11 January 2022
Pelajaran hidup dalam #Minitouring Tangerang Selatan-Jakarta-Bandung (bag-1)
Gowes kali ini memang cukup panjang (bagi saya) dan menantang, karena dilakukan sendirian. Namun justru di dalamnya banyak pelajaran hidup. Salah satunya, bertemu kawan baru bernama Wayan, asli Manado, tapi tinggal di Sunda. Bingung gak? Bingung gak? Bingung dong!
31 December 2021
Menjadi kurir bebek dan kisah "berkenalan" dengan Muchdi PR
Menjalani lagi aktivitas yang pernah dilakukan bertahun-tahun lampau. Kali ini saya kembali menjadi kurir, seperti yang saya lakukan 26 tahun lalu.
19 June 2014
NGOCEH CUK KEANEHAN PIALA DUNIA 2014
Piala Dunia 2014 dan "keanehan-keanehannya". Ini NgocehCuknya,..
16 June 2014
NGOCEH CUK TARUHAN PIALA DUNIA
Dalam perhelatan Piala Dunia, selalu diwarnai dengan taruhan. Asyiiikkk,.. ini NgocehCuk-nya :)
03 June 2014
NGOCEH CUK JALAN PAGI AGAR MIRIP BRAD PITT
Sekali-kali omong soal olah raga. Kali ini, jalan pagi. Motivasi paling keren adalah: Biar mirip Brad Pitt. :))
31 May 2014
YEHAAAA,.. NAIK KUDA
Bukan hanya Calon Presiden Partai Gerindra saja yang bisa naik kuda. Pijar juga bisa. :)).
10 October 2011
Bungkam Qatar!
*Preview Pra Piala Dunia 2014
Ball Possession, Ofensif, Main Sederhana namun Kreatif. Itu adalah kunci bagi Tim Nasional (Timnas) Indonesia untuk menaklukkan Qatar di Stadion Utama Gelora Bung Karno (SUGBK), Senayan, Jakarta, Selasa (11/10).
Ball Possession, Ofensif, Main Sederhana namun Kreatif. Itu adalah kunci bagi Tim Nasional (Timnas) Indonesia untuk menaklukkan Qatar di Stadion Utama Gelora Bung Karno (SUGBK), Senayan, Jakarta, Selasa (11/10).
10 July 2011
04 July 2011
Kembalikan Timnas sebagai sekumpulan pemain terbaik Indonesia.
Pelatih Tim Nasional Indonesia, Alfred Riedl mengumumkan 25 pemain Timnas Pra Piala Dunia 2014 dan 25 pemain Timnas U-23 untuk gelaran Piala AFF Junior. Berita besarnya kembali menyorot ogahnya Riedl memanggil pemain ber-KTP Liga Primer Indonesia (LPI). Termasuk Irfan Bachdim.
28 February 2011
Permainan Statuta FIFA, AFC dan PSSI
Menteri Pemuda dan Olahraga Andi Malarangeng mengungkapkan adanya perbedaan mendasar antara statuta International Football Association Federation (FIFA), Asean Football Federation (AFC) dan statuta Persatuan Sepakbola Seluruh Indonesia (PSSI). Perbedaan itulah yang menyebabkan Kemenpora meyakini apa yang mereka lakukan benar adanya:
26 February 2011
Pertarungan Dua Pendekar Bugis
Dunia persilatan olahraga Indonesia dalam minggu-minggu ini sedang ramai diwarnai pertarungan dua pendekar asal Bugis. Sebut saja dua pendekar itu yakni, Nurdin Kolot dan Andi Kumis (maaf bukan nama sebenarnya). Kedua pendekar ini saling beradu kesaktian mengeluarkan jurus andalan mereka masing-masing untuk membenahi tanah persilatan Sepakbola Indonesia yang sedang mengalami krisis kepercayaan terhadap sosok pemimpin.
25 February 2011
Pesan "Bung Tomo" untuk menurunkan Nurdin Halid
Dukungan untuk menurunkan Ketua PSSI Nurdin Halid terus mengalir. Kali ini dari "Bung Tomo". Jelas bukan Bung Tomo yang tokoh pejuang 10 November 1945 di Surabaya itu, melainkan suara mirip "Bung Tomo" yang hadir dalam bentuk audio-video. Berikut ini adalah videonya:
21 February 2011
Revolusi Merah Putih lawan Nurdin Halid tersebar
Desakan semakin kuat. (file) |
Perlawanan pencinta bola kepada Ketua Umum PSSI Nurdin Halid terus berlangsung. Kali ini dengan Revolusi Merah Putih. Seruan yang beredar di pesan pendek ini tergolong sederhana.
