25 May 2009

Rekomendasi The Carter Center untuk Menyelesaikan Sengketa Pemilu 2009

Press Release

Organisasi pemantau Pemilu dari AS, The Carter Center memberikan rekomendasinya terkait kasus sengketa Pemilu 2009. Menurut mereka, Undang-Undang Pemilu yang ada di Indonesia, dalam satu sisi mendorong penyelesaian kasus sengketa, namun di sisi yang lain menyimpan kekurangan. Jika hal itu dibenahi jauh hari sebelum pemilu nasional berikut di tahun 2014, dapat meningkatkan efisiensi dan efektifitas system penyelesaian pengaduan dan sengketa pemilu.


1. Pengesahan Undang-Undang Pemilu yang tepat waktu oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dapat meningkatkan kesempatan bagi peraturan-peraturan penting berkaitan dengan penyelesaian sengketa pemilu untuk dikonsepkan dan dipublikasikan tepat waktu dan memungkinkan pendirian kantor-kantor Panwaslu lokal sesuai dengan jadwal yang telah tercantum dalam undang-undang. Tanpa adanya peraturan yang berkembang ke pasal-pasal dalam undang-undang yang berkaitan dengan EDR, mustahil untuk melatih pejabat Bawaslu dan KPU secara memadai mengenai bagaimana me-review dan menyelesaikan pengaduan-pengaduan pemilu.
2. Peran Bawaslu dan Panwaslu saat ini terbatas kepada peran sebagai badan penasehat dan perujukan. Meskipun sudah jelas bahwa semua dugaan-dugaan pelanggaran adminstratif dan pidana harus diserahkan kepada KPU dan polisi, Bawaslu dan Panwaslu dapat memberi kontribusi lebih kepada fungsi efektif dari sistem EDR (seperti yang mereka lakukan di tahun 2004) terkait dengan sengketa yang dianggap tidak melanggar undang-undang. Carter Center merekomendasikan agar Bawaslu dan Panwaslu memiliki mandat untuk memediasi sengketa karena hal ini akan meringankan beban KPU dan memungkinkan lebih banyak kasus untuk dapat diproses dengan lebih singkat.
3. Kenyataan bahwa peraturan Bawaslu mengenai EDR mengharuskan nama-nama dan alamat para saksi dicantumkan sebagai bagian dari laporan-laporan pelanggaran, kelihatan tidak konsisten dengan Undang-Undang Pemilu tahun 2008. Karena nama-nama dan alamat para saksi seringkali merupakan syarat yang sangat sulit dipenuhi bagi mereka yang menyerahkan laporan, informasi ini seharusnya tidak diwajibkan sebagai bagian dari pemeriksaan awal oleh Bawaslu atau Panwaslu. Sebaiknya, hal ini menjadi sebuah pilihan saja dan sebaiknya juga tercermin dalam Undang-Undang Pemilu dan peraturan di masa datang.
4. Jika, dalam prakteknya, Bawaslu dan Panwaslu bertanggung jawab untuk lebih dari melengkap laporan awal kasus, maka keanggotaannya seharusnya mengikutsertakan para penyidik dengan pengalaman yang sesuai berkaitan dengan pekerjaan polisi dan/atau kriminal dan penuntutan bidang administatif. Dalam rangka mendorong langkah-langkah investigatif yang efektif oleh Bawaslu / Panwaslu, penting untuk meningkatkan sumber daya manusia dan dana kepada Bawaslu/Panwaslu, secara tepat waktu.
5. Tenggat waktu tiga hari untuk pelaporan pelanggaran-pelanggaran administratif dan pidana terkait pemilu kepada Bawaslu atau Panwaslu, terlalu singkat dan terlalu kaku, karena tidak memungkinkan ruang untuk pengecualian. Mengingat beberapa masyarakat setempat yang tinggal terpencil dan
9
kesulitan-kesulitan lainnya dalam mengumpulkan dan menyerahkan informasi, Carter Center merekomendasikan untuk mengkaji ulang mengenai tenggat waktu tersebut.
6. Meskipun Mahkamah Konstitusi telah menyiapkan fasilitas video konferensi untuk sidang tingkat pertengahan di 34 universitas di seluruh Indonesia, sebagian besar partai-partai dan kandidat-kandidat lebih memilih untuk membawa kasus mereka ke sidang di Mahkamah Konstitusi di ibukota. Mengingat layanan ini sudah tersedia di universitas-universitas, Carter Center sangat mendorong partai-partai politik untuk memanfaatkan layanan ini yang tidak hanya akan menghemat biaya bagi para partai dalam hal biaya perjalanan dari propinsi ke Jakarta tetapi juga akan memungkinkan para pemilih di daerah tersebut untuk menghadiri persidangan.
7. Dalam persiapan untuk pemilu tahun 2014, penting untuk menyiapkan sebuah strategi reformasi penyelesaian sengketa pemilu yang dapat dicerminkan dalam undang-undang pemilu di masa datang. Meskipun Carter Center melihat adanya kontribusi penting yang dilakukan oleh Bawaslu dan Panwaslu terhadap proses pemilu, penting untuk menilai pentingnya institusi sebagai satu kesatuan mengingat keterbatasan yang mereka hadapi. Stategi reformasi ini dapat mencakup kemandirian dan kemampuan yang lebih tinggi dalam KPU untuk membuat keputusan-keputusan dan menangani kasus-kasus EDR secara efiesien, dan sebuah mediasi gabungan dan layanan penyelesaian sengketa yang mungkin berada dalam struktur KPU tetapi juga mencakup unsur-unsur eksternal dan memiliki kekuasaan untuk mengindentifikasi, menginvestigasi dan menuntut pelanggaran administratif dan pidana20.
8. Menurut undang-undang Mahkamah Konstitusi saat ini dan Peraturan KPU mengenai prosedur teknis untuk hasil pemilu, hanya dewan pusat dari partai politik dan kandidat DPD yang dapat mengajukan pengaduan kepada Mahkamah Konstitusi terkait hasil pemilu. Namun, keputusan tahun 2008 oleh Mahkamah Konstitusi (yang mengharuskan kursi-kursi yang dimenangkan oleh sebuah partai untuk dialokasikan kepada kandidat-kandidatnya yang memenangkan suara terbanyak) membuka kemungkinan seorang kandidat dan partainya bisa bersengketa atas hasil pemilu dan penunjukan kursi. Mengingat keputusan Mahkamah tahun 2008 tersebut, potensi konflik antara para kandidat dari partai yang sama mungkin telah meningkat tajam dan oleh karena itu mekanisme penyelesaian sengketa untuk konflik-konflik ini penting.

No comments:

Post a Comment