13 December 2010

Terus menggeliatlah Yogya, memang sudah waktunya,..

Iman D. Nugroho


Polemik akibat ucapan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) soal monarki di Yogyakarta, bukan hanya soal mempertahankan Sultan HB X sebagai Gubernur Yogyakarta. Melainkan sebagai bukti, pemerintah Jakarta tidak memahami rakyatnya.


Karena itulah, rakyat Yogyakarta berhak marah dan kecewa. Sama halnya ketika rakyat Papua dilecehkan upacara kesukuannya, atau rakyat Minang akan dihapus kekuasaan para nagari-nya dan rakyat Dayak yang diremehkan adatnya. Sultan bagi rakyat Yogya adalah pemimpin. Bukan cuma kesultanan, tapi juga pemerintahan.

Hal lain yang lebih menyakitkan adalah, polemik komentar Presiden SBY itu terjadi setelah rakyat Yogya diterpa bencana alam meletusnya Gunung Merapi. Belum kering air mata ratusan warta Yogya yang meninggal dunia karena wedhus gembel, belum hilang bau ternak yang mati terpanggang, eh,.. sudah diusik dengan persoalan kemonarkian.

Bisa dipahami, mengapa rakyat Yogya sangat marah. Dan mereka memang harus marah. Bukan karena ingin mempertahankan Sultan HB X sebagai Gubernur semata, melainkan sebagai luapan kekecewaan kepada negara yang tidak memahami rakyat-nya. Rakyat yang secara sejarah sangat berjasa.

Karena itu, terus menggeliatlah Yogya!

foto: Sultan HB IX bersama masyarakat Dayak.

08 December 2010

Kematian Lennon 30 tahun lalu itu,..

Iman D. Nugroho

Jadi, 30 tahun lalu, 1980, musisi John Lennon ditembak mati di apartemennya di New York oleh Mark David Chapman, orang yang mengaku penggemarnya. Peristiwa itu tidak penting, kecuali sebuah bukti: Seruan John Lennon atas perdamaian masih berlaku hingga kini.


Dalam sebuah perjalanan ke New York (NY) pada 2008, penulis sempat sejenak mampir ke Strawberry Field. Sebuah sudut di Central Park kota NY yang dibuat khusus untuk mengenang kematian John Lennon.

Itu sebuah ketidaksengajaan kecil yang menyenangkan. Karena "lapangan Strawberry" yang dibuat berdasarkan lagu Lennon berjudul Strawberry Fields Forever itu, ibarat pintu waktu menuju masa lalu dan masa depan. Sejarah, sekaligus harapan.

Sejarah atas sebuah kematian, namun harapan untuk terus menjaga perdamaian. Seperti seruan John dalam lagu Imagine yang ditulis di atas Strawberry Fields. "Di apartemen itulah, John ditembak mati," kata seorang penggemar John Lennon yang saat itu ada di sana.

Seruan John atas perdamaian itu diamini oleh seluruh negara di dunia. Dalam sebuah prasasti batu yang terletak di area Strawberry Field, tertulis nama-nama negara yang mendukung seruan damai John Lennon. Indonesia ada dalam jajaran negara itu.

"Imagine there's no countries. It isn't hard to do. Nothing to kill or die for. And no religion too. Imagine all the people. Living life in peace," tulis John dalam lagu berjudul Imagine.

"John mencintai dan berdoa untuk kemanusiaan, tolong berdoalah dengan semangat yang sama untuk dirinya," kata Yoko Ono, istrinya, sehari setelah kematiannya, 30 tahun lalu.

22 November 2010

Binar Kesepian

Syarief Wadja Bae

Kesepian tumpah berserakan
bahkan becek dan memecah arah.
Pada relung pagi daun-daun berbisik
tentang kabut yang beranjak menutupi
tikungan tempat lahir aksara
yang membakar menit jika saja
sedikit gesekan terjadi
dan perang akan jadi akibat
Kunang-kunang menutup diri
dengan payung hitam
mengibar niat untuk menembus pagi
karena belum usai membekali kupu-kupu
pembawa tinta yang dikirim
untuk kertas-kertas dalam bilik abu-abu

Tak mau hanya dengan mengalir saja
tanpa memahami lubang-lubang
yang menjadi tempat menampung
dan mengendapkan segala aku
yang bisa mengakar lagi,
membuat isi kepala berjamur taring
hingga mata buta karena gagal
merekam mekar mawar yang dibungkus
binar kejujuran

Semua akan rugi bila yang dibangun
tiba-tiba menjelma fatamorgana.
Bersekutulah dengan musim
agar paham dan bertahan sampai
tujuan tanpa tameng yang disulap otak
untuk membangunkan penyakit lama


Maret 2010

05 November 2010

Nasib teater Indonesia setelah Rendra pergi

Diana AV Sasa

Perhelatan Kompetisi Teater Indonesia yang berlangsung sejak 1 November hingga 8 November mendatang, juga akan menggelar seminar tentang perkembangan teater modern Indonesia. Seminar bertema “Teater Modern Indonesia Pasca Rendra” yang dilaksanakan pada 6 Nopember mulai pukul 09.00 wib di Gedung Cak Durasim, Taman Budaya Jawa Timur.


Jurnalis yang juga sastrawan Rachmad Giryadi didapuk sebagai moderator. Menurut ketua panitia Kompetisi Teater Indonesia, Farid Syamlan, sekitar 100an orang telah menyiapkan diri untuk mengikuti seminar yang menampilkan narasumber Slamet Rahardjo (Aktor, Jakarta), Putu Wijaya (Sutradara, Jakarta), dan David Reeve (Penulis dan akademisi, Australia) itu.