20 February 2011
Supporter Indonesia, bersatulah!
OLAH RAGA | PSSI menodai noda fair play, sebuah slogan yang selalu dikampanyekan dalam bendera FIFA setiap pertandingan akan berlangsung. lanjut.
07 January 2011
Liga Politik Indonesia vs KoruPSSI
Oleh: Iman D. Nugroho
Tetap saja, kompetisi bola yang sempat dikritik karena terlalu politis, karena Partai Golkar "penguasa" PSSI mewarnai Timnas Indonesia, kembali bernuansa politik. Liga Politik Indonesia (LPI) yang bertikai dengan PSSI menjelang dibuka di Solo, Jateng, kembali kental nuansa politiknya.
Terutama ketika Presiden SBY dan Menpora Andi Malarangeng memilih untuk memihak LPI ketimbang menengahinya. Dan SBY pun, akhirnya memastikan diri untuk hadir dalam acara pembukaannya. Wow! Mulailah berbagai praduga bermunculan. SBY telah memanfaatkan pertikaian LPI vs PSSI.
Harris Rusly Moti dari Petisi 28 menilai, kedongkolan orang terhadap Nurdin Halid, yang dicacimaki karena mempolitisasi Timnas dalam AFF, kayaknya bakal surut gara-gara SBY dan Andi Malaranggeng ikut-ikutan numpang popularitas di atas kedongkolan orang atas Nurdin.
"Polarisasi Kartel Cikeas vs Kartel Epicentrum makin menusuk masuk hingga di sepak bola. Bola pun di Parpol-kan," tulis Moti dalam pesan singkat.
Ada benarnya. Karena sebagai Presiden RI, harusnya SBY menjadi penengah yang benar-benar netral dan fair. Artinya, memposisikan LPI dan PSSI sama. Bila ada yang keliru, dan berbau-bau koruptif, langsung disikat. Lihat saja PSSI. Sudah perlu berapa bukti lagi yang perlu disuguhkan untuk membuktikan ada korupsi di PSSI?
Soal LPI, UU Sistem Olahraga Nasional dan PP Badan Olahraga Profesional Indonesia (BOPI) jelas-jelas saling bertentangan. Bukannya diselesaikan, tapi malah ditumpangi. Apakah SBY sudah mempertimbangkan kemungkinan sanksi dari FIFA, karena jelas tidak diperkenankannya pemerintah turut campur (PSSI atau LPI)?
Ah, sepakbola kok terus dipolitisir,..
Sent through BlackBerry®
Tetap saja, kompetisi bola yang sempat dikritik karena terlalu politis, karena Partai Golkar "penguasa" PSSI mewarnai Timnas Indonesia, kembali bernuansa politik. Liga Politik Indonesia (LPI) yang bertikai dengan PSSI menjelang dibuka di Solo, Jateng, kembali kental nuansa politiknya.
Terutama ketika Presiden SBY dan Menpora Andi Malarangeng memilih untuk memihak LPI ketimbang menengahinya. Dan SBY pun, akhirnya memastikan diri untuk hadir dalam acara pembukaannya. Wow! Mulailah berbagai praduga bermunculan. SBY telah memanfaatkan pertikaian LPI vs PSSI.
Harris Rusly Moti dari Petisi 28 menilai, kedongkolan orang terhadap Nurdin Halid, yang dicacimaki karena mempolitisasi Timnas dalam AFF, kayaknya bakal surut gara-gara SBY dan Andi Malaranggeng ikut-ikutan numpang popularitas di atas kedongkolan orang atas Nurdin.
"Polarisasi Kartel Cikeas vs Kartel Epicentrum makin menusuk masuk hingga di sepak bola. Bola pun di Parpol-kan," tulis Moti dalam pesan singkat.
