19 December 2006

Ketika Harus Mengungsi di Kandang Kambing,..

Suara keras kereta minyak yang melintas di rel KA jalur Porong-Sidoarjo, Selasa siang ini, memaksa Kastanah sejenak menghentikan ceritanya. Tangan kiri perempuan itu mempererat pelukan pada Muhamad Rizki Wahyudi(1), anak terakhirnya, yang ketika itu berada di gendongan. Sementara tangan kanannya menutupi wajah anak bayi itu dengan kaos lusuh yang dikenakannya. Menghindarkan anak itu dari debu yang beterbangan. "Debu dan Suara kereta api semacam itu membuat kami tidak bisa tidur nyenyak," kata Kastanah, usai gerbong minyak terakhir berlalu.


Kastanah adalam potret kelam pengungsi lumpur panas Lapindo. Gara-gara lumpur yang mulai memasuki tempat tinggalnya di Desa Ketapang, Sidoarjo, perempuan mengungsi. Bersama suaminya Qoirul Amin dan tiga anak balitanya, Angelina Fernanda(5), Trias Wahyu Anggraeni(3,5) dan Muhamad Rizki Wahyudi(1), Kastanah memilih menyelamatkan diri di kandang kambing tak jauh dari tempat tinggalnya.

Kandang kambing? Iya, sebuah kandang kambing berukuran 5x2. Keputusan memboyong keluarganya ke kandang kambing itu bukan tanpa alasan. Kastanah menceritakan, kandang kambing yang sedianya akan digunakan pemiliknya untuk berjualan kambing Idul Adha itu dipilih, lantaran ongkos memindah barang-barang dari rumah ke Pasar Porong, sangat mahal. "Biaya pindahnnya sampai ratusan ribu, darimana kami dapat dana untuk itu?" kata Kastanah. Butiran air mata mengalir.

Dari penelusuran The Jakarta Post, ongkos sewa truk untuk memindahkan barang-barang pengungsi, melonjak tajam. Ongkos sewa yang biasanya hanya berkisar Rp.150-Rp.200 ribu untuk sekali trayek itu, kini bisa berkisar Rp.500 ribu. Itupun masih ditambah uang tambahan yang harus diberikan kepada kuli angkutnya. Jumlah itu tergolong besar bagi keluarga Kastanah yang kini tidak memiliki penghasilan tetap, lantaran sang suami di-PHK dari sebuah pabrik rokok.

Namun, mau tidak mau, keluarga Kastanah harus tetap pindah. Lumpur Lapindo yang Senin malam bertambah jumlahnya karena hujan deras pada Senin jam 16.00-21.00 WIB itu mulai mengalir menuju rumahnya. Sebuah becak milik tetangga dipilih untuk mengangkut barang seperlunya. "Terlalu jauh bila becak harus mengantar ke Pasar Porong," kata perempuan berprawakan kurus itu. "Untung ada kandang kambing ini," tambahnya.

Kandang kambing itu berupa rangka bangunan dari bambu tanpa dinding, beratap plastik. Telaknya di samping rel KA, pinggir trotoar jalan raya Sidoarjo-Porong. Tas, kompor, lemari kayu berwarna coklat dan peralatan lain ditumpuk di pojokan. Di tengahnya, ranjang kayu berkasur kapuk lusuh. Dua kursi tamu yang alasnya sudah robek-robek ditempatkan di trotoar jalan. Tidak ada tempat cuci baju, apalagi kamar mandi.

Bisa dibayangkan, betapa "nikmat"nya menghabiskan waktu di tempat itu. Jalan Raya Porong adalah akses satu-satunya menuju ke Malang, Banyuwangi dan sekitarnya. Di jalan itulah, sejak lumpur Lapindo tersembur liar, ribuan kendaraan terjebak macet. Di sisi lain, rel KA yang juga merupakan akses satu-satunya KA jurusan Surabaya-Malang-Banyuwangi. "Debu, asap dan suara kendaraan benar-benar menyiksa," kata Kastanah.

Tiga anak balita Kastanah dan Qoirul Amin, selalu rewel. Ketika The Jakarta Post dan beberapa wartawan lain mengunjungi tempat itu, beberapa kali disuguhi tangisan ketiganya. Muhamad Rizki Wahyudi menangis, sambil menarik kaos ibunya, tanda meminta disusui. Sementara Trias Wahyu Anggraeni, merengek sambil meminta ibunya membuatkan susu coklat yang biasa dinikmatinya memalui botol susu. "Eh,..tidak boleh rewel," kata Kastanah pada keduanya. Tapi dua anak kecil itu terus menangis.

Jumlah pengungsi akibat luapan lumpur Lapindo, terus bertambah seiring meluasnya luberan lumpur. Data dari Pasar Porong menyebutkan, saat ini ada 2.605 KK atau 9.936 Jiwa. Jumlah itu bertambah menjadi 12 ribuan, pada Senin malam lalu, lantaran ada penduduk daerah baru yang ikut mengungsi. Di beberapa puskesmas dan rumah sakit terdapat puluhan ribuan pasien rawat jalan. Sementara 845 orang lain sempat menjalani rawat inap, 13 di antaranya masih dirawat di RS setempat.

Penyelesaian yang diharapkan pun seakan menunjukkan kebuntuan. Dua relief well sudah tidak beroperasi. Begitu juga dengan spill way yang mengalirkan lumpur ke kali porong yang teronggok mati. Di sisi lain, ancaman putusnya transportasi semakin tampak di depan mata. Lumpur sudah hampir menggenangi rel. Jarak lumpur dan rel tinggal sekitar 5 meter. Bila itu terjadi, Jalan Raya Porong tinggal menunggu giliran.

3 comments:

  1. Anonymous2:21 am

    arul.... wow baca blog kayak baca berita aja,.,...

    Is it a citizen jurnalism?

    btw sy link dari blog sy yah... blognya sampeyan

    ReplyDelete
  2. Sayangnya,...aku memang jurnalis kok. Hahaa,..tapi masih banyak belajar,..

    salam
    iman

    ReplyDelete