24 May 2009

Hujan

Sebuah cerpen karya Senja Medinah

“Shit!” menandakan kemarahannya memuncak. Matanya yang tak terlalu bulat tetapi juga tak sipit menyala-nyala. Kedua kelopak matanya kadang mengerut. Memperbesar pupil dan memandang jauh ke depan. Aku mendapati ekspresi itu saat ia menerima dan berbicara serius dengan telepon. Entah apa yang dibicarakannya.


My name is Rain,…
Tidak, bukan. Namaku Rian. Riantono, panjangnya, Agus Riantono, lengkapnya. Tapi perempuan bermata cokelat, berhidung mancung itu memanggilku Rain. Di suatu pagi, saat aku malu-malu melihat wajahnya yang unik. Tidak cantik. Tapi tidak cukup satu kali aku ingin memandangnya. Bahkan pandanganku ingin selalu tertuju padanya. Bukan karena ramah dan menarik perhatian. Justru karena sikap cuek cenderung tak peduli, yang membuat ku penasaran. Entahlah, ini hanya fantasiku yang berlebih atau semua orang berpikir sama tentangnya.

“Kau mengingatkanku pada hujan,” Begitu ia beralasan, saat aku mengoreksi panggilannya terhadapku, yang kukira tergelincir.
Hujan.

Hujan yang menurutnya menghadirkan berbagai macam pesona dan rasa. Hujan yang membawa suasana romantis. Begitu syahdu. Sebab itu, ia sangat percaya jika aku termasuk laki-laki playboy. Pria flamboyan yang begitu banyak digemari perempuan-perempuan. Dengan perwatakan kalem yang aku bawakan. Tapi jangan disangka, menurutnya, aku termasuk tipe orang yang tidak mau rugi saat menjalih hubungan dengan lawan jenis. Seperti gerimis. Itulah maknaku, menurutnya.
Kau, memberiku jap yang begitu telak, hingga membuatku tak berkutik dan hanya bisa tersenyum.

Ia begitu menyukai hujan. Hujan, segalam macam hujan. Hujan rintik-rintik, gerimis. Bahkan hujan dengan kilat menyambar-nyambar. Juga hujan dengan petir yang menggetarkan getir. Tentu saja ada yang spesial diantara berbagai jenis hujan tadi. Dan terciptalah puisi yang dibuatnya untuk hujan;

Seperti gerimis yang lebih ku suka daripada hujan...

Hmm,… berarti dia dengan sengaja menyebut namaku Rain. Dan sejak saat itu, dia suka memanggil ku sekenanya, seenaknya. Kadang Rain, kadang Huj, kadang Jan, kadang juga Hujan.

Rain, aku suka dipanggil begitu. Sebab ketika ia menyebut kata itu, wajahnya yang ceria, tiba-tiba sendu. Syahdu… Tanpa sebab yang jelas. Tidak sedih, tapi juga tidak mengesankan wajah yang gembira. Dan di titik itu, semakin besar keinginanku memandang wajahnya. Aku ingin menyelidik ke dalam matanya. Atau jika perlu mengaduk kedalaman hatinya.

Tidak, aku tak selancang itu memandang wajahnya dengan sengaja dan terang-terangan. Aku, yang seumur hidupku tidak mengenal rasa malu, cenderung agresif, padanya aku lebih suka mencuri pandang. Tapi, aku tetap bisa menggambarkan wajahnya dengan detil.

Wajahnya yang bundar, alisnya yang tebal, matanya yang cokelat, cerdas. Hidungnya yang bangir, lancip. Pipinya yang tembam, bibirnya yang penuh. Di balik bibir itu, terselip gigi yang gingsul. Menambah kesan manis saat ia menyeringaikan tawa.

Tidak, wajah itu tidak terlalu istimewa. Tapi entah, aku terpikat padanya. Pada pandangan kedua. Saat ia justru tidak peduli padaku. Saat ia hanya asyik dengan sebuah buku setebal lima ratus atau enam ratus halaman. Begitu tenggelam dan menyelam pada rangkaian kata yang terangkai di dalamnya, entah apa. Bahkan ia tidak begitu peduli pada hiruk-pikuk warung sekumpulan komunitas yang mempertemukan kami menjadi teman seprofesi.

