14 August 2007

Ketika Si Buta Berlomba Tujuhbelasan

Suara tawa mulai terpecah ketika Eka Kristian, Biko Danusworo dan M.Ismail mulai berlomba. Ketiga remaja tuna netra itu mencoba menggigit kerupuk yang tergantung tali, tepat di depan wajah ketiganya. Di saat yang sama, angin nakal menggoyang-goyangkan krupuk, menyulitkan mereka. “Ayo Eka,..jangan menyerah Biko,...gigit terus dong Ismail,” sorak sorai menonton yang menyaksikan lomba makan krupuk, Selasa (14/8) siang ini.

Seperti di banyak tempat di Indonesia, pelaksanaan lomba dalam rangka memperingati Hari Kemerdekaan RI ke-62 juga digelar di Sekolah Menengah Pertama Luar Biasa (SMPLB)-A Yayasan Pendidikan Anak-anak Buta (YPAB) Surabaya yang memiliki 14 siswa. Bedanya, lomba-lomba yang dilaksanakan di tempat itu disesuaikan dengan kemampuan peserta lomba yang semuanya tidak mampu melihat atau tuna netra. “Kami mengadakan lomba yang sekaligus melatih kemampuan anak didik dan mempraktekkan pelajaran yang sudah dipelajari,” kata Tutus Setyawan, salah satu guru SMPLB YPAB.

Lomba-lomba yang digelar antara lain, lomba mencari pasangan, lomba tenis meja, lomba makan kerupuk, lomba menyanyi lagu perjuangan, lomba mengambil bola dan lomba memasang sepatu. “Bila diperhatikan, lomba-lomba itu mengasah orientasi mobilitas siswa-siswa, terutama ditekankan kepada kemampuan motorik,” kata Tutus yang sehari-hari mengajar pelajaran pijat memijat atau massage.

Dalam lomba mencari pasangan misalnya. Peserta lomba diharapkan bisa mengetahui pasangan mereka hanya dengan memegang lengan, tanpa boleh bersuara. Hal itu mengasah kemampuan meraba. Dalam lomba tenis meja pun sama. Tidak seperti tenis meja normal, tenis meja versi YPAB hanya dinilai kemampuan peserta memukul bola dengan menggunakan bet tenis meja. Bola yang digunakan dalam tenis meja itu diisi oleh beras atau gotri besi, sehingga bisa terdengar saat menggelinding. “Kemampuan mendengarkan adalah kunci kemenangan,” kata Titus.

Muhammad Ismail, 15, adalah salah satu siswa yang menikmati digelarnya perlombaan Tujuhbelasan itu. Remaja asli Surabaya ini berhasil menyabet juara pertama dalam lomba mencari pasangan. Sementara dalam lomba makan kerupuk, anak pasangan Agus Sulaiman dan Hasna Julia itu menempati urutan kedua. “Saya baru sekali ini ikut Tujuhbelasan di YPAB, ramai juga di sini,” Ismail.

Ismail mengaku, meski dirinya tuna netra, namun hal itu tidak membuat warga Ampel Surabaya ini merasa berbeda dengan anak-anak lain yang bisa melihat. “Kalau anak-anak lain bisa berlomba, saya pun juga bisa kan,” katanya. Karena itu jugalah, sejak Ismail menyadari kekurangannya, tetap saja tidak ada perubahan prilaku keseharian. Bahkan, Ismail pun memiliki cita-cita yang tidak kalah hebat. “Saya ingin menjadi guru les organ dan les komputer,” katanya.

Demikian halnya dengan Muhammad Syofi Isa Anshori, 16. Remaja asal Sidoarjo Jawa Timur ini merasa aktivitas yang dilakukan di YPAB benar-benar mampu membangkitkan semangatnya. “Ketika saya tahu saya tuna netra, saya sempat bersedih, tapi ketika saya kumpul dengan teman-teman tuna netra yang lain dan melakukan kegiatan yang sama ketika saya masih bisa melihat, rasanya nggak sedih lagi,” kata remaja yang mulai merasakan kebutaan saat kelas 2 SMP ini.

Karena itulah, Syofi tidak bersedih meskipun dalam perlombaan kali ini dirinya sama sekali tidak menyabet predikat juara. “Yang penting bisa senang-senang dengan teman-teman,” kata anak kedua pasangan Kardi dan Lulik Pujiati ini. Syofi membayangkan, selepas dari SMPLB ini dirinya bisa merealisasikan cita-citanya untuk bisa menjadi guru agama bagi anak-anak tuna netra.

Semangat tinggi siswa tuna netra dan 12 guru SMPLB ini menjadi suntikan energi bagi pengelola Yayasan Pendidikan Anak Buta (YPAB). Pihak yayasan bertekad untuk terus meningkatkan fasilitas di sekolah seluas 1,6 hektar ini. “Sejak tahun 1959 semangat kami sudah jelas, ingin memberi kesempatan kepada siswa tuna netra untuk bisa berkarya seperti orang normal pada umumnya,” kata Kepala Sekolah Eko Purwanto.

Eko menjelaskan, selama ini pihak pemerintah sudah cukup perhatian dengan nasib guru-guru SMPLB. Dalam setahun terakhir, hampir semua guru di sekolah ini diangkat sebagai pegawai negeri sipil (PNS). “Kami tetap berharap pemerintah memberikan suntikan dan lebih banyak, karena tanpa dana, semua yang kita perjuangan kepada tuna netra akan menjadi sia-sia,” ungkap Eko Purwanto. Semoga pemerintah mendengarnya.


No comments:

Post a Comment