28 April 2010

SIM Amerika Pertamaku, yeeehaaaa,..

Maya Mandley

Sekitar bulan Januari, Aku sudah cerita bagaimana susahnya bisa lulus ujian tulis untuk dapat surat latihan mengemudi bernama permit. Setelah punya permit, artinya Aku sudah dibolehkan berada di belakang kemudi. Tapi bukan berarti sudah bebas bawa mobil, tapi ada persyaratan lain. Misalnya nih, boleh mengendarai pada saat gelap. Paling penting, saat mengemudi harus didampingi alias gak boleh sendirian.

Satu hal yang penting, si pendamping ini juga harus punya SIM yang masih berlaku dan gak boleh ada penumpang lain di belakang. Permit ini berlaku selama tiga bulan sebelum diizinkan ikut road test, yang waktunya sudah ditentukan saat lulus ujian tulis.

Selama 3 bulan itu, Aku cuma latihan beberapa kali saja bersama suami. Alasannya karena banyak tarik uratnya. Malah lebih sering ngambeknya. Seperti saat Aku pertama kali belajar mengemudi di Surabaya bersama ayah. Aku masih ingat, aku selalu harus menahan air mata setiap kali latihan.

Meski Aku juga memanfaatkan jasa sekolah mengemudi waktu di Surabaya, untuk melatih keberanianku di jalan raya. Aku ingat waktu pertama kali dibawa ke jalan raya, aku melintasi Jl. Ahmad Yani yang macet. Bisa dibayangkan pengalaman pertama nyupir dengan mobil butut tanpa AC (seperti umumnya mobil untuk latihan di sekolah mengemudi),

Di New Jersey pun, Aku memanfaatkan jasa sekolah mengemudi. Ketatnya persaingan antara sekolah mengemudi, membuat para konsumen bisa memilih. Namun umumnya biayanya rata-rata USD 50 (sekitar Rp.450 ribu),- per jam. Waktunya pun tinggal memilih. Tergantung jadwal si instruktur dan jadwal kita sendiri. Sangat fleksibel. Karena Aku pernah mengemudi waktu di Surabaya, Aku tak begitu kesulitan untuk berada di belakang kemudi, meski Aku sempat vakum selama 6,5 tahun.

Dan lebih enaknya lagi, mobil di Amerika umumnya automatic alias matic. Lebih mudah dibanding manual yang masih memakai kopling. Yang membedakan adalah letak setir yang di sebelah kiri, dan jalan yang harus selau berada di sebelah kanan. Kebalikan dari Indonesia. Aku memanfaatkan jasa sekolah mengemudi ini kira-kira selama 10 jam selama 3 bulan masa permitku itu berlaku, sampai ikut road test alias tes jalan.

Mobil yang digunakan sekolah mengemudi disini tergolong baru dan bagus-bagus. Menurut instrukturku, mobil-mobil yang digunakan untuk student drivers memang ada persyaratannya. Misalnya ada minimal miles (seperti KM) di mobil. Umumnya mobil-mobil yang digunakan sekolah mengemudi ini umurnya tak boleh lebih dari 2 tahun. Dan paling penting, harus ada asuransi. Mobil juga harus lulus inspeksi mesin yang harus dilakukan tiap 2 tahun sekali.

Lokasi untuk road tes di belakang gedung DMV (Divisions of Motor Vehicles) yang mengeluarkan SIM dan STNK. Halaman belakang gedung itu dibuat seperti simulasi di jalan sesungguhnya. Ada rambu, jembatan dan untuk paralel parkir alias parkir sejajar. Aku datang setengah jam dari jadwal yang sudah ditentukan. Mobil yang akan Aku gunakan, Aku parkir di tempat dimana tes dimulai. Si penguji datang dengan kertas di tangan dan meminta data diriku termasuk permit yang didapat saat lulus ujian tulis.