Putu Wijaya dikenal sebagai sahabat sekaligus "musuh" Rendra. Putu mengaku belajar 5 hal dari Rendra. Pertama, Rendra mengajarkan dirinya untuk mempertimbangkan tradisi. Kadang, katanya, tradisi ini diterima begitu saja, padahal ada yang tidak perlu. Kedua, berani melawan. Artinya berani melakukan interpretasi, reposisi dan sebagainya. Ketiga, mengajarkan tidak pernah menyerah. Keempat, Putu mengaku selalu diingatkan oleh Rendra, bahwa jika tidak ada sesuatu yang baru di dunia ini, lalu apa artinya kehadirannya. Kelima, Rendra mengajarkan untuk kritis.

Slamet Rahardjo menyimpan kekaguman dan kedekatan tersendiri dengan Rendra. Ia pernah dipilih langsung oleh Rendra untuk menyutradarai film Kantata Takwa. Bahkan sebelum meninggal Slamet pernah dimarahi Rendra. "Pada suatu malam, Willy itu mukanya berang. Dia nunjuk ke muka saya. Dia tampak marah dengan saya waktu itu. Dia bilang, 'kembali kepada nuranimu! Jangan sekali-sekali kamu berbohong dengan apa yang kamu yakini".

Sementara David Reeve adalah pengamat dan sekaligus penulis yang banyak memperkenalkan Rendra di kalangan seniman internasional, khususnya Australia.

11 August 2010

Guci kosong menunggu diisi

Syarif Wadja Bae

Guci kosong menunggu diisi.
setelah diisi menunggu ditimbang.
lalu ditumpahkan ke dalam bilik putih.
Kemudian guci kosong lagi.

Selalu begitu.
Berulang-ulang.
Sebaiknya aku hancurkan saja guci itu.
bukan karena tak mau ditimbang.


Tapi aku ingin jadi guci untuk apa yang terisi dalam diri ini.
Agar aku tau pasti, tentang apa yang ditumpahkan kedalam bilik putih.
Karena bilik hitam beserta isinya telah menamparku.


11 Agustus 2010 – 1 Ramadhan 1431 H

01 July 2010

Saksi [sebuah puisi]

Syarif Waja Bae

Kau bawa nada api pada senja kelam
Menatap jingga dengan diam
Untuk apa merengut
hanya karena tembang api yang ribut
SAKSI

Tatkala angan tertiup
Sebuah sajak maaf mengecup

Ragam rasa menjadi nyanyian
Melebur dalam lingkar lengan
Merdu nada hatimu kurasa
Ada kalanya kita kesepian!
Sekejap, semburat memecah gundah.
Terbungkus ruang dengan rupa surga dan neraka.
Pada kalbu yang yang dihiasi melati dan kawat duri
namaMU tetap kuhayati dalam nadi
Dalam dosa dan pahala yang jadi saksi

Juni 2010

03 June 2010

Ingkar

Syarif Wadja Bae

Di antara kepingan perih,
Kau tambahkan gumpalan gelap yang membungkus api didadamu untuk dendam yang tak pernah usai.

Goresan luka semakin lebar di kalbu yang lapar akan hak.
Kalbu dengan darah yang membentuk mawar.
Semburat ke pintu langit.
Berteriak hingga serak.



Sebelum kau buat perjanjian, ajaklah egomu bersepakat dengan hatimu.
Renungkan, jika seandainya hakmu dirampas.
Terkutuk kau !!!

*Juni 2010

Puisi lain, klik di sini.

30 April 2010

Perhentian Sejenak

Syarif Wadja Bae

Riuh dengan dentum turun memberi ratusan pijakan bundar, basah dan berbunyi renyah tapi cuma sekejap.
Menyaksikan siang dengan kepala yang hampir pecah.
Ini tetes keringat di padang tandus.

Melihat bunga, indah.
Inginku petik tapi bukan aku yang menanam dan merawatnya.
Pada saat yang lain, kutemukan bulan dengan lekuk manis.
Maksud hati menyapa dengan lesung pipiku tapi aku tak yakin
Kalau separuh bulan itu tersenyum padaku karena disekitarku
Banyak naga belang yang turut senyum padanya.

Di simpang lima kota, aku dapati sedikit air dalam gelas retak
Di sebelahnya ada sisa tinta dalam botol mungil lalu ada suara
berbisik. ”pilih tinta atau air ?”
Aku jawab. ”pilih dua-duanya”. mungkin bisa aku campur jadi satu dan kemudian ku lukis sesuatu.
Tapi disini tak ada kanvas. lagipula aku tak pandai melukis.

Memang. resah selalu singgah pada jiwa yang tak kenal lelah,
Mengerucut untuk mengubah yang harus dirubah.
Tapi kali ini aku bingung. mungkin butuh perhentian sejenak mengingat kembali apa yang telah terekam, (riuh yang berdentum, bunga yang indah, bulan yang tersenyum, sedikit air dan tinta dalam botol mungil) kemudian aku belajar melukis agar ada cerita diatas kanvas itu yang bisa dijadikan cermin.

*April 2010 | graphic by inkisonline.com

| republish | Please Send Email to: iddaily@yahoo.com |

28 April 2010

[ Book for Good ] Biografi Setengah Hati Hatta

Diana AV Sasa

Ini kisah tentang 4 ‘istri’ yang begitu dicintai: Indonesia, rakyat Indonesia, buku, dan Rahmi. Dengan menyajikan sosok Mohammad Hatta, sebagai figur bapak bangsa yang demikian mencintai bangsanya, rakyatnya, dan buku-bukunya hingga rela bersumpah tak akan menikah sebelum kemerdekaan Indonesia tercapai, Dedi Ahimsa Ariadi, menasbihkan buku ini sebagai sebuah novel biografi.

