16 November 2007

Cerita Air di Bukit Ladong, Aceh Besar

Air dari sumber air Bukit Ladong menjadi sandaran hidup ribuan orang di delapan desa Kecamatan Masjid Raya, Aceh Besar. Sayang, berbagai persoalan membuat air jernih itu menjadi “keruh”.

Sekilas, tidak ada yang istimewa di perbukitan Ladong. Dataran tanah tinggi yang terletak di Desa Ladong, Kecamatan Masjid Raya, Kabupaten Aceh Besar, Nanggroe Aceh Darussalam itu pun mungkin tidak lebih menarik dari pantai yang berjajar, mulai Ujung Batee hingga Ujung Kerueng. Namun, di salah satu bukit itulah terdapat sumber air yang selama ini digunakan oleh masyarakat setempat untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka.


Tidak sulit menemukan sumber air Bukit Ladong. Dari kota Banda Aceh, perjalanan ke bukit Ladong yang terletak di samping jalan raya itu bisa ditempuh melalui jalan darat sejauh 20-an KM. Sesampainya di Kantor Balai Desa Ladong, perjalanan dilanjutkan dengan bejalan kaki ke arah selatan. Menyusuri jalan setapak, menembus perkebunan kelapa dan semak belukar tempat nyamuk bersarang.


Bangunan persegi berwarna biru itu begitu kentara di sela-sela pepohonan yang tumbuh liar di wilayah itu. Di sekelilingnya dibatasi oleh pagar kawat berukuran 1 meter. “Inilah sumber air bukit Ladong yang selama ini menjadi sumber air warga Desa Ladong dan sekitarnya,” kata Ismail, warga Ladong yang dipercaya sebagai penjaga sumber air itu.


Suara gemuruh air menyambut kedatangan siapa saja yang mendekati sumber air bukit Ladong. Melalui pipa berdiameter 15 cm, air berdebit 800 liter/menit itu mengalir deras tiada henti ke tempat penampungan sementara. Ketika sudah penuh, air mengalir ke “rumah air” yang disebut in take, melalui pipa berdiameter 20 cm. In take terletak sejauh 10 meter di bagian bawah sumber air.


Air berhenti beberapa saat di in take, menunggu bangunan itu penuh air, dan kemudian mengalir menuju beberapa tempat yang terhubung dengan saluran pipa lain. Sebagian mengalir melalui pipa hingga ke Desa Lamreh yang berjarak hingga 8 KM, sebagian lain dimanfaatkan untuk irigasi pertanian warga sekitar. “Air yang keluar dari sumber ini begitu banyak, sampai ada yang meluber dan digunakan untuk pertanian atau mandi kerbau,” kata Ismail.

Tidak jelas benar, kapan sumber air ini pertama kali ditemukan. Sebagian besar warga mengetahui, sumber air bukit Ladong sudah ada ketika mereka mendiami kawasan ini. Sudah menjadi kebiasaan, warga Desa Ladong mengambil air di kaki bukit Ladong, dan membawanya ke rumah. Ironisnya, meski memiliki sumber air yang berlimpah, penyebaran air di Desa Ladong tidak merata. Dari empat dusun yang ada di Desa Ladong, air hanya bisa dinikmati oleh 1,5 dusun saja. Sementara 2,5 dusun lainnya harus berusaha keras dengan cara mengangsu atau membeli air. Dua dusun yang tidak beruntung itu, Dusun Indra Patra sampai Ujung Keureng. Di dua dusun itu, sumber ada yang ditemukan berair payau.

Ketika sumber air bukit Ladong itu dikelola oleh Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) Aceh Besar pada tahun 1980-an, keadaan menjadi sedikit berbeda. Geucik Desa Ladong Hasyim Ismail menceritakan, saat itu sebagian warga Ladong bisa menikmati air langsung dari rumah-rumah. Dengan adanya meteran, sistem pembayaran pun normal. Ketika itu, dibangun dua saluran pipa besi dari Bukit Ladong ke Lamreh, dan Bukit Ladong ke Desa Ruyung. Dua tempat di tepi pantai yang membutuhkan air.

Bahkan, ketika itu diatur pula sistem pembagian waktu pengaliran air. Pukul 07.00-12.00 WIB, air di desa Ladong mengalir ke Ruyung. Setelah itu, pada pukul 12.00-19.00WIB, air mengalir ke kawasan Desa Lamreh Krueng Raya. Ada petugas khusus yang menangani hal itu. “Air yang dikelola PDAM memakai meteran, saat itu tidak ada air yang dibuang dengan sembarangan,” kata Geucik Hasyim Ismail.

