaily@yahoo.com |

11 February 2010

Festival Komik cergamboree 2010

Press Release

Komik bagi Prancis merupakan bagaian dari seni yang patut diperhitungkan. Selain berbagai festival yang diadakan di sejumlah kota di sana, terdapat Festival Angoulême, sebuah festival komik berskala internasional yang digelar tiap tahun. Untuk menularkan semangat festival tersebut kepada publik, para aktor dan pegiat komik di Indonesia, Surabaya khususnya, CCCL memasukkan “Cergamboree” sebagai agenda tahunan.

Dengan menggandeng peserta studio dan seniman komik dari Surabaya dan berbagai kota di Indonesia, dengan tamu seniman komik dari Prancis. Kesuksesan cergamboree di Surabaya pada tahun 2009, yang dikembangkan dari acara Comic Show Off! di tahun 2008, menunjukkan minat masyarakat Surabaya dan sekitarnya yang semakin meningkat terhadap komik buatan dalam negeri.

Pameran-Forum Komik “Cergamboree” ke-2 yang digelar pada 18 - 20 Februari 2010 di CCCL kembali bekerjasama dengan dengan perpustakaan C2O dan studio-studio independen dari Surabaya bersatu membentuk Comic Artists Society of Surabaya (CASS) untuk penyelenggaraannya.

Pada ajang ini, kami mengundang sejumlah seniman komik dan studio dari Surabaya dan berbagai kota, serta peserta tamu asal studio La boîte à Bulles Prancis, Clément Baloup, untuk berbagi pengalaman dan bertukar pendapat dengan seniman Indonesia dan publik Surabaya. Ia juga akan membuat catatan perjalanannya tentang Indonesia yang nantinya akan diterbitkan, seperti halnya Sylvain-Moizie, koleganya yang tahun lalu ikut pada ajang ini di Surabaya.


Salah satu tujuan “Cergamboree” adalah untuk memberi dukungan, agar komik buatan lokal/independan yang memiliki ciri khas masing-masing dan tak kalah dengan komik dari luar negeri, makin dikenal dan diterima oleh masyarakat negeri sendiri. Selain itu, kami ingin dapat membuka jaringan dan pertukaran wawasan antara Indonesia dengan Prancis melalui kehadiran tamu seniman asal Prancis tersebut.

Program “Cergamboree” antara lain: pameran, jumpa artis komik, workshop, peluncuran buku, talkshow, pemutaran film, permainan seputar komik. Semua kegiatan festival tidak dipungut biaya.


Program ‘Cergamboree’

Selasa, 16 Februari – Jurusan Diskomvis Universitas Ciputra
14.00-16.00 Roadshow/Workshop bersama Clément Baloup

Rabu, 17 Februari – CCCL
14.00 Jumpa pers “Cergamboree”

Kamis, 18 Februari - CCCL
14.00-16.00 Workshop Komik I bersama Clément Baloup
18.30 Pembukaan (pameran-forum) & diskusi/perkenalan peserta

Jumat, 19 Februari - CCCL
14.00-16.00 Workhop Komik II bersama Clément Baloup
18.00-20.00 Pemutaran film-film animasi (di antaranya: Grammar Suroboyo ep. 1, ep. 2, ep. 3 dan ep. 3.5
karya M. Sholikin (Gathotkaca Studio)

Sabtu, 20 Februari - CCCL
14.00 Reli Presentasi Komik bersama sejumlah studio/seniman peserta festival
17.00 Penutupan: Forum Komik “Keberagaman Komik di Indonesia dan di Prancis”

Selama festival berlangsung : Pameran karya, meet ‘n greet seniman komik, stand-stand peserta dll

06 February 2010

Perahu Pekat Malam

Syarif Wadja Bae

Jangan sampai sayapmu lunglai
Walau badai menggiring duri dengan banyak tangkai
Bacalah wajah senja yang mampir bersama setiap tetes sejuk diujung harimu.
Dan akan terpampang peta saat kelopakmu terbuka
untuk memulai perjalanan dalam pekat malam.

Biarkan mereka bicara tentang nilai-nilai palsu dengan congkak melebihi kehendak Tuhan yang selalu hadir di setiap detak jantung serta tidak peduli pada keringat Ibu.

Kerap kali ada benalu yang menari saat bunga-bunga di langit menjadi kelabu menyaksikan manusia-manusia dimakan roda-roda.
Dan fajar tak lagi mampu pancarkan puisi pelangi diseparuh tubuh laut yang mulai keruh akibat goresan luka yang menganga sebelum sampai ke muara.

Jangan kau diam melihat laju waktu dan terlena di atas angan-angannya.
Lihatlah dengan mata yang jernih disepanjang perjalanan pekat malam
karena ada banyak corak makna disana.

Ketika hati, rasa, cinta, dan semua yang berkecamuk didalam dada ini berdebar bagai gendang yang ditabuh dengan kencang, maka kita harus terus maju.
merengkuh dayung menuju terang
Walau yang kita tumpangi cuma perahu sederhana

Awal Februari 2010

*puisi lain, klik di sini.

03 February 2010

Imaginary Friends di CCCL Surabaya

Press Release

Setelah keikutsertaannya pada pameran bersama « Jouwe, One Just 1 » pada November 2008 lalu, CCCL Surabaya kembali mengundang Eunice Nuh, alias Pinkgirlgowild untuk berpameran tunggal. Dalam pameran itu, akan tampak adanya pengaruh dunia psychédelic yang memperkaya karya-karyanya.

