28 July 2019

Apakah Menteri Agama harus selalu beragama Islam?

Indonesia memiliki enam agama resmi, dan mungkin ratusan agama-agama lain yang tersebar di nusantara. Tapi mengapa jabatan Menteri Agama selalu dari golongan agama Islam?

**

Berita IDNTimes.com edisi 14 November 2018 sungguh menggelitik. “Menteri Agama Harus Muslim? Timses Jokowi dan Prabowo Menjawab”.

Dari judulnya sudah bisa ditebak isinya, yang kurang lebih jawaban dari tim sukses Jokowi-Ma’ruf dan Prabowo Subianto dan Sandiaga Uno tentang satu pertanyaan: Apakah menteri agama harus muslim?

Setelah diawali dengan penjelasan ke sana kemari menyangkut setiap pemeluk agama memiliki kans yang sama, namun pada ujung jawabannya bisa ditebak, kandidat muslim lebih pas.

Saya angkat topi dengan ide pemuatan berita yang out of the box itu. Sekaligus merangsang saya menyelami berbagai hal tentang Menteri Agama dan Kementerian Agama serta pernak perniknya.

Tentu saja, Kemenag.go.id menjadi rujukan utama. Dalam satu halaman di website resmi itu menyajikan sejarah terbentuknya Kementerian Agama.

SEJARAH SINGKAT

Dari apa yang saya pahami, dalam sejarahnya, Kementerian Agama tidak serta merta muncul. Tapi didahului pergolakan kecil dalam rapat Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI).

Adalah Muhammad Yamin, politisi dan sastrawan jebolan Leiden, Belanda, yang mengusulkan pertama kali dalam rapat besar BPUPKI pada 11 Juli 1945. Menurutnya, urusan Islam harus diurus oleh lembaga yang khusus menangani hal itu. Yakni, Kementerian Agama.

Usulan itu dicatat, dan kembali dibicarakan dalam rapat Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) yang secara khusus membicarakan kementrian dan departemen yang perlu dibentuk di Indonesia. Usulan kandas, karena tidak disetujui oleh anggota PPKI.

Penulis  sejarah B.J. Boland mencatat, penolakan pembentukan Kementerian Agama, mengecewakan orang-orang Islam, yang sebelumnya telah dikecewakan oleh penetapan Pancasila sebagai dasar negara Indonesia (bukan Islam maupun Piagam Jakarta).

Apalagi, ada peristiwa penghapusan tujuh kata Piagam Jakarta dalam Pancasila, "Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya."

Namun ide untuk membuat Kementrian Agama tidak berhenti. Pada November 1945, dalam sebuah rapat pleno Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP), juru bicara Komite Nasional Indonesia Daerah Keresidenan Banyumas, K.H.M Saleh Suaidy, kembali mengungkapkan perlunya dibuat Kementerian Agama.

Singkat kata, sidang KNIP menyetujuinya.

Maka, di Kabinet Sjahrir II, melalui Penetapan Pemerintah No 1/S.D. tanggal 3 Januari 1946 diputuskan untuk mengadakan (baca: membentuk) Kementerian Agama.

Dalam buku Sedjarah Hidup K.H.A. Wahid Hasjim dan Karangan Tersiar (Kementerian Agama, 1957: 856) tertulis, “Kementerian Agama pada hakikatnya adalah jalan tengah antara teori memisahkan agama dari negara dan teori persatuan agama dan negara."

Kementerian Agama yang dipimpin Menteri agama pertama, H.M. Rasjidi mengambil alih tugas-tugas keagamaan yang semula berada pada beberapa kementerian.

Kementerian Dalam Negeri (masalah perkawinan, peradilan agama, kemasjidan dan urusan haji), Kementerian Kehakiman (Mahkamah Islam Tinggi),  dan Kementerian Pengajaran (Pendidikan dan Kebudayaan agama di sekolah-sekolah).

Dalam pidatonya di Surakarta, H.M. Rasjidi menegaskan, Kementerian Agama sekaligus wujud pemenuhan Undang-Undang Dasar 1945 Bab XI pasal 29.

Terutama tentang "Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa" dan "Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya."

JAMAN NOW

Jaman berubah. Bila di awal-awal pembentukan kementerian ini lebih fokus pada persoalan agama Islam, namun Kementerian agama “zaman now” berkembang sesuai kebutuhan yang lebih beragam dalam agama-agama yang berbeda.

