12 March 2007

"Oreng Madura" mengais budayanya

Madhura ampon kalonta e manca naghara
Buja tor tana kapor
Santre tor para keyae
Maasre sahajana baburughan...

Penggalan puisi berbahasa madura karya sastrawan Madura Ismail itu, dibaca di sela-sela Kongres Kebudayaan Madura di Sumenep. Puisi itu bercerita tentang harapan penduduk Madura pada masa depan daerahnya. Secara sederhana, sastrawan asal Pamekasan ini menginginkan Madhura ampon kalonta e manca naghara (Madura menjadi terkenal di seluruh dunia). Meskipun hanya bermodal buja (garam) dan tana kapor (tanah kapur), namun dengan bantuan santre (santri dan murid pondok pesantren) dan keyae (kiai atau kepala pondok pesantren), semua itu akan terwujud.

Keinginan Ismail yang tersirat dalam puisinya, bisa jadi merupakan cita-cita seluruh warga Madura. Dalam Kongres Kebudayaan Madura pertama di Sumenep, Madura, Jumat-Minggu (9-11/3) ini, semua cita-cita itu terungkap. Menyembul ke permukaan.Kongres kebudayaan yang digagas intelektual, seniman dan budayawan "Pulau Garam" itu berawal dari keprihatinan atas kondisi kehidupan masyarakat Madura yang tidak pernah bergerak dari wilayah "menengah ke bawah". Belum lagi berbagai stereotype etnis Madura yang berkembang di masyarakat.

"Ada 13 juta warga Madura di Indonesia, namun hanya tiga juta yang tinggal di Pulau Madura, sisanya menyebar di seluruh Indonesia. Sayangnya, kehidupan di pulau ini tetap tidak berubah," kata Mien Ahmad Rifai, putera Madura yang juga peneliti di Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) itu. "Seharusnya, sudah saatnya Pulau Madura mulai tumbuh dan dikembangkan oleh orang Madura sendiri," kata Said Abdullah, Anggota DPR-RI yang juga asli Madura.

Keresahan itu seakan menemukan jalan keluar, ketika para pemikir asal pulau itu mencetuskan ide membuat Kongres Kebudayaan Madura yang diprakarsai oleh Said Abdullah Institute (SAI). Sebuah lembaga yang menggeluti bidang pendidikan dan pemberdayaan perempuan. Didukung sebuah NGO Madura, Ngadek Sodek Parjuga dan dua media massa lokal Madura. Sejumlah 150 perwakilan dari empat kabupaten di Madura, Bangkalan, Sampang, Pamekasan dan Sumenep, hadir dalam acara itu.

Para intelektual dan budayawan Madura tingkat nasional dan internasional pun didaulat sebagai keynote speaker dalam perhelatan itu. Mulai sastrawan D.Zawawi Imron, peneliti LIPI Prof. Dr. Mien Ahmad Rifai, peneliti study conflict Madura DR. A. Latief Wijaya hingga antropolog asal Universitas Radboud Nijmegen Belanda, DR. Huub de Jonge.

Bagai sebuah bejana yang penuh berisi air, kebudayaan masyarakat di pulau seluas 5,3 ribu KM2 itu tidak bisa dilepaskan dari "air" kehidupan. Yaitu nilai-nilai luhur kehidupan yang dianut masyarakat Madura. Nilai-nilai itu juga yang kemudian menjadi pedoman bagi masyarakat di pulau yang konon dihuni pertama kali pada 4000 tahun lalu itu. "Nilai kehidupan itu diterapkan sebagai pedoman mata pencaharian, sayangnya, ilmu itu disakralkan dan tidak mungkin untuk dikembangkan, apalagi diinovasi," ungkap Amien Rifai.

Ketika jaman berubah, karakter masyarakat Madura yang konservatif itu seakan tertinggal jauh di belakang. Hingga muncul wacana di masyakat tentang sosok orang Madura yang kasar, keras dalam berbicara, mudah tersinggung, berdarah panas serta tidak tahu adat. Karena penggambaran itu, muncul sikap menjaga jarak, resisten, bahkan penolakan kepada orang-orang etnis Madura. "Yang lebih parah, timbul pula anggapan pada kelompok etnis Madura yang tidak mau berprakarsa, berjiwa statis, sulit diajak maju dan sebagainya," jelas Rifa'i.