Ada benarnya. Karena sebagai Presiden RI, harusnya SBY menjadi penengah yang benar-benar netral dan fair. Artinya, memposisikan LPI dan PSSI sama. Bila ada yang keliru, dan berbau-bau koruptif, langsung disikat. Lihat saja PSSI. Sudah perlu berapa bukti lagi yang perlu disuguhkan untuk membuktikan ada korupsi di PSSI?
Soal LPI, UU Sistem Olahraga Nasional dan PP Badan Olahraga Profesional Indonesia (BOPI) jelas-jelas saling bertentangan. Bukannya diselesaikan, tapi malah ditumpangi. Apakah SBY sudah mempertimbangkan kemungkinan sanksi dari FIFA, karena jelas tidak diperkenankannya pemerintah turut campur (PSSI atau LPI)?
Ah, sepakbola kok terus dipolitisir,..
Sent through BlackBerry®
03 January 2011
Sepakbola Indonesia-Malaysia beragam "warna",..
Febe Oktriviana | Permusuhan antara Indonesia dan Malaysia ternyata tidak sekedar pada dunia politik saja. Dalam dunia olahraga, “permusuhan” ini juga terlihat saat pertandingan final kedua kesebelasan dalam Piala AFF.
Memang bukan masalah pertandingannya, tetapi perlakuan para suporter Malaysia terhadap suporter dan pemain Indonesia. Saat di lapangan, para suporter Malaysia dengan sengaja “menembakkan” laser untuk mengganggu konsentrasi para pemain Indonesia. Sehingga tak dapat dihindari, Indonesia kalah telak dari Malaysia dengan skor 3-0.
Tak hanya itu, menurut informasi dari beberapa sumber, para suporter Malaysia ternyata melempari suporter Indonesia, membuat pendukung Indonesia turun dari tribun untuk menghindar. Komentator sebuah stasiun tv menilai turunnya suporter itu sebagai tanda kekecewaan. Padahal tidak!
Kehilangan Mental Juara
Rupanya upaya suporter Malaysia membuahkan hasil. Indonesia mulai kehilangan konsentrasi. Ritme permainan yang sudah mulai tidak terkontrol. Mental juara yang sudah mulai dibangun ketika memenangkan beberapa pertandingan, hilang.
Kekalahan Indonesia saat itu bukan serta merta karena skill timnas, namun juga kondisi fisik para pemain. Kondisi lapangan pun, agaknya kurang kondusif bagi mereka. Sialnya, berbagai peristiwa yang dinilai tidak fair, memperlemah mental.
Ketika salah satu pemain Malaysia melakukan pelanggaran dan harus mendapat kartu kuning, justru dipandang bukan pelanggaran. Ketika salah satu permain Malaysia melakukan hands ball, ternyata juga tidak dihitung sebagai pelanggaran.
Membuahkan Gol
Niat untuk membalas kekalahan rupanya sudah membayangi timnas Indonesia. Sedikit demi sedikit, Timnas memperbaiki mentalnya sebagai juara. Hanya saja, ritme permainan mereka tidak cukup bagus ketika di lapangan.
Semangat yang sempat pudar itu, agaknya kembali lagi ketika berada di negeri sendiri. Beberapa shoot yang luar biasa melesat dari pemain Timnas. Asyik menyerang, lini belakang Timnas melemah, sampai satu gol disumbangkan oleh Safee dari Malaysia.
Dari pengalaman itu, timnas Indonesia bermain lebih berhati – hati, dan kembali memperkuat lini belakang, Sehingga agak sulit ditembus. Sayangnya, kontrol pemain Indonesia sangat buruk. Empat kartu kuningpun dikantongi mereka.
Beberapa menit sebelum pertandingan berakhir, Nasuha dan M. Ridwan menyumbangkan gol untuk timnas Indonesia. Sehingga, skor terakhir adalah 2 untuk Indonesia, dan 1 untuk Malaysia. Setidaknya, walaupun tidak menjadi juara, tetapi Indonesia tetap kalah dengan terhormat dan tetap menang dengan permainan yang bersih.
Semoga ke depan lebih baik,..
*analisa olahraga lain di sini.
Memang bukan masalah pertandingannya, tetapi perlakuan para suporter Malaysia terhadap suporter dan pemain Indonesia. Saat di lapangan, para suporter Malaysia dengan sengaja “menembakkan” laser untuk mengganggu konsentrasi para pemain Indonesia. Sehingga tak dapat dihindari, Indonesia kalah telak dari Malaysia dengan skor 3-0.
