Febe Oktriviana | Permusuhan antara Indonesia dan Malaysia ternyata tidak sekedar pada dunia politik saja. Dalam dunia olahraga, “permusuhan” ini juga terlihat saat pertandingan final kedua kesebelasan dalam Piala AFF.
Memang bukan masalah pertandingannya, tetapi perlakuan para suporter Malaysia terhadap suporter dan pemain Indonesia. Saat di lapangan, para suporter Malaysia dengan sengaja “menembakkan” laser untuk mengganggu konsentrasi para pemain Indonesia. Sehingga tak dapat dihindari, Indonesia kalah telak dari Malaysia dengan skor 3-0.
Tak hanya itu, menurut informasi dari beberapa sumber, para suporter Malaysia ternyata melempari suporter Indonesia, membuat pendukung Indonesia turun dari tribun untuk menghindar. Komentator sebuah stasiun tv menilai turunnya suporter itu sebagai tanda kekecewaan. Padahal tidak!
Kehilangan Mental Juara
Rupanya upaya suporter Malaysia membuahkan hasil. Indonesia mulai kehilangan konsentrasi. Ritme permainan yang sudah mulai tidak terkontrol. Mental juara yang sudah mulai dibangun ketika memenangkan beberapa pertandingan, hilang.
Kekalahan Indonesia saat itu bukan serta merta karena skill timnas, namun juga kondisi fisik para pemain. Kondisi lapangan pun, agaknya kurang kondusif bagi mereka. Sialnya, berbagai peristiwa yang dinilai tidak fair, memperlemah mental.
Ketika salah satu pemain Malaysia melakukan pelanggaran dan harus mendapat kartu kuning, justru dipandang bukan pelanggaran. Ketika salah satu permain Malaysia melakukan hands ball, ternyata juga tidak dihitung sebagai pelanggaran.
Membuahkan Gol
Niat untuk membalas kekalahan rupanya sudah membayangi timnas Indonesia. Sedikit demi sedikit, Timnas memperbaiki mentalnya sebagai juara. Hanya saja, ritme permainan mereka tidak cukup bagus ketika di lapangan.
Semangat yang sempat pudar itu, agaknya kembali lagi ketika berada di negeri sendiri. Beberapa shoot yang luar biasa melesat dari pemain Timnas. Asyik menyerang, lini belakang Timnas melemah, sampai satu gol disumbangkan oleh Safee dari Malaysia.
Dari pengalaman itu, timnas Indonesia bermain lebih berhati – hati, dan kembali memperkuat lini belakang, Sehingga agak sulit ditembus. Sayangnya, kontrol pemain Indonesia sangat buruk. Empat kartu kuningpun dikantongi mereka.
Beberapa menit sebelum pertandingan berakhir, Nasuha dan M. Ridwan menyumbangkan gol untuk timnas Indonesia. Sehingga, skor terakhir adalah 2 untuk Indonesia, dan 1 untuk Malaysia. Setidaknya, walaupun tidak menjadi juara, tetapi Indonesia tetap kalah dengan terhormat dan tetap menang dengan permainan yang bersih.
Jojo Raharjo | Photo by Reuter via Yahoo| Apakah Anda termasuk orang yang mencintai seseorang atau sesuatu hanya pada saat berada dalam kondisi menyenangkan saja?
Lalu, apa yang terjadi ketika sayur yang dimasak isteri Anda ternyata kurang asin, ketika nilai raport anak Anda lebih banyak merahnya, ketika klub kegemaran Anda terperosok dalam prestasi buruk, ketika selebritas idola Anda masuk penjara, atau saat organisasi Anda terjerat konflik menyesakkan.
Kalau memang Anda hanya mencintai figur-figur itu dalam kondisi positif, tak ubahnya Anda layak disejajarkan dengan orang-orang yang pada sebulan terakhir disebut sebagai “Mendadak Timnas”.
Mereka yang tak tahu sejarah sepakbola Indonesia tapi tiba-tiba memasang poster Irfan Bachdim di kamar. Mereka yang memuja-muja Cristian Gonzales tanpa pernah berpikir dia adalah pemain bola nan sama sekali tak sempurna. Mereka yang menganggap Markus Haris seolah dialah ‘portiere’ terbaik di negeri ini sepuluh tahun terakhir…
Di Final Piala AFF 2010, harapan itu terlalu berat dibebankan di pundak mereka. Sebesar dan sekencang teriakan belasan supporter yang menyeruduk masuk busway di Halte Karet tadi, saat jarum jam menunjukkan waktu 30 menit menjelang pertandingan dimulai.
“Pak Sopir, cepat, nanti tiketku hangus.Harganya mahal, lho…” “Hooy, cepat, aku nanti duduk di samping SBY…”, “Kalau nggak ada aku, SBY nggak masuk..” “Ayo, yang Indonesia masuk, yang Malaysia turun saja…” GBK MEMBARA
Sebenarnya asa itu tak pernah salah. Belum pernah kulihat sekeliling stadion ini begitu berlimpah manusia. Layar lebar ditancapkan di penjuru gelanggang olahraga berbentuk “tungku raksasa” yang dibangun Sukarno 48 tahun lalu itu.
Ada penjaja kaos, jagung rebus, siomay dan anak muda berpasang-pasangan dengan tempelan merah putih di dua belah pipi. Inilah pesta rakyat sebenarnya.
Semua memang haus prestasi, haus pahlawan. Dan, ke-14 anak muda yang malam ini bersimbah peluh bukannya tak mau jadi pahlawan. Kapten kesebelasan Firman Utina tentu tak pernah sengaja menendang penalti begitu lemah.
Kiper Markus tak pernah menyangka kembali dipecundangi Mohd Safee Sali. Bek Maman tak pernah menduga, keisengannya menyentuh piala pada permulaan laga di Bukit Jalil berbuah sial, menjadi penyebab dua gol ke gawang timnya.
Sekali di kandang lawan, dan sekali di depan 95 ribu pasang mata yang menyemut di Senayan. Menang 2-1 di rumah tak ada artinya setelah keok 0-3 di negeri tetangga. Dua gol Nasuha dan Ridwan bolehlah jadi penghibur, bahwa setidaknya kita menang dua kali atas Malaysia dalam satu turnamen. Meski akhirnya tak jadi juara.
Tak ada yang disalahkan. Mereka sudah berbuat sekerasnya. Tapi bola yang mahakuasa telah memilih mana tim terbaik. Mereka kalah oleh tim yang mementingkan pembinaan di atas segalanya. Sebuah liga yang tak membolehkan pemain asing mencari nafkah di sana.
TANPA NATURALISASI
Sementara di sini, baik di liga yang sudah ada maupun baru berputar bulan depan, satu tim boleh punya lima pemain impor. Profesionalisme bisa jadi alasan, tapi tentu tak usah menutup mata ada mata pencaharian agen, pengurus, dan mata rantai lain yang tertutup kalau keran ekspatriat itu dihentikan. Mungkin prinsipnya, kalau ada yang benar-benar menguntungkan, bolehlah sekalian diberi hadiah paspor.
“Inilah buah dari keputusan Persatuan Bola Sepak Malaysia, tidak adanya pemain asing membolehkan pemain muda kami lebih berkembang,” kata Krishnasamy Rajagopal dalam jumpa pers usai partai pamungkas.
Pria kelahiran Selangor 54 tahun silam ini tak sedang menggombal, tapi medali emas Sea Games Laos tahun lalu, dan kini Juara Piala AFF membuktikan sistem pembinaan itu.
Malam ini Garuda menang tapi kalah. Tapi, tak selayaknya kita hanya mencintainya ketika mereka berjaya. Kalau tak mau disebut sebagai golongan supporter ‘mendadak timnas’ maka katakanlah kepada lambang Garuda itu.
“Aku ingin mencintaimu dengan sederhana, dengan kata yang tak sempat diucapkan kayu kepada api yang menjadikannya abu,"
Febe Oktriviana | Antusiasme masyarakat Indonesia terhadap sepakbola, memang sangat luar biasa. Terbukti, dari kapasitas Gelora Bung Karno yang hanya 88.000 penonton, membeludak hingga ratusan ribu orang. Bahkan banyak di antara mereka yang sampai tidak kebagian tiket. Bagaimana bila tim Indonesia kalah?