Anggapan itu seakan terbenarkan, ketika kenyataannya, kondisi fisik di Pulau Madura termasuk terbelakang, bila dibandingkan dengan daerah lain di Jawa Timur. Padahal, dari sisi geografis, Madura paling dekat dengan kota kedua di Indonesia, Surabaya. Mien bahkan menyamakan nasib etnis Madura dengan masyarakat keturunan Yahudi, China, Armenia dan Kurdistan yang keberadaannya selalu memunculkan kecurigaan. "Lingkungan yang ditempati oleh keempat etnis itu menolak mereka untuk berkembang," kata Mien.

Apa yang menjadi gambaran masyarakat tentang sosok etnis Madura itu sebenarnya tidak lebih dari kekeliruan pemaknaan sikap. Anggapan etnis Madura adalah sosok yang suka "kekerasan" misalnya. Peneliti study conflict Madura DR. A. Latief Wijaya justru menilai sifat yang dimiliki etnis Madura itu sebenarnya bukan "kekerasan" melainkan "ketegasan". Secara kasat mata, ketegasan ini terlihat dari pilihan warna yang tegas.

"Kalau merah ya merah, kalau biru ya biru,..tidak ada warna-warna pastel atau warna muda, begitu juga dalam soal makanan yang memiliki selera rasa tegas," jelas Latief Wijaya. Dalam berinteraksi, ketegasan ini muncul dengan sendirinya. Sayangnya, ketegasan ini juga sering kali berpadu dengan sifat lain yang spontan dan ekspresif berlebihan. Namun, hal itu tidak juga berdiri sendiri. "Biasanya spontanitas dan ekspresi yang berlebihan ini muncul ketika orang Madura merasa dilecehkan harga dirinya, seperti ungkapan "tada' ajhina" (pengingkaran eksistensi diri)," jelasnya.

Pada pertengahan tahun 2006 misalnya, terjadi peristiwa tawuran dengan menggunakan senjata khas Madura, clurit, di Kecamatan Batu Marmar, Pamekasan. Dalam peristiwa yang dipicu oleh sengketa tanah itu, tujuh orang tewas, dan puluhan lainnya luka-luka, ketika tawuran massal itu terjadi. Banyak orang beranggapan, peristiwa kekerasan itu terjadi karena dipicu oleh budaya kekerasan yang diyakini etnis Madura. Padahal tidak. Cuma persoalan ekonomi biasa.

Antropolog asal Universitas Radboud Nijmegen, Belanda, DR. Huub de Jonge mencatat kemampuan bertahan hidup masyarakat etnis Madura terlihat pada fenomena masyarakat Pulau Raas di Bali. Keuletan dan ikatan pertemanan yang dimiliki, membuat masyarakat Pulau Raas di Bali sukses. "Masyarakat Pulau Raas di Bali sempat dimusuhi, bahkan diusir saat Indonesia tertimpa masa kritis,..tapi akhirnya masyarakat Pulau Raas yang bertahan dan tetap sukses," kata Huub de Jonge.

Latief Wijaya menyarankan agar etnis Madura pun menyadari, bahwa prilaku kekerasan bukanlah sikap yang diinginkan oleh nilai-nilai luhur Madura. Kesadaran itu harus tercermin dengan keinginan menghapus mindset yang selama ini ada. "Mindset itu harus dibingkai dengan ke-Indonesia-an yang saling menghargai dan menghormati, bersatu dengan damai, aman tentram dan sejahtera," ungkap Latief.

Hanya saja, perubahan mindset yang diharapkan dari etnis Madura tidak bisa disandarkan pada masyarakat Madura sendiri. Perlu adanya upaya dari pihak lain untuk mendorong hal itu. Pemerintah, mau tidak mau menjadi salah satu pendorongnya. Perlu ada upaya terus menerus dari pemerintah untuk mendorong terjadinya perubahan mindset itu. "Pendidikan menjadi jawabannya, melalui pendidikan formal harus ada upaya untuk mewarisi nilai budaya Madura," katanya Syukur Ghazali, intelektual Universitas Negeri Malang.

