Iddaily Mobile | Dari Anda Untuk Publik
Youtube Pilihan Iddaily: Pati berani!
       

22 Oktober 2007

Warga Renokenongo Sidoarjo Mengambili Barang


AMBIL BARANG.
Keputusan Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS) untuk membangun tanggul di atas Desa Renokenongo direspon tenang oleh warga desa itu. Sejak beberapa ini, warga mulai mengambili barang-barang di rumah yang masih bisa digunakan. Seperti kusen pintu-jendela, genting dll. Foto diambil, Senin (22/10) ini.

20 Oktober 2007

Menghitung Jarak Bintang Dengan Kepalan Tangan

Kening Zefrizal sedikit berkerut usai membaca pertanyaan dalam test hari kedua di Olimpiade Astronomi International ke-XII di Crimea, Ukraina, Selasa (2/10) malam lalu. Dengan melihat langit secara langsung, siswa SMPN 1 Trenggalek Jawa Timur ini diminta menunjukkan tingkat kecerlangan (istilah ke-terang-an bintang-RED) bintang berjarak 24 derajat dari resi Dhelpinut.

"Setelah saya hitung, luas bidang Resi Dhelpinut yang terdiri dari Bintang Sadr, Bintang Deraph dan Bintang Althaer, berjumlah 50 derajat, dengan rumus segitiga bisa diketahui 24 derajat dari resi Dhelpinut memiliki tingkat ke-terang-an 0,1 magnitudo," kenang peraih medali emas dalam Olimpiade Astronomi International itu.

Jawaban Zefrizal Nanda Mardani saat itu memang tidak tepat benar. Meleset sekitar 0, 74 magnitudo. Namun, hal itu tidak menghalangi prestasi yang berhasil diraih remaja yang akrab dipanggil Zef ini. Yakni, meraih medali emas dalam Olimpiade Astronomi International. Sebuah prestasi yang luar biasa di usia Zef yang ke 14.

Perjalanan Zef meraih medali emas di Olimpiade Astronomi International pun tergolong unik. Di sekolahnya, SMPN 1 Trenggalek, penggemar game komputer itu adalah sosok yang biasa-biasa saja. Nilai keseluruhan di rapornya pun tidak hebat benar. “Dia lemah di ilmu sosial, tapi kuat di ilmu eksak,” kata Radan, ayah Zef.

Namun, keisengannya mengikuti seleksi Olimpiade Science Nasional di Universitas Brawijaya Malang, seakan membuka nasib baik anak ke dua pasangan Radan dan Mariyani ini. Apalagi, ketika test IQ, Zef masuk dalam jajaran 14 besar, meski berada di urutan terakhir. Ia tetap berhak mengikuti pendidikan dan latihan di Sawangan Bogor.

“Uniknya, saat ada test International Junior Science Olimpiad-IJSO, Zef malah gagal, karena hanya diambil tujuh orang” kata Radan. Beruntung, saat itu ada peluang untuk masuk sebagai peserta Olimpiade Astronomi International. Saat test di yang sama, Zef tetap berada di urutan terakhir.

Pelatihan pun dilakukan di PPPG IPA, Kampus ITB, Observatorium Bosscha Lembang dan Planetarium Jakarta. Dalam fokus pelatihan dasar-dasar pengetahuan, kemampuan analisis teori, praktek pengamatan dengan teropong dan pengolahan data hingga pengenalan benda-benda langit, Zef menunjukkan kemampuannya. Hingga pada test akhir, remaja penggemar bola ini menduduki peringkat pertama. Zef pun terpilih menjadi Tim Nasional Indonesia pada event itu.

Bersama Anas Maulidi Utama dari Sumenep Madura, Veena Salim dari Medan, Sumatera Utara, Zefrizal Nanda Mardani menjadi mewakili peserta junior. Peserta senior terpilih Hizbullah Abdul Aziz Jabbar dari Yogyakarta dan Teguh Santoso Lembono dari Bandung. Pada 28 September 2007, Tim Nasional Indonesia berangkat ke Simeiz, Crimea, Ukraina.

