Youtube Pilihan Iddaily: CNN Indonesia
Iddaily Mobile | Dari Anda Untuk Publik
 

08 April 2007

Lima Hal Pengancam Pers di Era SBY

Kemerdekaan pers Indonesia yang sudah susah payah diperjuangkan, mendapatkan ancaman serius. Ancaman itu berasal dari pemerintah melalui lima hal. Pembuatan RUU Rahasia Negara, Peraturan Presidan (Perpres) Perlindungan Pejabat Negara, RUU Kitap Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), Tujuh Peraturan Pemerintah (PP) Penyiaran dan agenda Menkominfo Sofyan Djalil untuk merevisi UU Pers.

Catatan kritis itu disampaikan Wakil Ketua Dewan Pers Leo Batubara di Surabaya, Sabtu(7/4) ini di Surabaya. "Fakta menunjukkan, di RUU KUHP saja ada 61 pasal yang dapat memenjarakan wartawan, melalui RUU Rahasia Negara ada pembatasan akses pers mendapatkan informasi dan Sofyan Djalil mengatakan tahun 2007 UU Pers akan direvisi, ini cerminan pemerintah belum menghargai kemerdekaan pers," kata Leo Batubara.

Menurut Leo apa yang dilakukan Pemerintah SBY itu intinya akan pembali memposisikan pemerintah sebagai pihak yang bisa mengontrol dan mengendalikan pers. Bila hal itu terjadi, maka kontrol sosial pers akan lumpuh. "Wartawan-wartawan yang masih berani melakukan kontrol sosial harus siap masuk penjara dan medianya menderita," jelasnya.

Seringkali, alasan untuk membatasi pers itu berdasarkan argumentasi bahwa pers "kebablasan". Paradigma itu juga yang kemudian memunculkan pemikiran untuk mengatur pers dan pihak-pihak yang seringkali dirugikan oleh pers, seperti pejabat negara. "Padahal, cara lain yang bisa dilakukan akan mendorong profesionalisme pers," kata Leo.

Upaya yang bisa dilakukan adalah mendorong terselenggaranya lembaga pendidikan kejurnalistikan (schools of jurnalism). Lembaga ini yang akan memasok wartawan profesional yang dibutuhkan oleh industri media. "Salah satu yang bisa dilakukan pemerintah untuk mendorong hal itu adalah menerapkan kebijakan no tax on knowledge," katanya.

Dalam kesempatan yang sama, Anggota Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Bimo Nugroho Sekundatmo mengingatkan kembali tentang langkah Pemerintah SBY yang berusaha mengembalikan otoritas pemerintah untuk mengatur lembaga penyiaran. Pemerintah mendorong dirinya untuk menempati posisi utama pemberian ijin penyiaran. Termasuk alasan mencabutnya. "KPI mengecam sikap

Presiden SBY karena menandatangani Peraturan Pemerintah (PP) itu," kata Bimo.Hal lain, yang patut diperhatikan ada kebijakan pemerintah yang mengebiri hak masyarakat untuk secara bebas dan nyaman dalam mendapatkan informasi. Yaitu dibatasinya relai radio komunitas hanya pada tema acara kenegaraan, ilmu pengetahuan dan teknologi. Di bali itu, pemerintah memperbolehkan siaran berlangganan untuk menerima iklan.

"Masyarakat sudah membayar untuk bisa menikmati siaran berlangganan tanpa diinterupsi iklan, tapi pemerintah justru memperbolehkan hal itu, padahal UU Penyiaran sudah mengatakan tidak memperbolehkan iklan dalam Lembaga Penyiaran Berlangganan," kata Bimo.

*photo by yahoo.image


07 April 2007

Tolong Sampaikan ke Deddy Mizwar


Mas Deddy,..

Saya, masih kanak-kanak ketika melihat film Nagabonar 1 untuk pertama kali. Bahkan Saya tidak ingat tahun berapa, umur berapa atau bahkan jalan cerita utuh film itu. Yang pasti, sejauh yang tersimpan di memori Saya, Si Nagabonar mampu membangun image tentang seorang "hina"- seperti pencopet- pun mampu berguna untuk negeri, komunitas, orang tua dan tentu saja, dirinya sendiri. Nagabonar, benar-benar "Naga" di mata saya.