Setidaknya saat ini ada 11 eselon di Kementrian Agama. Juga, tujuh direktorat jenderal yang masing-masing membidangi hal-hal spesifik.

Sebut saja soal pendidikan, haji dan umrah, bimbingan masyarakat Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Buddha, dan urusan kehalalan sebuah produk (Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal atau BPJPH).

Tak hanya itu, terdapat tiga staf ahli yang khusus membantu menteri agama dalam persoalan hubungan kelembagaan antar agama, komunikasi dan informasi, hukum dan HAM, kerukunan antar umat beragama, serta kebutuhan penganut Khonghucu.

Ribuan orang yang bekerja di Kementerian Agama memiliki tugas pokok membantu Presiden dalam menyelenggarakan pemerintahan negara di bidang agama.

Kembali ke pertanyaan utama selaras dengan judul artikel ini: Apakah Menteri Agama sebagai pucuk pimpinan Kementerian agama, harus selalu beragama Islam?

Website resmi Kemenag.go.id memiliki halaman berjudul “Menteri Agama Dari Masa ke Masa”. Sayangnya, di halaman itu (setidaknya saat artikel ini dibuat pada 28 Juli 2019), kosong.

Beruntung di Wikipedia.org ada halaman “Daftar Menteri Agama Indonesia”. Di situ tertulis, dari 22 Menteri Agama yang ada, termasuk Menag Lukman Hakim Saifuddin, semuanya beragama Islam.

Saya coba melakukan riset kecil-kecilan tentang menteri agama, tidak ada ditemukan alasan mengapa Menteri Agama RI harus beragama Islam.

CARA MEMILIH
Saat periode Presiden Jokowi berkuasa, Tempo.co sempat mempublikasi “Cara Presiden Jokowi Memilih Menteri”. Dalam artikel itu tertulis, Jokowi-JK melakukan seleksi ketat dan hati-hati dalam memilik menteri.

Bahkan, melibatkan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Pusat Pelaporan dan Analisa Transaksi Keuangan (PPATK).

Khusus tentang Menteri Agama, ada artikel lain di Liputan6.com yang menyuguhkan analisa pengamat tentang kemungkinan Menteri Agama era Jokowi-Ma’ruf Amin-yang akan muncul dari tiga “poros hijau” pendukung Jokowi: PPP, PKB dan NU.

Pengamat politik dari Universitas Islam Negeri Hidayatullah Jakarta Adi Prayitno memprediksi kursi itu bisa menjadi milik PPP. Karena DNA-nya memang sudah di sana. "Menag bisa saja PPP. DNA-nya milik PPP. Jatah politik PPP sejak lama," kata Adi kepada Liputan6.com, (Senin 22/7/2019).

Hampir senada, jurnalis senior Pepih Nugraha dalam artikelnya di Pepnews.com mengulas singkat “Bagaimana cara menjadi menteri di Indonesia.” Dalam artikel itu, Pepih menuliskan:

”Di zaman sekarang keputusan mengangkat menteri dilakukan melalui "jembatan" partai terlebih dahulu. Artinya, presiden memberi jatah kepada beberapa partai pendukungnya, maka partai politik tersebut mencarikan calon menteri dari kadernya, sangat jarang mencari kader yang benar-benar profesional di bidangnya.”

Setidaknya, kesimpulan sementara saya, mempertanyakan kemungkinan agama di luar Islam menjadi menteri agama, memang pertanyaan yang absurd. Hampir mustahil bagi pemeluk agama di luar Islam menduduki posisi Menteri Agama.

Meskipun, orang yang bersangkutan memiliki kualitas tinggi dan mampu menjalankan visi-misi dan tugas-fungsi sebagai Menteri Agama. Bahkan, bila orang yang bersangkutan diusung oleh partai pemenang Pemilu sekali pun!

Bila Menteri Agama dari kalangan di luar Islam “tidak memungkinkan”, bagaimana dengan aliran agama di dalam Islam yang beragam?

Dua aliran besar di dunia, termasuk di Indonesia, adalah Sunni dan Syi’ah. Namun di antara kedua, juga ada Islam Wetu Telu/Islam Sasak, Islam Aboge, Islam Jamaah, Ahmadiyah Qadian, Baha’i, Inkarus Sunnah, Darul Arqam, Al-Qiyadah al-Islamiyah, dll.

Apakah mungkin Menteri Agama RI dari aliran-aliran itu?

(*) | image: chambersstudent.co.uk

No comments:

Post a Comment