Inspirasi dari Roal Dahl, manga Jepang, atau Tim Burton, jamur-jamur dengan ekspresi manusiawi à la Murakami, dan karakter dari bahan resin berwarna mencolok dengan nama-nama lucu: Suzuka, Notorious Ace, Happy Mushi dan Piyiko. CCCL mengundang untuk menjelajahi dunia seorang seniman muda yang kreasi artistiknya benar-benar bagaikan butir-butir embun, segar dan penuh warna !

”Setiap karakter memiliki kisah dan latar belakang masing-masing. Bahkan, sebelum karakter tersebut dibuat. Sang seniman menempatkan dirinya ke dalam karakter dan menjadikan mereka sebagai teman seumur hidup. Pameran « Imaginary friends » merupakan perjalanan dari sejumlah karakter. Bersiaplah juga untuk melacak kisah mereka dan mengikuti proses pembuatannya, melalui tampilan sketsa dari karakter yang dipamerkan” -pinkgirlgowild

Pada tahun 2008, Eunice ikut serta dalam pameran “The 400ml exhibition” di Maison des Métallos, Paris. Selain di Surabaya, pinkgirlgowild juga berpameran tunggal di Jakarta (« Love Birds », 1 Feb – 1 Maret 2010) dan Bandung (« Happy Mushi », 17-24 Oktober 2009)

Pinkgirlgowild

Lahir di Jakarta dengan nama asli Eunice Nuh Tantero, dan mulai berkarya sejak 2005 dengan dibekali predikat lulusan jurusan Desain Komunikasi Visual dari Universitas Trisakti, Fakultas Seni Rupa & Desain. Ia adalah seseorang yang sangat menyukai: unsur dekoratif serta pola baik tradisional ataupun modern (dari wayang hingga pola retro), cerita anak - anak (dari dongeng klasik hingga cerita anak modern), musik (dari keroncong hingga rock), menggambar (diajarkan oleh sang ayah untuk menggambar tokoh kartun sejak usia 7 tahun), unsur itulah yang mempengaruhi karya - karyanya hingga kini.

Semangat untuk selalu mencoba sesuatu yang baru dan bereksperimen, merupakan sebuah hal yang membuatnya maju terus, dan tidak takut untuk menyajikan karyanya di ruang alternatif seperti butik, toko mainan, toko baju, mall, dan lain - lain. Tidak semua karyanya selalu mengandung karakter. Kecintaannya terhadap pola, motif, dan unsur dekoratif, yang membuatnya ingin berkarya membuat pola - pola unik yang menerjemahkan kembali sesuai persepsinya mengenai motif - motif tradisional Indonesia.

Pameran ini menyajikan karakter yang dirasakan oleh seniman bahwa karakter melalui proses & cerita jelas bukan sekedar transisi isengan, serta pernah dipamerkan sebelumnya, walaupun sebenarnya banyak pula karya yang dihasilkan pada masa transisi malah diboyong ke luar negeri.

01 February 2010

Lagu Gigi yang Dipakai Tanpa Izin Itu

Iman D. Nugroho | Youtube | 4shared.com



Grup band Gigi mencak-mencak. Lagu mereka berjudul Ya Ya Ya dibuat soundtrack film berjudul Toilet 105. Bagaimana bentuk lagu itu? Mungkin bisa melihat di file Youtube yang ada di atas, atau meng-klik untuk mendownload di sini: download. Film Toilet 105, merupakan film bergenre horor yang mengambil setting Sekolah Menengah Atas (SMA). Jelasnya, silahkan klik film di bawah ini.



26 January 2010

Bekas Rias Tertoreh di Solo, Jawa Tengah

Press Release

Monolog ‘Bekas Rias di Panggung’ Tour on Solo, menampilkan empat aktor sepuh berusia mendekati 60 tahun ke atas. Pementasannya akan berlangsung di Teater Arena, Taman Budaya Jawa Tengah, Jl. Ir. Sutami 57 Surakarta, Kamis malam, 28 Januari 2010, mulai pukul 19.00.

Keempat aktor yang akan bermonolog ini, yaitu Multato (60 tahun), Mastohir (65), Fatimah (60) dan Suliswanto (58), masing-masing berasal dari basic seni pertunjukan teater yang berbeda-beda. Multato, misalnya, mendalami teater modern. Dia aktor kawakan dari kelompok Sanggar Teater Nuansa.

Sementara itu, Mastohir, Fatimah dan Suliswanto adalah aktor yang berangkat dari seni teater tradisi. Mastohir adalah anggota Kelompok Srimulat, pernah menjadi Sutradara di kelompok yang membesarkan nama Tarzan, Basuki, Timbul, Asmuni, dan lain sebagainya ini, di tahun 1980 hingga pertengahan 1990-an. Sedangkan Suliswanto adalah pemain Ludruk dan pernah menjadi Sutradara Ludruk RRI selama dua dasawarsa. Sementara itu, Fatimah, di masa mudanya adalah aktris Ketoprak.

Di masanya, mereka adalah aktor yang pernah menjadi kebanggaan Kota Surabaya. Hingga kini, boleh dibilang, mereka adalah orang-orang yang tampaknya sudah mantap memilih jalan hidup lewat teater. Terbukti, meski sudah lama tidak memperoleh ruang tampil, keempatnya masih selalu hadir di setiap peristiwa kebudayaan, khususnya dalam even-even pementasan teater, baik di Surabaya maupun di luar kota, walau sekadar hanya menjadi penonton.