Tak hanya itu, menurut informasi dari beberapa sumber, para suporter Malaysia ternyata melempari suporter Indonesia, membuat pendukung Indonesia turun dari tribun untuk menghindar. Komentator sebuah stasiun tv menilai turunnya suporter itu sebagai tanda kekecewaan. Padahal tidak!
Kehilangan Mental Juara
Rupanya upaya suporter Malaysia membuahkan hasil. Indonesia mulai kehilangan konsentrasi. Ritme permainan yang sudah mulai tidak terkontrol. Mental juara yang sudah mulai dibangun ketika memenangkan beberapa pertandingan, hilang.
Kekalahan Indonesia saat itu bukan serta merta karena skill timnas, namun juga kondisi fisik para pemain. Kondisi lapangan pun, agaknya kurang kondusif bagi mereka. Sialnya, berbagai peristiwa yang dinilai tidak fair, memperlemah mental.
Ketika salah satu pemain Malaysia melakukan pelanggaran dan harus mendapat kartu kuning, justru dipandang bukan pelanggaran. Ketika salah satu permain Malaysia melakukan hands ball, ternyata juga tidak dihitung sebagai pelanggaran.
Membuahkan Gol
Niat untuk membalas kekalahan rupanya sudah membayangi timnas Indonesia. Sedikit demi sedikit, Timnas memperbaiki mentalnya sebagai juara. Hanya saja, ritme permainan mereka tidak cukup bagus ketika di lapangan.
Semangat yang sempat pudar itu, agaknya kembali lagi ketika berada di negeri sendiri. Beberapa shoot yang luar biasa melesat dari pemain Timnas. Asyik menyerang, lini belakang Timnas melemah, sampai satu gol disumbangkan oleh Safee dari Malaysia.
Dari pengalaman itu, timnas Indonesia bermain lebih berhati – hati, dan kembali memperkuat lini belakang, Sehingga agak sulit ditembus. Sayangnya, kontrol pemain Indonesia sangat buruk. Empat kartu kuningpun dikantongi mereka.
Beberapa menit sebelum pertandingan berakhir, Nasuha dan M. Ridwan menyumbangkan gol untuk timnas Indonesia. Sehingga, skor terakhir adalah 2 untuk Indonesia, dan 1 untuk Malaysia. Setidaknya, walaupun tidak menjadi juara, tetapi Indonesia tetap kalah dengan terhormat dan tetap menang dengan permainan yang bersih.
Semoga ke depan lebih baik,..
*analisa olahraga lain di sini.
30 December 2010
Mencintai Garuda dengan sederhana
Jojo Raharjo | Photo by Reuter via Yahoo| Apakah Anda termasuk orang yang mencintai seseorang atau sesuatu hanya pada saat berada dalam kondisi menyenangkan saja?
Lalu, apa yang terjadi ketika sayur yang dimasak isteri Anda ternyata kurang asin, ketika nilai raport anak Anda lebih banyak merahnya, ketika klub kegemaran Anda terperosok dalam prestasi buruk, ketika selebritas idola Anda masuk penjara, atau saat organisasi Anda terjerat konflik menyesakkan.
Kalau memang Anda hanya mencintai figur-figur itu dalam kondisi positif, tak ubahnya Anda layak disejajarkan dengan orang-orang yang pada sebulan terakhir disebut sebagai “Mendadak Timnas”.
Mereka yang tak tahu sejarah sepakbola Indonesia tapi tiba-tiba memasang poster Irfan Bachdim di kamar. Mereka yang memuja-muja Cristian Gonzales tanpa pernah berpikir dia adalah pemain bola nan sama sekali tak sempurna. Mereka yang menganggap Markus Haris seolah dialah ‘portiere’ terbaik di negeri ini sepuluh tahun terakhir…
Di Final Piala AFF 2010, harapan itu terlalu berat dibebankan di pundak mereka. Sebesar dan sekencang teriakan belasan supporter yang menyeruduk masuk busway di Halte Karet tadi, saat jarum jam menunjukkan waktu 30 menit menjelang pertandingan dimulai.