Dedi memfigurkan seorang Hatta sebagai sosok yang bak aose di tengah gurun. Ketika situasi negeri tengah digoncang krisis kepemimpinan akibat beberapa tokoh pergerakan ditangkap dan di asingkan pemerintah kolonial Belanda, Hatta tampil sebagai orang yang paling lantang berteriak bahwa pergerakan menuju Indonesia merdeka tak boleh bergantung pada figur individu. Dengan sepenuh keyakinan dan semangat ia terus menyuarakan dan menjaga semangat kemerdekaan. Melalui tulisan dan pengkaderan di daerah-daerah, Hatta meyakini dapat memunculkan pemimpin-pemimpin baru.

Dituturkan dengan bahasa sastra yang bertabur metafora, Dedi berhasil mengaitkan antara akibat pembajakan kapal perang Belanda HNMLS De Zeven Provinciёn oleh awak kapal pribumi dan Eropa sebagai bentuk protes atas pemangkasan upah dan penangkapan beberapa awak kapal hingga menjadi sorotan internasional dan membuat pemerintah kolonial gusar, dengan terjadinya krisis kepemimpinan di negeri ini setelah Soekarno-tokoh yang menjadi panutan rakyat saat itu- ditangkap dan diasingkan. Sampai ditiik ini, Dedi sukses menampilkan latar kemunculan Hatta sebagai tokoh bangsa.

Hatta kemudian ditilik latar belakang masa kecil hingga mudanya. Dengan gaya orang ketiga, diceritakanlah bagaimana Hatta lahir di lingkup keluarga berbudaya minang yang umumnya matrialkal namun keluarga Hatta menganut patrialkal. Digambarkan pula pondasi keagamaan Hatta yang tersemai sejak belia hingga kemudian hari prinsip keagamaan itu menjadi pegangan dan sandarannya dalam memilih jalur pergerakan. Tuturan hingga 4 bab ini cenderung deskriptif dan naratif, sangat miskin dialog . Hingga tokoh Hatta terbangun melalui perspektif penulis... selengkapnya, klik di sini.

| republish | Please Send Email to: iddaily@yahoo.com |

The Book of Eli, Berjibaku demi Sebuah Buku

Jojo Raharjo

Menyaksikan secara khusus pemutaran perdana “The Book of Eli” di Djakarta Teater, saya mencermati film yang masuk dalam genre action ini dikemas dengan pesan moral khusus, dengan mengambil latar belakang kondisi dunia pasca perang nuklir. Nice!

Rubrik film kita kali ini mengupas film Hollywood berjudul “The Book of Eli”, film terbaru Denzel Washington yang sedang tayang di jaringan bioskop 21 dan XXI di Indonesia. Saat itu, 30 tahun paska perang nuklir, dunia sudah tak sama lagi. Amerika menjadi padang gurun, manusia sangat jarang junmlahnya, dan mereka saling bunuh demi barang sepele seperti makanan kaleng, air, dan shampo.

Tersebutlah seorang musafir bernama Eli (diperankan secara luar biasa oleh Denzel Washington) yang terus berjalan menyusuri padang gurun nan penuh dengan kejahatan demi sebuah misi sucinya. Dari sinilah, actioon demi action terus tergelar.

Dalam perjalanannya menempuh kehidupan yang keras, Eli membawa sebuah ransel berisi bahan bahan kebutuhannya sehari hari. Saat itulah, seorang pemimpin kota yang jahat bernama Carnegie, diperankan oleh Gary Oldman, tahu bahwa di dalam ransel Eli tersembunyi sebuah buku yang dicarinya. Fokus film kemudian berubah dengan berbagai adegan aksi bagaimana Eli mencoba mempertahankan buku itu bersama anak angkat Solara, anak angkat Carnegie yang berpihak padanya.

Carnegie dan pengikut setianya terus memburu Eli, yang mati-matian mempertahankan buku itu meski terus dikepung komplotan jahat bersenjata lengkap. Melalui serangkaian adu tembak, buku itu memang akhirnya berpindah tangan ke kelompok penjahat, namun tragis bagi Carnegie karena mereka tak dapat membaca buku yang ternyata ditulis dalam huruf braille.

Akan halnya Eli, ia dapat menyelamatkan diri menuju sebuah pulau yang mencetak ulang semua buku yang telah musnah di muka bumi ini. Dengan hafalan dalam memori di kepalanya, Eli menulis ulang seluruh isi buku itu, yang ternyata merupakan Kitab Suci versi King James.

Eva Mindardjatims, wartawati Astaga dot Com yang menyaksikan pemutaran perdana “The Book of Eli” memuji alur cerita dalam film ini. “Bagus banget.. dari awal sampai akhir nonton, kita tak menduga alur ceritanya dan ending-nya seperti apa. Pada akhirnya kita menebak buku itu apa, yang ternyata ada misteri lagi di balik itu. Dalam banget pesannya,” kata Eva.