Untuk pentas monolog ‘Bekas Rias di Panggung, 28 Januari di Surakarta nanti, mereka telah menyiapkan perannya masing-masing. Fatimah akan mementaskan lakon 'Sritanjung', sebuah kisah legenda dari Banyuwangi. Mastohir akan menampilkan lakon ‘Jo Kasmo’ yang diilhami naskah Nyanyian Angsa, karya Anton Chekov. Multato akan memainkan lakon ‘Maling’, naskah karya Yulius Siramanual. Sedangkan Suliswanto akan
memungkasinya dengan lakon karyanya sendiri yang berjudul 'Mak Satona’.

Mereka layak diketengahkan kembali dengan format monolog seraya menakar kekuatannya berakting. Karena itu kami sangat mengharap kehadiran Anda untuk menyaksikannya.


Ayo Kenali Komik Indonesia!

Press Release

Persoalan mandeknya perkembangan komik (cergam) Indonesia tidak terletak pada minimnya produksi atau kualitas komik lokal. Salah satu penyebab kemandekan tersebut adalah terbatasnya pengenalan dan pemasaran tokoh-tokoh komik lokal Indonesia kepada masyarakat.

Di beberapa tempat, kita bisa dengan mudah melihat tokoh komik dari luar negeri. Boneka mereka dijadikan bonus di beberapa restoran fastfood. Kaos dengan gambar Doraemon, atau Spiderman dapat dengan mudah kita temukan dimana-mana. Kegiatan-kegiatan terkait komik luar juga banyak diselenggarakan. Seperti baru-baru ini terdapat X-Men live action di Dufan, dan juga acara cosplay tokoh-tokoh komik asing di berbagai acara. Semua itu diminati karena masyarakat telah mengenal tokoh-tokoh komik luar negeri, khususnya Jepang dan Amerika.

Sedangkan tokoh-tokoh komik Indonesia, tidak banyak masyarakat yang mengenalnya. Tokoh-tokoh seperti Gundala, Si Buta dari Goa Hantu, dan kawan-kawannya sulit dicari batang hidungnya. Mengenal saja tidak, tentu sulit berharap mereka akan suka komik Indonesia.

Padahal sejak dulu Indonesia sesungguhnya terus memproduksi karya-karya komik yang berkualitas. Sayangnya, anak sekarang banyak yang tidak tahu Gundala, si Jampang, dan tidak banyak dari mereka tahu tentang tokoh komik terbaru seperti Jagoan Comic, atau Gibug dan Oncom.

Oleh karena itu, pengenalan komik Indonesia kepada publik perlu terus diupayakan. Kami berusaha mengakomodir kebutuhan tersebut. Kami bermaksud mengajak masyarakat untuk mengenal komik-komik Indonesia yang tenggelam diantara komik-komik asing. Agar masyarakat menyadari kebangkitan komik Indonesia!

Melanjutkan kesuksesan Pameran Cergam 2009 lalu, sekaligus menyambut perayaan Festival Komik Indonesia di bulan Februari nanti, dengan bangga kembali kami menyelenggarakan Pameran Cergam 2010: Komik Indonesia Bangkit II. Pameran kali ini diadakan di Museum Bank Mandiri pada tanggal 26-31 Januari 2010. Kali ini kami menampilkan lebih banyak materi pameran dibanding sebelumnya. Selain itu kami juga mengadakan diskon buku komik dan pemutaran film yang diangkat dari tokoh-tokoh komik seperti Gundala, Si Jampang, dll.

Pameran Cergam 2010: Komik Indonesia Bangkit II merupakan salah satu rangkaian acara menuju Festival Komik Indonesia yang akan diselenggarakan pada 22-28 Februari 2010 di Pasar Festival (Kuningan, Jakarta). Festival Komik Indonesia akan menjadi ajang perayaan komik dengan tema “Berani Ngomik!”. Dalam Festival ini kami mengajak masyarakat untuk berani berkarya melalui komik dan turut dalam barisan membangkitkan perkomikan Indonesia. Festival Komik Indonesia akan diramaikan dengan acara bursa dan pameran komik, talk show, lomba-lomba, temu penggemar dan book signing, peluncuran komik, putar film dan hiburan.

Menumbuhkan Semangat Film di Purbalingga

Iman D. Nugroho

Festival Film South to South 2010 “dikejutkan” dengan hadirnya film berjudul Pawang Air karya sutradara asal Purbalingga, Bowo Leksono. Film berdurasi 18 menit 09 detik itu berhasil memperoleh penghargaan khusus dalam event dua tahunan itu. Film ini dianggap memiliki nilai yang tidak dimiliki film lain yang berkompetisi dalam event itu: Special Mention.

Dalam dunia film Indonesia, nama Bowo Leksono mungkin bagaikan jarum di tumpukan jerami. Hampir tidak terlihat. Apalagi, sutradara berusia 33 tahun ini memang menekuni film independen, yang sulit membuatnya muncul ke permukaan. “Entahlah, dunia film independen sepertinya lebih pas untuk saya, karena itu saya memilih jenis film ini,” kata Bowo Leksono pada The Jakarta Post, belum lama ini.

Meski demikian, nama Bowo Leksono di dunia film independen cukup terkenal. Film besutannya berjudul Peronika, hampir pasti diputar di setiap festival film independen yang digelar di Indonesia. Film yang bercerita tentang gagap teknologi canggih itu juga dianggap sebagai film yang bisa dijadikan contoh film independen berkualitas, meski dikerjakan dengan biaya dan peralatan yang sangat sederhana. “Haha,..memang membanggakan bila bicara soal Peronika,” kenangnya.

