26 February 2010

Up In The Air: Cerita tentang Kesepian dalam Keramaian

Jojo Raharjo

Kita ngomongin film lagi. Kali ini tentang “Up In The Air” film yang dibintangi aktor kawakan George Clooney dan meraih enam nominasi Oscar tahun ini. Film yang diputar di jaringan 21 dan XXI mulai 25 Februari ini Saya sendiri menyaksikan premiere film berdurasi 109 menit ini di Djakarta Theater sepekan lalu.

Namanya, Ryan Bingham yang diperankan George Clooney, memiliki riwayat pekerjaan unik karena 322 hari dalam setahun menghabiskan hidupnya di udara alias terus bepergian dari satu tempat ke tempat lain. Sebagai seorang eksekutif lajang, Ryan seperti hidup di antara awan, di atas kursi kelas bisnis pesawat, dan hotel mewah dan sesekali menyentuh bumi untuk memecat karyawan perusahaan orang lain.

Pilihan hidupnya adalah tidak menikah, tidak punya pacar tetap; tidak punya rumah, tidak punya komitmen apa pun dalam hidup kecuali terbang dari satu kota ke kota lain untuk memecat dan pergi.

Di antara perburuan menuju target ribuan kilometer di udara, Ryan bertemu dengan dua perempuan yang kemudian mengubah gaya hidup dan pilihannya. Satu bernama Alex (Vera Fermiga), sesama eksekutif dengan jadwal terbang tinggi yang kemudian menjadi teman dekatnya tanpa status, dan juga Natalie (Anna Kendrick), rekan kerjanya yang begitu muda namun memiliki posisi

Film ini disutradarai Sutradara Jason Reitman, yang namanya langsung melejit setelah film pertamanya, Juno. Jason Reitman mendapat pujian karena mengemas fakta menarik tentang bagian yang paling ditakuti manusia yakni hidup sendirian tanpa kepastian. Film ini memiliki pesan moral yang menarik untuk direnungkan.

Pertemuan Ryan dengan Alex membuat dia menyadari bahwa ternyata rasa keterikatan bukan sesuatu yang bisa dihalangi. Di sinilah dia menyadari betapa pentingnya arti rumah dan keluarga. Nah, saat Ryan memutuskan meninggalkan pekerjaannya sebagai sebuah pembicara seminar dan langsung terbang ke Chicago menemui Alex, ternyata dia baru tahu bahwa selingkuhannya itu sudah berkeluarga.

Dalam ulasan tentang film ini, Leila Chudori, penulis film di Majalah Tempo berpendapat, film Up in the Air adalah perjalanan seseorang yang selama ini mengira kakinya dijejakkan di udara. Tapi ternyata selama ini, dia tahu, rumah yang sesungguhnya adalah di bumi.

Selepas pemutaran film khusus untuk kalangan terbatas ini, saya berbincang dengan Anggara Diah Lusi, wartawati majalah Cita Cinta. Lusi memuji nilai nilai filosofi yang ditampilkan dalam Up In The Air. “Film ini bercerita bahwa sesuatu yang sudah kita dapat dan kita agung-agungkan ternyata bisa berbalik, dan kemudian kita melakukan kita melakukan hal yang berbeda dari sebelumnya. Dalam hal ini kalau kita membicarakan antara karir dan keluarga,” katanya.

Terus terang, Lusi mengaku ia bukan penggemar George Clooney. ”Tapi untuk film ini, aktingnya pas banget. Ia bisa dapat, terutama mimik-mimiknya saat kecewa atau adegan-adegan lain,” ungkapnya.

Lusi juga berpendapat, dalam skala berbeda, warga Jakarta atau kota kota besar lain di Indonesia dapat terjebak pada masalah serupa, sibuk di jalan untuk bekerja dan lupa berkeluarga. ”Jangan sampai hidup kita yang begitu sibuk dengan pekerjaan bisa seperti nasib Ryan Bingham. Untungnya, di Indonesia, masih ada nilai-nilai kekeluargaan tinggi. Masih ada teman atau kerabat yang menyentuh kekosongan dalam hidup ini,” katanya.

Film Up In The Air menyadarkan kita betapa karir, pekerjaan, penghasilan dan apapun pencapain lain, tidak lebih penting dari rumah dan keluarga yang kita miliki.

| republish | Please Send Email to: iddaily@yahoo.com |

No comments:

Post a Comment