Persepakbolaan Indonesia sedang terpuruk. Itulah kalimat yang pernah kita dengar beberapa waktu yang lalu. Saat di mana persepakbolaan Indonesia hanya dipandang sebelah mata, karena banyaknya kasus yang melibatkan pelaku-pelaku persepakbolaan Indonesia. Bahkan banyak klub sepakbola di Indonesia, sempat mengalami degradasi karena “salah asuhan”.
Tidak hanya itu, klub sepak bola Indonesia sepertinya porak poranda tercoreng aksi pendukungnya yang anarkis. Padahal tidak semuanya seperti itu. Hanya beberapa oknum yang tidak bertanggung jawab, yang menyebutkan dirinya para Bonekmania yang disebut-sebut sering berbuah ulah.
Dan parahnya lagi, beberapa media seringkali menayangkan dan memberitakan tentang hal-hal yang berkaitan dengan buruknya dunia persepekbolaan Indonesia di samping beberapa prestasi yang diukir oleh beberapa klubnya.
Tak ayal, kaum awam memandang persepakbolaan Indonesia, sarat dengan kekerasan dan tidak memiliki nilai sportifitas tinggi seperti yang dilakukan di negeri orang.
TIBA-TIBA JAGOAN
Keadaan berbalik. Persepakbolaan Indonesia melesat ke puncak, setelah timnas Indonesia berhasil mengalahkan beberapa negara seberang. Thailand dilibas 2-1, Malaysia ditekuk 5-1 dan Filipina, dikandaskan di semifinal dengan skor 1-0.
Hal ini rupanya menumbuhkan kebanggaan dan antusiasme di setiap lapisan masyarakat Indonesia. Terbukti, pada malam sebelum semifinal antara Indonesia dan Filipina, media massa seolah berlomba memberitakan tentang massa yang mengamuk karena tiket habis.
Bahkan, dalam program Liputan 6 SCTV, salah seorang pendukung timnas Indonesia sempat menyatakan kekecewaannya karena ia datang jauh dari Surabaya hanya demi memperoleh tiket itu, tapi ternyata tiketnya sudah habis.
Pertanyaannya, bagaimana bila seandainya Indonesia kalah menghadapi Malaysia? Apakah rasa nasionalisme itu masih ada?
Ingin rasanya ikut berteriak: In-do-ne-sia! di Gelora Bung Karno. Tapi, bayangan sosok Nurdin Halid, sepertinya tidak bisa hilang. Dan ketika pilihan itu hadir, lebih baik tidak mendukung Indonesia, dari pada melegalisasi "cengkraman" Nurdin Halid di PSSI. Blah!
"Itu tidak fair,.." kata seorang kawan. Lho, apakah yang dilakukan Nurdin Halid dan back up kekuasaan selama ini memangnya fair? Coba baca sosok Nurdin Halid di link ini, akan tampak betapa si Nurdin ini sudah membuat pelanggaran di banyak hal.
Selain menjadi koruptor, mantan anggota DPR dari Golkar ini juga menguasai PSSI dan tidak pernah sedikit pun mau dengan fair melepaskan organisasi sepakbola Indonesia itu. Bahkan, ketika di penjara atas kasus beras impor, Nurdin tetap saja men-drive PSSI dari balik penjara.
"Hebat"-nya, tidak ada satu pun orang yang merasa hal itu sebuah kesalahan. Semua diam. Entah setuju, entah takut atau tidak peduli. Bahkan Menteri Olah Raga sekali pun bergeming. Jadi, jangan pernah omong fairness dalam kasus PSSI dan Nurdin Halid.
Seorang kawan menceritakan, Arifin Panigoro sempat akan melawan. Dari sisi keuangan dan backing politik, Arifin dianggap cukup mampu untuk menggeser Nurdin. Tapi, semua hanya pepesan kosong. Arifin pun melempem. Orang yang dulu pernah dekat dengan Megawati Soekarnoputri dan para jenderal nasionalis itu pun tiba-tiba entah kemana.
Nurdin tetap berjaya! Jadi, masihkan ingin teriak In-do-ne-sia! dan melanggengkan kekuasaan Nurdin? NO! foto: http://hilmyinfo.wordpress.com dan info suporter
Mengawali catatan football evangelist hari ini, saya tak bisa mengelak untuk mengabarkan euphoria kemenangan Liverpool di Reebok Stadium, kandang Bolton Wanderers, Ahad malam kemarin.
Kemenangan itu menjadi catatan penting karena mengembalikan kepercayaan diri Liverpool yang sempat terperosok ke posisi dua dari dasar klasemen.
Kredit besar patut ditujukan kepada Maxi Rodriguez sang penceplos gol tunggal ke gawang Jussi Jaaskelainen di menit ke-86, saat pemain, pelatih, dan penonton pasrah menerima hasil imbang di laga pekan kesepuluh Liga Primer 2010/2011.
"Lovely ball from Lucas, brilliant backheel from Torres, good goal by Maxi…” teriakan komentator ESPN itu serasa memecahkan kebuntuan tengah malam. Sebuah kemenangan berarti, karena menjadi pemecah telur sebagai kemenangan tandang pertama Liverpool di Liga Inggris sepanjang 2010, dan yang pertama dalam 32 pertandingan Roy Hodgson, termasuk saat pelatih gaek masih membesut Fulham.
Maximiliano Rubén "Maxi" Rodríguez, kelahiran 2 Januari 1981, datang sebagai pemain Liverpool pada 13 Januari tahun ini. Tanpa ada biaya pembelian alias free transfer dari Atletico Madrid, klub Liga Spanyol yang dikapteninya semenjak Atleti ditinggal maskotnya yang terlebih dulu bergabung ke Anfield, Fernando Torres. Maxi pun menandatangani kontrak 3,5 tahun, dan mendapat nomer punggung 17, dengan tugas menyediakan pasokan bola sedap bagi kawannya selama dua musim di Vicente Calderon itu.
Lahir di Rosario, kota terbesar di provinsi Santa Fe, Argentina, Maxi punya nama panggilan ‘La Fiera’ atau “The Fierce”, kira-kira artinya binatang liar yang ganas. Empat tahun silam, di Piala Dunia 2006 Jerman, Maxi mencetak gol spektakuler yang meloloskan Argentina dari babak enam belas besar, menyudahi perlawanan Mexico 2-1 lewat babak perpanjangan waktu.
Saat itu menit ke-98, menerima umpan dari Juan Pablo Sorin, Maxi mengontrol bola dengan dada, sebelum kaki kirinya menghujamkan tendangan voli keras dari luar kotak penalti… wuuusss… bola bersarang di pojok atas gawang Oswaldo Sanchez.
Meski tak secemerlang Piala Dunia 2006 yang melesakkan 3 gol, Maxi selalu tampil dalam 5 kali pertandingan di putaran final Piala Dunia 2010, sebelum anak-anak didik Diego Maradona itu dipulangkan Jerman lewat kekalahan 0-4 di perempatfinal.
Di usia hampir kepala tiga, pria yang juga memiliki kewarganegaraan Italia ini membuktikan dirinya belum habis. Terus menyerang seperti layaknya buasnya hewan di alas, Maxi Rodriguez meninggalkan pesan berarti bagi kehidupan. Kalau bisa menang, mengapa seri? Selama peluit akhir belum ditiup, kenapa tidak mencoba bikin gol?
Jawabannya memang tergantung konsistensi kita dalam kehidupan yang kadang tampak ganas ini. Konsistensi untuk terus tidak menyerah. Konsistensi untuk bernafsu membuat hasil positif. Jadi, sudah “maxi”-kah kita memaksimalkan kemampuan kita?
*Teks foto: Maxi Rodriquez, saat direkrut pelatih Liverpool saat itu, Rafael Benitez *Tulisan di juga dipublikasikan di http://jojoraharjourney.wordpress.com
Partai tanpa gol di White Hart Lane antara Totenham Hotspurs menjamu Manchester City pada Sabtu (14/8) menandai bergulirnya Barclays Premier League 2010/2011.