Peronika bercerita tentang sebuah keluarga kecil yang terlilit konflik karena handphone baru milik sang anak laki-laki di keluarga itu. Saat orang tua sang anak coba menelepon handphone, tapi justru dijawab oleh Veronica, yang tak lain merupakan layanan otomatis milik operator kartu telepon yang dipakai sang anak. Karena pengetahuan yang terbatas, sang bapak merasa anaknya berselingkuh dengan perempuan bernama Veronica (dalam bahasa Jawa disebut Peronika). Konflik pun muncul. Kelucuan pun terjadi. “Banyak orang suka dengan tema sederhana ini,” kenang Bowo.

Sejarah perkenalan Bowo di dunia film berawal dari seringnya laki-laki pendiam ini dengan komunitas film di tahun 2002. Bowo yang ketika itu bekerja sebagai jurnalis di sebuah Koran harian di Jakarta ini tertarik dengan dunia film. Apalagi, Bowo sempat menekuni dunia teater sejak dirinya menjadi siswa Sekolah Menengah Atas (SMA). Ketertarikan itu semakin menjadi-jadi, ketika Bowo memiliki kesempatan kembali daerah asalnya di Purbalingga, Jawa Tengah. “Saya melihat, banyak hal di Purbalingga yang bisa difilmkan,” kata Bowo.

Bowo pun memutuskan untuk berhenti dari profesinya sebagai jurnalis dan menjadi filmmaker. Berbekal kamera analog S-VHS, Bowo memulai memproduksi film pertamanya berjudul Orang Buta dan Penuntunnya. Film pendek yang diilhami novel karta Ahmad Jauhari ini memang bukan karya terbaiknya. Hanya saja, film ini seakan menjadi kunci dari terbukanya kotak pandoro dunia film yang sangat menarik.

“Di film itulah saya mulai belajar bagaimana film yang ternyata tidak hanya urusan gambar, melainkan juga persoalan sound system, dan editing yang serius,” kenangnya. Beruntung, pertemanan Bowo dengan komunitas film maker independen asal Yogjakarta membuatnya bisa menggali lebih banyak tentang film. Semua “ilmu” otodidak yang didapatkannya itu diwujudkan dalam Peronika. “Lumayan juga, Peronika muncul sebagai film pembuka di festival film pendek bergengsi, Confident,” kenang lulusan Universitas Diponegoro, Semarang Jawa Tengah ini.

Semangat Bowo pun semakin terpelecut. Kali ini, Bowo berencana melebarkan pengetahuan dunia filmnya kepada komunitas anak muda Purbalingga. Dengan biaya sendiri, plus membawa dua filmnya, Bowo melakukan road show ke beberapa sekolah untuk berdialog dengan siswa di sekolah tersebut. “Tujuan saya Cuma satu, ingin menunjukkan kepada anak-anak muda itu tentang mudahnya membuat film dan hasilnya jauh lebih bagus dari pada sinetron di televisi,” katanya.

Langkah itu membuahkan hasil saat beberapa anak SMU di Purbalingga bersepakat untuk membuat komunitas film bernama Cinema Lovers Community atau CLC. Komunitas yang dipimin oleh Bowo ini memiliki satu “agama”: membuat film independen sebanyak-banyaknya. “Saya terpesona dengan semangat anak muda di CLC, sudah tidak terhitung lagi berapa film independen yang sudah dihasilkan, dan beberapa diantaranya menyabet juara dalam festival film,” katanya. Sekitar Midnight, film garapan CLC memebangkan Tawuran Film Nasional, Confident di Surabaya.

Antusiasme itu juga yang membuat CLC memberanikan diri untuk membuka acara nonton bersama di Gedung Pemerintah Kabupaten Purbalingga pada Maret 2006. Acara yang disebut Bioskop Kita itu pun memperoleh sambutan baik dari publik Purbalingga. “Masyarakat yang sudah bosan dengan film mainstream menonton Bioskop Kita yang diputar di ruang tamu gedung Pemkab,” kenanya. Sayang, semua itu hanya berjalan selama tiga bulan. Tanpa alasan yang jelas, Pemkab Purbalingga menghentikan Bioskop Kita. “Kami sempat demo untuk menolak penutupan, tapi kita orang kecil, tetap kalah,” katanya.

Namun, seperti sebuah film, show must go on. CLC tetap berjalan meski tidak ada lagi tempat untuk memutas film karyanya. “Saya hanya meyakinkan kawan-kawan CLC, untuk tetap bersemangat,” kenangnya. Dewi keberuntungan berpihak padanya. Dengan biaya sendiri, CLC mengcreate sebuah festival film local. Festival bertajuk Purbalingga Film Festival pada tahun 2007 yang juga disertai dengan kompetisi local. “Sekaligus untuk mengasah kemampuang film anggota CLC,” katanya merendah. Dan hasilnya pun tidak mengecewakan Bowo Leksono menyabet penghargaan khusus di South to South Film Festival kali ini.