“Ada info apa?” Tanyaku, kali ini memandang wajahnya.

“Tadi ada penggerebekan illegal logging. Taman Nasional. BB-nya tujuh truk kayu rimba. Pelakunya, udah ditahan di Polres,” Jawabnya, tanpa mengurangi konsentrasinya pada buku yang dibacanya.
_***_

“Nama, Raisya Diva. Nomor Induk Mahasiswa, satu kosong, satu kosong, satu kosong, tujuh dua. Nilai Indeks Prestasi, Tiga koma lima empat. Cumlaude,” Teriakan yang lebih mirip deklamasi itu menyentakku. Tidak hanya tersentak dengan suaranya yang sangat keras dan lantang. Tetapi juga menyentak kesadaranku. Gilakah perempuan bermata cokelat berhidung lancip ini? Deklamasi itu dilakukannya berulang-ulang. Dengan wajah yang sulit ku gambarkan. Dengan jawah yang sulit ku jabarkan.

“Akhirnya, lulus juga,” Gumamnya, tanpa mengurangi kesan cuek dengan gelengan kepala dan cekikikan orang-orang di sekitarnya, maklum.

“Masa studinya kok nggak disebut, Ray?” Seorang kawan nyeletuk menggoda. Perempuan itu membolakan mata dan tertawa.

“Oh, Iya,ya? Ada lama studi ya? Wah, alamat malu nih, kalo disebut masa studi….” Timpalnya panic yang lebih cenderung mengesankan jenaka.

“Emang, berapa lama kamu kuliah, Ray?” Tanya kawan yang lain.

“Rahasia!!!” Jawab perempuan yang lebih akrab dipanggil Raya ini cuek. Yang bertanya memandang keki, tanpa merasa tersinggung. Sementara yang lain, menimpali guyonan-guyonan lain yang lebih membuat riuh suasana.

Sekali lagi, ia membuatku takjub. Sekali lagi aku ingin memandang wajahnya, mengarungi kedalaman hatinya. Menjelajahi yang tersimpan dibalik mata berwarna coklat itu. Atau sekedar menanyakan, apa yang sedang kau rasakan, Raya? Ah,…

“Rain,” Panggilnya tanpa menolehku. Setelah semua tawa mereda. Tanpa mempertimbangkan harga diriku, ku tolehkan kepalaku yang sedari tadi hanya ku lirikkan bagian mata kepadanya. Mata itu, berangsur sendu. Seolah menikmati sebuah siksaan batin yang hanya dirasakan di kedalaman relung hatinya.

“Aku kangen hujan. Saat hujan, biasanya aku akan tidur bersama tiga saudara dan ibuku. Dalam satu ranjang besar, di kamar ibu. Semua akan berebut tidur di sisi ibu. Biasanya, dua adikku tak mau mengalah. Biasanya, kakakku juga tak mengalah. Akhirnya aku tidur di pojok. Paling pojok, karena ibu memilih tidur di pinggir. Mungkin takut anak-anaknya terjatuh,” Hah, ia hanya kangen tidur?

“Mungkin, saat wisuda besok, semua keluargamu bisa berkumpul,” timpalku lebih jauh mengartikan maksud ceritanya.
Ia hanya menggeleng…
_***_

Aku melajukan motorku dengan kencang. Berusaha tetap konsentrasi pada padatnya jalan oleh kendaraan yang belalu-lalang. Menghindari truk yang melaju berlawanan. Mendahului bus yang melaju searah. Mengencangkan gas di tangan kanan untuk stabil di angka 100 kilo meter perjam. Menyiapkan kopling di tangan kiri, agar tak kehilangan kendali. Menginjak rem di kaki kanan dan gigi di kaki kiri. Berbelok ke kiri untuk menghindari lampu merah, berbelok ke kiri lagi.

Di pinggangku, dua tangan melingkar kuat. Aku tersenyum. Hatiku, berada di jok belakang. Pada perempuan yang duduk di belakangku. Bermata cokelat berhidung lancip.

