01 May 2010

Rp.4,6 juta, upah layak jurnalis Jakarta 2010

Press Realease

Survei yang dibuat Dewan Pers tahun 2009 membuktikan, 88 persen responden menilai upah jurnalis di Indonesia masih jauh dari cukup. Bahkan 40 persen responden di antaranya mengaku masih digaji di bawah Rp 1 juta.

Hal yang kerap mendapat sorotan adalah realitas, perusahaan media yang umumnya belum sehat secara bisnis (Dewan Pers memperkirakan hanya 30 persen dari sekitar 3000 media yang dianggap layak bisnis).

Tapi argumen itu tidaklah dengan sendirinya dapat disimpulkan bahwa semua perusahaan media yang sehat bersedia memberikan upah yang layak. Faktanya, gaji yang ditawarkan seringkali dibuat hanya untuk menyiasati potensi gugatan atas pelanggaran standar upah minimum.

Belum lagi tren yang belakangan terjadi justru memperlihatkan infiltrasi pemilik modal baru. Perusahaan yang masuk dalam kategori ini adalah perusahaan media cetak dengan tiras terbatas dan menggaji karyawannya jauh di bawah standar upah minimum. Lalu apakah pekerja media ditakdirkan untuk menerima kondisi tersebut? Tentu tidak.

Undang-undang mengatur bahwa setiap pekerja memiliki peluang untuk ikut menentukan kondisi pengupahan di perusahaan mereka masing-masing (pasal 91 UU No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan). Atas dasar hukum itulah Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Jakarta menggagas kampanye isu upah layak secara rutin sejak tahun 2006 lalu.

Kampanye ini merupakan upaya untuk memperbaiki standar hidup jurnalis di Jakarta. Standar yang dibuat ini ditujukan bagi seorang karyawan lajang yang baru saja diangkat menjadi reporter (karyawan) tetap.

Kendati demikian, struktur penggajian yang digunakan tidaklah sepenuhnya mengacu pada Keputusan Menteri Tenaga Kerja No. 17 tahun 2005 tentang Komponen dan Pelaksanaan Tahapan Pencapaian Kebutuhan Hidup Layak, melainkan telah dimodifikasi sesusai dengan kebutuhan riil yang dihadapi jurnalis dalam kesehariannya.

Indomart dan Alfamart

AJI Jakarta survei terhadap sejumlah produk kebutuhan hidup di dua mini market (Indomart dan Alfamart) sejak dua bulan terakhir. Indomart dan Alfamart sengaja dijadikan model lantaran gerai yang mereka miliki banyak tersebar di sekitar pemukiman warga. Harga jual produk mereka pun relatif seragam. Sementara kios-kios umum yang dimiliki secara perseorangan, harga jual produknya sangat bervariasi. Surbey juga dilakukan untuk sandang dan kebutuhan elektronik di sejumlah pasar tradisional dan pasar modern.

Dari hasil survei tersebut ditemukan nilai nominal upah layak tahun 2010 sejumlah Rp 4,6 juta. Angka ini meningkat Rp 100 ribu jika dibanding hasil survei tahun sebelumnya. Peningkatan yang cukup signifikan terjadi pada komponen makan. Sementara peningkatan untuk komponen lain relatif lebih kecil. Kenaikan tersebut hanya berjumlah 2,1 persen. Jauh lebih rendah dibandingkan dengan tingkat inflasi tahun 2010 yang besarannya dipatok diangka 5,7 persen.

Tidak hanya itu. AJI Jakarta juga kembali merilis hasil survei gaji jurnalis Jakarta. Parameter yang kami gunakan mengacu pada kondisi pengupahan yang diperoleh seorang jurnalis yang baru saja diangkat menjadi karyawan tetap. Hasilnya mencengangkan. Sebagian jurnalis ternyata masih ada yang digaji dikisaran Rp 1 juta dan adapula yang telah bekerja selama lebih dari dua tahun namun belum juga diangkat menjadi karyawan tetap.

AJI Jakarta berharap, apa yang telah dilakukan dapat dijadikan panduan bagi rekan-rekan jurnalis dalam menegosiasikan kebijakan pengupahan di perusahaan masing-masing, dan memecahkan kebuntuan atas polemik standar upah bagi jurnalis lajang di Jakarta, serta memperbaiki kondisi kesejahteraaan jurnalis Jakarta.

| republish | Please Send Email to: iddaily@yahoo.com |

30 April 2010

Perhentian Sejenak

Syarif Wadja Bae

Riuh dengan dentum turun memberi ratusan pijakan bundar, basah dan berbunyi renyah tapi cuma sekejap.
Menyaksikan siang dengan kepala yang hampir pecah.
Ini tetes keringat di padang tandus.

Melihat bunga, indah.
Inginku petik tapi bukan aku yang menanam dan merawatnya.
Pada saat yang lain, kutemukan bulan dengan lekuk manis.
Maksud hati menyapa dengan lesung pipiku tapi aku tak yakin
Kalau separuh bulan itu tersenyum padaku karena disekitarku
Banyak naga belang yang turut senyum padanya.

Di simpang lima kota, aku dapati sedikit air dalam gelas retak
Di sebelahnya ada sisa tinta dalam botol mungil lalu ada suara
berbisik. ”pilih tinta atau air ?”
Aku jawab. ”pilih dua-duanya”. mungkin bisa aku campur jadi satu dan kemudian ku lukis sesuatu.
Tapi disini tak ada kanvas. lagipula aku tak pandai melukis.

Memang. resah selalu singgah pada jiwa yang tak kenal lelah,
Mengerucut untuk mengubah yang harus dirubah.
Tapi kali ini aku bingung. mungkin butuh perhentian sejenak mengingat kembali apa yang telah terekam, (riuh yang berdentum, bunga yang indah, bulan yang tersenyum, sedikit air dan tinta dalam botol mungil) kemudian aku belajar melukis agar ada cerita diatas kanvas itu yang bisa dijadikan cermin.

*April 2010 | graphic by inkisonline.com

| republish | Please Send Email to: iddaily@yahoo.com |

Another case of self-censorship in Malaysia

SEAPA Alert The following is a statement from the Centre for Independent Journalism (CIJ), a SEAPA partner based in Kuala Lumpur, Malaysia: Shun self-censorship, public needs information during by election The Centre for Independent Journalism (CIJ) is troubled to hear of another alleged self-censorship by a TV station coming on the heels of a case exposed just last week and with the World Press Freedom Day ahead.