Sampai saat ini, Liga Inggris, -selanjutnya kita sebut dengan BPL- masih dipandang sebagai liga yang paling ditunggu di seluruh dunia, termasuk di antara jutaan penggila bola di Indonesia. Mengapa? Entahlah. Sudah 44 tahun Inggris tak mampu mencapai final Piala Dunia sejak mereka juara saat menjadi tuan rumah 1966.
Ini liga paling bergengsi sedunia? Ah, masak.. Bintang Liga Inggris asal Portugal Cristiano Ronaldo dos Santos Aveiro, kini memegang rekor sebagai pemain termahal dunia dengan rekor transfer 80 juta poundsterling justru saat pindah ke Liga Spanyol pada musim 2009/2010. Rekor-rekor dunia sebelumnya juga bukan dipegang pemain yang pindah ke BPL, yakni Luis Figo (dari Barcelona ke Real Madrid, 2000) dan Zinedine Zidane (dari Juventus ke Madrid , 2001).
Mengapa BPL menjadi idola tak lepas dari sisi komersialisme dan tingginya terpaan media itu sendiri. Akuntan publik Deloitte mencatat BPL berada di posisi teratas liga paling menguntungkan sedunia dengan pendapatan rata-rata 700 juta dolar per tahun. Urutan berikutnya dalam 5 besar yakni Seri A Italia, La Liga Spanyol, Bundesliga Jerman, dan Major League Soccer AS.
Di Indonesia, berputarnya BPL tahun ini disambut harap-harap cemas karena sampai hari H peluit berbunyi belum ada kepastian televisi mana yang akan menayangkannya. Dalam sejarahnya, BPL –sejak masih bernama Liga Utama Inggris, pernah ditayangkan langsung di SCTV, Trans 7 dan kemudian sejak tiga tahun lalu dipegang oleh televisi berbayar. Awalnya hak siar BPL dipegang teve kabel Astro (2007), Aora (2008), dan menyusul Indovision (2009).
Sampai Sabu (14/8) sore, belum ada kepastian teve mana yang akan mengambil. Pemberitaan di berbagai media pun tak menunjukkan jawaban pasti, termasuk telpon langsung ke customer service maupun pesan facebook ke pejabat public relations Indovision yang terus saya lakukan.
Satu-satunya berita agak melegakan datang saat Jum’at petang, wartawan Bola Darojatoen menampilkan pesan twitter bahwa BPL selama 3 musim ke depan bakal ditayangkan Indovision bersama dua teve gratisan di bawah bendera Media Nusantara Citra (MNC) yakni TPI dan Global TV. Pesan itu sempat teragukan saat pertandingan pertama –partai kacamata antara Spurs vs City tadi- ternyata tak muncul di layar kaca. Saya telpon ke layanan pelanggan Indovision, Sabtu (14/8) jam 19.00 WIB, jawabannya, “Maaf, setahun ke depan Indovision tak dapat hak siar BPL. Saat ini ESPN sedang menayangkan pertandingan softball.”
Syukurlah, akhirnya kejelasan datang di jam 21.00 WIB. Baik ESPN, Starsports (versi Indovision) maupun TPI dan Global TV menayangkan partai Blackburn vs Everton, dan Aston Villa vs West Ham, dilanjut Chelsea vs Albion dan Liverpool vs Arsenal pada Minggu (15/8).
Keputusan MNC mengambil hak siar BPL, yang konon tarifnya mencapai Rp 150 miliar rupiah, patut disyukuri. Peduli amat keputusan itu terjadi di antara kemelut bisnis kubu Hary Tanoesoedibjo versus mbak Tutut dan Yapto Suryosumarno. Rakyat kecil tak peduli soal hubungan pencitraan dan perang bisnis. Yang penting, setelah tiga musim jadi tontonan elit, kini Liga Inggris kembali hadir prodeo.
Buah manggis, enak sekali Dibeli mahal di Pasar Ciamis Liga Inggris paling dinanti TPI dan Global tayangkan gratis…
Selasa malam dan Rabu dinihari, kita bakal disuguhi empat pertandingan fase Grup Piala Dunia, masing-masing dua laga Grup A : Prancis vs Afrika Selatan dan Uruguay vs Mexico (21.00 WIB). Serta Yunani vs Argentina dan Nigeria vs Korsel (01.30 WIB Rabu dinihari). Sebagai penentuan dua tim yang lolos dari tiap grup, maka dua laga terakhir harus digelar bersamaan.
Di Grup A, empat tim masih berpeluang lolos, meski dua tim kini memiliki nilai 4 (Uruguay dan Mexico) sementara Perancis dan Afsel baru punya sebiji poin. Tapi, konstelasi itu bisa berubah kalau Perancis atau Afsel tiba-tiba bangkit dari deretan tragedi buruk yang mencekam mereka di dua pertandingan awal.
Perancis memang dipertanyakan banyak pihak, karena penampilannya begitu korat-karit terutama saat dihajar Mexico 0-2, terlepas satu gol Mexico berbau offside dan satu lagi berupa penalti. Kondisi psikis Mexico kian buruk setelah Nicolas Anelka dipulangkan karena bertengkar dengan pelatih Raymond Domenech.
Bentrok antara Patrice Evra dan pelatih fisik Robert Duverne, mundurnya direktur tim merangkap direktur manajer Federasi Sepakbola Perancis Jean-Louis Valentin serta mogok latihan para pemain yang berbuah teguran Presiden Nicolas Sarcozy.
Di sisi lain, Afsel sebagai tuan rumah tak mau malu sebagai tuan rumah pertama yang gagal lolos ke babak 16 besar Piala Dunia. Tapi, kalau lawannya Perancis, sepertinya berat bagi tim Bafana-Bafana meneruskan sejarah indah para penyelenggara pesta itu.
Afsel bisa jadi membuat benua hitam tercoreng, tidak demikian dengan Nigeria. Asal bisa menghajar Korsel, maka posisi Elang Super yang kini berada di posisi buncit akan terkatrol menjadi runner-up dan bersiap menghadapi Uruguay sebagai pemuncak di Grup A.
Kalau menyebut Football pada orang Amerika, pasti maksudnya olahraga football yang bolanya lonjong dan mainnya lebihi banyak dilempar daripada ditendang. Sementara football yang dimaksud orang Eropa adalah bola bundar yang cara mainnya ditendang atau disundul. Apapun istilahnya, yang jelas deman piala dunia mulai merambah warga Amerika.
Seingatku, kebanyakan orang Amerika gak begitu kenal dengan sepakbola (soccer). Pada Piala Dunia 2006, "demam" Piala Dunia belum seberapa terasa. Hanya sports bars yang pelanggannya kebanyakan imigran saja yang ramai.
Sementara bar-bar olahraga lain, layar televisinya tak begitu banyak menyiarkan siaran sepakbola. Sedangkan media cetak, juga tak punya kolom khusus memberitakan perkembangannya. Apalagi untuk jadi headlines di koran nasional. Jauh deh!
Demam Afrika
Tapi Piala Dunia 2010 di Afrika selatan kali ini, terasa begitu beda. Demamnya terasa di sports-sports bars, di siaran berita televisi, bahkan di headlines koran lokal maupun nasional.
Seperti New York Post yang punya kolom khusus World Cup. Juga di New York Times atau Daily News. Salah satu teman Amerika ku di status Facebooknya pada satu hari bertanya, dimanakah bar di NYC yang dia bisa 'squeze' untuk nonton piala dunia.
Itu karena saking ramenya bar-bar di NYC untuk nobar (nonton bareng). Beritanya suasana nobar pun menghiasa media lokal. Tidak hanya itu, stasiun official televisi berskala nasional mengirimkan salah satu anchor nya untuk siaran langsung dari Afrika Selatan.