25 January 2010

Teringat Sebuah Nama

Agung Purwantara

Teringat sebuah nama
Yang kau perkenalkan di masa purba
Kau sendirilah yang menyandangnya

Aku hanya terdiam
Gendang telinga dihantam kalam

Tiada rasa yang menyakitkan
Juga suka entah kemana

Aku terdiam
Tertegun pada nyanyi kesunyian

Ketika kau pahatkan tulisan yang bersuara
Lisanku diam hatiku berdentang

Lagukan penyaksian
Nama nama yang kau tunjukkan kemudian

Kau perkenalkan dirimu
Pada kebaruan yang kau lekatkan

Aku tertegun pada keindahan
Yang kau lukiskan

Ini yang Ku berikan kepada Adam
Lembaran yang kau nanti akan paham...


Surabaya, 21 Januari 2010

23 January 2010

South to South (SToS) Film Festival 2010 Resmi Dibuka

Iman D. Nugroho

South to South (SToS) Film Festival 2010, dibuka Jumat (22/1/2010) malam ini di Goethe Haus, Jakarta. Dalam acara itu diputar film pembuka Anak-Anak Lumpur dan The Age of Stupid. SToS kali ini terkumpul 69 judul film dari berbagai daerah antara lain Jakarta, Yogyakarta, Lombok, Medan, Jawa Tengah, Bali, dan Samarinda. Dari 69 judul film yang masuk kepada panitia, terpilih enam judul film yang memenuhi kriteria.


21 January 2010

“Aleksander Kudajczyk, Memainkan Karya Chopin”

Press Release

Tradisi memperingati Komponis Frédéric Chopin terus dilakukan di Prancis. Untuk tahun ini, peringatan itu dilakukan pula di Indonesia dengan Classicorp Indonesia dengan mengundang pianis Aleksander Kudajczyck sebagai bentuk penghormatan kepada komposer Polandia dari era Romantik yang telah memilih Prancis sebagai tempatnya berkreasi dan mengasingkan diri tersebut. Bertempat di CCCL Surabaya, resital piano yang menampilkan pianis muda asal Polandia tersebut akan digelar pada Senin, 25 Januari 2010, pk. 19.00.

Aleksander Kudajczyk lahir di Ruda Slaska, Polandia pada 1978. Ayahnya yang seorang guru musik memperkenalkannya pada piano untuk pertama kali. Setelah itu dia melanjutkan studinya di sejumlah sekolah musik terkenal seperti Konservatori Katowice, tempatnya menimba ilmu bersama Tadeusz Chmielewski, Andrej Jasinski et Zbiegniew Raubo.

Aleksander meraih penghargaan Josef Hoffmann di Naleczow dan turut serta pada sejumlah kompetisi bertaraf internasional di Italia dan di Jerman, terutama pada kompetisi Franz Liszt di Utrecht. Selain itu dia juga mengadakan konser di sejumlah negara Eropa dan Amerika Serikat. Kementrian Seni dan Budaya Polandia memilihnya untuk mewakili Chopin, komponis paling terkenal dari negaranya dan mengadakan serangkaian konser di Australia dan Indonesia untuk merayakan tahun Chopin 2010.

Siapa Chopin?


Frédéric Chopin (baca : frédérik shopang) Lahir pada 1 Maret 1810, Frédéric Chopin menjejakkan kakinya di Prancis pada 1831 dan tinggal di sana sampai wafat pada 1849. Di sana ia dikenal sebagai seorang seniman yang istimewa. Hector Berlioz menggambarkannya sebagai sebuah bakat yang beda dari yang lain.

Dan Fransz Liszt berkata, kita harus mencari dalam diri Chopin apa yang disebut dengan « esensi kemahiran yang luar biasa ». Meskipun terkenal dan begitu disanjung, tetapi ia lebih menyukai tempat-tempat dengan publik berjumlah terbatas dan pertemuan-pertemuan yang akrab, daripada mengadakan konser di gedung pertunjukan kota Paris yang penuh cahaya. Di sanalah ia dapat menikmati dan menghargai kehadiran teman-teman terdekatnya, para imigran Polandia atau para seniman era Romantik. Chopin dimakamkan di pemakaman Père Lachaise, sementara jantungnya disimpan di gereja Sainte-Croix Warsawa.

[ Atmosphere ] Lembayung Sore

Syarif Wadja Bae

Lembayung senja sore tadi dibungkus mendung dan gerimis.
Pulau-pulau menangis meratapi pancaroba tak berujung
seperti diselimuti nuansa mistis.
Pengembara kehilangan jejak dan bingung menghitung persimpangan karena kosong yang tragis.

Lagu Ibu dinyanyikan dengan kelopak hati yang rusak
bersama hidungmu yang terus membengkak
saat gejolak rindu akan cita-cita pudar ditelan ombak.
kau paksa semua semakin terkoyak dalam gelombang kepalsuan yang membuat muak.

aku akui, Sungguh dahsyat pengakuan iblis !
ketimbang kau yang mengaku malaikat ksatria tapi jiwamu bencong.
kau takut pada badai dan teriakan generasi.
kau lebih pantas jadi keong yang merangkak dikawasan peternakan gajah

Januari 2010

*puisi lain, klik Atmosphere.

16 January 2010

Negeri Kuda Ala Jeneponto

Salma Indria Rahman

Hamparan perbukitan kering dengan pohon lontar dan kuda yang berkeliaran bebas menjadi pemandangan khas saat memasuki kawasan pesisir selatan di salah satu Kabupaten Sulawesi Selatan.