Melihat Nagabonar 2, saya tercengang. Betapa "Naga" itu masih ada. Meski rambutnya memutih, namun taring dan kuku-kukunya masih tajam. Cara Nagabonar bicara, bahasa tubuhnya, sorot mata bahkan air matanya pun masih sama. Ketika melihat Nagabonar menangis dalam film Nagabonar 2, seperti melihat Nagabonar menangisi Bujang, sahabatnya yang mati saat berperang. Ingin rasanya Saya ikut menangis, tapi tertahan malu.

Satu hal lagi yang kembuat Saya terkesan adalah cara Nagabonar membangun rasa cinta pada negeri bernama Indonesia. Selama 31 menjadi rakyat negeri ini, mungkin hanya 10 tahun terakhir Saya merasakan benar tentang rasa cinta itu. Bagaimana indahnya kemajemukan, keberagaman ras dan suku, dan tentu saja, selimut persoalan yang selalu menyertai negeri ini.

Meski sering Saya melihat pengelola negeri ini justru membuat kebijakan yang mengabaikan itu semua. Tapi sudahlah, mungkin pengelola negeri ini juga punya rasa cinta yang sama, namun kebingungan dalam mengekspresikannya. Jujur saja, Saya bukan tipe orang yang piawai memuji. Apalagi menilai film secara spesifik. Saya cuma ingin Mas Deddy tahu, film Anda bagus. Salam untuk semua yang terlibat dalam film itu.

*foto by www.nagabonar2.com

05 April 2007

"Kami Mau Dibayar Kontan!"



PINGSAN.



MARAH.

Warga Perumahan Tanggulangin Anggun Sejahtera (Perumtas), Porong Sidoarjo, korban semburan lumpur panas Lapindo menuntut penggantian cash and carry secara kontan. Tuntutan ini didesakkan dalam demonstrasi sekitar 200 warga Perumtas di Gedung DPRD Jawa Timur dan Gedung Grahadi, Surabaya, Kamis (5/04). Dalam demonstrasi itu, warga mencaci maki polisi. Beberapa warga sempat pingsan dalam demonstrasi itu.

04 April 2007

Jalan Mundur Dalam Hawa Panas Menolak Papernas

Menyimak dialog di SCTV berjudul Kiri Baru Ancaman Atau Bukan, Rabu(4/4) malam antara Alfian Tanjung (Presidium Komando Anti Komunisme) dan Dita Indah Sari (Papernas), ditemani dua pembicara lagi, seperti menyeret memori otak menuju tahun 1996. Ketika Partai Rakyat Demokratik (PRD) menjadi buah bibir karena ke-kiri-annya.

Di tahun itu juga, PRD dan underbownya, seperti Solidaritas Mahasiswa Indonesia untuk Demokrasi (SMID), Serikat Tani Nasional (STN), Jaringan Kebudayaan Rakyat (Jaker) dll, menjadi makhluk "mengerikan" dan aktivisnya menjadi target penangkapan. Berbagai tudingan seakan menjadi cap yang tak terhapuskan. Namun dalam rangkaian sejarah bangsa ini, semua tuduhan itu bagai lukisan di atas air, segera hilang. Hmmm...mengapa sejarah kembali berulang. Tuduh menuduh menjadi cara instan penyelesaian..

*artikel ini sengaja tidak saya selesaikan. Saya terlalu muak dengan kebodohan yang terus berulang.

Rusaknya Ekosistem Karena Lumpur Lapindo



BANGKAI KEPITING DI RAYA PORONG. Salah satu yang sudah mulai terlupakan dalam kasus semburan lumpur panas Lapindo di Porong Sidoarjo, adalah rusaknya ekosistem. Di areal itu, ekosistem porak poranda karena luberan lumpur yang hampir setahun ini belum juga dihentikan. Yang terbaru, petambak di daerah Mindi, Porong mengaku 18 hektar tambaknya harus gagal panen. Udang dan bandeng yang ada di tambak itu, mati. Foto kepiting ini diambil Selasa(3/4) di Jalan Raya Porong, Sidoarjo yang hingga kini masih tergenangi lumpur panas Lapindo.