Namun, semua berubah ketika konflik GAM dan TNI pecah di Tanah Rencong. Masyarakat mulai terpengaruh. Perlahan-lahan terjadi pembangkangan mulai ada yang enggan membayar biaya PDAM. Bahkan ketika itu, terjadi banyak kebocoran pipa. Entah itu disengaja atau tidak. “Karena konflik meletus itulah, orang PDAM tidak sempat lagi kemari, dan warga pun enggan membayar, air semakin sulit didapat,” kata Geucik Hasyim Ismail.

Karena itulah, sepanjang konflik berjalan, sumber air di Bukit Ladong menjadi tidak terurus. Tidak ada perawatan dan banyak sudetan ilegal di sepanjang pipa. Meski begitu, sumber air bukit Ladong tetap menjadi sandaran warga setempat untuk kebutuhan air bersih. Dengan menggunakan jirigen, warga mendatangi beberapa sudetan pipa untuk mengambil air dan membawanya pulang. Sementara warga yang lain, memilih untuk membeli air seharga Rp.1000/jirigen.


Kondisi makin parak saat tsunami menghempas 26 Desember 2004 lalu. Air bersih di Desa Ladong, Desa Ruyung, Desa Paya Kameng, Desa Beurandeh, Desa Meunasah Kulam, Desa Meunasah Gede, Desa Meunasah Mon, Desa Ie Seu Um, dan Desa Lamreh didera persoalan air. Ribuan sumur di Kecamatan Masjid Raya pun rusak. Ada yang tertutup tanah yang ambrol karena gempa bumi yang mengiringi datangnya air, ada juga yang kotor karena bercampur dengan air laut yang masuk ke daratan.


Kawasan Krueng Raya atau sekitar Desa Lamreh menjadi kawasan yang paling parah. Sekitar 6808 jiwa terancam kekurangan sir bersih. Saat kondisi sulit itulah, sumber air bukit Ladong kembali menjadi harapan. Kondisi air tetap jernih, meskipun beberapa batu sempat menutupi mata air. “Meski sempat rusak, namun air masih mengalir dari sumber air itu,” Geucik Hasyim Ismail.


Bantuan pun mulai masuk ke Kecamatan Masjid Raya. Berbagai International dan Non-Governmental Organization (INGO/NGO) merealisasikan program bantuannya di daerah pantai utara Nanggroe Aceh Darussalam itu. Plan International Aceh atau Plan Aceh fokus pada pembangunan sistem instalasi air bersih yang berkelanjutan dengan memanfaatkan sumber mata air di bukit di Desa Ladong. Organisasi yang dirikan pada 1937 oleh wartawan Inggris John Langdon-Davies dan pekerja sosial Eric Muggeridge ini memasukkan program sistem instalasi air bersih Ladong-Lamreh dalam domain program Habitat. Tandon besar berkapasitas 8000 liter dan dikenal sebagai hidran umum (HU) pun disebar di sepanjang dusun Desa Ladong hingga lokasi pengungsian korban tsunami di Desa Lamreh. Truk-truk berkapasitas sama pun hilir-mudik ke sana ke mari menyupai air bersih ke barak-barak pengungsi korban Tsunami yang sangat membutuhkannya.


Di samping itu, program penggalian dan pipanisasi sepanjang 8 Km pun disiapkan. Pada akhir tahun pertama keterlibatan Plan Aceh membantu korban tsunami Aceh, Plan Aceh berhasil membangun saluran air bersih di delapan desa dari Desa Ladong sampai Desa Lamreh. Untuk beberapa saat, warga korban yang terdampak tsunami di kawasan itu pun tidak khawatir dengan persoalan air bersih.


Sayang, “bulan madu” warga di delapan desa dari desa Ladong hingga desa Lamreh dengan air bersih tidak berjalan lama. Belum setahun berlalu, persoalan mulai muncul. Aksi penyodetan (tapping) pipa air ilegal mulai kembali terjadi. Air yang seharusnya mengalir sampei Krueng Raya pun mancet entah di mana. Beberapa orang mengambil air dari beberapa HU dan menjualnya untuk kepentingan pribadi. Hal ini menimbulkan sedikit persoalan karena ada sekelompok warga yang tidak setuju terhadap komersialisasi air untuk kepentingan pribadi. Hingga saat ini, air di bukit Ladong belum selesai bercerita.

*Teks foto:

1. Ismail, sang penjaga sumber air berdiri di depan sumber air Bukit Ladong, Aceh Besar.
2. Anak-anak Desa Ladong, Kecamatan Masjid Raya, Kabupaten Aceh Besar melintas di depan hidran umum di Desa Ladong, Jumat (16/11). Di belakang mereka terjadi aksi pengambilan air dengan menggunakan mobil tanki.



No comments:

Post a Comment