“Pak Sopir, cepat, nanti tiketku hangus.Harganya mahal, lho…” “Hooy, cepat, aku nanti duduk di samping SBY…”, “Kalau nggak ada aku, SBY nggak masuk..” “Ayo, yang Indonesia masuk, yang Malaysia turun saja…”
GBK MEMBARA
Sebenarnya asa itu tak pernah salah. Belum pernah kulihat sekeliling stadion ini begitu berlimpah manusia. Layar lebar ditancapkan di penjuru gelanggang olahraga berbentuk “tungku raksasa” yang dibangun Sukarno 48 tahun lalu itu.
Ada penjaja kaos, jagung rebus, siomay dan anak muda berpasang-pasangan dengan tempelan merah putih di dua belah pipi. Inilah pesta rakyat sebenarnya.
Semua memang haus prestasi, haus pahlawan. Dan, ke-14 anak muda yang malam ini bersimbah peluh bukannya tak mau jadi pahlawan. Kapten kesebelasan Firman Utina tentu tak pernah sengaja menendang penalti begitu lemah.
Kiper Markus tak pernah menyangka kembali dipecundangi Mohd Safee Sali. Bek Maman tak pernah menduga, keisengannya menyentuh piala pada permulaan laga di Bukit Jalil berbuah sial, menjadi penyebab dua gol ke gawang timnya.
Sekali di kandang lawan, dan sekali di depan 95 ribu pasang mata yang menyemut di Senayan. Menang 2-1 di rumah tak ada artinya setelah keok 0-3 di negeri tetangga. Dua gol Nasuha dan Ridwan bolehlah jadi penghibur, bahwa setidaknya kita menang dua kali atas Malaysia dalam satu turnamen. Meski akhirnya tak jadi juara.
Tak ada yang disalahkan. Mereka sudah berbuat sekerasnya. Tapi bola yang mahakuasa telah memilih mana tim terbaik. Mereka kalah oleh tim yang mementingkan pembinaan di atas segalanya. Sebuah liga yang tak membolehkan pemain asing mencari nafkah di sana.
TANPA NATURALISASI
Sementara di sini, baik di liga yang sudah ada maupun baru berputar bulan depan, satu tim boleh punya lima pemain impor. Profesionalisme bisa jadi alasan, tapi tentu tak usah menutup mata ada mata pencaharian agen, pengurus, dan mata rantai lain yang tertutup kalau keran ekspatriat itu dihentikan. Mungkin prinsipnya, kalau ada yang benar-benar menguntungkan, bolehlah sekalian diberi hadiah paspor.
“Inilah buah dari keputusan Persatuan Bola Sepak Malaysia, tidak adanya pemain asing membolehkan pemain muda kami lebih berkembang,” kata Krishnasamy Rajagopal dalam jumpa pers usai partai pamungkas.
Pria kelahiran Selangor 54 tahun silam ini tak sedang menggombal, tapi medali emas Sea Games Laos tahun lalu, dan kini Juara Piala AFF membuktikan sistem pembinaan itu.
Malam ini Garuda menang tapi kalah. Tapi, tak selayaknya kita hanya mencintainya ketika mereka berjaya. Kalau tak mau disebut sebagai golongan supporter ‘mendadak timnas’ maka katakanlah kepada lambang Garuda itu.
“Aku ingin mencintaimu dengan sederhana, dengan kata yang tak sempat diucapkan
kayu kepada api yang menjadikannya abu,"
*analisa olah raga lain, klik di sini.
Lalu, apa yang terjadi ketika sayur yang dimasak isteri Anda ternyata kurang asin, ketika nilai raport anak Anda lebih banyak merahnya, ketika klub kegemaran Anda terperosok dalam prestasi buruk, ketika selebritas idola Anda masuk penjara, atau saat organisasi Anda terjerat konflik menyesakkan.
Kalau memang Anda hanya mencintai figur-figur itu dalam kondisi positif, tak ubahnya Anda layak disejajarkan dengan orang-orang yang pada sebulan terakhir disebut sebagai “Mendadak Timnas”.