Eva menegaskan, untuk mendapat pesan utuh dari film ini, seorang penonton harus menyimak secara sabar karena film ini memang kuat dalam pesannya, tapi secara ketegangan atau suspense yang disajikan sebenarnya masih standar. “Suspense sih tidak terlalu banyak, kecuali memang ketegangan saat pembunuhan misalnya. Tapi itu wajar, karena dalam situasi zaman paska perang abad keduapuluh sekian itu, pilihannya kalau mau selamat ya harus bunuh orang,” kata Eva tentang “The Book of Eli” yang diproduksi oleh Warner Bross Pictures.

| republish | Please Send Email to: iddaily@yahoo.com |

17 April 2010

Komunitas Menggeliat lewat Srawung Art.

Dian AV. Sasa | Press Release

Keberadaan komunitas seni budaya dan literasi di berbagai daerah, tidak pernah berhenti dari upaya menghidupi dirinya, sembari menjaga semangat dan tujuan yang dipundaki. Meski terkadang langkah tersandung dan nafas gerakan tersendat, namun kehadiran mereka menjadi sandar penjagaan di tengah arus modernitas yang terus menggerus budaya negeri ini.

Dalam 'keterasingan' mereka melakukan gerakan sunyi yang tak banyak diminati khalayak. Anak-anak muda dengan semangat muda ini selayaknya mendapat apresiasi atas upaya yang mereka lakukan. Gerakan komunitas ini merayap di lajur masing-masing dengan tujuan yang searah:menjaga kelangsungan seni budaya lokal dan membangun kesadaran literasi.

Seringkali, kendala ruang apresiasi menjadi kendala dalam menjaga kelangsungan gerakan komunitas ini. Di Surabaya tak banyak ruang tersedia untuk berkarya dengan dana pas-pasan. Gallery Surabaya yang sering digunakan karena biayanya sangat murah pun kondisinya sudah sangat memprihatinkan dan tidak layak.

Untuk itu, "SRAWUNG ART" mencoba menyediakan ruang untuk menggelar ekspresi karya komunitas musik, teater, senirupa, fotografi, literasi, sastra, dan lain-lain dengan gaya menyesuaiak karakter kotametropolis, cafe menjadi pilihannya. Diharapkan, kedepan, SRAWUNG ART dapat dimanfaatkan sebagai ruang bereksplorasi dan unjuk karya bagi setiap komunitas. Tujuannya agar terjadi tukar informasi dan perluasan jaringan sehingga pergerakan budaya dapat lebih bersinergi dan tidak menjadi gerakan yang berjalan sendiri-sendiri.

Dipandegani oleh komunitas ESOK(Emperan Sastra Cok-Cepetan Ojo Keri) bekerjasama dengan DBUKU (Gallery buku Bibliopolis), maka malam ini (15/4)"SRAWUNG ART menandai kemunculan pertamanya di Art Cafe, Jl Brigjend Katamso 222, Waru Sidoarjo dengan menggelar TEMU KOMUNITAS SENIBUDAYA dan LITERASI.

Hadir dalam acara ini adalah Komunitas Perkusi (Jajan Pasar, Phsyconoise), Musikalisasi Puisi SMU Bina Bangsa, Band-band Indie, OI DKSH Surabaya(Iwan Fals Fans Club), Insan Baca (literasi), Arek Museum (Senirupa), Forum Rebo Sore (sastra dan literasi UNESA), C2O Library and Cinemateque, Komunitas Komik Bunuh Diri, dan lain-lain.

Turut hadir pula penulis novel asal Surabaya yang tinggal lama di Jakarta, Kirana Kejora. Kemudian juga penulis novel Ferry Herlambang Zanzad (Elle Eleanor), dan Mahwi Air Tawar (cerpenis,jogja).

"SRAWUNG ART kami cita-citakan mampu menjadi ajang tukar ide sehingga antar komunitas dapat saling merespon gagasan. Dengan begitu, sebuah karya akan menjadi lebih kaya. Komunitas musik mungkin sekali waktu dapat merespon karya teman-teman senirupa, komunitas penulis dapat merespon fotografi, dan sebagainya", kata Gita Pratama, Koordinator ESOK.

Dalam diskusi yang dimoderatori Diana Sasa dari DBUKU, Ilham J Baday perwakilan dari Arek Museum mengatakan "Setiap komunitas mengalami dua masalah pokok, yaitu jaringan dan ruang berekspresi. Dan kehadiran SRAWUNG ART ini kiranya dapat menjembatani hal itu, menjadi ajang komunikasi dan tukar wacana antar lintas komunitas sekaligus ruang apresiasi karya"

SRAWUNG ART direncakan akan menggelar kegiatan apresiasi karya secara rutin setiap Kamis malam, minggu ke dua tiap bulannya.


| republish | Please Send Email to: iddaily@yahoo.com |

16 April 2010

Orang Prancis Saja Mengenal RA. Kartini

Press Release

RA Kartini memang luar biasa. Perjuangannya mengangkat harkat dan martabat kaum perempuan, terus dikenang hingga kini. Karena itulah Pusat Kebudayaan Prancis atau CCCL Surabaya ikut memperingati Hari Kartini yang jatuh pada 21 April 2010 mendatang.

Dengan menggandeng Yayasan Hotline Surabaya, CCCL menggelar serangkaian acara yang digelar mulai 19 hingga 21 April 2010. Diawali dengan pameran foto dan produk kerajinan karya para perempuan binaan Yayasan Hotline, yang sekaligus akan dilaunching di acara ini, hingga diskusi bertema ”Pemenuhan Hak Asasi Manusia dan Seni Domestik” bersama para pakar.

Sebelum diskusi, bertepatan dengan hari dedikasi bagi perjuangan Kartini, akan digelar pula film berjudul Pertaruhan, yang mengangkat tema tentang tubuh perempuan berkaitan dengan lingkup sosial dan kesehatan. Untuk acara pemutaran film ini, CCCL didukung oleh Qmunity Surabaya dan Kalyana Shira.