Inilah Jeneponto, negeri yang terkenal dengan kuda-kuda handal sejak dahulu dengan deretan rumah panggung khas Sulawesi. Di sini, kuda memang tak sekedar alat transportasi pedesaan, namun sudah menjadi bagian keseharian masyarakat, gaya hidup, juga simbol status seseorang di masyarakat.

Tak hanya itu, dalam setiap perayaan pesta dan syukuran pun selalu tersedia menu istimewa, yaitu gantala jarang atau yang disingkat warga sebagai ganja. Biasanya dalam pesta perkawinan, seorang lelaki akan memberikan seekor kuda kepada mempelai perempuan sebagai makanan saat pesta nanti. Di pesta itulah ganja selalu tersedia dan menjadi makanan favorit yang paling ditunggu oleh para tetamu.

Dari teknis pembuatannya tak ada yang istimewa, karena ganja ini hanya rebusan daging dengan bumbu tanpa ada tambahan kentang serupa sop, namun tanpa potongan kentang atau sayur seperti sop yang ada di pulau Jawa. Meski demikian rasanya khas karena daging kuda yang berserat. Tak heran saat pembuatannya membutuhkan rebusan yang lama agar daging terasa empuk.

Berkunjung ke Jeneponto pun tak lengkap rasanya jika tak mencicipi coto yang terkenal dengan bumbu santan yang pekat. Namun coto yang dihidangkan bukanlah daging sapi, tapi lagi lagi daging kuda. Jadi kalau berkunjung ke Makasar, singgahlah ke Jeneponto dan temukan sensasi kuda disana.

[ Atmosphere ] Abu-abu

Syarief Wadja Bae

Pagi turun lagi disini
saat Kelelawar mulai ngantuk.
Corak hujan sulit terbaca dalam bulan tak jelas suara dan cerita.

Ada Manusia menjadi truk gandeng berbentuk reptil
menabrak Pejalan kaki, menggilas dengan bengis dan sadis
tanpa peduli isak tangis.

Pengembara yang mencatat raut senja
terdiam bisu didepan asbak
karena senyum senja juga tak terbaca
dan abu-abu serupa isi asbak.

Bunyi lonceng semakin keras
tanda mereka yang mati dalam hidup
menjelma tikus rakus dihadapan Tuhan yang selalu dijadikan batu pelarian.

Dan orang-orang suci membuka jalan
menuju jawaban teka-teki kepada Generasi yang tak mengerti basa-basi
tentang Negeri yang hatinya terbakar api.

Disini, di Pulau ini, sekarang dibuka pendaftaran Relawan yang punya hati untuk menghapus air mata Ibu yang suci dan membuatnya tersenyum kembali

Surabaya, pertengahan Januari 2010

*puisi di Atmosphere klik di sini.


Avatar dan Pesan Lingkungan di Dalamnya

Mario Manuhutu

”Wow!” Lagi-lagi James Cameron membuktikan kerja kerasnya. Cameron memulai penciptaan film “Avatar” sejak 1994. Sutradara peraih Academy Award pada 1997 lewat film epik “Titanic”, kembali membuat sejarah baru perfilman Hollywood. Film “Avatar” yang berkisah tentang bekas Marinir Amerika, Jake Sully (diperankan Sam Worthington) mampu memperoleh pendapatan tertinggi di Amerika dan seluruh dunia. Melampaui pendapatan film "Lord of the Rings: Return of the King" dengan 1,12 miliar dolar Amerika dan “Pirates of the Caribbean: Dead Man’s Chest" dengan 1,7 miliar dolar Amerika.

Bahkan “Avatar” meraih penghargaan Best Picture dari New York Film Critics Online, juga nominasi Broadcast Film Critics Association. Selain nominasi 67th Golden Globe Awards pada kategori Best Motion Picture – Drama, Best Director, Best Film Score dan Best Film Song bersaing dengan film “Inglourious Basterds”.
Cerita Avatar dimulai pada tahun 2154 saat Jake Sully (Sam Worthington) mengalami cidera kaki (kelumpuhan) akibat perang di bumi, terpilih dalam program Avatar. Avatar merupakan program pembuatan mahkluk yang mirip Na’vi sehingga memungkinkan Jake bisa kembali berjalan.

Jake secara kebetulan dipekerjakan dengan iming-iming gaji besar untuk meneliti kehidupan Planet Pandora. Na’vi digambarkan sebagai mahkluk aneh memiliki bahasa yang berbeda dengan manusia bumi. Berukuran lebih besar dan tinggi dari badan manusia, memiliki ekor yang mirip ekor kuda dan bertelinga panjang yang berujung lancip.

Nah, lembaga penelitian tersebut bekerjasama dengan perusahaan eksplorasi tambang dan institusi militer. Sesungguhnya, bukanlah Jake yang dipekerjakan, melainkan saudara kembarnya. Saudara Jake adalah seorang ilmuwan cakap dan telah meninggal. Jake yang menggantikannya, karena memiliki karakter fisik yang sama.

Avatar memukau berkat efek suara, grafis yang fantastis dan teknologi IMAX 3D yang menakjubkan. Avatar mengajak penonton berpetualang ke planet asing yang penuh intrik. Sebuah mode realistik yang satir, penuh kritik atas kekuasaan dan keserakahan. Misi Jake adalah mengendalikan Avatar-nya, mahkluk rekayasa genetika antara DNA manusia dengan Na’vi, yang selama ini menjadi kendala dalam penambangan unobtainium.

