24 August 2006

Ribuan warga korban lumpur berdemonstrasi

Sekitar 3000 warga Kedung Bendo, Sidoarjo, Selasa (22/08) ini menggelar demonstrasi di depan Pendopo Kabupaten Sidoarjo. Mereka memprotes peran Satuan Koordinasi dan Pelaksanaan (Satkorlak) Bencana Alam yang dinilai mempersulit upaya gantirugi, sekaligus menuntut Pemerintah Kabupaten Sidoarjo dan Lapindo Brantas Inc untuk menjamin keselamatan warga Kedung Bendo dari bencana yang lebih besar ketika hujan tiba. 

Massa juga meminta Lapindo Brantas Inc untuk membeli rumah dan perabotan dan memberi kompensasi ganti rugi kepada warga yang menolak rumah dan barangnya dibeli. Demonstrasi berlangsung sekitar pukul 09.30 WIB. Ribuan massa melakukan long march dari Desa Kedung Bendo menuju ke Pendopo Kabupaten Sidoarjo dengan mengendarai beberapa truk dan ribuan sepeda motor. 

Di sepanjang jalan, massa berorasi mengecam Satkorlak dan membentangkan spanduk. "Ini aksi damai, kami datang untuk metuntut hak kita," kata seorang orator dari atas truk pengeras suara. Long march berhenti di depan pendopo yang sejak pagi sudah dijaga oleh puluhan aparat kepolisian dari Polda Jawa Timur. 

Melalui spanduk yang mereka bawa, tampak sekali adanya kekecewaan warga atas peran Satkorlak Bencana Alam Sidoarjo yang dinilai memperumit keadaan. Bahkan, Satkorlak dianggap sebagai pihak yang menghalangi Lapindo Brantas Inc yang sudah bersedia memenuhi tuntutan warga. 

Bupati Kabupaten Sidoarjo Wien Hendrarso dan Wakil Bupati Saiful Illah dianggap tidak mampu menyelesaikan persoalan lumpur. Massa juga menuduh keduanya telah mengkorupsi uang bantuan yang selama ini mengalir seiring dengan kasus lumpur panas disertai gas yang terjadi hampir tiga bulan ini. 

"Lumpur akan berhenti jika birokrasi tidak korupsi," tulis demonstran dalam salah satu spanduknya. Dalam dialog dengan perwakilan demonstran di DPRD Kabupaten Sidoarjo, Bupati Sidoarjo Wien Hendrarso mengungkapkan kekecewaannya atas tuduhan-tuduhan warga atas dirinya. "Demi Allah, tidak ada korupsi dalam penanganan lumpur ini, bahkan saya pun sampai sakit gara-gara mengurus lumpur," kata Wien Hendrarso. 

Wien menegaskan, warga yang membuat spanduk harus mempertanggungjawabkan apa yang sudah dituduhkan atas dirinya. Lebih jauh, Wien mengatakan dirinya ada di pihak warga dalam kasus lumpur panas. Kalau ada warga yang menuntut Lapindo Brantas Inc secara hukum, pemerintah Kabupaten Sidoarjo akan memberikan dukungan penuh. "Saya dan Pak Saiful (Wakil Bupati Saiful Illah-red) tidak akan menjadi begundal Lapindo," katanya tegas. 

Wien juga mengklarifikasi persoalan bantuan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono senilai Rp.1 miliar yang hingga ini masih belum dibagikan. "Bantuan itu memang sudah saya terima, tapi masih belum dibagikan, perlu ada persetujuan DRPD Kabupaten Sidoarjo tentang hal itu, kalau memang mau dibagi sekarang, bagaimana bila suatu saat nanti bila jumlah korban bertambah?" katanya. Saat ini pemerintah Kabupaten Sidoarjo memprioritaskan langkah antisipasi penyelamatan sebelum musih hujan tiba. 

Sedang dilakukan identifikasi pada saluran-saluran pembuangan. Saluran yang macet oleh lumpur sedapat mungkin akan dibersihkan dan dibuat plengsengan (mengecor tepian saluran pembuangan). "Kami jelas akan memprioritaskan keselamatan warga masyarakat, dan menyiapkan saluran untuk membuang lumpur ke laut,..keselamatan manusia harus didahulukan," jelasnya. 

Sementara itu, pembagian uang kontrakan rumah yang dilakukan Selasa ini kepada 542 orang warga Desa Jatirejo dan Desa Renokenongo di pendopo Kabupaten Sidoarjo diwarnai dengan aksi walk out warga Renokenongo. Warga Renokenongo menilai nota kesepakatan yang mengatasnamakan perwakilan warga, sebagai syarat pembagian uang dinilai mengebiri hak-hak warga, terutama poin ke-5 ayat.a dan poin ke-8. 

Dua pasal itu menyatakan seluruh harta benda yang kena lumpur menjadi tanggungjawab warga dan warga tidak boleh menuntut Lapindo Brantas inc. "Mengapa kami harus dicekik dengan syarat-syarat yang sedemikian rupa, harusnya bantuan itu sifatnya tidak mengikat," kata Zainul Arifin, salah satu warga Renokenongo pada The Jakarta Post. Zainul juga mengatakan, pembuatan nota kesepakatan yang mengatasnamakan warga itu sebenarnya hanya akal-akalan saja, karena tidak ada warga yang diajak bicara dalam hal itu. 

"Nota kesepakatan itu juga tidak mencantumkan nasib warga yang menjadi petani, bagaimana nasib sawah dan pekerjaan kami," katanya. Akan lebih adil, bila bentuk bantuan itu berupa relokasi semua warga desa yang menjadi korban lumpur ke dalam satu kawasan. Termasuk sekolahan dan fasilitas-fasilitas soalial lainnya. 

"Dan yang terpenting, bantuan itu harusnya diberikan tanpa syarat yang membuat hak-hak kami dikebiri, bukan kami yang membuat semua ini terjadi," kata Zainul Arifin. Sudiono, Pengacara Lapindo Brantas Inc mengatakan nota kesepakatan itu sebenarnya dibuat setelah terjadi dialog sebelumnya antara Satkorlak-Lapindo Brantas dan masyarakat korban lumpur. Poin-poin yang tertuang dalam kesepakatan itu pun, berasal dari masyarakat. 

"Buktinya, dalam pemberian gantirugi pada 700 warga korban lumpur sebelumnya tidak ada gejolak seperti ini," kata Sudiono. Tentang poin-poin yang dianggap sebagai upaya mengebiri hak warga korban lumpur, menurut Sudiono, jauh dari semangat itu. "Tidak ada keinginan itu, semua kan masih bisa dibicarakan, terserah masyarakat maunya apa," katanya.

No comments:

Post a Comment