ESPN, ABC lengkap dengan ulasan sebelum dan setelah pertandingan dari para mantan pemain piala dunia terkenal. Ruud Gullit (Belanda), Jurgen Klinsman (Jerman), Steve McNamanan (Inggris) dan tentu saja Alexi Lalas (Amerika), yang berhasil membawa World Cup ke Amerika tahun 1998.
Pertandingan Amerika lawan Slovenia yang kontroversi menambah ramai demam piala dunia. Tak cuma pemerhati sepakbola, para celebiritis di twitternya juga ikutan komentar kalo Amerika bertanding. Termasuk Andi Roddick dan Serena Williams, dua pemain tenis terkenal Amerika.
Sepanjang Minggu petang sampai Senin dinihari, kita bakal disuguhi tiga pertandingan fase Grup Piala Dunia, masing-masing dua laga Grup F yakni Slowakia vs Paraguay (18.30 WIB) dan Italia vs Selandia Baru (21.00 WIB) serta satu laga Grup G yakni Brasil vs Pantai Gading (01.30 WIB Senin dinihari). Untuk “match of day” kita bicarakan saja partai ketiga, juara dunia lima kali Brasil yang berjuluk Canarinho (Little Canary), melawan tim Les Éléphants, julukan negeri pengekspor pemain bola di Afrika Barat itu.
Ini adalah partai kedua bagi kedua tim. Di laga perdana, Brasil sukses menghabisi perlawanan sengit Korea Utara 2-1, meski gol baru datang di paruh akhir babak kedua. Itupun pemecah kebuntuannya seorang pemain belakang, Maicon yang dijuluki titisan Roberto Carlos. Adapun Pantai Gading, di partai perdana puas meraih angka 1 lewat hasil kacamata melawan Brasilnya Eropa yakni Portugal.
Duel antara Brasil melawan Kelapa Gading, ee.. maaf.. Pantai Gading menjadi seru karena melibatkan gengsi antar dua pelatih berbeda generasi. Ini adalah Piala Dunia ketiga bagi Sven Goran Eriksson, pelatih Pantai Gading yang pada 2002 dan 2006 berada di bangku ofisial Inggris. Dalam dua ajang di Korsel-Jepang dan Jerman itu, Eriksson membawa David Beckham dkk sampai babak 8 besar alias perempatfinal.
Lain Eriksson lain Carlos Dunga. Inilah Piala Dunia pertama mantan kapten Brasil itu berdiri sebagai pelatih. Sebagai pemanasan, tahun lalu di negara yang sama, Dunga membawa Brasil juara Piala Konfederasi –piala dunia mini dengan peserta juara dari tiap benua.
Selama ini beredar kutukan bahwa tim mana yang sukses menjuarai Piala Konfederasi –yang dianggap sebagai pemanasan tuan rumah menggelar Piala Dunia, selalu gagal menjuarai Piala Dunia sebenarnya. Apakah mitos itu berlaku bagi Dunga, yang pada 1994 memimpin teman-temannya mengangkat Piala Dunia setelah di final menaklukkan Italia lewat adu penalti di Rose Bowl Stadium, California.
Malam nanti, apakah Carlos Dunga, 46 tahun, benar-benar kembali menunjukkan karismanya mengatasi pelatih lawan, Eriksson yang berusia 12 tahun lebih tua darinya?
Untuk tiga matches ini, saya menebak Slowakia unggul tipis atas Paraguay, Italia menang lebih dari satu gol dari Selandia Baru, dan Brazil menang meyakinkan lawan Pantai Gading..
Sepanjang Sabtu petang sampai Minggu dinihari, kita bakal disuguhi tiga pertandingan fase Grup Piala Dunia, masing-masing dua laga Grup E Belanda vs Jepang (18.30 WIB) dan Kamerun vs Denmark (01.30 WIB minggu dinihari). Serta satu game Grup D Australia vs Ghana (21.00 WIB). Bagaimana bila di Grup D tim Socceroos melawan jagoan Afrika, The Black Stars.
Seru sekali mengamati klasemen sementara Grup D. Tiga tim yang bermain sama-sama punya nilai 3. Masing-masing Jerman (sekali menang vs Aussie dan keok dari Serbia), Ghana (sekali menang vs Serbia) dan Serbia (sekali menang vs Jerman tapi kandas dari Ghana. Adapun Aussie belum dapat nilai usai dihajar Jerman 0-4 di partai perdana.
Malam nanti, tentu klasemen akan lebih seru seandainya Tim Cahill dkk mampu menang atas Ghana. Bayangkan, dalam dua pertandingan, tiga tim sama-sama meraih tiga angka. Ah, betapa serunya grup neraka ini menjelang laga terakhir pertengahan pekan depan. Karena itu, demi serunya klasemen, mari dukung tim asuhan Pim Verbeek menghajar Stephen Apphiah dan kawan-kawan. Bukan tugas mudah? Tentu saja? Tapi bukan berarti mustahil, kan?
Untuk tiga match hari ini, saya menebak Belanda menang meyakinkan atas Jepang, Aussie menang tipis vs Ghana, dan Kamerun kalah tipis dari Denmark.
Jojo Raharjo, reporter Espira di Jakarta Foto : tim Aussie tidak bisa tidak, menang atau pulang/ foto by Google reuse
Sepanjang Rabu petang sampai Kamis dinihari, kita bakal disuguhi tiga pertandingan fase Grup Piala Dunia, masing-masing dua laga Grup H yakni Honduras vs Chile (18.30 WIB) dan Spanyol vs Swiss (21.00 WIB) serta satu laga Grup A yakni Afrika Selatan vs Uruguay (01.30 WIB Rabu dinihari). Untuk “match of day” kita bicarakan saja partai kedua: kandidat juara Spanyol melawan tim “Scweizer Nati”.
Spanyol alias Espana datang ke Afrika dengan kepercayaan dan harapan tinggi para penggemar bola. Status juara Eropa yang mereka sandang membuat Spanyol menyeruak menjadi unggulan baru menandingi Brasil, Jerman, dan Argentina yang selalu menempati pot tertinggi sebagai unggulan kuat peraih juara pada setiap Piala Dunia.
Bisa dimaklumi, tim “La Furia Roja” alias “Amukan Merah” –ingat kan istilah ini, karena para banteng selalu mengamuk setiap Matador Spanyol memegang kain merah- saat ini sedang berada pada masa-masa keemasan. Siapa yang meraguka Iker Casillas di belakang gawang, Carles Puyol dan Sergio Ramos di belakang, Xabi Alonso, Ces Fabregas, Andres Inesta dan Xavi Hernandes di tengah serta Fernando Torres dan David Villa di depan? Pantas saja kalau Spanyol mendadak menjadi raksasa baru sepakbola dunia.
Tapi, jalan juara masih jauh. Untuk amannya, Spanyol harus menjuarai Grup H, mengatasi Swiss, Honduras, dan Cile. Jika mereka terpeleset menjadi runner-up, bisa-bisa para pemain cemerlang besutan Vicente del Bosque ini sudah harus bertemu Brasil di babak kedua. Ini karena besar kemungkinan Brasil, yang semalam mengalahkan Korut 2-1 menjadi juara Grup G.
Untuk tiga match ini, saya menebak Cile unggul tipis atas Honduras, Spanyol menang meyakinkan lawan Swiss dan Afsel keok tipis dari Uruguay.
Jadi, ayo segera lakukan pesta pertama, Espana..
Jojo Raharjo, reporter Espira di Jakarta. Keterangan fotoL Tim Spanyol, sukses berpesta perdana malam ini? (google labeled for reuse)
Sepanjang Selasa petang sampai Rabu dinihari, kita bakal disuguhi tiga pertandingan fase Grup Piala Dunia, masing-masing satu laga Grup F yakni Selandia Baru vs Slowakia (18.30 WIB) dan dua partai Grup G masing-masing Pantai Gading vs Portugal (21.00 WIB) serta Brazil vs Korea Utara (01.30 WIB Rabu dinihari). Yang menarik, duel antara juara Piala Dunia lima kali melawan tim misterius dari Asia.