Ia tidak takut dengan kecepatan tinggi. Sangkaku, ia justru terbiasa. Ku kira ia justru menikmati dan dapat mengimbangi dengan lenggak lenggok badannya mengikuti arah Black Jack, panggilan kesayangan sepeda motorku. Meski di beberapa momen, saat sepeda motorku berada di diantara truk tronton dan bus, ia merapatkan tubuhnya.
Begitulah aktifitas yang sering aku lakukan belakangan. Berburu bersamanya. Dan ternyata, selain sesama pemburu, dia dan aku sesama musisi. Penyanyi di beberapa rumah karaoke. Menjajal semua jenis lagu, mulai rock hingga dangdut. Mulai barat sampai timur tengah. Komplit. Menurutku, tak ada yang spesifik yang ia geluti di bidang musik. Meski ia mengaku lebih menyukai aliran jazz. Ku dengar ia sering menggerutu saat melihat daftar lagu new entry.

“Cemen banget,” Komentarnya, sambil tetap mencari-cari lagu yang ia suka.

Ku akui, pilihan lagunya boleh juga. Mulai dari yang terkini lagu-lagu The Fly, Ipank. Agak lama, lagu-lagu Gigi. Untuk group musik ini, ia mengaku sangat menggemarinya. Aku percaya, sebab ia banyak menghafal lagu-lagu yang dinyanyikan oleh Armand Maulana itu. Lebih lama lagi ia menyukai Nicky Astria, bukan Nike Ardila. Dan lebih lama lagi, ia malah tenggelam dengan lagu-lagu Ermi Kulit, Dian Pramana Putra, Fariz RM, January Christy. Beberapa lagu barat yang ia suka lebih bingung lagi. Selain alunan musik Santana, ia memilih lagu-lagu barat sekedarnya, cenderung bernostalgia dengan masa-masa saat ia di bangku SMP atau SMA, ku kira. Seperti Ronan Keating, bukan Boyzone, Robby Wiliam, bukan Take That, Roxxette’s, Desree, Emilia, Sixpen None The Ritcher, Mechael Learns to Rock, dan beberapa lagu legenda.

Di sesi jazz ini, aku melihatnya begitu berbeda, sangat menikmati dan alami. Menyanyi dengan mata yang merem-melek, menunjuk-nunjuk dirinya dan orang lain, tangan ke atas, memegang dada, memicingkan mata, mengerutkan alis, menaikkan batang mike yang dipegang setara dengan mulut, seperti layaknya penyanyi papan atas. Tak lupa sikap cuek. Kadang ku dengar ia mengganti beberapa kata dengan kata-katanya sendiri. Entahlah, disengaja atau tidak. Tapi, setiap kata yang tergelincir itu selalu satu kata yang sama. Tak ku mengerti bahasanya, tak terlalu jelas pula bunyinya.

Ah, tidak. Bukan. Bukan hanya aku dan dia, tidak hanya dia dan aku. Tepatnya, kami dan beberapa kawan sesama pencari nafkah di jalan raya, di pusat bahaya, yang sering berkunjung ke rumah bernyanyi itu. Kami, aku, dia dan beberapa kawan, bahkan sempat membuat band dan latihan seminggu sekali. Yang membuatku tertawa, ia malah menyanyikan lagu Jadikan Aku Yang Kedua…
Lagu itu membuatku melayang di udara yang tak bebas polusi …
_***_

“Kenapa matamu begitu sendu saat manggil ku Rain?” Itu pertanyaan yang sangan ingin ku sampaikan di suatu sore, saat aku mulai dekat dengannya, dengan perempuan bermata cokelat berhidung lancip itu.

Urung…

Aku yang tak mengenal rasa takut, entah mengapa keberanianku hilang saat aku berada di depannya, di sebuah warung kopi yang begitu banyak orang. Yang lebih penting adalah, aku tidak ingin dia berpikir aku bertanya tentang hal yang tidak penting sehingga sangat mungkin ditertawakan. Setidaknya ia akan berpikir, kenapa aku begitu suka mengurusi urusannya.

Aku hanya bisa menunggu. Sampai dia sendiri yang angkat bicara padaku. Sampai dia sendiri yang bercerita. Sambil aku meraba-raba kedalaman hatinya,…

Tidak, dia bukan orang yang tertutup.

