20 December 2006

Semoga Damai Natal Menyinari Pengungsian Porong

Senyum mengembang, seiring sorot mata menerawang, ketika Yuliana Thomas menceritakan kenangan perayaan Natal yang pernah dialaminya. Sejenak, perempuan berusia 30 tahun itu mengabaikan nasi bungkus jatah makan siang pengungsi yang tinggal separuh. Beberapa lalat mulai mendekat. Sapuan tangan kiri Yuliana menghalau.


"Senang rasanya bila Natal tiba, kami sekeluarga pergi bersama-sama ke gereja, untuk berdoa," kata Yuliana, Selasa (19/12) siang itu, pada The Jakarta Post. Gereja Bethel Indonesia (GBI) Sidoarjo yang biasa menjadi tempat masyarakat keturunan Ambon merayakan Natal, menjadi pilihan keluarga Yuliana yang juga berdarah Ambon. Usai Misa Natal, sang suami, Cornelis Bale, Yuliana dan tiga anaknya, Rafael Corintius(12), Rachel Cornelia(8) dan Renaldi(6) biasa menghabiskan waktu sejenak di "rumah Tuhan" itu.

Ketiga anak mereka bermain dengan teman sabaya, sementara Cornelius dan Yuliana mengobrol dengan jemaat lain. Bila waktu sudah beranjak siang, keluarga yang memilih hidup Perumahan Tanggul Angin Sejahtera (TAS) di Porong Sidoarjo itu pulang, untuk saling mengucapkan selamat Natal kepada tetangga. "Ada beberapa tetangga yang juga merayakan Natal, kami saling mengunjungi untuk mengucapkan selamat Natal," kenang Yuliana.

Kenangan itu seperti bayangan yang enggan dihapus dari ingatan Yuliana. Apalagi Ia tahu, indahnya perayaan Natal yang selama ini dialaminya, tidak akan bisa terjadi lagi. Sejak Minggu(27/11) lalu, empat hari setelah ledakan pipa gas pertamina di sekitar lokasi semburan lumpur panas Lapindo Rabu (23/11) lalu, keluarga Yuliana memilih untuk mengungsi di Pasar Porong. Rumahnya di Jl. Sentosa blok AA IV no.14 perumahan TAS Sidoarjo terendam lumpur.

Supriyadi lain lagi. Salah satu umat Kristiani yang juga menjadi pengungsi di Pasar Porong ini mengaku bahwa meski pun sengsara, dirinya dan keluarga akan tetap merayakan Natal 2006. Meskipun perayaan itu akan dilakukan dengan sangat sederhana. "Mungkin kami sekeluarga akan ke Gereja Katolik Porong, tidak jauh dari lokasi pengungsian," kata Supriyadi pada The Jakarta Post.

Sebelum tragedi ini terjadi Supriyadi memiliki dua rumah di Perumahan TAS. Satu rumah di gunakan untuk tempat tinggal, sementara yang lain digunakan untuk bisnis jual beli burung dan pakan ternak yang digelutinya. Dua rumah yang dimilikinya itu kini tinggal kenangan. "Ketua RT di tempat kami mengabarkan, lumpur sudah meremdam hingga ke atap rumah," kata laki-laki asal Kediri Jawa Timur yang sudah tinggal di pengungsian selama dua minggu itu.

Sampai Rabu ini, ada sejumlah 12 ribu pengungsi yang mencari selamat di 50 ruko dan 272 kios Pasar Porong. Keluarga Yuliana tinggal di kios L2 18, sementara keluarga Supriyadi tinggal di Kion Q1 23. Keduanya berbagi ruangan dengan satu keluarga lain. Karena tidak ada penyekat, Yuliana membagi ruangan berukuran 5x4 meter dengan kelambu dari kain gorden. Pakaian dan surat-surat penting ditumpuk di dalam kios, sementara peralatan masak dan alat cuci baju ditata di teras depan. "Lumayan, yang penting bisa tidur, meskipun panas sekali," katanya.

Tiga minggu tinggal di pengungsian, bagi Yuliana bagai setahun rasanya. Di lokasi yang hiruk pikuk dengan ribuan orang ini, waktu seakan berjalan lamban. Hilangnya kenyamanan dan privasi adalah penyebabnya. "Sejak pagi menjelang, kami harus bersabar untuk melewatinya," kata Yuliana. Soal mandi saja, keluarga Yuliana harus berebut dengan 12 ribuan pengungsi. Hanya ada 22 ruang mandi cuci kakus (MCK) permanen di Pasar Porong. Jelas jumlah yang tidak sebanding dengan ribuan pengungsi.

Yang lebih parah, pasokan air di pengungsian tidak selalu lancar. Bahkan tidak jarang, ketika waktu mandi tiba, air yang sebelumnya mengucur deras itu tiba-tiba mengecil dan mati. Air bersih yang disimpan di tujuh truk tanki dan dua bak besar pun tidak mencukupi. Kalau sudah begitu, tidak sedikit pengungsi yang mengurungkan niatannya untuk mandi. Minimal menundanya.

Untuk keluarga yang memiliki anak balita. Jelas, butuh energi ekstra. Tubuh balita yang rentan terkena penyakit adalah hal terburuk yang harus dihadapi. "Anak-anak saya paling sengsara, pertama kali tinggal di pengungsian, ketiganya sakit. Rafael dan Rachel, keduanya terserang batuk dan pilek pada minggu-minggu pertama. Sementara Revaldi terkena diare. Beruntung, ada posko kesehatan yang menjadi tempat ketiganya berobat secara gratis.

No comments:

Post a Comment