11 March 2009

Berpulangnya Pelopor Gerakan Kaum Muda

Rahmad Sumandjaya, Surabaya

Pemerintah Indonesia Harus paham bahwa kita semua telah kehilangan seorang pelopor pergerakan kaum muda. Dialah salah satu orang yang kemudian menjadikan demokrasi di republik ini kian subur dan menggiurkan. Semoga senantiasa ada damai di sisi Allah swt. Selamat jalan DIDIT... Innalillahi wa inna ilaihi roji’uun. (brotoseno)


Demikianlah sms (sort message service) yang dibacakan oleh Gembos di hadapan ratusan orang yang hadir di rumah mendiang Aditya Harsa atau biasa dipanggil Didit. Semua yang hadir menampilkan rasa kehilangan yang tak terucap. Gembos alias Bambang Yudho Pramono sendiri menyampaikan pidatonya dengan mata berkaca-kaca bersemu merah.

Senin (2/3/2009), kompleks perumahan dosen Unesa di Ketintang terasa panas. Sinar matahari menyengat dengan tanpa iba di atas kulit-kulit tangan dan wajah orang-orang yang berada di bagian barat kawasan kampus Universitas Negeri Surabaya tersebut. Terlihat puluhan orang bergerombol di pintu gerbang yang telah dipadati mobil dan belasan sepeda motor. Beberapa meter dari pintu gerbang, berdiri sebuah rumah bercat putih dengan kusen kayu berwarna coklat dan kuning. Pagarnya telah dicopot. Di depan rumah ini terpasang terop yang menaungi puluhan orang, tua dan muda, laki-laki dan perempuan bahkan anak-anak. Agak ke timur, terlihat lagi puluhan pemuda dan banyak sepeda sepeda motor yang diparkir tidak teratur.

Taufik Hidayat, seorang aktivis gerakan pro demokrasi yang biasa dipanggil ‘Tomo’ – singkatan Topik Monyong – berjalan pelan sambil menenteng sebuah megaphone ke hadapan orang-orang yang berada di bawah terop. Di lengan kirinya terlilit pita kain merah putih. Dia lalu mulai pidatonya dengan suara yang tidak keras namun mantap. “Kita semua telah ditinggal oleh seorang sahabat, saudara, sekaligus guru yang baik.” Suaranya menjadi serak, dan dia melanjutkan berbicara.

“Semasa hidup, Pak Didit, telah banyak memberikan teladannya. Beliau lebih memilih berkeliling naik vespa ke kampung-kampung dan ke daerah-daerah miskin di Surabaya untuk membesarkan hati orang-orang, dan mengatakan kepada meraka, jangan menyerah, jangan pasrah. Bahkan tadi malam, sebelum beliau pergi untuk selama-lamanya, saya ditelepon oleh Pak Didit, mengingatkan saya untuk terus melakukan aksi-aksi pro demokrasi. Itulah wasiat yang beliau tinggalkan bagi kita semua. Agar kita tidak berhenti bergerak dan memikirkan nasib orang-orang yang tidak beruntung, orang-orang yang tertindas tanpa sadar. Dan kepada semua orang yang berada di negeri yang masih kacau ini,” ujar Taufik menutup pidatonya dan menyerahkan megaphone kepada Tjuk Sukiadi yang mewakili keluarga.

Sepuluh menit lebih Tjuk Sukiadi memberikan kesan-kesannya tentang almarhum Aditya Harsa. Selanjutnya megaphone diserahkan kepada Gembos atau Bambang Yudho Pramono yang telah lebih dua puluh tahun berdampingan dengan almarhum dalam suka maupun duka di dunia gerakan pro demokrasi Indonesia. Alumnus ITS ini mengucapkan kalimat-kalimatnya dengan cepat. Sebelum menyerahkan kembali megaphone yang biasa dipakai berunjukrasa itu ke Taufik, Gembos membacakan dari handphone-nya sebuah sms seorang kawan di Jogja.

Seorang pelayat bernama Jumi yang aktif di kegiatan seni teater mengatakan kepada pelayat lain di sebelahnya, “Aditya Harsa adalah tokoh gerakan tahun 80-an. Dia terpaksa tidak menyelesaikan kuliahnya di FH Unibraw Malang dan pindah ke Universitas Pakuan, Bogor. Dia dikenal sebagai benang merah yang menyambung tiga generasi sekaligus. Generasi Gatut Kusumo, bapaknya yang menjadi penulis naskah film Soerabaia 45. Generasinya sendiri dan juga generasi aktivis yang lebih muda seperti aktivis 98 yang memaksa almarhum Suharto lengser tempo hari.”

“Ehm,” sahut pria di sebelah Jumi dengan tenang. “Di Bogor dia adalah bapak angkat para sopir angkot. Dia orang yang tidak bisa dijinakkan oleh rezim orde baru pada masa itu. Anak pertamanya sekolah menengah, ahli catur dan sudah juara di Surabaya dan adiknya jago main piano,” ujarnya menimpali kenangan Jumi terhadap Aditya Harsa.

Dari depan rumah duka, Taufik mengumumkan melalui megaphone bahwa jenazah akan dibawa ke masjid untuk disholatkan. Dan setelah itu akan langsung menuju pemakaman umum di kawasan Ketintang Barat tak jauh dari situ.

Suasana menjadi hening. Dari dalam rumah, sayup-sayup terdengar alunan musik klasik yang familiar. Rupanya Fahri, anak kedua mendiang Aditya Harsa sedang memainkan piano di depan jenazah bapaknya, memperdengarkan lagu yang biasa dia lantunkan. Banyak pelayat tak kuasa menahan tetes air mata.

Tak lama. Terdengar lengking Laa ilaa ha illallah, Laa ilaa ha illallah, Laa ilaa ha illallah peti kayu dari dalam rumah yang di dalamnya terbujur jenazah Aditya Harsa diangkat beramai-ramai ke atas kereta jenazah. Beberapa orang menutupkan selembar kain hijau dan bendera merah putih di atas peti dan mendorongnya menuju masjid. Lafadz Laa ilaa ha illallah terus terdengar sepanjang perjalanan.

Tiga puluh menit berlalu...

No comments:

Post a Comment