Mereka yang tak tahu sejarah sepakbola Indonesia tapi tiba-tiba memasang poster Irfan Bachdim di kamar. Mereka yang memuja-muja Cristian Gonzales tanpa pernah berpikir dia adalah pemain bola nan sama sekali tak sempurna. Mereka yang menganggap Markus Haris seolah dialah ‘portiere’ terbaik di negeri ini sepuluh tahun terakhir…
Di Final Piala AFF 2010, harapan itu terlalu berat dibebankan di pundak mereka. Sebesar dan sekencang teriakan belasan supporter yang menyeruduk masuk busway di Halte Karet tadi, saat jarum jam menunjukkan waktu 30 menit menjelang pertandingan dimulai.
“Pak Sopir, cepat, nanti tiketku hangus.Harganya mahal, lho…” “Hooy, cepat, aku nanti duduk di samping SBY…”, “Kalau nggak ada aku, SBY nggak masuk..” “Ayo, yang Indonesia masuk, yang Malaysia turun saja…”
GBK MEMBARA
Sebenarnya asa itu tak pernah salah. Belum pernah kulihat sekeliling stadion ini begitu berlimpah manusia. Layar lebar ditancapkan di penjuru gelanggang olahraga berbentuk “tungku raksasa” yang dibangun Sukarno 48 tahun lalu itu.
Ada penjaja kaos, jagung rebus, siomay dan anak muda berpasang-pasangan dengan tempelan merah putih di dua belah pipi. Inilah pesta rakyat sebenarnya.
Semua memang haus prestasi, haus pahlawan. Dan, ke-14 anak muda yang malam ini bersimbah peluh bukannya tak mau jadi pahlawan. Kapten kesebelasan Firman Utina tentu tak pernah sengaja menendang penalti begitu lemah.
Kiper Markus tak pernah menyangka kembali dipecundangi Mohd Safee Sali. Bek Maman tak pernah menduga, keisengannya menyentuh piala pada permulaan laga di Bukit Jalil berbuah sial, menjadi penyebab dua gol ke gawang timnya.
Sekali di kandang lawan, dan sekali di depan 95 ribu pasang mata yang menyemut di Senayan. Menang 2-1 di rumah tak ada artinya setelah keok 0-3 di negeri tetangga. Dua gol Nasuha dan Ridwan bolehlah jadi penghibur, bahwa setidaknya kita menang dua kali atas Malaysia dalam satu turnamen. Meski akhirnya tak jadi juara.
Tak ada yang disalahkan. Mereka sudah berbuat sekerasnya. Tapi bola yang mahakuasa telah memilih mana tim terbaik. Mereka kalah oleh tim yang mementingkan pembinaan di atas segalanya. Sebuah liga yang tak membolehkan pemain asing mencari nafkah di sana.
TANPA NATURALISASI
Sementara di sini, baik di liga yang sudah ada maupun baru berputar bulan depan, satu tim boleh punya lima pemain impor. Profesionalisme bisa jadi alasan, tapi tentu tak usah menutup mata ada mata pencaharian agen, pengurus, dan mata rantai lain yang tertutup kalau keran ekspatriat itu dihentikan. Mungkin prinsipnya, kalau ada yang benar-benar menguntungkan, bolehlah sekalian diberi hadiah paspor.
“Inilah buah dari keputusan Persatuan Bola Sepak Malaysia, tidak adanya pemain asing membolehkan pemain muda kami lebih berkembang,” kata Krishnasamy Rajagopal dalam jumpa pers usai partai pamungkas.
Pria kelahiran Selangor 54 tahun silam ini tak sedang menggombal, tapi medali emas Sea Games Laos tahun lalu, dan kini Juara Piala AFF membuktikan sistem pembinaan itu.
Malam ini Garuda menang tapi kalah. Tapi, tak selayaknya kita hanya mencintainya ketika mereka berjaya. Kalau tak mau disebut sebagai golongan supporter ‘mendadak timnas’ maka katakanlah kepada lambang Garuda itu.
“Aku ingin mencintaimu dengan sederhana, dengan kata yang tak sempat diucapkan
kayu kepada api yang menjadikannya abu,"
*analisa olah raga lain, klik di sini.
23 December 2010
Bagaimana bila Indonesia kalah?
Febe Oktriviana | Antusiasme masyarakat Indonesia terhadap sepakbola, memang sangat luar biasa. Terbukti, dari kapasitas Gelora Bung Karno yang hanya 88.000 penonton, membeludak hingga ratusan ribu orang. Bahkan banyak di antara mereka yang sampai tidak kebagian tiket. Bagaimana bila tim Indonesia kalah?