Seperti setiap penyelenggaraan Piala Dunia, Brazil selalu menjadi unggulan sebagai kandidat perebut gelar juara. Sampai sekarang tim Samba tercatat sebagai negara yang tak pernah absen sejak Piala Dunia dihelat di Uruguay 80 tahun silam. Brazil juga sukses mencatat rekor sebagai negara terbanyak yang menjuarai Piala Dunia, di tiga benua berbeda.
Tambahan lagi, mereka selalu melahirkan bintang baru setiap Piala Dunia. Mulai era Pele (1958-1970), Zico (1982-1990), Romario (1994), Ronaldo (1998-2006), Rivaldo (2002), Ronaldinho (2006) dan kini Ricardo Kaka.
Tapi, Republik Rakyat Demokratik Korea Utara bukannya tanpa pengalaman. Keikutsertaan pertama Korut pada Piala Dunia 1966 di Inggris diwarnai aksi membungkam Italia 1-0. Kali ini, skuad asuhan Kim Jong Hun datang dengan kekuatan sukar diprediksi. Mereka juga dikhawatirkan tampil dengan strategi ultra defensif alias menumpuk truk gandeng di depan kiper mereka.
Mampukah Louis Fabiano, Robinho, Elano dan Filipe Melo menembus truk gandeng itu dan memberondong serangkaian gol? Tentu dengan komando sang jenderal Ricardo Izecson dos Santos Leite alias Kaka yang akan menjadi sorotan mata parapenggila bola dunia, khususnya 192 juta rakyat Brazil yang selalu menganggap kemenangan tim nasional adalah obat bagi setiap kesulitan ekonomi mereka sehari-hari.
Untuk tiga match ini, saya menebak Slowakia unggul lebih dari 1 gol atas Selandia Baru, Pantai Gading kalah tipis dari Portugal, dan Brazil menang meyakinkan lawan Korea Utara..
Sepanjang Senin petang sampai Selasa dinihari, kita bakal disuguhi tiga pertandingan fase Grup Piala Dunia, masing-masing dua laga Grup E yakni Belanda vs Denmark (18.30 WIB) dan Jepang vs Kamerun (21.00 WIB) serta satu game Group F mempertemukan Italia vs Paraguay (01.30 WIB Senin dinihari). Untuk “match of day” kita bicarakan saja partai ketiga yang menampilkan sang juara bertahan.
Inilah ujian perdana bagi pasukan Azzuri, juara empat tahun lalu yang kembali dibesut Marcelo Lippi. Pelatih berusia 62 tahun itu kembali diharapkan menerapkan pengalaman dan tuahnya saat membawa Italia juara di Piala Dunia Jerman 2006, setelah pada Piala Eropa 2008 Lippi sempat digusur yuniornya: Roberto Donadoni.
Turnamen kali ini menjadi kesempatan terakhir pelatih Lippi menunjukkan pengabdian kepada bangsa dan negaranya karena sepulang dari Afsel posisi pelatih Italia bakal ditempati Cesare Prandelli.
Lawan perdana Italia berasal dari wakil Amerika Latin. Menjadi pertanyaan kita bersama apakah Roque Santa Cruz dan kawan-kawan memuaskan harapan 6,3 juta rakyat Paraguay setelah pada Piala Dunia empat tahun silam langsung tersingkir di babak fase group.
Mampukah Italia lolos dari ujian perdana dengan kepala tegak dan mengikuti jejak tim unggulan lain seperti Jerman dan Argentina yang sukses mengantongi tiga poin pada laga awalnya? Mari menonton bersama pada dini hari nanti. Untuk tiga match ini, saya menebak Belanda ditahan imbang Denmark, Kamerun menang meyakinkan atas Jepang, dan Italia unggul tipis atas Paraguay.
Sepanjang Minggu petang sampai Senin dinihari, kita bakal disuguhi tiga pertandingan fase Grup Piala Dunia, masing-masing satu laga Grup C yakni Aljazair vs Slovenia (18.30 WIB) dan dua game Grup D Serbia vs Ghana (21.00 WIB) dan Jerman vs Australia (01.30 WIB Senin dinihari). Untuk “match of day” kita bicarakan saja partai ketiga: duel tim panser melawan “The Soceroos”.
Bagi lebih dari 20 juta penduduk Australia, Piala Dunia 2006 di Jerman merupakan mimpi buruk. Perjuangan keras Harry Kewell dan kawan-kawan yang tampil apik sejak pra kualifikasi dan penyisihan Grup F harus terhenti di perdelapanfinal akibat permainan licik Italia, yang kemudian menjadi juara dunia.
Tim asuhan Guus Hiddink sukses menemani Brasil lolos dari Grup F setelah membekap Jepang 3-1, keok 0-2 dari Brazil dan imbang 2-2 melawan Kroasia.
Nah, di detik-detik terakhir melawan Italia di babak 16 besar, saat skor masih 0-0, pemain Italia Fabio Grosso terjatuh setelah “bersentuhan” dengan Lucas Neill. Wasit menjatuhkan penalti dan eksekusi Fransesco Totti di menit 95 mengakhiri perjalanan Australia di Piala Dunia kedua yang mereka ikuti setelah sebelumnya pada 1974.
Kekecewaan empat tahun silam hendak dibayar Australia kali ini. Sayangnya, belum apa-apa sudah harus bertemu juara dunia tiga kali Jerman. Mampukah tim yang kembali diasuh meneer Belanda, kali ini diarsiteki Pim Verbeek, berbuat lebih baik dibandingkan empat tahun lalu? Semua ditentukan pada laga perdana. Bagaimanapun, langkah emas tahun lalu ditentukan dari kemenangan atas Jepang di pertandingan awal.
Begitu pula kali ini, apapun hasil melawan Jerman, akan sangat mempengaruhi nafas mereka selanjutnya. Untuk tiga match ini, saya menebak Aljazair kalah tipis dari Slovenia, Serbia bermain sama kuat dengan Ghana, dan Jerman menang tipis atas Australia.
Sepanjang Sabtu petang sampai Minggu dinihari, kita bakal disuguhi tiga pertandingan fase Grup Piala Dunia, masing-masing dua laga Grup B yakni Korsel vs Yunani (18.30 WIB) dan Argentina vs Nigeria (21.00 WIB) serta satu partai Grup C Inggris vs Amerika Serikat (01.30 WIB Minggu dinihari).
Untuk “match of day” kita bicarakan saja partai ketiga: duel antara tim “football” Inggris melawan tim “soccer” Amerika Serikat yang sangat menentukan karena dua tim ini dianggap sebagai kekuatan terkuat Grup C, dengan mengesampingkan Aljazair dan Slovenia .
Tim Inggris datang ke Afrika Selatan menanggung harapan berat jutaan penggila bola pendukung tim ”Tiga Singa” itu. Mereka berharap, Steven Gerrard dkk mampu mengubah mitos Inggris yang dikenal memiliki liga sepakbola paling dinamis dan terbanyak diminati warga bumi, namun melempem untuk urusan tim nasional. Sampai sekarang, Inggris baru tercatat sekali menjuarai Piala Dunia, itupun saat digelar di kandang mereka, 44 tahun silam.
Materi Inggris bisa dibilang idaman, tentu minus David Beckham dan Rio Ferdinand yang mendadak cedera. Capello masih akan memilih apakah David James atau Robert Green di bawah mistar, sementara 4 pemain belakang kemungkinan diisi Glen Johnson, John Terry, Ledley King, dan Ashley Cole.
Di tengah ada duo Gerrard dan Frank Lampard, Joe Cole dan Shaun Wight Phillips atau Aaron Lennon, dengan menduetkan Wayne Rooney dan Peter Crouch di depan. Nah, untuk urusan serang-menyerang inilah si bengal Rooney akan menjadi kunci Inggris sekaligus mimpi buruk penjaga gawang tim Abang Sam.
Tapi jangan remehkan AS. Mereka punya 5 pemain yang berpengalaman mengecap Liga Premier yakni dua kiper Brad Guzan (Aston Villa), Tim Howard (Everton), Jonathan Spector (West Ham), Clint Dempsey (Fulham) dan Landon Donovan (eks Everton).