Berikut agenda selengkapnya:

1. Tanggal 19 hingga 21 April - Pameran Seni Domestik Rajut (Crochet & Knit)
2. Tanggal 21 April – Salle France
a) Pk. 16.00 – Pemutaran Film Pertaruhan (At Stake)
b) Pk. 18.00 – Diskusi Bersama Para Pakar

| republish | Please Send Email to: iddaily@yahoo.com |

14 April 2010

Menemukan Cinta di antara Mitos

Jojo Raharjo | Resensi Film When In Rome

Kalau Anda ingin menemukan film yang menggabungkan unsur romantis dan komedi, misalnya lagi bosan dengan film horor atau aksi, maka “When In Rome” yang saat ini tayang di jaringan bioskop 21 dan XXI di Indonesia adalah jawabannya.

Menyaksikan secara khusus pemutaran perdana “When In Rome” di Jakarta, film ini menjadi sangat hidup mengangkat unsur percintaan dengan gaya lucu-lucuan berlatar belakang Roma, ibukota Italia yang juga disebut kota penuh budaya itu.

Film ini mengangkat tokoh sentral Beth, yang diperankan Kristen Bell, sebagai sosok gadis yang cantik, mapan, dan memiliki karir bagus di pekerjaannya. Namun sayang dalam urusan asmara Beth yang bekerja sebagai kurator di salah satu galeri foto terkenal ini tidak seberuntung teman-temannya.

Namun siapa yang menyangka bahwa pernikahan sang adik yang dihelat di ibu kota Italia, Roma, membawanya pada sebuah perkenalan dengan seorang pemuda tampan bernama Nick, yang dimainkan secara apik oleh Josh Duhamel. Sayang harapan tinggi Beth kepada pemuda tampan ini sirna saat ia melihat Nick berciuman mesra dengan wanita Italia yang lebih cantik dan sexy dari dirinya.

Dalam keputusasaan, Beth menghampiri The Fountain of Love atau air mancur cinta, yang di negara asalnya Italia, sangat terkenal sebagai air mancur yang bisa mendatangkan cinta kepada siapa saja yang melemparkan koin ke dalam kolamnya.

Selanjutnya, adegan-adegan “When In Rome” menyajikan aneka polah lucu terkait cowok cowok yang tiba tiba nguber nguber untuk mengejar cinta Beth. Jojo bercerita, cowok cowok itu mendadak mabuk kebayang pada Beth, karena Beth iseng mengambil koin koin yang dilempar ke air mancur cinta.

Di film yang berdurasi 90 menit i Beth yang tidak percaya mitos The Fountain of Love mencoba mengambil koin-koin yang ada didasar kolam untuk menyelamatkan para pelempar koin. Tanpa ia sadari tindakan menimbulkan bencana yang tidak pernah ia duga sebelumnya, yakni dikejar kejar cowok yang sama sekali tidak dikenalnya,

Secara keseluruhan film yang diproduksi oleh Walt Disney ini sangat menarik. Sang sutradara Mark Steven Johnson menyelipkan humor segar dan pesan kebudayaan lokal yang dalam. Dan, tentunya bisa mengajak kamu berkhayal jalan jalan menyusuri kota Roma!

When In Rome memang ditujukan untuk para wanita, namun tidak ada salahnya para pria menonton film ini, karena ada beberapa adegan yang bisa mengilhami para kaum adam ini untuk menggaet wanita idaman mereka. Selain itu, kamu juga bisa melihat akting beberapa nama-nama besar Hollywood seperti Danny De Vitto, Don Johnson dan bahkan pemain basket Shaquille O'Neal.

Seusai menonton pemutaran perdana film “When In Rome”, Danty Syarif, penyiar U FM Radio mengungkapkan kesannya, kalau film ini memberi inspirasi khusus tentang bagaimana seorang anak manusia menemukan cinta dalam hidup, meski melalui jalan yang berliku. Menurutnya, film ini ceritanya beda dengan film lain. “Lucu banget, deh. Wajib ditonton sebagai inspirasi mereka yang masih single untuk mencari pasangan jiwanya,” kata Danty.

Secara khusus, Danty Syarif juga memberi apresiasi pada Kota Roma sebagai setting film ini. Baginya, keindahan Roma memberi nilai lebih tersendiri pada film ini. “Meski setting film di Romanya tidak banyak, kebanyakan hanya di sekitar patung depan gereja itu, tapi cukup menggambarkan bahwa film ini memang diambil di Roma. Juga tentang New York, sebagai kota asal bintang utama dalam film ini. It’s okaylah,” kata Danty.

Nah itulah tadi, Bedah Film kali ini, yang mengupas film “When In Rome”, mengajak kamu mendapat inspirasi tentang cinta, sembari berkelana memanjakan mata menyusuri sudut-sudut kota Roma di Italia. Sampai jumpa di Info Link berikutnya.
*Bedah Film versi online dapat kamu dengarkan di Fans Page Facebook Espira pada Rabu dan Jum’at, 14 dan 16 April 2010 pukul 11.00 dan 14.00 WIB.

| republish | Please Send Email to: iddaily@yahoo.com |

10 April 2010

Perang Dewa versi Tiga Dimensi

Jojo Raharjo

*Resensi Fim “Clash of The Titans”

Rubrik film kali ini mengupas film Hollywood berjudul “Clash of The Titans” yang sedang tayang di jaringan bioskop 21 di Indonesia. Menyaksikan pemutaran khusus “Clash of The Titans” bagi wartawan di Plaza Indonesia Theater, Jakarta saya merasakan betapa film yang diangkat dari mitologi Yunani, didukung dengan efek suara dan visual dahsyat banget.