Persepakbolaan Indonesia sedang terpuruk. Itulah kalimat yang pernah kita dengar beberapa waktu yang lalu. Saat di mana persepakbolaan Indonesia hanya dipandang sebelah mata, karena banyaknya kasus yang melibatkan pelaku-pelaku persepakbolaan Indonesia. Bahkan banyak klub sepakbola di Indonesia, sempat mengalami degradasi karena “salah asuhan”.
Tidak hanya itu, klub sepak bola Indonesia sepertinya porak poranda tercoreng aksi pendukungnya yang anarkis. Padahal tidak semuanya seperti itu. Hanya beberapa oknum yang tidak bertanggung jawab, yang menyebutkan dirinya para Bonekmania yang disebut-sebut sering berbuah ulah.
Dan parahnya lagi, beberapa media seringkali menayangkan dan memberitakan tentang hal-hal yang berkaitan dengan buruknya dunia persepekbolaan Indonesia di samping beberapa prestasi yang diukir oleh beberapa klubnya.
Tak ayal, kaum awam memandang persepakbolaan Indonesia, sarat dengan kekerasan dan tidak memiliki nilai sportifitas tinggi seperti yang dilakukan di negeri orang.
TIBA-TIBA JAGOAN
Keadaan berbalik. Persepakbolaan Indonesia melesat ke puncak, setelah timnas Indonesia berhasil mengalahkan beberapa negara seberang. Thailand dilibas 2-1, Malaysia ditekuk 5-1 dan Filipina, dikandaskan di semifinal dengan skor 1-0.
Hal ini rupanya menumbuhkan kebanggaan dan antusiasme di setiap lapisan masyarakat Indonesia. Terbukti, pada malam sebelum semifinal antara Indonesia dan Filipina, media massa seolah berlomba memberitakan tentang massa yang mengamuk karena tiket habis.
Bahkan, dalam program Liputan 6 SCTV, salah seorang pendukung timnas Indonesia sempat menyatakan kekecewaannya karena ia datang jauh dari Surabaya hanya demi memperoleh tiket itu, tapi ternyata tiketnya sudah habis.
Pertanyaannya, bagaimana bila seandainya Indonesia kalah menghadapi Malaysia? Apakah rasa nasionalisme itu masih ada?
Persepakbolaan Indonesia sedang terpuruk. Itulah kalimat yang pernah kita dengar beberapa waktu yang lalu. Saat di mana persepakbolaan Indonesia hanya dipandang sebelah mata, karena banyaknya kasus yang melibatkan pelaku-pelaku persepakbolaan Indonesia. Bahkan banyak klub sepakbola di Indonesia, sempat mengalami degradasi karena “salah asuhan”.
Tidak hanya itu, klub sepak bola Indonesia sepertinya porak poranda tercoreng aksi pendukungnya yang anarkis. Padahal tidak semuanya seperti itu. Hanya beberapa oknum yang tidak bertanggung jawab, yang menyebutkan dirinya para Bonekmania yang disebut-sebut sering berbuah ulah.
Dan parahnya lagi, beberapa media seringkali menayangkan dan memberitakan tentang hal-hal yang berkaitan dengan buruknya dunia persepekbolaan Indonesia di samping beberapa prestasi yang diukir oleh beberapa klubnya.
Tak ayal, kaum awam memandang persepakbolaan Indonesia, sarat dengan kekerasan dan tidak memiliki nilai sportifitas tinggi seperti yang dilakukan di negeri orang.
TIBA-TIBA JAGOAN
Keadaan berbalik. Persepakbolaan Indonesia melesat ke puncak, setelah timnas Indonesia berhasil mengalahkan beberapa negara seberang. Thailand dilibas 2-1, Malaysia ditekuk 5-1 dan Filipina, dikandaskan di semifinal dengan skor 1-0.
Hal ini rupanya menumbuhkan kebanggaan dan antusiasme di setiap lapisan masyarakat Indonesia. Terbukti, pada malam sebelum semifinal antara Indonesia dan Filipina, media massa seolah berlomba memberitakan tentang massa yang mengamuk karena tiket habis.
Bahkan, dalam program Liputan 6 SCTV, salah seorang pendukung timnas Indonesia sempat menyatakan kekecewaannya karena ia datang jauh dari Surabaya hanya demi memperoleh tiket itu, tapi ternyata tiketnya sudah habis.