Jadi, siapa menang kali ini? Football atau Soccer?
Saya memperkirakan Yunani akan menang tipis dari Nigeria, Argentina menang lebih dari satu gol atas Nigeria demikian pula Inggris menang lumayan meyakinkan lawan AS.
Sembilan dari 32 tim peserta Piala Dunia kali ini diarsiteki oleh pelatih asing. Ini menarik karena Piala Dunia erat kaitannya sebagai sebuah ajang untuk membumbungkan nasionalisme sebuah negara.
Tak jarang, selama even Piala Dunia yang berlangsung sebulan penuh, pertikaian politik tingkat nasional sampai perang antar kampung terhenti dulu demi mendukung tim nasional bertanding. Tapi bagaimana kalau tim nasional yang didukung ternyata dipimpin oleh pelatih asing?
Pertanyaan itu patut kita alamatkan kepada sembilan negara yang dipegang pelatih asing. Inggris, negara yang selalu mengagung-agungkan sebagai negara asal sepakbola sudah tiga Piala Dunia berturut-turut diarsiteki pelatih asing. Pada Piala Dunia 2002 dan 2006 mereka diarahkan oleh Sven Goran Eriksson dari Swedia dan kini tim ”Tiga Singa” dilatih Fabio Capello asal Italia. Adapun 8 tim lain yang dilatih coach asing yakni tuan rumah Afsel, Nigeria, Yunani, Ghana, Australia, Kamerun, Swiss dan Pantai Gading.
Dari sembilan pelatih asing itu Jerman dan Swedia patut berbangga karena menyumbangkan dua pelatih kawakan: Otto Rehhagel dan Ottmar Hitzfield masing-masing menukangi Yunani dan Swiss. Adapun Swedia, yang justru tak tampil di putaran final Piala Dunia karena tersisih di penyihan grup Eropa, patut bangga karena menempatkan dua dutanya. Lars Lagerback, pelatih timnas Swedia yang gagal mengantarkan negaranya ke putaran final, justru dipinang menangani Nigeria. Adapun Eriksson kini membesut Pantai Gading.
Selain empat pelatih dari Jerman dan Swedia, lima pelatih asing lain berasal dari Belanda (Pim Verbeek melatih Australia), Brazil (Carlos Alberto Parreira melatih Afsel), Italia (Capello melatih Inggris), Serbia (Milovan Rajevac melatih Ghana), dan Perancis (Paul Le Guen melatih Kamerun).
Mari sama-sama kita saksikan sebelum pertandingan dimulai, apakah mulut sembilan pelatih asing itu terbuka dengan benar saat menyanyikan lagu kebangsaan negara lain yang ditanganinya? Analisa Wolrd Cup 2010 lain klik di sini.
Erasmus Huis, pusat kebudayaan Belanda yang lokasinya menyatu dengan Kedutaan Besar Belanda di kawasan Kuningan, Jakarta, menggelar acara unik. Salah satunya pemutaran film bertema sepak bola. Tidak tanggung-tanggung, 14 film bertema sepakbola diputar dalam rangkaian acara itu.
Gelora Piala Dunia 2010 di Afrika mulai terasa. Pada 3-6 Juni ini, Kedutaan Besar Belanda menggelar Football Film Festival dengan menampilkan 14 film bertema sepakbola. Film-film buatan Indonesia, Inggris, maupun Belanda bergantian diputar di sana.
Sebut saja film “Mardona”, “The Other Final”, “In Oranje”, “One Night in Turin” dan “The Damned United”. Atau film bola asal Indonesia, “The Conductors”, “Romeo & Juliet”, “Garuda di Dadaku” dan “Duit, Dukun, Dingklik”.
Jum’at (4/6) lalu, “Duit, Dukun, Dingklik” sedang diputar. Film dokumenter berdurasi 22 menit produksi Rovina Mahulete ini mengisahkan cerita di balik sukses Persik Kediri menjuarai Liga Indonesia 2003. Seperti judulnya, film ini banyak bercerita tentang relasi unik antara uang, supranatural dan kekuasaan, yang dianggap memegang peran penting mengantarkan Persik menuju tangga juara.
Dalam percakapan ringan di teras gedung Kedutaan Belanda, Direktur Erasmus Huis Paul Peters menekankan, festival film ini digelar sebagai pemanasan menjelang Piala Dunia yang bergulir di Afrika Selatan mulai akhir pekan ini.
“Negara kami merupakan negara sepakbola. Banyak sekali soccer mad di Belanda. Kami juga punya banyak film-film bagus tentang sepakbola, untuk itu kami ingin membandingkannya dengan film bola dari Inggris dan Indonesia,“ kata Paul.
Acara Festival Film Sepakbola ini menjadi menarik karena Jum’at lalu juga diisi semacam resepsi yang dihadiri petinggi PSSI dan para pemain terbaik Liga Indonesia. Mereka diundang sebelum mereka memperkuat tim “Indonesian All Stars“ melawan Arema dalam laga eksebisi penutupan Liga Super di Malang, Minggu (6/6) ini.
Tampak wajah-wajah CEO PT. Liga Indonesia Djoko Driyono, Ketua Komisi Disiplin PSSI Hinca Panjaitan, pelatih Persipura Jacksen F. Tiago, dan para pemain seperti Christian Gonzales, Bambang Pamungkas, Nova Arianto, Ferry Rotinsulu, Maman Abdulrahman, Atep dan Ricardo Salampessy.
Berminat? Datang saja ke rangkaian festival ini di Kineforum, Taman Ismail Marzuki, 25-27 Juni. Beberapa film lain yang dijadwalkan akan diputar di sana adalah “The Black Meteor“, “Homeless FC“, „One Leg Kicking“ dan “Sagai United“.
Sementara di Erasmus Huis sendiri sampai 30 Juni masih digelar pameran kartun tentang sepakbola, yang pada pembukaannya Sabtu (5/6) dimeriahkan dengan launching buku “Gilanya Bola“, komik setebal 160 halaman terbitan Cendana Art Media.
Theo Walcott dan Ronaldinho, tidak terpilih dalam tim Piala Dunia
Peluit Piala Dunia ke -19 yang digelar di Afrika Selatan baru akan ditiup 11 Juni mendatang, tapi sesi ketegangan pertama sudah terjadi. Ya, FIFA menetapkan 1 Juni kemarin sebagai batas akhir penentuan 23 nama dari setiap tim yang akan mengikuti Piala Dunia.
Beberapa tim seperti Argentina, Spanyol, dan Jepang tidak lagi merasakan ketegangan itu karena mereka jauh-jauh hari sudah menetapkan 23 pemain terpilih, tapi tidak dengan Inggris, Italia, dan bahkan tuan rumah Afrika Selatan yang baru memilih 23 anggota pasukannya pada detik-detik akhir deadline.
Dan di sinilah drama itu terjadi. Empat tahun lalu, beberapa minggu jelang Piala Dunia di Jerman, seorang anak muda bersorak gembira. Theo James Walcott, saat itu 17 tahun, tengah sibuk menyelesaikan ujian tertulis dalam usaha mendapatkan SIM.
Penyerang muda Arsenal ini kaget bukan kepalang saat usai ujian menelpon ayahnya dan diberitahu bahwa namanya tercantum dalam skuad yang dibawa pelatih Inggris Sven Goran Eriksson dalam bagian tim ke Piala Dunia Jerman. Jadilah, Walcott tercatat sebagai pemain termuda di Inggris. “Saya benar-benar terkejut, sepertinya mata saya sampai keluar dari kepala ini.“ kata Walcott saat itu.
Walcott ikut ke Afrika, tapi tak semenitpun ia dimainkan Eriksson sampai Inggris tersingkir di babak perempatfinal lewat drama adu penalti melawan Portugal. Okelah, semua maklum, mungkin karena saat itu Walcott masih bau kencur, meski aksinya di Liga Inggris amat memesona.