Didampingi dua team leader yang juga dosen Program Studi Astronomi, Dr. Suryadi Siregar dan Dr. Moedji Raharto, serta observer dari Direktorat Jenderal Manajeman Pendidikan Dasar dan Menengah, Departemen Pendidikan Nasional, Yan Binsar Marpaung, tim akan melawan jago-jago atronomi senior dan junior dari seluruh dunia.

Zef menceritakan, tiga hari pelombaan adalah pengalaman tidak terlupakan. Di awal perlombaan, remaja penggemar musik slow ini sempat grogi, karena peserta lain dari luar negeri seperti sudah dalam bidang ahli astonomi. Namun “Apalagi ketika ujian observasi benda langit dan ketrampilan mengoperasikan teropong bintang, mereka seakan-akan sudah terbiasa,” kenangnya.

Kesan itu semakin kuat ketika usai test dilakukan, Zef menyadari bahwa jawabannya tidak sempurna. Dari 10 pertanyaan yang diajukan, Zef hanya bisa menjawab tepat sekitar 5 pertanyaan. Salah satu jawaban Zef yang paling tepat adalah ketika ia diminta menunjukkn nama bintang dalam peta buta perbintangan. “Bintang yang dimaksud adalah bintang Lyra,” katanya.

Menurut remaja murah senyum ini, separuh dari jawabannya meleset dari jawaban yang benar. Terutama dalam soal teory. “Saya sulit menghafal,” katanya. Karena itulah, saat pembacaan penerima medali dibacakan, Peraih Medali Perunggu dalam Olimpiade Matematika Internasional 2006 ini menghapus mimpinya untuk membawa pulang medali.

Namun, Dewi Fortuna berkata lain. Zef justru meraih mimpinya. Nama Zef tidak masuk dalam 29 penerima medali perunggu dan 27 penerima medali perak. Nama Zef masuk dalam jajaran 20 penerima medali emas. “Ternyata, orang Indonesia tidak kalah hebat dengan orang luar negeri ya,..haha,” kata remaja yang bercita-cita menjadi dosen ini.

18 Oktober 2007

Menunggu Nasib di Lereng Kelud Sendirian

Masyarakat Dusun Kampung Anyar, Kabupaten Blitar was-was sendirian menunggu nasib. Perhatian yang diberikan pemerintah pada tetangga Desa Tawang, Kecamatan Wates, Kabupaten Kediri, Jawa Timur menyusul meningkatnya aktivitas Gunung Kelud, tidak mereka dapatkan. Mereka hanya mengandalkan pengalaman yang mereka miliki. “Kami merasa diabaikan,” kata Sugeng Waluyo, Ketua RW Kampung Baru.

16 Oktober 2007

Ritual Islam Kaffah ala Nahshabandiyah

Sebuah aliran Islam di Jombang, Jawa Timur bersikukuh menggunakan cara hitung kuno atau aboge, untuk menentukan awal pelaksanaan puasa Ramadhan dan Hari Raya Idul Fitri. Hasilnya, Hari Raya Idul Fitri pun digelar lebih lambat dari perayaan yang dilakukan oleh mayoritas umat Muslim di Indonesia, Minggu (14/10) “Ini persoalan syariat (cara) yang kami yakini benar, dan kami siap mati untuk itu,” kata KH. Nasuha Anwar, pemimpin aliran Tarekat Nashabandiyah Khalidiyah Mujadadiyah al Aliyah pada The Jakarta Post.

Sekilas, tidak ada yang berbeda dengan Masjid Baitul Mutaqin di Dusun Kapas, Dukuh Klopo, Jombang, Jawa Timur. Namun, masjid yang dibangun tahun 1898 di ujung kota Jombang itu adalah pusat ajaran tarekat Nashabandiyah Khalidiyah Mujadadiyah al Aliyah. Sebuah aliran tarekat Islam yang memiliki pola peribadahan yang lebih menekankan pada sholat dan wirid. Penganut tarekat ini meyakini, cara yang dilakukannya mampu memperpendek jalan ke surga.

