26 April 2016

SIMPOSIUM 1965 BERLALU SUDAH. LALU APA?

Pelaksanaan simposium “Membedah Tragedi 1965, Pendekatan Kesejarahan" atau dikenal dengan sebutan Simposium 1965, belalu sudah. Lalu apa langkah selanjutnya?


Poin-poin penting yang dicatat International People Tribunal 1965, salah satu peserta simposium itu dalam rilis medianya, patut dijadikan pertimbangan.

Menurut IPT 1965, ada fakta-fakta yang terungkap, baik oleh korban, keluarga korban, para pakar dan pendamping korban, yang membuat negara harus bertanggungjawab pada peristiwa 1965.

Salah satunya adalah indentifikasi peristiwa 1965 sebagai konflik vertikal.

Narasumber Ariel Heryanto melihat adanya tiga indikator atas hal itu.

Yakni:
1. Panjangnya rentang waktu kejadian.
2. Banyaknya jumlah korban.
3  Luasan peristiwa.

Testimoni sejumlah korban juga mengungkapkan, teror kepada korban dan keluarga masih terus berlangsung, bahkan sampai hari ini.

Teror-teror membuat korban terus hidup dengan ketakutan dan perasaan tidak aman.

Hal itu diperparah dengan diskriminasi secara sosial, kultural dan struktural, terhadap korban dan keluarganya.

Keberdayaan masyarakat untuk berpartisipasi secara politik pun hancur, dengan berujung pada terhambatnya hak asasi manusia (HAM) mereka di bidang sipil, politik, ekonomi, sosial dan budaya.

Dalam skala yang lebih luas, sendi-sendi hukum, politik dan sosial bangsa juga rusak karenanya, sehingga seluruh masyarakat ikut menjadi korban.

Menurut IPT 1965, kejahatan terhadap kemanusiaan 1965 telah menjadi fondasi bagi otoritarianisme selama 32 tahun.

Sehingga, meruntuhkan sistem hukum dan kepercayaan publik terhadap institusi peradilan, menghancurkan keberdayaan masyarakat di dalam berpartisipasi secara politik, dan menghilangkan memori kolektif yang merepresentasikan fakta-fakta sejarah yang benar.

Oleh karena itu, IPT 1965 menuntut negara untuk menebus segala kejahatan di masa lalu dengan mengakui adanya pelanggaran HAM berat di tahun 1965-66.

Pengakuan tersebut dilakukan melalui permintaan maaf resmi kepada seluruh korban, keluarga korban dan bangsa Indonesia.

Negara, juga dituntut untuk memproses secara hukum segala kejahatan HAM yang terjadi, termasuk peristiwa 1965.

Hal ini penting untuk memulihkan kepercayaan publik terhadap penegakkan hukum.

Proses hukum diawali dengan mendorong Kejaksaan Agung untuk melanjutkan proses yudisial yang mengacu pada hasil temuan penyelidikan Komnas HAM.

Seperti banyak diberitakan, penyelidikan itu berkesimpulan telah terjadi kejahatan kemanusiaan.

Bila proses itu dilakukan, setiap testimoni korban dalam Simposium 1965 bisa dijadikan sebagai fakta dan bukti pelangkap dalam proses yudisial.

IPT 1965 juga menuntut negara untuk membentuk Komisi Kepresidenan pengungkapan kebenaran dan memulihkan memori kolektif bangsa tentang masa lalu.

Merawat memori kolektif bangsa perlu dilakukan dengan mengintegrasikan fakta-fakta yang dihimpun melalui proses pengungkapan kebenaran kedalam pencatatan sejarah resmi.

Termasuk ke dalam kurikulum pendidikan sejarah di segala institusi pendidikan.

Perawatan memori kolektif bangsa ini perlu juga dilakukan dengan membangun memorialisasi tempat-tempat bersejarah, tempat terjadinya kejahatan di tahun 1965 dengan mendirikan monumen-monumen.

Negara, menurut IPT 1965, perlu menjamin segala kejahatan HAM untuk tidak terulang lagi, dengan melakukan reformasi peradilan dan sektor pertahananan dan keamanan.

Dari sisi hukum, perlu adanya upaya untuk menghapus semua kebijakan yang diskriminatif kepada korban dan keluarga korban ’65.

Termasuk rehabilitasi semua eks tahanan politik 1965, dan rehabilitasi terhadap Presiden R.I pertama, Soekarno.

RILIS MEDIA | VIDEO Jakartanicus

No comments:

Post a Comment