Tapi, saat 1 Juni 2010 kemarin Walcott tak dibawa pelatih Inggris Fabio Capello, menjadi 1 dari 7 pemain tercoret dari daftar awal, publik Inggris kini bertanya-tanya. Mengapa pelatih asal Italia itu lebih percaya pada “balon tuwek“ macam Emile Heskey dan Jermain Defoe?
Theo Walcott menjadi salah satu bintang yang tersingkir dari Piala Dunia mendatang. Masih ada nama-nama lain yang menangis gagal berpartisipasi di ajang akbar ini, baik karena memang tak dipilih oleh pelatihnya, atau memang dilanda cedera. Javier Zanetti dan Esteban Cambiasso yang baru saja bahu-membahu membawa Inter Milan juara Liga Italia dan Liga Champions tidak diangkut pelatih Diego Maradona dalam timnya ke Afsel.
Begitu pula Franceso Totti, Alessandro del Pierro dan Antonio Cassano yang tidak diingat pelatih Italia Marcelo Lippi dan Benni McCarthy yang tidak masuk dalam daftar pelatih Afsel Carlos Alberto Parreira. Ada juga trio Brazil : Ronaldinho, Adriano, dan Pato yang tidak diajak pelatih Dunga, Ruud van Nistelrooy yang tak ikut skuad Belanda, Karim Benzema dan Samir Nasri yang tak dipandang pelatih Perancis, dan lain-lain.
Untuk list pemain yang cedera, dua pemain besar dunia, kapten Jerman Michael Ballack dan legenda Inggris David Beckham harus menyesali kaki mereka yang bermasalah saat memperkuat klub masing-masing: Chelsea dan AC Milan.
Terlalu banyak bintang-bintang lain yang harus bersedih karena tidak ikut bermain di Afrika Selatan mulai pekan depan, terlebih karena memang tim negaranya gagal lolos dari penyisihan. Sebutlah Andre Arshavin dari Rusia, Eduardo dan Luka Modric dari Kroasia, serta bintang-bintang dari Turki, Rumania, Bulgaria, Republik Ceko, dan lain-lain.
Piala Dunia adalah ajang sepakbola paling ditunggu setiap empat tahun terakhir. Maka, ajang ini seolah menjadi pembuktian para pemain terbaik dari negeri-negeri terpilih dunia sepakbola. Tapi, jangan lupa, masih banyak bintang-bintang bola dunia yang tidak berpartisipasi, baik karena tidak dipanggil pelatih timnasnya, lagi apes dirundung cedera, atau memang negaranya gagal lolos kualifikasi. Karena bagaimanapun, Cuma 32 negara saja toh yang bisa berpartisipasi di Piala Dunia.
Selamat bersiap menikmati pesta orang-orang terpilih ini.
Bahwa Jawa Timur mendominasi sepakbola nasional tentu bukan hal baru lagi. Dalam sejarah 15 musim Liga Indonesia sejak pertama digelar di Indonesia, dua tim asal Jatim dua kali merebut juara (Persebaya Surabaya pada 1997 dan 2004 serta Persik Kediri pada 2003 dan 2006). Rekor dua kali juara ini hanya bisa disamai Persipura Jayapura (2005 dan 2009).
Selain Persebaya dan Persik, dua tim Jatim lain yang sukses mencicipi gelar juara yakni Petromia Putra Gresik 2002 dan Arema Malang pada musim 2009/2010 yang berakhir pada Minggu, 30 Mei ini. Ya, Arema Malang, kini dikenal sebagai Arema Indonesia, adalah fenomena.
Berangkat mengikuti kompetisi musim ini dengan terseok-seok, setelah penyandang utamanya PT Bentoel Investama Tbk. mengurangi subsidi drastis dari Rp 20 miliar menjadi Rp 7,5 miliar, Arema mengakhiri kompetisi dengan mencengangkan. Bentoel, pabrik rokok di Karanglo, Malang itu sebelumnya 6 musim menjadi sponsor utama Arema.
Namun, tahun lalu mereka mengambil keputusan drastis setelah holding Bentoel (Grup Rajawali) menjual sebagian besar kepemilikan sahamnya ke PT British Ardath Tobacco (BAT) yang dalam prinsip internasionalnya tidak memperbolehkan perusahaan itu menyumbang dana ke klub olahraga.
Pindah tangan
Maka, sejak 2009 lalu, kepemilikan Arema berpindah tangan dari Bentoel ke sebuah konsorsium, yang terdiri dari individu pejabat dan pengusaha Malang. Klub yang berdiri 11 Agustus 1987 ini tetap mempertahankan tradisi tidak menerima dana dari APBD. Maka, supporter fanatiknya pun, dikenal dengan nama Aremania, menjadi sangat anti terhadap klub “plat merah” terutama kepada saudara sekotanya, Persema Malang.
Namun, siapa sangka dengan segala keterbatasan itu Arema justru sukses menjadi juara musim ini. Arema memastikan gelar pada Rabu 26 Mei, pada pertandingan ke-33 mereka saat menahan tuan rumah PSPS Pekanbaru 1-1. Dengan nilai 70, nilai Arema tak mungkin terkejar oleh saingan terdekatnya Persipura Jayapura, meski sama-sama menyisakan satu pertandingan.
Partai tersisa Arema melawan Persija Jakarta, Minggu 30 Mei pun menjadi selebrasi ribuan Aremania yang berbondong-bondong datang ke ibukota, bereuforia menjadi klub keempat Jatim sebagai Juara Liga Indonesia.
Sukses lain
Sukses Arema diikuti kabar gembira lain, yakni naik kastanya Persibo Bojonegoro dan Deltras Sidoarjo ke Liga Super, sebagai kasta tertinggi pentas sepakbola Indonesia. Dalam semifinal Divisi Utama di Solo, Kamis (27/5) Persibo menyingkirkan Persiram Raja Ampat 1-0 sementara Deltras mengakhiri mimpi Semen Padang dengan 4-2 lewat drama adu penalti.
Lain Arema, Persibo dan Deltras yang berpesta, lain pula nasib Persebaya dan Persik Kediri. Dua tim ini justru nasibnya memprihatinkan. Persik dipastikan terdegradasi alias turun kasta ke Divisi Satu musim depan. Sementara itu, nasib Persebaya menunggu partai terakhir mereka di kandang Bontang FC (30/5) dan pertandingan tunda melawan Persik Kediri, untuk memastikan apakah tim “Bajul Ijo” bertahan di Liga Super, degradasi ke Divisi Utama.
Unik
Sepakbola Indonesia memang unik. Arema dikabarkan berjaya karena tak lepas dari pengaruh para petinggi PSSI yang “bermain” di dalamnya. Beberapa orang besar PSSI macam Nurdin Halid dan Andi Darussalam dikabarkan bercokol ikut memiliki Arema secara diam-diam. Maka, dengan materi pemain rata-rata, mereka bisa mencetak poin tertinggi.
Tidak hanya itu, Arema mencatat rekor kemenangan tandang terbanyak, 8 kali, di antara 18 tim Liga Super. Asal tahu saja, karena berbagai faktor non teknis, di Indonesia susah sekali sebuah tim menang di kandang lawan.
Untuk memuluskan keinginan Arema menjadi juara ini, saat perhelatan Kongres Sepakbola Nasional dua bulan lalu, dirigen Yuli Sumpil dan puluhan Aremania sampai menyambut kedatangan Nurdin Halid dengan sangat meriah. Padahal, selama ini Arema termasuk barisan supporter kritis terhadap Ketua Umum PSSI yang mantan narapidana itu. Maka, tak sia-sialah “rekonsiliasi” antara Aremania dan PSSI itu.
Faktor-faktor itu membantu kemenangan Arema. Sementara Deltras, sejak lama dirumorkan bakal “ditolong” naik kasta, sebagai kompensasi atas musibah lumpur yang dilakukan perusahaan milik Bakrie. Mudah sekali menebak kaitan, meski sulit membuktikan, bantuan Wakil Ketua Umum PSSI Nirwan Bakrie untuk mengangkat harkat masyarakat Sidoarjo yang sudah 4 tahun ditenggelamkan Lapindo.