Adakah dia juga menyukaiku? Jangan tanyakan itu padaku. Sebab aku tak tahu. Tak benar-benar tahu, tepatnya. Sifatnya yang ceria justru mengaburkan semuanya. Tingkahnya yang supel memendarkan pesona pada semua yang mengenalnya. Saat ia menyapaku hangat, ia pun menyapa kawan-kawan yang lain tak kalah hangat. Ketika ia begitu aware menanyakan keadaanku saat rumahku disatroni maling, ia pun begitu perhatian saat yang lain terjatuh sakit.

Aku terjebak.

Bukan. Perempuan itu bukan gadis yang lemah gemulai yang selalu bersikap manis pada semua orang untuk menarik perhatian. Suaranya berat. Tawa khas ‘ha..ha..ha..’nya yang renyah cenderung dihindari perempuan-perempuan yang tlah terkooptasi tradisi atau etika yang diajarkan di sekolah kepribadian. Bahkan, tangannya yang begitu ‘ringan’ mendarat di pundak atau menancap di kepala, sangat jarang kutemui dilakukan kawan-kawan perempuanku yang lain. Sikap berang yang juga tak segan-segan ia munculkan saat moodnya menurun atau ketidaksetujuannya pada sesuatu yang dianggap menyimpang dengan pemikirannya.

“Shit!” menandakan kemarahannya memuncak. Matanya yang tak terlalu bulat tetapi juga tak sipit menyala-nyala. Kedua kelopak matanya kadang mengerut. Memperbesar pupil dan memandang jauh ke depan. Aku mendapati ekspresi itu saat ia menerima dan berbicara serius dengan telepon. Entah apa yang dibicarakannya.

Karena itu ia begitu istimewa. Begitu anomali. Ia begitu misterius justru dengan segala keterbukaannya. Seperti sebaris puisi yang pernah ia tulis di buku catatan kecilnya;

Seperti gelap yang lebih membuatku aman daripada terang,…

Hujan,… gumamku, menirukan caranya memanggilku.

“Terang gini kok dibilang hujan, mas?” Aku tersentak. Lebih tersentak karena aku sedang berada di rumah. Bersama istri dan anakku. Aku jadi salah tingkah, saat istriku menatap menyelidik.

“Kamu itu belakangan ini kok aneh mas,” Tanpa menunggu jawaban pertanyaan sebelumnya, istriku bersiap untuk memprotes. Aku mulai mendengar genderang perang dibunyikan. Aku menunjukkan rasa tak suka dengan rautku, meski belum menjawab atau memprotes ucapannya.

“Belakangan kamu juga sangat sibuk. Pulang malam, terus. Tidak lagi ada waktu untuk kami,” Suaranya bergetar. Mungkin menahan gejolak emosi yang berusaha ia kendalikan.

Beep,beep,…

HPku berbunyi. Memberikan kabar untuk berburu.

“Keluar lagi? Kerja lagi?” Tanpa bertanya apa isi pesan singkat yang baru ku terima, nada suara istriku semakin meningkat.

“Sudahlah, kamu juga tahu to, pekerjaanku memang seperti ini, bahkan sebelum kita menikah dulu. Aku kerja banting tulang ini juga untuk siapa? Untuk kita, kan?” Kali ini aku mempunyai kesempatan untuk memberikan serangan balik, sambil bergegas memasukkan semua peralatan ke dalam tas.

“Tapi ini hari minggu, mas. Kamu nggak pingin libur ta?” Suaranya semakin melengking seraya mendekatiku.

“Bukankah kamu juga sudah tahu kalau pekerjaanku ini tidak mengenal waktu, tidak ada kata libur? Kalau aku menuruti kamu setiap hari di rumah, apakah kamu tidak berpikir bahwa aku akan dipecat? Kamu, Velly, makan apa?” Aku membalas tak kalah sengit.