Tarekat yang akrab disebut Nashabandiyah Khalidiyah ini juga meyakini telah menggunakan cara-cara beribadah RasulullahMuhammad SAW dengan utuh. Cara-cara itu yang selama ini sudah mulai ditinggalkan oleh umat Islam kebanyakan dan menggantinya dengan pendekatan teknologi. Yang paling khas adalah penggunaan cara hitung kuno (aboge) untuk menentukan awal Ramadhan dan Idul Fitri.

Selama ini umat Islam kebanyakan hanya menggunakan cara rukyatul hilal atau melihat bulan secara langsung (biasa dipakai Nahdlatul Ulama/NU)dan hisab atau menghitung secara matematis pergantian bulan (biasa dipakai Muhammadyah). “Tapi cara aboge ini lebih bisa menentukan dengan pas seperti yang diajarkan mursyid (panutan) kami Syech Abdullah Fakir,” kata Nasuha Anwar.

Selain itu, Nashabandiyah Khalidiyah juga memiliki ritual (amaliyah) yang dilakukan di tempat khusus atau Kholwat. Ritual yang biasanya dilakukan pada Bulan Jawa Selo (Jumadil Akhir) itu digelar di kholwat-kholwat yang terletak di samping masjid Baitul Mutaqin. Sembari melakukan puasa tiga hari berturut-turut dan menyepi. “Bentuk amaliyah, termasuk apa yang wirid yang dibaca kali satu ini hanya khusus diberitahukan kepada anggota Nashabandiyah Khalidiyah,” katanya.

Keunikan Nashabandiyah Khalidiyah pertama kali diperkenalkan oleh Syech Abdullah Fakir, menantu Syech Usman Ja’fani, salah satu pembawa Islam di Tanah Jawa. Syech Abdullah Fakir yang lulusan Mekkah itu mendapatkan ilmunya dari Jabal Kubais Mekkah. Ajaran itu kemudian diturunkan kepada Kyai Ja’far, yang diturunkan lagi ke Kyai Anwar, ayah dari Kyai Nasuha Anwar.

“Ajaran Kyai Anwar yang utama adalah Kholwat selama 40 hari di bulan Selo, yang intinya mengimani ketauhidan, tata krama dalam beribadah dan penghormatan kepada orang tua,” kaya Kyai Nasuha. Saat ini, kata kyai yang memiliki dua istri dan enam anak itu, jumlah anggota Nashabandiyah Khalidiyah mencapai 3000-an orang yang tersebar di Jawa dan Sumatera. Namun, seluruh kegiatan dipusatkan di Masjid Baitul Mutaqin yang terletak di tanah wakaf seluas 800 meter persegi itu. Di tanah wakaf itu terbaring jasad Syach Abdullah Fakir dan keturunnannya.

Ketua Nahdlatul Ulama (NU) Kebontemu Jombang, Salikun, mengatakan, meski Nashabandiyah Khalidiyah memiliki perbedaan dengan syariat yang dipercaya mayoritas NU, namun hal itu tidak membuat Nashabandiyah Khalidiyah dimusuhi. “Masyakat NU di Jombang tidak merasa terganggu dengan keberadaan Nashabandiyah Khalidiyah, kami tetap hidup berdampingan dengan damai,” kata Salikun.

Selama ini, kata Salikun, bila ada warga Dusun Kapas yang tidak setuju dengan Nashabandiyah Khalidiyah, mereka biasanya memilih untuk beribadah di masjid lain yang tidak menganut aliran Nashabandiyah Khalidiyah. “Kita sama-sama Islam, meskipun nasab (silsilah keturunan) dan syariat (cara) yang kami anut berbeda,” katanya. Islam sebagai agama Rahmatanlil ’Alamin terealisasi di kawasan ini.