Kisahnya diawali saat manusia memberontak terhadap para dewa dengan merobohkan patung Dewa Zeus. Maka, para dewa pun murka dan mengirimkan monster bernama Kraken untuk menghancurkan negeri Agros beserta seluruh penghuninya. Di saat itulah, muncul pahlawan bernama Parseus, manusia setengah dewa yang memimpin rakyat bertarung melawan para dewa. Parseus dilahirkan dan ibu seorang manusia dan berayahkan Zeus, yang kemudian memimpin perang melawan dendam karena dia juga sakit hati dibuang ke dunia.

Dalam film produksi Warner Bross ini, penonton menjadi terhibur dengan perpaduan antara adegan perang, aksi aksi perkelahian dan gambar imajiner, misalnya suasana pada tempat antara kehidupan manusia dan kekuasaan Sang Maha Kuasa.

Seusai pemutaran “Clash of The Titans”, Dona Asri, wartawati Majalah Angkasa mengaku, dirinya selalu memiliki kesan tersendiri setiap menonton film bertemakan mitos para dewa. “Pasti ada sesuatu yang menarik untuk dipelajari dari mitos para dewa. Dalam kisah ini, kita tahu betapa siapapun bisa jadi dewa kalau ada sesuatu dari dalam kita yang bisa keluar, saat kita betul-betul yakin dengan kemampuan kita,” katanya.

Tapi, ada juga kritikan yang mengatakan bahwa alur cerita film “Clash of The Titans” terlalu mengada-ada, seperti disampaikan Arvero Iwantra, Editor For Him Magazine. “Dari segi cerita terlalu khayal. Ya, ini memang fantasi, tapi seharusnya sebuah film mesti ada logika ceritanya. Sebagai hiburan oke, tapi sebagai sebuah karya sinema, kurang maksimal,” kata Arvero.

Film ini menjadi menarik dinikmati karena beberapa gedung bioskop menyediakan versi 3D. Dalam versi tiga dimensi, penonton mendapatkan kacamata khusus sehingga mendapatkan suasana film seperti nyata. Kesan itu juga yang disampaikan Dona Asri. “Pasti beda nonton film 3D dibanding film biasa, seperti kita masuk ke dunia nyata,” papar Dona,

Namun, Arvero Iwantra punya pendapat lain. Menurutnya, teknologi 3D memang bagus, tapi tetap tidak akan berarti bila tidak diimbangi plot cerita yang berkualitas. “Tiga Dimensi itu hanya gimmick, ibarat kecantikan wajah dia cuma kosmetik atau make up luar saja. Yang penting sebuah film dibilang bagus atau jelek bukan dari teknologinya, tapi jalan cerita film itu,” kata Arvero.

Apalagi kata Vero, film ini merupakan karya remixed. “Film ini kan sudah pernah diputar pada era 1980-an. Nah, zaman dulu orang tertarik karena dongengnya, bukan karena efeknya kan?” katanya.

| republish | Please Send Email to: iddaily@yahoo.com |

07 April 2010

Perhentian Sejenak

Syarif Wadja Bae

Riuh dengan dentum turun memberi ratusan
pijakan bundar, basah dan berbunyi renyah tapi Cuma sekejap.
menyaksikan siang dengan kepala yang hampir pecah.
ini tetes keringat di padang tandus.

Melihat bunga, indah.
Inginku petik tapi bukan aku yang menanam dan merawatnya.
Pada saat yang lain, kutemukan bulan dengan lekuk manis.
Maksud hati menyapa dengan lesung pipiku tapi aku tak yakin
kalau separuh bulan itu tersenyum padaku karena di sekitarku banyak naga belang yang turut senyum padanya.

Di simpang lima kota, aku dapati sedikit air dalam gelas retak
Di sebelahnya ada sisa tinta dalam botol mungil lalu ada suara berbisik.
”Pilih tinta atau air ?” Aku jawab. ”Pilih dua-duanya”.
Mungkin bisa aku campur jadi satu dan kemudian kulukis sesuatu.
Tapi disini tak ada kanvas.
Lagipula aku tak pandai melukis.

Memang.
Resah selalu singgah pada jiwa yang tak kenal lelah, mengerucut untuk mengubah yang harus dirubah.
Tapi kali ini aku bingung. mungkin butuh perhentian sejenak
Mengingat kembali apa yang telah terekam,
(riuh yang berdentum, bunga yang indah, bulan yang tersenyum, sedikit air dan tinta dalam botol mungil).
Kemudian aku belajar melukis agar ada cerita diatas kanvas itu yang bisa dijadikan cermin.


Syarif Wadja Bae
April 2010

| republish | Please Send Email to: iddaily@yahoo.com |

03 April 2010

Dari Sejarah, untuk Sejarah

Press Release

"Jangan sekali-kali melupakan sejarah." Itulah kalimat yang paling pas untuk menunjukkan semangat komunitas Kamera Lubang Jarum Indonesia (KLJI) Malang yang akan menggelar pameran di Pusat Kebudayaan Prancis (CCCL), Surabaya 8 – 17 April 2010 ini. Sebagai mana namanya, pameran yang di dalamnya menampilkan foto peninggalan sejarah berupa candi-candi di Malang dan sekitarnya itu diabadikan dengan kamera lubang jarum.