Di dalam mobil bersamaku, si penguji memberi petunjuk arah mana yang harus kutuju dan apa yang harus kulakukan. Setelah mengerjakan semua yang diperintahkan, tiba-tiba petugas itu berkata,"Congratuliations, you passed,". Leganya!

| republish | Please Send Email to: iddaily@yahoo.com |

The Book of Eli, Berjibaku demi Sebuah Buku

Jojo Raharjo

Menyaksikan secara khusus pemutaran perdana “The Book of Eli” di Djakarta Teater, saya mencermati film yang masuk dalam genre action ini dikemas dengan pesan moral khusus, dengan mengambil latar belakang kondisi dunia pasca perang nuklir. Nice!

Rubrik film kita kali ini mengupas film Hollywood berjudul “The Book of Eli”, film terbaru Denzel Washington yang sedang tayang di jaringan bioskop 21 dan XXI di Indonesia. Saat itu, 30 tahun paska perang nuklir, dunia sudah tak sama lagi. Amerika menjadi padang gurun, manusia sangat jarang junmlahnya, dan mereka saling bunuh demi barang sepele seperti makanan kaleng, air, dan shampo.

Tersebutlah seorang musafir bernama Eli (diperankan secara luar biasa oleh Denzel Washington) yang terus berjalan menyusuri padang gurun nan penuh dengan kejahatan demi sebuah misi sucinya. Dari sinilah, actioon demi action terus tergelar.

Dalam perjalanannya menempuh kehidupan yang keras, Eli membawa sebuah ransel berisi bahan bahan kebutuhannya sehari hari. Saat itulah, seorang pemimpin kota yang jahat bernama Carnegie, diperankan oleh Gary Oldman, tahu bahwa di dalam ransel Eli tersembunyi sebuah buku yang dicarinya. Fokus film kemudian berubah dengan berbagai adegan aksi bagaimana Eli mencoba mempertahankan buku itu bersama anak angkat Solara, anak angkat Carnegie yang berpihak padanya.

Carnegie dan pengikut setianya terus memburu Eli, yang mati-matian mempertahankan buku itu meski terus dikepung komplotan jahat bersenjata lengkap. Melalui serangkaian adu tembak, buku itu memang akhirnya berpindah tangan ke kelompok penjahat, namun tragis bagi Carnegie karena mereka tak dapat membaca buku yang ternyata ditulis dalam huruf braille.

Akan halnya Eli, ia dapat menyelamatkan diri menuju sebuah pulau yang mencetak ulang semua buku yang telah musnah di muka bumi ini. Dengan hafalan dalam memori di kepalanya, Eli menulis ulang seluruh isi buku itu, yang ternyata merupakan Kitab Suci versi King James.

Eva Mindardjatims, wartawati Astaga dot Com yang menyaksikan pemutaran perdana “The Book of Eli” memuji alur cerita dalam film ini. “Bagus banget.. dari awal sampai akhir nonton, kita tak menduga alur ceritanya dan ending-nya seperti apa. Pada akhirnya kita menebak buku itu apa, yang ternyata ada misteri lagi di balik itu. Dalam banget pesannya,” kata Eva.

Eva menegaskan, untuk mendapat pesan utuh dari film ini, seorang penonton harus menyimak secara sabar karena film ini memang kuat dalam pesannya, tapi secara ketegangan atau suspense yang disajikan sebenarnya masih standar. “Suspense sih tidak terlalu banyak, kecuali memang ketegangan saat pembunuhan misalnya. Tapi itu wajar, karena dalam situasi zaman paska perang abad keduapuluh sekian itu, pilihannya kalau mau selamat ya harus bunuh orang,” kata Eva tentang “The Book of Eli” yang diproduksi oleh Warner Bross Pictures.

| republish | Please Send Email to: iddaily@yahoo.com |

27 April 2010

Menyusuri Kanal Amsterdam,..

Iman D. Nugroho, Amsterdam

Kanal-kanal di Amsterdam menyimpan berbagai cerita. Tidak hanya sampan dan boat yang dengan elegan membelah aliran di sela-sela gedung tua itu, melainkan juga kehidupan orang-orangnya. "Percayalah, Eropa jauh lebih bebas dan nyaman dari Amerika," kata seorang kawan. Hmmm,..benar juga.

| republish | Please Send Email to: iddaily@yahoo.com |