Perjalanan pertama Jake ke hutan gaib Pandora hampir saja merenggut nyawanya. Untunglah, si jelita Neytiri (diperankan Zoe Saldana) datang menyelamatkannya. Jake pun memulai petualangannya dalam memahami Na'vi dan dunia mereka.
Tugas utama Jake, meyakinkan para Na’vi agar eksodus ke tempat lain. Sebab hutan Pandora menyimpan sumber kekayaan alam yang berlimpah ”Logam Unobtanium” yang bernilai jutaan dolar. Akankah Jake berkhianat demi Unobtanium? Sutradara Cameron membingkai cerita Avatar dengan sejarah peradaban manusia yang penuh intrik, keserakahan dan dibumbui kritik terhadap rusaknya lingkungan.

Film epik ini sempurna secara visual dengan dukungan pemain yang berkarakter dan kokoh. Peran Sam Worthington begitu apik memainkan Jake Sully, yang digambarkan mengalami konflik batin dan terhimpit pada dua persoalan, yakni menyelesaikan tugasnya atau menyelamatkan warga Na’vi yang terancam musnah?

Bak realitas, warga Na’vi sangat spiritual, bertalian erat dengan lingkungan dan alam mereka. Seperti halnya nasib suku Indian kuno di Amerika yang terampas identitas, kebudayaan dan hak-hak hidupnya. Imajinasi Cameron begitu memukau, Pandora digambarkan sebagai taman surga ”firdaus” yang dihuni oleh sekumpulan mahkluk bertaring dan bercakar.

Film ini unik dan bertekstur mewah. Terlihat dari inovasi ”Virtual Camera”, seolah-olah film ini sedang melakukan syuting di dalam musik studio. Cameron, memang sutradara berbakat dan kreatif. Pantas saja, ia disebut-sebut sebagai pembuat film epik ”fiksi ilmiah” dan ”drama” berkelas dunia.

Sebagai perintis film Avatar, ia dan timnya berani membuat terobosan baru teknologi film dibanding sutradara lain, termasuk sistem "gambar-berbasis penampilan wajah", yang mengharuskan aktor menggunakan helm dengan kamera kecil. Hal ini memungkinkan pencatatan ekspresi wajah dan gerakan otot pada tingkat yang belum pernah dilakukan oleh sutradara lain.

Lebih dari satu petabyte (1.000 terabyte) penyimpanan digital yang diperlukan untuk semua komponen-- yang dihasilkan komputer-produksi film Avatar. Ini setara dengan 500 kali jumlah yang digunakan untuk menciptakan dan mengkaramkan kapal mewah bersama penumpangnya dalam film Cameron terdahulu. Film yang begitu masyur dan terlaris sepanjang sejarah, yakni film ”Titanic” (1997).

Klimaks Avatar dimulai dengan penggundulan hutan Pandora menggunakan bulldozer. Dalam sekejap, sebagian hutan gundul. Jake ”Avatar” yang berada di lokasi, sontak berusaha menghalangi gerak bulldozer. Namun, atas perintah dari pusat pengendali, bulldozer tetap bergerak membabat hutan-- tanpa mempedulikan warga Na’vi dan lingkungannya.

Demi meraih logam Unobtanium, Jake ‘diputuskan’ dari Avatar-nya. Alhasil, Jake tak ‘bernyawa’. Sehingga para Na’vi berjuang sporadis menghadapi pertempuran yang tak seimbang. Para militer bersenjatakan peralatan tempur yang canggih (modern), sedangkan pasukan Na’vi menggunakan busur panah.

Avatar menggambarkan sifat dasar manusia yang hakiki, yakni, betapa serakahnya sifat manusia bumi? Demi keuntungan dan sumber Unobtanium dihalalkan segala cara; merusak lingkungan dan membunuh!

Di sinilah, jalinan kritik (satir) atas realitas dimunculkan dengan cerdas oleh Cameron, bahwa tindakan nyata manusia terhadap lingkungannya tak lain; merusak dan membabat hutan-- yang merupakan paru-paru dunia demi dalih pembangunan. Sesungguhnya, keserakahan manusia dalam mengekploitasi alam merupakan gambaran nyata kolonialisme baru yang bernama ”Kapitalisme Global” di bumi.

Ada analogi, bahwa yang kuat menguasai yang lemah, merupakan hukum alam yang tak terelakkan. Warga Na’vi dan habitatnya terancam punah seperti halnya suku Aborigin (Australia) atau Indian (Amerika). Diakui atau tidak, manusia modern begitu arogan dalam menilai peradaban, baik dalam fiksi maupun realitas. Meskipun, tak semua manusia bersifat serakah.

Film ”Avatar” telah mengajarkan kita tentang hitam-putihnya kehidupan nyata. Namun jangan pesimis. Toh, masih ada manusia baik yang peduli atas kerusakan lingkungan dan global warming seperti Al Gore, Wakil Presiden Amerika dengan kampanye filmnya ”The Inconvenient Truth”.

Meskipun, belum banyak kesadaran yang timbul. Bahkan manusia tak bisa memprediksi, kapan kehancuran alam akan terjadi? Epilog film ini ditutup dengan cerita yang mudah ditebak. Tatkala para Na’vi nyaris patah arang (kalah berperang), alam memberikan dukungan dengan menyarang manusia. Serangan binatang-binatang besar dan sekumpulan Ikran yang tak terduga, membuat manusia terkejut, kocar-kacir, dan akhirnya kalah perang.

