28 September 2006

Masyarakat Tambak dan Pengungsi Resah Atas Keputusan Presiden

Keputusan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengizinkan pembuangan lumpur beracun Lapindo Brantas Inc ke laut melalui Kali Porong memunculkan keresahan bagi masyarakat tambak di Kecamatan Jabon, Kabupaten Sidoarjo. Mereka khawatir, langkah membuang lumpur secara langsung tanpa melalui water treatment itu menjadi awal tercemarnya tambak-tambak mereka. Selain itu, ancaman banjir seiring dengan meningkatnya endapan lumpur di kali Porong sanggup memunculkan bencana yang jauh lebih besar.


Seperti diberitakan The Jakarta Post Kamis ini, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono merestui beberapa langkah mengatasi lumpur panas Lapindo. Di antaranya, membuang lumpur panas itu secara langsung ke laut melalui Kali Porong. Selain itu, Presiden SBY meminta lumpur yang ada di Sidoarjo bisa diolah di Desa Ngoro dan Krian Sidoarjo. Daerah di sekitar pusat semburan lumpur, yang terdiri dari tujuh desa ditetapkan sebagai daerah rawan dan tidak bisa ditinggali. Untuk itu akan ada relokasi penduduk.

Semua biaya yang diperkirakan mencapai Rp.1,5 trilyun akan ditanggung sepenuhnya oleh Lapindo Brantas Inc. Muchtar, salah satu pekerja tambak di Kecamatan Plumbon mengungkapkan hal itu pada The Jakarta Post, Kamis (28/09) ini. Menurutnya, setelah pemerintah memutuskan untuk membuang lumpur ke laut, hampir seluruh pekerja tambak merasa tidak memiliki lagi harapan. "Kalau sudah diputus oleh Presiden Sby, siapa lagi yang akan membela para petambak," kata Muchtar pada The Post.

Padahal, sejak awal masyarakat tambak di Sidoarjo sudah mengingatkan efek yang ditimbulkan air lumpur lapindo bagi 7 ribu ha lahan tambak. "Pada awalnya, sebelum air lumpur dibuang ke laut, sudah ada rembesan air lumpur ke tambak, itu saja sudah membuat ikan-ikan mati, sekarang apa lagi bila dibuang secara langsung," katanya. Udang dan ikan bandeng yang ada di tambak pun sudah banyak yang mati.

Hingga petani tambak memutuskan untuk melakukan panen dini. "Nah, sekarang, bila dibuang secara langsung, besar kemungkinan, seluruh tambak yang ada di Sidoarjo akan tercemar," jelas Muchtar. Kerugian yang terjadi akibat hal itu bisa mencapai trilyunan rupiah. Untuk biaya sewa tambak saja, di Sidoarjo bernilai Rp.90-Rp.150 juta/tahun. Belum lagi biaya pembibitan ikan dan udang yang mencapai ratusan juta setiap bulannya. "Siapa yang akan mengganti semua itu? Apa Lapindo atau pemerintah?," tanya Muchtar.

Namun, agaknya keresahan petambak tidak bersambut. Tim Pelaksana Tim Nasional (Timnas) Penanggulangan Semburan Lumpur Lapindo Brantas Inc tetap akan melanjutkan keputusan Presiden dengan mendatangkan tiga unit pompa lumpur dari Batam dan Jakarta. Ketiga unit pompa itu mampu memiliki kapasitas menyedot lumpur sebanyak 25 ribu meter kubik per hari. Selain itu, saat ini sudah dilakukan pengalihan pipa yang awalnya menuju ke laut, berubah menuju ke Kali Porong dan selat Madura, untuk membuang lumpur. Proses pembuangan lumpur akan dilakukan 5 Oktober mendatang.

Berdasarkan penelitian Puslitbang Geologi Kelautan, pembuangan luapan lumpur langsung ke Kali Porong (Kali Brantas) secara teknik masih mungkin dilakukan karena debit aliran air Kali Porong jauh lebih besar daripada debit aliran lumpur ini. Demikian pula kualitas air (kandungan suspended solid) Kali Porong di hilir juga sudah sangat pekat, dicirikan oleh cepatnya proses pembentukan delta-delta pada muara Kali Porong.

Lumpur Lapindo secara megaskopis memiliki kemiripan dengan sedimen permukaan di Selat Madura. Lumpur Lapindo juga dinilai lebih cepat mengendap pada medium air laut dibandingkan pada medium air tawar, dengan kata lain, air laut juga tidak keruh. Hanya saja, dalam prosesnya, lumpur itu perlu diencerkan agar bisa mengalir lebih cepat di pipa berdiameter 54 cm. Bila tidak, akan terjadi penyumbatan.

Untuk menghindari pecahnya lumpur karena ombak, sedapat mungkin lumpur ditempatnya pada kedalaman di bawah 14 m. Pada kedalaman ini lumpur akan merayap oleh efek gravitasi menuju kedasar cekungan dasar laut selat Madura dan akan terus mengalir ke timur secara alami.

Selain petambak, pengungsi yang menjadi korban lumpur pun mengalami resah. Apalagi ada wacana memindah ribuan pengungsi itu ke luar pulau seperti Kepulauan Riau dan Kalimantan. "Seluruh pengungsi hampir pasti akan menolak bila dipindahkan ke luar pulau, karena hal itu sama saja dengan membuang kami dan menjadikan kami sebagai transmigran," kata Ahmad Novi, warga Jatirejo yang kini mengungsi di Pasar Porong pada The Jakarta Post.

Ahmad Novi mengatakan, seluruh penduduk Sidoarjo adalah petani dan memiliki usaha sampingan sebagai sandaran hidup. Bila dipindah ke luar pulau, hampir pasti semua usaha yang dirintas selama ini akan mati. "Apa yang kami lakukan di sana, bagaimana dengan usaha yang kami rintis selama ini," kata Novi dengan nada tinggi. Penolakan yang sama juga dikatakan Bupati Sidoarjo Win Hendrarso.

Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Surabaya Muhammad Saiful Aris menilai, langkah pemerintah melakukan relokasi penduduk korban lumpur Lapindo bisa dibatalkan bila masyarakat melakukan tuntutan hukum atas hal itu. Hanya saja, Aris menilai masyarakat korban Lapindo seakan tidak memiliki kuasa untuk itu, karena selama ini selalu diposisikan sebagai pihak yang terpojok. "Masyarakat tidak punya pilihan, karena mereka selalu diposisikan terpojok, tapi kalau mau menuntut secara hukum bisa saja," jelasnya.

Karena itu, saat ini hal terbaik yang bisa dilakukan adalah terus menagih janji pemerintah untuk memenuhi semua hak masyarakat korban Lapindo. Bila hal itu tidak dikontrol, Aris khawatir pemerintah akan lari dari tanggungjawab. "Perlu diingat, masyarakat adalah korban dalam kasus Lapindo, jangan disia-siakan," kata Aris.

No comments:

Post a Comment