Pertanyaannya, bagaimana bila seandainya Indonesia kalah menghadapi Malaysia? Apakah rasa nasionalisme itu masih ada?
14 December 2010
Mengapa tetap tidak mendukung PSSI?
Iman D. Nugroho
Ingin rasanya ikut berteriak: In-do-ne-sia! di Gelora Bung Karno. Tapi, bayangan sosok Nurdin Halid, sepertinya tidak bisa hilang. Dan ketika pilihan itu hadir, lebih baik tidak mendukung Indonesia, dari pada melegalisasi "cengkraman" Nurdin Halid di PSSI. Blah!
"Itu tidak fair,.." kata seorang kawan. Lho, apakah yang dilakukan Nurdin Halid dan back up kekuasaan selama ini memangnya fair? Coba baca sosok Nurdin Halid di link ini, akan tampak betapa si Nurdin ini sudah membuat pelanggaran di banyak hal.
Selain menjadi koruptor, mantan anggota DPR dari Golkar ini juga menguasai PSSI dan tidak pernah sedikit pun mau dengan fair melepaskan organisasi sepakbola Indonesia itu. Bahkan, ketika di penjara atas kasus beras impor, Nurdin tetap saja men-drive PSSI dari balik penjara.
"Hebat"-nya, tidak ada satu pun orang yang merasa hal itu sebuah kesalahan. Semua diam. Entah setuju, entah takut atau tidak peduli. Bahkan Menteri Olah Raga sekali pun bergeming. Jadi, jangan pernah omong fairness dalam kasus PSSI dan Nurdin Halid.
Seorang kawan menceritakan, Arifin Panigoro sempat akan melawan. Dari sisi keuangan dan backing politik, Arifin dianggap cukup mampu untuk menggeser Nurdin. Tapi, semua hanya pepesan kosong. Arifin pun melempem. Orang yang dulu pernah dekat dengan Megawati Soekarnoputri dan para jenderal nasionalis itu pun tiba-tiba entah kemana.
Nurdin tetap berjaya! Jadi, masihkan ingin teriak In-do-ne-sia! dan melanggengkan kekuasaan Nurdin? NO!
foto: http://hilmyinfo.wordpress.com dan info suporter
Ingin rasanya ikut berteriak: In-do-ne-sia! di Gelora Bung Karno. Tapi, bayangan sosok Nurdin Halid, sepertinya tidak bisa hilang. Dan ketika pilihan itu hadir, lebih baik tidak mendukung Indonesia, dari pada melegalisasi "cengkraman" Nurdin Halid di PSSI. Blah!
"Itu tidak fair,.." kata seorang kawan. Lho, apakah yang dilakukan Nurdin Halid dan back up kekuasaan selama ini memangnya fair? Coba baca sosok Nurdin Halid di link ini, akan tampak betapa si Nurdin ini sudah membuat pelanggaran di banyak hal.
Selain menjadi koruptor, mantan anggota DPR dari Golkar ini juga menguasai PSSI dan tidak pernah sedikit pun mau dengan fair melepaskan organisasi sepakbola Indonesia itu. Bahkan, ketika di penjara atas kasus beras impor, Nurdin tetap saja men-drive PSSI dari balik penjara.
"Hebat"-nya, tidak ada satu pun orang yang merasa hal itu sebuah kesalahan. Semua diam. Entah setuju, entah takut atau tidak peduli. Bahkan Menteri Olah Raga sekali pun bergeming. Jadi, jangan pernah omong fairness dalam kasus PSSI dan Nurdin Halid.
Seorang kawan menceritakan, Arifin Panigoro sempat akan melawan. Dari sisi keuangan dan backing politik, Arifin dianggap cukup mampu untuk menggeser Nurdin. Tapi, semua hanya pepesan kosong. Arifin pun melempem. Orang yang dulu pernah dekat dengan Megawati Soekarnoputri dan para jenderal nasionalis itu pun tiba-tiba entah kemana.
Nurdin tetap berjaya! Jadi, masihkan ingin teriak In-do-ne-sia! dan melanggengkan kekuasaan Nurdin? NO!
foto: http://hilmyinfo.wordpress.com dan info suporter