Pertengkaran kami terhenti saat suara tangis Velly dari dalam kamar, terbangun dari tidurnya. Ia bergegas menuju kamar, sementara aku bergegas mengambil kunci black jack, memacunya, membelah jalanan, menuju kebebasanku…
_***_

Ia tertunduk gelisah. Sesekali melihat ke langit yang mulai mendung. Perlahan menitikkan rintik. Kemudia memuntahkan hujan. Deras, begitu deras… ia semakin gelisah. Mengeluarkan HP dari kantungnya, yang beberapa detik sebelumnya dimasukkan. Memencet tombol pembuka kunci. Menggeleng, menguncinya kembali. Memasukkan dalam kantung kembali, memandang ke langit yang terus menangis.

“Kira-kira di tempat lain hujan nggak ya?” Tanyanya lebih pada diri sendiri.
“Hmm, capek-capek nunggu pagi, malah hujan.” Sambungnya.
“Bukannnya kamu suka hujan?” Tanyaku mengingatkannya.
“Entahlah,” menggantung. “Kamu tahu, setiap malam menjelang tidur, aku selalu gelisah. Besok masih bisa melihat matahari apa nggak,” Aku menunggu.
“Karena belakangan ini, aku begitu menyukai pagi,”

Pagi, menurutnya menghadirkan optimisme dan harapan baru. Semangat baru untuk berbuat sesuatu yang baru dan bermakna. Mengejar cita-cita. Dan matahari adalah semangat itu, pembakar energi untuk berbubah, berbuat dan bergerak. Matahari, sumber semangat sekaligus sumber energi. Dan di suatu pagi itulah ilmu diajarkan, kecerdasan diasah, kebodohan diberantas, keputusan dibuat.
Adakah aku telah mempunyai saingan yang kau suka?

“Mungkin di belahan dunia lain saat ini sedang cerah,” Tukasku, menenangkannya.
“Yah, sure,…”Ia mengembangkan senyum, terkesan pasrah.
_***_

“Dulu, aku begitu ingin menjadi bintang jatuh, bintang berekor,” Itu diceritakannya pada suatu malam saat kami menunggu waktu untuk berburu suatu peristiwa penting.

“Bintang jatuh hanya berkilat sebentar. Menerangi malam yang pekat. Begitu mengesankan. Tetapi hanya sebentar. Karena itu, umurnya tak panjang. Tetapi mengesankan, dan akan selalu diingat keindahannya.

“Konon, menurut orang tua, bintang jatuh adalah sebuah pertanda. Pertanda sesuatu yang besar akan terjadi. Tanda itulah yang terlihat saat nabi Nuh membuat bahtera menyelamatkan orang-orang beriman dalam sebuah banjir bandang yang tak terkira hadirnya. Bintang berekor itu pula yang memberi pertanda saat nabi Ibrahim dibakar oleh raja Namrud. Bintang itu juga muncul saat orang shaleh bernama Musa berhasil membelah laut merah saat dikejar oleh Fir’aun, penguasa tangan besi.

“Menurut beberapa cerita, bintang berekor itu juga muncul saat Soeharto turun dari takhtanya sebagai presiden seumur hidup,” Aku mendengarkan dengan seksasama. Menikmati setiap tekanan nada suara yang begitu dalam. Ku rasa ini tidak sekedar keinginan.

“Jadi, tak masalah bagiku berumur panjang atau pendek. Asal bisa membuat kesan yang akan dikenang sepanjang jaman, apa lagi yang ditunggu selain kematian?” Ia menyunggingkan senyum, samar, penuh makna, seperti berusaha melenyapkan amarah yang ingin mencelos, keluar dari sorot mata cokelatnya.

“Sekarang?” Itu pertanyaanku pertama, setelah ku rasa ia terlalu lama berdiam.

“Sekarang aku ingin seperti senja. Sebuah momen peralihan yang juga tak lebih dari lima menit. Menghadirkan suasana magis. Sebab semua tanya akan hadir pada saat itu, akankah masih ada hari esok, atau malam akan terus melumat mereka hingga kea lam kubur. Senja, mengantarkan dunia untuk beristirahat dalam kelam malam dan mimpi-mimpi yang merupakan pengejawantahan alam bawah sadar makhluk, harapan, ketakutan, cita-cita dan keinginan yang terpendam. Senja sekaligus memberikan harapan dan janji bahwa besok, matahari akan datang lagi,” Ia kembali tersenyum, matanya lebih berbinar. Indah sekali.