Persibo lolos secara menakjubkan, karena konon yang diinginkan PSSI adalah Persiram Raja Ampat Papua. Sementara itu, Persik Kediri turun kasta setelah ditinggal Iwan Budianto, mantan manajer mereka yang juga salah satu eksekutif committee PSSI.
Apes
Bagaimana dengan Persebaya? Apes nian. Ketua Umum sekaligus Manajer Persebaya Saleh Ismail Mukadar, selama ini dikenal sebagai kubu anti Nurdin Halid. Sikapnya yang jelas berseberangan dengan Ketua Pengda PSSI Jatim Haruna Sumitro membuatnya diganjar hukuman 2 tahun dilarang berkecimpung di sepakbola Indonesia terhitung bulan ini. Dalihnya, kepengurusan Saleh Mukadar selaku Ketua Pengcab PSSI Surabaya tidak sah.
Persebaya dirundung duka kalau benar-benar masuk ke kasta yang lebih bawah lagi. Dalam berita di Jawa Pos 28 Mei, sebelum laga menentukan Persebaya melawan Bontang FC, Saleh berujar, “''Musuh kami sesungguhnya bukan Bontang. Tapi, striker yang tidak megang bola dan wing (pemain sayap) yang membawa bendera,'' katanya menyindir wasit dan dua asistennya.
Sebelum lawan Bontang, Persebaya takluk 1-3 oleh Persik Kediri. Akan halnya kekalahan itu, Saleh lagi-lagi menuding dikerjai wasit. Terutama saat momen di mana gelandang Andik Vermansyah membawa bola dari belakang. Nah, ketika hendak melakukan shooting ke gawang lawan, dia dinyatakan offside oleh asisten wasit.
Padahal, saat itu ada seorang pemain Persisam yang berdiri sekitar 7 meter di depan Andik. ''Saya tahu dari orang Persisam, saya nggak mau sebut namanya. Katanya, pertandingan itu sudah dibereskan petinggi PSSI. Mereka melakukan itu untuk ngerjain kami. Kalau seperti ini kan rusak,'' kata Saleh, sebagaimana dikutip Jawa Pos
Sepakbola Indonesia memang selalu aneh bin ajaib. Tapi, atas nama sportivitas, apapun alasannya, kita angkat topi selamat buat Arema, Deltras, dan Persibo. Dan, apapun alasannya juga, buat Persik dan Persebaya kita ucapkan, “Kasihan deh loe…” *analisa olahraga lain, klik di sini.
Silahkan menulis komentar | republish | Please Send Email to: [email protected] |
Piala Dunia adalah pesta besar. Sejak Presiden FIFA Jules Rimet mencanangkan perhelatan empat tahunan ini digelar pada 1930 di Uruguay, saat itu hanya diikuti enam negara, selanjutnya hajatan ini menjadi pagelaran akbar yang selalu dinanti para penggila bola. Maklum, sepakbola menjadi olahraga yang paling banyak digemari di muka bumi ini.
Total, dari penyelenggaraan Piala Dunia 1930 di Uruguay, 1934 di Italia, 1938 di Perancis, 1950 di Brazil, 1954 di Swiss, 1958 di Swedia, 1962 di Cili, 1966 di Inggris, 1970 di Mexico, 1974 di Jerman, 1978 di Argentina, 1982 di Spanyol, 1986 di Mexico, 1990 di Italia, 1994 di Amerika Serikat, 1998 di Perancis, 2002 di Korea-Jepang dan 2006 di Jerman telah tergelar 18 kali penyelenggaraan Piala Dunia.
Tentu saja, dari setiap Piala Dunia digelar selalu ditunggu siapa yang akan menjadi juaranya, sekaligus menasbihkan diri sebagai kekuatan terbaik sepakbola dunia selama empat tahun ke depan. Uniknya, dari lima benua di jagad ini, distribusi juara Piala Dunia masih menjadi rebutan antara benua Amerika dan Eropa. Dri benua Amerika tradisi juara hanya diwakili tiga negara, yakni Uruguay perebut piala pertama, Brazil si ‘jogo bonito’ alias penyuguh sepakbola cantik dengan tari sambanya, dan Argentina dengan goyang tangonya. Sementara itu, Eropa memiliki lebih banyak kekuatan yakni empat negara masing-masing Italia, Jerman, Inggris, dan Perancis.
Dari 18 kali even Piala Dunia, kini skornya sama. Amerika meraih sembilan piala (masing-masing Brazil lima dan Argentina serta Uruguay dua kali) dan Eropa juga sembilan kali juara (terbagi atas Italia 4, Jerman 3 dan masing-masing sekali oleh Inggris dan Jerman).
Satu fakta lain yang menarik yakni, dari benua manakah peraih juara dan di manakah Piala Dunia digelar? Secara berkembang mitos, saat Piala Dunia digelar di Amerika, maka juaranya selalu dari benua Amerika. Begitupula sebaliknya, saat World Cup mengambil even di Eropa, maka juara pun direbut wakil benua biru itu.
Semua skenario itu berjalan sejak awal Piala Dunia 1930 sampai penyelenggaraan kelima tahun 1954 di Swiss. Saat itu gelar juara terbagi tiga untuk Eropa, yakni dua kali saat Italia menjadi jawara di rumahnya (1934) dan di Perancis, serta Jerman di Swiss (1954). Sementara Uruguay dua kali menjadi pemuncak pada 1930 (di Uruguay) dan 1950 (di Brazil).
Pada gelaran keenam di Swedia tahun 1958, Brazil merusak mitos itu. Debut pertamanya meraih juara dicapai di benua Eropa, setelah meluluhlantakkan tuan rumah 5-2 di partai final. Adapun dua semifinalis lain, Perancis dan Jerman harus puas di posisi ketiga dan keempat.
Demikianlah, mitos itu terus bertahan awet selama 44 tahun. Anggapan itu semakin langgeng terutama saat tuan rumah menjadi juara, yang diraih Inggris (1966), Jerman (1974), Argentina (1978) dan Perancis (1998). Baru pada 2002, kesempatan memecah rekor terbuka saat ”benua ketiga” menjadi tuan rumah. Kali pertama, Piala Dunia digelar di Asia, dengan tuan rumah bersama Korea-Jepang. Dan, lagi-lagi Brazil menjadi pemecah mitos itu dengan menaklukkan Jerman 2-0 lewat sepasang gol ”si plontos” Ronaldo dalam partai final yang berlangsung di Stadion Internasional Yokohama, Jepang.
Empat tahun kemudian, tradisi lama berulang. Italia menjadi juara saat Piala Dunia di Jerman. Lebih tragis bagi wakil Amerika, tidak satupun di antara jagoan mereka lolos ke semifinal. Italia mengalahkan Perancis 5-3 lewat adu penalti setelah sebelumnya pertandingan berakhir 1-1 hingga masa perpanjangan waktu. Partai final di Stadion Olympia, Berlin, itu akan selalu dikenang karena terjadi insiden tandukan legenda Perancis Zinedine Zidane yang merasa diprovokasi pemain bertahan Italia Marco Materazzi hingga ”Zizou” mendapat kartu merah. Adapun di partai hiburan memperebutkan juara ketiga, tuan rumah Jerman mengalahkan Portugal 3-1.
Itulah sejarah 18 kali Piala Dunia; 9 untuk Amerika dan 9 untuk Eropa. Dengan dua kali pemecahan rekor dipegang Brazil yang sukses menjadi kampiun di luar kontinentalnya. Lalu, apakah kini pasukan Carlos Dunga akan mencetak rekor ketiga saat Piala Dunia ke-19 digelar di ”benua keempat”, Afrika mulai 11 Juni hingga 11 Juli mendatang?
Terserah bagaimana Anda menerka jawabannya sembari menunggu 13 pekan lagi bola bergulir. Hanya saja, dari awal saya tidak berpikiran begitu. Menurut saya, bukan wakil benua Amerika yang akan jadi juara di Afrika.
Btw, situs yang sama dua tahun lalu pernah memprediksi Spanyol menjadi Juara Piala Eropa 2008 | republish | Please Send Email to: [email protected] |