Di Indonesia, kamera lubang jarum dipelopori oleh Ray Bachtiar yang mulai giat melakukan berbagai eksperimennya pada 2002. Ray juga yang mendirikan Komunitas Lubang Jarum Indonesia. Di mancanegara, terdapat banyak komunitas pecinta kamera lubang jarum yang lebih dikenal dengan pinholic camera.Kamera ini bukanlah alat yang sempurna dengan teknik yang terukur, namun mampu menggiring penikmatnya untuk memasuki dimensi lain.

Karena itulah, kamera lubang jarum saat ini tak dapat dipisahkan dari sejarah fotografi di Indonesia, yang mana ia menjadi dasar pengajaran di Institut Seni Indonesia di Jogjakarta, yang melahirkan instruktur-instruktur tangguh dan banyak pengikut.

Dalam pameran kali ini, seluruh karya mengandalkan cahaya alami untuk merekam kekuatan gambar hitam putih di dalam kamera sederhana nan unik. Semuanya bisa dilihat dalam dua belas karya fotografer lubang jaruh. Yolanda Ayu M., Syarifuddin Siswanto (Wawan), Prima Satya N., rahmat basuki, Fiarfan, Dwi Noor (Dimas), agata Pritasari, Fitra Ardiansyah, Didik “Jefri” Hermanto, Mokhammad Rifay, Arif Yudhi S. dan Nur Hasan.

| republish | Please Send Email to: iddaily@yahoo.com |

30 March 2010

[ Atmosphere ] Binar Kesepian

Syarief Wadja Bae

Kesepian tumpah berserakan
bahkan becek dan memecah arah.
Pada relung pagi daun-daun berbisik
tentang kabut yang beranjak menutupi
tikungan tempat lahir aksara
yang membakar menit jika saja
sedikit gesekan terjadi
dan perang akan jadi akibat

Kunang-kunang menutup diri
dengan payung hitam
mengibar niat untuk menembus pagi
karena belum usai membekali kupu-kupu
pembawa tinta yang dikirim
untuk kertas-kertas dalam bilik abu-abu

Tak mau hanya dengan mengalir saja
tanpa memahami lubang-lubang
yang menjadi tempat menampung
dan mengendapkan segala aku
yang bisa mengakar lagi,
membuat isi kepala berjamur taring
hingga mata buta karena gagal
merekam mekar mawar yang dibungkus
binar kejujuran

Semua akan rugi bila yang dibangun
tiba-tiba menjelma fatamorgana.
Bersekutulah dengan musim
agar paham dan bertahan sampai
tujuan tanpa tameng yang disulap otak
untuk membangunkan penyakit lama

Maret 2010

*puisi lain klik di di Atmosphere

| republish | Please Send Email to: iddaily@yahoo.com |

26 March 2010

Hachiko, belajar kesetiaan dari seekor anjing

Jojo Raharjo Kembali kita membahas film Hollywood yang saat ini sedang “in” diputar di jaringan bioskop 21 maupun XXI. Kali ini kita akan membedah film berjudul ”Hachiko”, yang dibintangi aktor Richard Gere dan mengambil cerita dari sebuah kisah nyata di Jepang, tentang kesetiaan seekor anjing kepada tuannya. 

19 March 2010

Ruang di Antara Perang dan Kebenaran

Jojo Raharjo

Kembali kita membahas film Hollywood yang saat ini sedang “in” diputar di jaringan bioskop 21 maupun XXI. Kali ini kita akan membedah film berjudul ”Green Zone”, yang dibintangi aktor Matt Damon dan mengambil setting tentang Perang Irak tujuh tahun lalu.





”Green Zone” menyampaikan kritik atas invasi tentara Amerika ke Irak untuk mencari senjata pemusnah massal yang tak pernah terbukti keberadaannya. Tokoh utamanya Roy Miller, diperankan Matt Damon, yang berperan sebagai Kepala Pasukan Khusus AS di Irak yang selalu penasaran karena gagal menemukan senjata pemusnah massal seperti dituduhkan dimiliki negeri 1001 malam itu. Sering Miller dan pasukannya mengaduk-aduk sampah dan menyisir jalanan berdasarkan info intelijen, tapi kemudian kembali dengan tangan hampa.

Miller merasa dipermainkan dan yakin ada sesuatu yang tidak beres dengan badan intelijen yang terkesan memberikan informasi asal-asalan. Hal ini semakin diperkuat dengan dukungan dari kepala CIA di Bagdad, Martin Brown yang menegaskan bahwa semua berkaitan dengan isu politik pemerintahan Amerika. Akhirnya dengan bantuan seorang pemuda lokal Irak bernama Freddy, Miller dan kelompoknya berusaha menguak misteri yang ada.
Green Zone disutradarai oleh Paul Greengrass, yang juga berperan di balik sequel “Bourne” dengan Matt Damon sebagai bintang utamanya. Dengan sutradara dan aktor yang sama, diharapkan penggemar serial “Bourne” datang menonton film ini. Green Zone diadaptasi dari novel karya jurnalis The Washington Post Rajiv Chandra Sekaran.

Film Green Zone juga menarik untuk pelajaran bagi dunia jurnalisme, karena dari film ini didapat pelajaran betapa media memiliki keterlibatan besar dalam kebijakan sebuah negara, termasuk saat sebuah pemerintahan harus mengambil keputusan untuk perang atau tidak.