Meski kehadirannya tak lebih dari lima menit, Senja, menurutnya, tak terlalu tergesa. Sehingga, makhluk sama sekali tak sadar telah kehilangannya dengan berganti malam. Pesona yang diberikan tak kalah dengan bintang berekor, namun menjanjikan keabadian. Suasana ini, membuatnya kembali menulis di sebuah catatan berbentuk sajak;

Seperti berjalan yang lebih membuatku tenang daripada berlari…

_***_
“Ini yang kamu bilang kerja?” Belum lima menit aku memejamkan mata dan memanjakan pikir dalam mimpi, lengkingan suara dari belakang mengagetkanku. Aku menoleh. Ku lihat istriku memegang HPku. Adakah pesan yang belum ku hapus?

“Kau jarang pulang gara-gara sibuk? Sibuk apa? Sibuk nyanyi di karaoke?” Amarah itu tak bisa terbendung.

“Pantas, saat kau bercinta denganku kemarin, kau mengerang-erang menyebut hujan. Adakah salah satu lagu yang berjudul hujan?” Kalau saja pertanyaan itu tidak dalam kemarahan, aku pasti tertawa. “Atau, ada orang yang begitu istimewa bernama hujan, kau sebut hujan?”

“Ayolah, aktifitas itu tidak ku lakukan setiap hari. Itupun ku lakukan jika diajak oleh bos-bos... sama kawan-kawan yang lain.” Aku berusaha keluar dari kemarahan yang tak terprediksi ini.

“Kau lebih memilih berkaraoke dengan kawan-kawanmu daripada bersama anak istrimu yang begitu merindukanmu, membutuhkanmu?” Sebuah vas bunga melayang membentur tembok. Aku berhasil menghindar, sambil berpikir cara menenangkannya.

Beep,beep… Suara penanda SMS masuk berbunyi lagi. Belum sempat aku meminta HP yang masih di genggamannya, ia sudah memuntahkan amarah lagi.

“Raya? Siapa itu Raya? Teman kerja, teman karaoke? Atau dia si hujan yang sering kau sebut-sebut dalam tidurmu?” Tanpa terduga, HP itu melayang di udara. Kali ini aku tak bisa menahan amarahku. Apalagi setelah dia menyinggung-nyinggung Raya. Aku tidak terima. Emosi yang tak terbendung ini menyebabkan barang-barang di rumah kami melayang. Mulai dari gelas, piring, mangkuk, stoples, semua barang pecah yang mudah belah. Kami bahkan tak menyadari kehadiran Velly di tengah-tengah kami. Kakinya yang telanjang menginjak semua pecahan kaca yang berserak dimana-mana. Kami baru tersadar saat suaranya melengkin kesakitan disertai ceceran darah yang mengucur di mana-mana.
_***_

Aku tertegun melihat pemandangan di depanku. Saat ku lihat bayangan perempuan yang begitu ku kenal. Bermata cokelat berhidung mancung. Berdiri terpekur di sebelah sepeda motornya. Tanpa peduli pada manusia ataupun kendaraan-kendaraan yang berlalu lalang. Bahkan mungkin ia tak merasa tengah ku perhatikan, atau pula diperhatikan oleh orang-orang di sekitar tempat umum ini.

Wajah yang biasanya disertai senyum di bibir, kini digelayuti mendung. Matanya yang bening dengan bola berwarna cokelat itu digelayuti kristal-kristal bening yang siap meluncur.

Rencanaku menghampirinya terhenti saat ku lihat sesosok laki-laki, yang sebelumnya memunggunginya kini berbalik dan memeluknya erat.
Hatiku luruh…

Inikah matahari itu, yang menurutnya memberikan semangat untuk berbuat sesuatu, sumber energi, tempat bermulanya optimisme, tempat bermulanya suatu ilmu diajarkan? Matahari yang membuatnya berbalik menyukai pagi, berbalik keinginan dari seekor bintang menjadi senja yang menciptakan suasana magis dan harapan akan hari esok? Bahkan gelisah saat melihat hujann turun?

Kini, menjadi keping dan remah kecil…
_***_

No comments:

Post a Comment