14 Oktober 2007

Yang Tetap Berpeluh Saat Bedug Bergemuruh

Seperti malam-malam sebelumnya. Instalasi Rawat Darurat (IRD) RSU Dr. Soetomo Surabaya Sabtu (13/10) dini hari lalu diwarnai lalu lalang keluarga pasien, bersanding dengan deru ambulan dan mobil pribadi pengangkut pasien yang butuh pertolongan secepatnya. Hanya saja, malam itu sedikit berbeda. Gema takbir terdengar di mana-mana. "Inginnya sih pulang kampung dan bertakbir di rumah, tapi bagaimana lagi,.." kata M. Sukri, petugas ambulance RSU yang bertugas malam itu.

Datangnya Hari Raya Idul Fitri yang ditandai dengan takbir yang membahana pada malam hingga menjelang sholat Idul Fitri memang tidak selalu berarti liburan. Karena di malam itu, masih ada orang-orang yang dengan gigih bekerja untuk masyarakat. Tanpa mereka, bisa jadi suasana Idul Fitri akan berjelan “terseok”. Sebut saja petugas rumah sakit, polisi, petugas pemadam kebakaran (PMK), oporator telepon, pegawai stasiun pengisian bahan bakar umum (SPBU) hingga wartawan.

Kesadaran itu juga yang dimiliki petugas ambulance RSU Dr. Soetomo M. Sukri. Bersama dua tim ambulance lain, laki-laki 27 tahun ini tetap bertugas ketika gema takbir terdengar. “Saya mendapat jatah jaga saat Idul Fitri, gimana lagi, sudah resiko,” kata M. Sukri sambil mempersiapkan peralatan ambulance yang malam itu siaga di depan IRD RSU Dr. Soetomo. Sukri tidak menampik. Dirinya pun sangat ingin seperti kebanyakan umat muslim yang yang merayakan Idul Fitri bersama keluarga. “Tapi tetap saja ada waktu bersilaturahmi meskipun lewat telepon,” katanya.

Selain petugas rumah sakit, polisi juga sebuah profesi yang tetap bekerja ketika Idul Fitri tiba. Salah satunya Brigadir Hariyadi, petugas Polsek Gayungan Surabaya. Sabtu malam lalu, Hariyadi dan empat petugas lain berjaga Pos Operasi Ketupat 2007 di ujung Jl. Ahmad Yani Surabaya. Pos tempat Brigadir Hariyadi berjaga tergolong ujung tombak pengamanan. Karena jalur ini adalah pintu gerbang menuju kota Surabaya dari arah Kabupaten Mojokerto maupun Kabupaten Sidoarjo.

Petugas polisi asal Kabupaten Ngawi, Jawa Timur ini mengaku, tidak ada dalam kamus pekerjaannya untuk membedakan hari istimewa, seperti Hari Raya Idul Fitri misalnya. “Tidak peduli apapun harinya, ketika kebagian waktu bertugas, harus dilaksanakan,” kata Brigadir Hariyadi. Meskipun dirinya mengakui sangat ingin pulang ke Ngawi untuk merayakan Idul Fitri bersama kedua orang tua dan keempat saudaranya. “Kita jarang bertemu, hanya bila Idul Fitri saja, tapi sudahlah,..” katanya.

Polisi yang bertugas saat Lebaran dibagi menjadi sua shift, siang dan malam. Mulai pukul 07.00-19.00 dan 19.00-07.00 WIB. Tugas yang dibebankan kepada mereka pun tergolong berat. Mulai mencatat kegiatan harian yang mereka lakukan, juga terus berwaspada terhadap gangguan keamanan yang mungkin terjadi. Termasuk bila ada ancaman bom atau menemukan barang yang dicurigai sebagai bom. Semua tertuang dalam Konsignes Operasi Ketupat 2007 yang dipasang besar-besar di tiap pos jaga.

Beruntung, M.Sukri dan Brigadir Hariyadi dikaruniai keluarga yang memahami penuh kegiatan mereka. Brigadir Hariyadi misalnya, jauh-jauh hari sudah meyakinkan istri dan dua anaknya yang masih balita untuk mengetahui dengan pasti apa dan bagaimana pekerjaan dirinya. “Jadi tidak ada protes-protes dari keluarga, mereka tetap tenang menunggu saya selesai meskipun tetangga dan kerabat sudah berlebaran,” katanya.