Tentu saya tidak pantas disebut santri.
Saya tidak pernah secara formal belajar di pondok pesantren. Hanya pernah ikut Pondok Ramadan di sekolahan.
Itu pun dengan rasa kantuk yang tinggi, karena perut kosong ketika mendengarkan pengajian di siang hari saat bulan puasa.
Selebihnya, hanya numpang salat, meliput aktivitas, atau mengajar jurnalistik di pondok pesantren.
Saya masih ingat ketika hadir di Ponpes Lirboyo, saat KH Abdurrahman Wahid atau Gus Dur menjadi Presiden.
Senang melihat Gus Dur jadi RI 1. Kebetulan saya hadir di DPR, ketika Gus Dur diangkat menjadi Presiden RI.
Ini pertemuan kesekian dengan Gus Dur, setelah jauh sebelumnya hadir di satu ruangan sempit, ketika Gus Dur bertemu para kyai dan ulama sepuh di ponpes salafiyah syafi'iyah di Situbondo, Jawa Timur. *Alfatihah.
Mengajar jurnalistik dalam sebuah pelatihan di Ponpes Sidogiri, Pasuruan, juga tidak terlupakan.
AGAMA
Bicara soal agama, ustaz saya banyak.
Orang tua, guru di sekolah, guru ngaji dan orang-orang baik di sekitar saya adalah ustaz yang mengenalkan saya dengan agama.
Satu hal yang tertanam di kepala soal agama: keyakinan ini penting, agar kehidupan kita menjadi baik di dunia dan di akhirat.
Karena itu saya percaya, kalau kehidupan kita berantakan di dunia, mungkin agama yang kita anut tidak terinstal dengan baik.
Atau justru karena agama kita terlalu baik, sehingga Allah meninggikan derajat kita melalui ujian keimanan. Entahlah.
Tapi soal ritual, saya termasuk orang yang membaca doa Qunut. Tentu versi pendek, biar ngapalnya gampang.
NU
Saya mengenal Nahdlatul Ulama, dari interaksi saya dengan para Pengurus Wilayah NU di Surabaya. Tentu ketika meliput.
Interaksi dengan pengurus dan aktivis NU ketika saya menjadi pengurus organisasi jurnalis di Surabaya, menyadarkan saya, betapa penting NU untuk Republik.
Saya bisa merasakan, organisasi ini merangkul semua elemen, kelompok, bahkan berbagai agama dan suku di Indonesia.
NU juga sering menjadi tempat bagi orang-orang yang membutuhkan “pelukan hangat” ketika persoalan dunia begitu kejam menerpa.
Dalam sebuah kasus, ada kelompok agama yang oleh orang Islam kebanyakan dianggap “sesat” pun, justru kawan-kawan di NU menerima dengan hangat.
Lakum dinukum waliyadin.
Lagi-lagi, sosok Gur Dur di PBNU, tidak bisa saya lepaskan dari ingatan.
Saya hadir ketika Gus Dur jumpa pers tentang ledakan bom di Masjid Istiqlal.
“Ledakan itu serius gak sih Gus?” tanya saya.
“Ya serius lah, gak serius gimana,” jawab Gus Dur.
Saya cekikikan.
Tak lama usai interaksi itu, saya menabrak angkot di Kebayoran Lama.
Punggung telapak tangan saya patah.
MENANGIS
Di musala depan Rumah Gus Dur di Ciganjur Jakarta itulah, saya menangis tersedu-sedu, ketika ambulans yang membawa jenazah Gus Dur datang.
“Kenapa Indonesia kau tinggalkan, Gus?”
Saya khawatir, Indonesia, NU, Nahdliyin dan para santri, akan berbeda saat Gus Dur tidak lagi ada.
“...Allah mencabut ilmu dengan cara mencabut para ulama,.."--HR Bukhari
(*)
*ilustrasi foto: https://www.antarafoto.com/id/view/2083911/peringatan-hari-santri-nasional-2023
Tidak ada komentar:
Posting Komentar