28 March 2011

Satu abad kejahatan korporasi sawit di Indonesia

Komersialisasi sawit di Indonesia dimulai sejak tahun 1911. Seiring berjalannya waktu, komersialisasi berkembang ke arah kapitalisasi perkebunan melalui ekspansi yang massif terutama 10 tahun terakhir ini. Ekspansi tersebut dipicu oleh tingginya permintaan pasar global Crude Palm Oil (CPO) baik untuk keperluan produk bahan makanan, aneka produk kosmetik maupun energi (agrofuel).


Ekspansi sawit mendapat dukungan lembaga keuangan internasional yang mendorong lahirnya berbagai kebijakan pemerintah dengan dalih peningkatan devisa negara, mengatasi krisis ekonomi, pengangguran dan pengentasan kemiskinan di pedesaan.

Saat ini luas perkebunan sawit mencapai 7,9 juta hektar, dengan komposisi ke pemilikan 65% dikuasai oleh korporasi dan 35% oleh non korporasi atau petani berdasi. Kekuatan korporasi dalam kerangka ekspansi, memperoleh dukungan dari 20 bank besar di dunia antara lain Bank Dunia (World Bank), Asian Development Bank (ADB) yang mengakibatkan hilangnya hak hidup masyarakat dan terjadinya kerusakan hutan, hancurnya ekosistem, krisis pangan dan air bersih, serta hancurnya budaya kolektif masyarakat adat.

Rakyat Menderita

Investasi korporasi hanya membawa derita bagi rakyat Indonesia, kerakusan industri ekstraktif, telah mematikan DAS, merusak hutan primer, lebih dari 5.000 DAS yang berada di Kawasan Taman Nasional mati akibat ekspansi perkebunan kelapa sawit. Banjir terus meningkat pengungsi setiap tahun semakin bertambah dan meluas. Sementara para pengusaha perkebunan kelapa sawit yang tergabung di dalam GAPKI hanya ingin merampas dan menguasai sumber-sumber agraria. Pemerintah telah melalaikan tugasnya untuk melindungi warga negaranya, yang seharusnya mendapatkan perlindungan yang maksimal.

Argumentasi bahwa ekspansi sawit akan menyerap tenaga kerja (buruh) dan mengentaskan kemiskinan di pedesaan merupakan suatu kebohongan. Asumsi hitungan pemerintah dan korporasi yang menyebutkan bahwa 20 juta hektar lahan perkebunan akan menyerap sekitar 10 juta buruh sangatlah jauh dari kenyataan. Fakta yang ditemukan di lapangan bahwa dalam 100 hektar lahan hanya menyerap sekitar 22 orang tenaga kerja sehingga dengan demikian dengan 20 juta hektar hanya menyerap 4,4 juta buruh.

Praktek Kuli Kontrak dibangkitkan kembali dalam bentuk baru yaitu Buruh Harian Lepas (BHL), dan tukang berondolan yang bekerja setiap hari tanpa jaminan kerja bahkan tanpa ikatan kerja yang jelas serta tidak memperoleh jaminan sosial sebagai pekerja meskipun sumbangan mereka sangat besar dalam upaya menunjang proses produksi perkebunan.

Konflik Agraria

Korporasi sawit melahirkan konflik agraria terutama konflik lahan sebagai dampak kapitalisasi perkebunan. Konflik lahan merupakan warisan kolonial perkebunan yang hingga saat ini masih terus berlanjut melalui Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal dan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan, yang menjamin masa waktu 95 tahun bagi korporasi untuk menguasai lahan dengan tidak ada pembatasan yang jelas.

Hal ini jelas-jelas merupakan kebangkitan kembali kebijakan jaman kolonial yaitu onderneeming ordonatie dan agrariche wet 1870 yang menjamin penguasaan lahan selama 75 tahun, padahal substansi dan kenyataan aturan kolonial ini sudah dikoreksi oleh UUPA. Akibatnya tidak hanya kondisi kolonialisme muncul kembali, petani miskin yang memperjuangkan tanah dan penghidupannya dari korporasi sawit pun tergusur, mereka malah seringkali dikriminalisasi. Hal ini disebabkan kemenangan korporasi sawit yang mengakibatkan seluruh wilayah republik ini dapat ditanami dengan tanaman perkebunan tanpa syarat yang mutlak.

Daya bertahan dan daya berkembang petani pangan di sekitar perkebunan sawit menurun dan bahkan terancam hilang. Pertanian pangan secara besar-besaran berganti menjadi perkebunan sawit. Akibat konversi dari tanaman pangan ke tanaman sawit menyebabkan luas lahan tanaman pangan berkurang secara signifikan yang mengakibatkan hancurnya kedaulatan pangan. Bahkan, rakyat nelayan juga terancam kehilangan mata pencahariannya karena hutan bakau tempat ikan berkumpul saat ini secara besar-besaran digantikan dengan perkebunan sawit.

Dalam menyikapi kejahatan korporasi kapitalisasi perkebunan sawit, kami Forum Masyarakat Sipil Indonesia yang tergabung dalam Konferensi Alternatif Satu Abad Sawit menyatakan sikap:

1. Hentikan ekspansi perkebunan sawit;
2. Cabut Undang Undang Nomor 18 tahun 2004 tentang Perkebunan dan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal;
3. Mendesak pemerintah untuk mengembalikan tanah rakyat yang dirampas oleh korporasi perkebunan sawit dan menyerukan kepada rakyat untuk merebut kembali tanahnya yang dirampas oleh korporasi sawit;
4. Pemerintah harus menyediakan lahan untuk pertanian pangan;
5. Mendesak kepada Bank Internasional, Bank Nasional dan Bank Asing untuk menghentikan kredit kepada korporasi dalam rangka ekspansi sawit;
6. Menghentikan sistem perbudakan modern yaitu buruh murah dalam bentuk Buruh Kontrak, Buruh Harial Lepas di industri perkebunan kelapa sawit. | Press Release

*Lentera, KPS, Bakumsu, ELSAM, Bitra, Walhi-SU, Sahdar, Sawit Watch, Elsaka, Hapsari, Kontras Sumut, KOTIB, Petra, PBHI, LBH Medan, KSPPM, KPA, SPKS, BPRPI, Sintesa, SPI (La Via Campesina Indonesia), Jala, Gemawan Kalbar, Walhi Kaltim, Setara Jambi, JKMA Aceh, Jikalahari Riau,YPMP, Formatsu, WABPIS, FOKKER LSM Papua, ADS, JPIC MSC dan Green Peace

No comments:

Post a Comment