03 July 2006

Tekanan Psikologis Korban Lumpur Bisa Menjadi Bom Waktu

Beban psikologis warga empat desa di Porong, Sidoarjo, Jawa Timur yang kini mengungsi di Pasar Baru, Porong ibarat bom waktu. Meski secara fisik tidak nampak, namun tekanan persoalan lumpur yang tidak kunjung selesai, bisa memunculkan persoalan baru. Karena itu, hendaknya penanganan pengungsi tidak hanya memenuhi kebutuhan fisik saja, namun juga membangun sisi psikologis.

Hal itu dikatakan psikiater Dr. Nalini Agung pada The Jakarta Post, Senin (03/07) ini di Surabaya. "Karena korban lumpur ini merasakan ketidakpastian, ada kecemasan dalam diri mereka. Kecemasan ini perlahan-lahan akan memunculkan post traumatic stress disorder, dan akan menciptakan problem baru," kata Nalini Agung.

Post traumatic stress disorder yang melanda pengungsi yang saat ini sudah mencapai 6000-an orang itu, kata Nalini berawal dari hilangnya berbagai hal yang dimiliki penduduk korban lumpur PT. Lapindo Brantas inc. Mulai pekerjaan, tempat tinggal hingga harta benda. "Meskipun proses hilangnya itu tidak mendadak, seperti korban gempa di Jogjakarta dan Jawa Tengah, tapi ketidakpastian korban lumpur akan meledak juga," tegas dokter yang juga menangani psikologis Lisa, pasien 'face off' asal Surabaya ini.

Dalam rentang waktu satu bulan, kata Nalini, persoalan-persoalan psikologi itu memang masih belum terlihat. Karena memang waktu adaptasi psikologis orang kebanyakan itu berkisar antara 2-3 bulan. "Kita lihat saja kalau menginjak bulan ketiga, hampir pasti akan muncul masalah-masalah atau problem baru, dan itu akan merata pada hampir semua pengungsi," jelasnya.

Untuk menghindari hal itu, kata Nalini, pihak yang berkompeten dengan kasus lumpur panas harus memberikan solusi yang pasti. Seperti segera merelokasi rumah tinggal korban lumpur, termasuk mengganti sawah hingga tempat kerja mereka. "Pemberian ganti rugi atau bantuan uang bukan solusi, harusnya memberikan ganti rugi berbentuk barang dan fasilitas yang sama," katanya.

Tri Santoso, Ketua Pos Penanggulangan Bencana (P2B) Partai Keadilan Sejahtera di lokasi pengungsian Pasar Baru Porong pun merasakan hal yang sama. Selama 17 hari menjadi sukarelawan pengungsi, Tri merasakan para pengungsi mulai berubah. "Mereka mengeluh soal nasib pekerjaan mereka dan apa yang harus mereka lakukan setelah bencana ini terjadi," kata Tri pada The Jakarta Post.

Karena ingin membangun sisi psikologis itulah, P2B memilih untuk tidak memberikan bantuan fisik seperti makanan dan peralatan, melainkan fokus pada kesehatan, ketrampilan dan memberikan hiburan-hiburan yang sifatnya menenangkan psikologi pengungsi. "Kami tekankan untuk membuka ruang dialog untuk mencari solusi pada mereka, termasuk permainan-permainan cerdas pada anak-anak balita," kata Tri yang sebelumnya menjadi sukarelawan di korban gempa Jogjakarta dan Jawa Tengah ini.

Dalam pengamatan The Jakarta Post, hal yang sama juga dilakukan oleh beberapa posko di pengungsian. Seperti Posko Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Surabaya, Posko Partai Amanat Nasional (PAN), Posko Forum Komunikasi Kepala Taman Bacaan Al-Quran (FKK-TPQ) dan Posko Anak Dolanan. Satkorlak Bencana Kabupaten Sidoarjo pun melakukan itu dengan menyediakan Layanan Curhat dan Layanan Bilik Mesra untuk pasangan suami istri yang ingin menyalurkan hasrat seksual mereka.

Sementara itu dalam pengamatan The Jakarta Post, pengoperasian alat pendeteksi sumber semburan lumpur, snubbing unit masih belum maksimal. Bahkan pengoperasian snubbing unit sempat terhambat dengan keluarnya gas dari lubang sumur Banjar Panji. Sementara pemasangan relief well untuk memasukkan lumpur padat dan semen untuk menutup lubang bocoran di dalam tanah, terus dikebut.

No comments:

Post a Comment