Diceritakan, wartawan Wall Street Journal, Lawrie Dayne ikut menurunkan tulisan bohong tentang adanya senjata pemusnah massal di Irak. Selanjutnya, terjadi pergolakan batin dari diri si wartawati. Di satu sisi batinnya menentang kebohongan, namun di sisi lain ada dilema karena pemerintahnya menghendaki seperti itu.

Setelah pemutaran perdana Green Zone khusus untuk kalangan media selesai, saya berbincang dengan Sesilia Nuke Ernawati, wartawati Suara Pembaruan yang menonton pemutaran perdana Green Zone menegaskan, film ini mampu membawa penonton terhindar dari suasana bosan. “Temanya sebenarnya biasa, seperti film-film lain yang mengangkat perang Iran-Irak, bahwa ada misi yang tidak benar dari pemerintah. Bedanya, film ini mampu menggiring penonton hingga ke ending cerita sebelum rasa bosan menyergap,” kata Nuke.

Nuke juga menggarisbawahi sisi khusus dari film Green Zone yakni adanya upaya menyingkap kebenaran seberapa sulitnya usaha itu dilakukan. “Mungkin banyak penyimpangan lain di pemerintahan yang harus diungkap, tak hanya soal perang. Tapi memang masih sulit mengharapkan hal serupa bisa diterapkan di Indonesia, bagaimana mengungkap kebenaran sejarah lewat film,” katanya.

Di sela-sela nonton Green Zone, saya juga berkirim pesan pendek dengan Rommy Fibri, jurnalis yang tiga kali ke Irak, sebelum, saat dan setelah Saddam Hussein jatuh. Saya mengagumi sikap film-film Hollywood yang dengan berani mengkritik kebijakan pemerintah AS, seperti saat mengecam penyerangan ke Iraq tanpa bukti nyata bahwa negara itu memiliki senjata pemusnah massal.

Ah, seandainya saja film-film kita mampu mengkritik peristiwa-peristiwa sosial yang masih misterius, seperti Peristiwa 1965 maupun tragedi-tragedi lainnya. “Ya bedalah. Dunia film Amrik sudah mengalami represi tahun 1960-an saat masa perang dingin. Lha film kita saja masih berkutat soal hantu dan arisan brondong,” balas Rommy dalam pesan pendeknya.

| republish | Please Send Email to: iddaily@yahoo.com |

12 March 2010

Shutter Island, Tegang, Rumit, tapi Asyik

Jojo Raharjo

Leonardo di Caprio is back. Itulah topik rubrik film ID Daily kali ini membahas lakon aktor ganteng itu yang kembali berduet dengan sutradara Martin Scorsese. Saat ini, Shutter Island” masih tayang di gedung-gedung bioskop di Jakarta maupun kota besar lainnya.

Shutter Island mengambil setting seorang pria yang diduga menghabisi isteri dan ketiga anaknya, diadaptasi dari novel tahun 2003 dengan judul sama karangan Dennis Lehane. Film ini menampilkan kisah Teddy Daniels yang diperankan oleh Leo Di Caprio dan partnernya Chuck Aule yang dimainkan Mark Ruffalo. Dua anggota U.S. Marshal itu menyelidiki hilangnya seorang pembunuh, Pada 1954, setelah kabur dari rumah sakit dan diduga bersembunyi di sebuah pulau terpencil. Mereka mengalami masalah ketika angin topan menghantam tempat itu dan kemudian terjebak dalam kerusuhan yang dilakukan oleh para narapidana.

Film ini cukup menegangkan dan bisa membuat kamu tidak berkedip dari awal sampai akhir. Hanya saja, memang butuh ketelitian dan kecermatan untuk memahami alur ceritanya yang berliku. Sebagaimana duet Leo dan sutradara Martin Scorsese sebelumnya, Shutter Island juga diharapkan meraup sukses.

Shutter Island merupakan film keempat hasil kolaborasi sutradara Martin Scorsese dan artis Leonardo Di Caprio yang sukses meluncur mulus ke puncak box office Maret ini. Sebelumnya, Martin dan Leo sudah merilis Gangs of New York, The Aviator , dan The Departed. Film-film itu pun sukses secara prestasi maupun komersil. “Shutter Island", film yang dirilis Paramount untuk musim gugur sampai musim dingin ini, memuncaki tangga film Amerika Serikat dengan meraih keuntungan 40,2 juta dollar AS.

Setelah pemutaran perdana Shutter Island di Djakarta Theater beberapa waktu lalu, saya berbincang dengan Muti Siahaan, pengamat film yang juga wartawati majalah Kawanku Muti mengakui, butuh konsentrasi tersendiri untuk mengikuti alur cerita film Shutter Island. “Ceritanya seperti main game ya. Tergantung otak kita menginterpretasikannya seperti apa, ya itulah yang terjadi. Seperti tokoh utama yang diperankan Leo ini, sebenarnya dia punya pikiran dan dunia sendiri yang berbeda dengan dunia yang dilihat orang lain,” kata Muti.

Muti Siahaan mengakui, kekompakan antara sutradara dan seorang aktor utama memegang kunci sukses film ini. ”Mungkin karena mereka pernah bekerjasama beberapa kali jadi klik nya ketemu. Leo pun jadi tahu bagaimana karakter yang diinginkan Martin Scorsese, yang memang terkenal kuat kalau bikin karakter,” ungkapnya.

Itulah, kisah film “Shutter Island”.yang menyadarkan kita betapa pentingnya keluarga dan kasih sayang di antara hidup yang kadang terasa begitu keras. Masih penasaran? Tonton saja langsung filmnya di bioskop kesayangan kamu.

| republish | Please Send Email to: iddaily@yahoo.com |