Nilai budaya Madura yang dimaksud jelas bukan budaya distruktif, apalagi budaya yang seirama dengan stereotype yang selama ini berkembang. Melainkan budaya berbudi luhur, saling menghormati dan agamis yang selama ini menjadi roh kehidupan etnis Madura. Pertanyaannya, apakah pendidikan di Indonesia mampu mewujudkan hal itu? "Fakta yang kita hadapi adalah dunia pendidikan kita masih mengukur kualitas pendidikan dengan fasilitas, itu harus diubah dengan menekankan pada hasil belajar (steering by results)," jelasnya.

Karenanya perubahan kurikulum harus dilakukan. Seperti menerapkan bahasa Madura sebagai kurikulum resmi yang diatur dalam peraturan resmi. Tujuannya, untuk mengajak etnis Madura lebih banyak berinteraksi dengan bahasa Madura secara resmi. "Dalam hal agama, perlu dipikirkan secara serius menjadikan agama bukan sebagai pelajaran, melainkan sebagai prilaku keseharian," ungkapnya.

Salah satu tokoh Madura yang juga pimpinan Pondok Pesantren Al Amien Sumenep, Muhammad Idris Jauhari mengatakan, dua hal itu sebenarnya bisa dievektifkan dengan lebih memberdayakan pondok pesantren yang ada di Madura. Dengan mempertahankan nilai-nilai tradisional (salaf) dengan mengakomodasikan dengan nilai-nilai modern (kholaf), proses pendidikan yang diharapkan akan tercapai.

Pesantren juga terjangkau oleh hampir seluruh lapisan masyarakat. Terutama dari bidang pembayaran, mayoritas pesantren di Madura juga tergolong murah. Untuk satu tahun, para santri rata-rata membayar uang tidak lebih dari Rp.250 ribu per tahun. Uang itu digunakan untuk membayar pondokan dan membiayai aktivitas belajar di pondok pesantren.

Gerakan menumbuhkan kecintaan kepada seni tradisional Madura, juga menjadi salah satu cara untuk menanamkan nilai luhur budaya Madura. Sastrawan Madura, D.Zawawi Imron menggambarkan pentingnya rasa ke-Madura-an pada puisinya berjudul Madura, Akulah Darahmu. "Aku berani mengejar ombak, terbang memeluk bulan, memetik bintang gemintang di ranting-ranting roh nenek moyangku, di bumbung langit kuucapkan sumpah,..Madura, akulah darahmu," kata Zawawi Imron dalam puisi yang dibacanya dalam pembukaan Kongres Kebudayaan Madura.

Dalam gerakan tari tradisional seperti Alalabang dan Muang Sangkal misalnya, luhur nilai-nilai itu terpancar. Di Sumenep ada sekitar 10 sanggar tari tradisional dengan jumlah murid mencapai 600 orang. "Melalui cara ini kami menjaga generasi yang mempertahankan budaya Madura," jelas Edy Susanto, pimpinan Sanggar Pottre Koneng, Sumenep pada The Jakarta Post.

Ketika The Jakarta Post mengunjungi sanggar Pottre Koneng Minggu (11/3) ini, sanggar sedang dilakukan latihan rutin. Puluhan anak kecil berusia 6-18 tahun sedang berlatih berbagai tari tradisional dan modern, dengan dibimbing oleh dua orang asisten pelatih. Orang tua, yang kebanyakan ibu-ibu menunggui anak mereka dipinggir sanggar. "Saya sangat senang ketika anak saya mau belajar menari di sanggar, karena kebanyakan dari kami menyukai kesenian tradisional," ungkap Sri Hidayati, ketika menunggui anaknya, Nafilatul Muzawaroh,6.

Memang, ini bukan semudah membalik telapak tangan. Jelas tidak akan selesai hanya dengan sekali pelaksanaan kongres budaya. Hanya saja, perpaduan antara pendidikan formal yang dijiwai dengan nilai luhur budaya, pada ujungnya mampu menciptakan masyarakat Madura "baru" yang sudah berubah mindsetnya. Perlahan, budaya kekerasan dan stereotype lain etnis Madura pun akan terhapus. Hingga pada suatu impian Ismail akan terwujud.

Madhura ampon kalonta e manca naghara...
Madura sudah terkenal di manca negara...

***

No comments:

Post a Comment