Neytiri, putri pemimpin Na’vi, menyebutkan bahwa bala bantuan yang diberikan alam kepada Na’vi dikarenakan Eywa (Tuhan) telah menjawab doa mereka. Eywa menghendaki adanya harmoni alam. Tak ada yang menguasai dan dikuasai, karena semua mahkluk saling membutuhkan. Seperti jawaban Eywa, ”Manusia harus hidup selaras dengan alam”.

Keberhasilan Cameron begitu luar biasa. Meskipun ada sisi minus dari penulisan skenario, tak sesempurna plot film Titanic. Avatar tetaplah keberhasilan Cameron dalam memadukan fiksi ilmiah, drama dengan basis dongeng. Konon, Avatar merupakan pertemuan film ”Dance with Wolves” dan ”Star War”. Film “Avatar” begitu memikat, bahkan terlaris di seluruh dunia!

14 January 2010

Perahu Khas Marseille dan Perahu Layar Nusantara Bertemu Pandang di Lautan

Iman D. Nugroho

Pusat Kebudayaan Prancis (CCCL) Surabaya kembali mengangkat kejayaan perahu tradisional. Kali ini CCCL mencoba Membuka lembaran agenda seni budaya 2010 dengan mengangkat bagian dari tradisi yang pernah mengenyam era kejayaan dan banyak ditinggalkan oleh masyarakat maritim yang semakin mengakrabi teknologi tinggi: perahu tradisional.

Acara berupa dua pameran foto, pameran perahu dan sejumlah diskusi seputar perahu tradisional di masa kini itu bekerjasama dengan House of Sampoerna dan Tim Maritime Challenge – Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Surabaya. Rangkaian acaranya bertajuk "Bertemu Pandang di Lautan : Perahu Khas Marseille dan Perahu Layar Nusantara (Timur Jawa & Madura)" digelar di dua lokasi secara bersamaan. CCCL Surabaya dan House of Sampoerna, pada tanggal 20 Januari – 5 Februari 2010.

Paul Piollet asal Prancis mengungkap sejarah pelayaran di Indonesia melalui fotografi perahu-perahu layar yang telah hilang. Menampilkan pameran foto tentang perahu layar tradisional asal Indonesia, yaitu bagian Timur Jawa dan Madura. Jauh sebelum kedatangan bangsa Eropa, para pelaut Nusantara sudah berlayar di lautan antar kepulauan, Samudra Hindia, Laut China dan sebagian dari Samudra Pasifik. Pembuatan perahu dimulai setidaknya pada zaman keemasan kerajaan Majapahit (abad XIV) dan terus berkembang hingga sekarang.

Awalnya dimulai di pulau Jawa, dekat kawasan hutan jati, kemudian pulau Sulawesi, semasa kerajaan Gowa (abad XVI dan XVII), lalu di Kalimantan dan Sumatra. Foto-foto yang ditampilkan diambil pada tahun 1970 – 1980, yang menunjukkan generasi terakhir perahu layar untuk transportasi dan menangkap ikan, sebelum beralih ke perahu motor. "Menandai berakhirnya era kejayaan kapal-kapal layar tersebut.” tulis Paul Piollet

Lalu ada Pameran Foto “Perahu Khas Marseille ” karya Patrick Box yang akan resmi dibuka di House of Sampoerna pada Kamis, 21 Januari 2010, pk. 18.30. Perahu khas Marseille, merupakan perahu tradisional dari kayu yang digunakan untuk menangkap ikan di pantai, dan banyak ditemui di pelabuhan-pelabuhan di kota Marseille. Perahu-perahu tersebut menjadi bagian dari pemandangan kota lebih dari satu abad.

Unsur warisan maritim lokal yang tidak mungkin bisa dilewatkan dan tidak terpisahkan keberadaannya dari pelabuhan-pelabuhan di Marseille. Terlebih lagi, perahu layar ini melambangkan perpaduan budaya yang menjadi ciri khas sejak jaman bahari pelabuhan Marseille dan sektor nelayan di Mediterania. Merupakan anggota terbanyak dari perkumpulan perahu layar di laut Mediterania, perahu khas Marseille merupakan bagian warisan kelautan ‘Euro-Mediterania’. Foto-foto karya Patrick Box dapat kami gelar di Surabaya berkat dukungan maskapai penerbangan Singapore Airlines.

Selanjutnya, Pameran perahu Yole de Bantry karya Tim Maritime Challenge – ITS, serta diskusi bersama Tim Maritime Challenge – ITS di CCCL : Jumat, 22 Januari 2010, pk. 18.00. Selama berlangsungnya pameran foto “Perahu Layar Nusantara (Jawa Timur & Madura)” di CCCL, akan dipamerkan perahu ‘Yole de Bantry’ dari Indonesia buatan Tim Maritime Challenge - ITS, yang telah berulangkali memenangkan kompetisi Maritime Challenge, untuk kembali berlomba pada « Maritime Challenge » 2010 di Kanada.

‘Yole de Bantry’ merupakan perahu kayu yang secara prinsip bermanuver dengan dayung dan layar. Perahu asal Prancis ini digunakan saat perang pada era Napoleón oleh armada laut Prancis dan Inggris. Pada 1986, Lance Lee asal Amerika dan Français Bernard Cadoret asal Prancis, memutuskan untuk mempopulerkannya dan menyelenggarakan kompetisi persahabatan bagi para pemuda.

Sejumlah mahasiswa dari Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Surabaya, yang tergabung dalam tim “Maritime Challenge” telah menjadi perwakilan Indonesia pada 4 kompetisi internasional terakhir.