06 February 2023

Satu abad NU, Gus Dur, dan tangan patah nabrak angkutan kota


Nahdlatul Ulama atau NU berulang tahun ke 100 pada 7 Februari 2023 ini. Hal itu mengingatkan saya pada rangkaian sejarah terkait NU. Mulai awal mengenal Gus Dur, hingga tangan patah karena menabrak angkutan kota di Jakarta Selatan.

***

Tentu saja, sebagai pemuda yang lulus SMA pada 1995, dan hidup di Surabaya, saya lebih mengenal berbagai grup musik rock dari dalam dan luar negeri, dari pada tokoh-tokoh politik, seperti KH Abdurrahman Wahid.

Apalagi organisasi semacam Nahdlatul Ulama (NU), Muhammadiyah, atau semacamnya. Selain tidak begitu tertarik dengan keagamaan, religiusitas menurut saya sebatas ikut salat maghrib di musala dekat rumah embah di Lamongan, Jawa Timur.

Termasuk ketika menjadi jurnalis pertama kali di tahun 1996, di sela-sela aktivitas sebagai mahasiswa. Saat itu, saya ditugaskan meliput perjuangan penganut agama Khonghucu mendapatkan legalitasnya. KH Abdurrahman Wahid atau Gus Dur datang dalam persidangan mencabut Instruksi Presiden (Inpres) no. 14 th 1967 di PTUN Surabaya.

Meliput momen itu, setidaknya membuka cakrawala tentang agama Khonghucu dan tentang Gus Dur. Dari berbagai referensi saya mempelajari apa itu Khonghucu, dan bagaimana pikiran-pikiran Gus Dur tentang keberagaman. 

Setiap orang memiliki hak untuk mengekspresikan diri dalam berbagai hal. Termasuk soal budaya Tionghoa dan agama Khonghucu. Sebuah pemikiran "baru" (bagi saya) yang sangat menarik.

Sejak saat itu, bila ada berita tentang Gus Dur, seolah tak pernah lolos. Seperti ada pertanyaan dalam hati "Ngomong apa lagi Gus Dur kali ini?". Dan tentu saja, setiap berita tentang Ketua PBNU ini, selalu ada ilmu baru di dalamnya.

Waktu berjalan. Sampailah saya pada persinggungan selanjutnya dengan Gus Dur, saat kampus kami, Stikosa-AWS Surabaya, mengundang cucu KH. Hasyim Asy'ari itu sebagai pembicara dalam sebuah seminar nasional. Sebagai jurnalis, tentu ini hal penting untuk diliput. Tentu sekaligus menjawab penasaran, "Ngomong apa lagi Gus Dur kali ini?".

Gus Dur pun mulai bicara di atas podium. Saya mendengarkan dengan seksama, dengan blocknote di tangan kiri, dan bulpen di di tangan kanan. Seperti tersihir, kata demi kata Gus Dur masuk ke telinga dan otak. 

Mahasiswa dan jurnalis anyaran macam saya, terkesima. Saya menyimak dengan seksama. Hingga Gus Dur selesai bicara, dan meninggalkan acara. Sialnya, mendengarkan Gus Dur tanpa jeda itu, membuat saya lupa mencatat di blocknote. Mati aku,..

Istiqlal dibom, Nabrak angkot

Medio April 1999, ketika saya menjadi jurnalis di Jakarta, masjid Istiqlal dibom. Senin (19/4/1999), sebuah ledakan menghancurkan kaca sekretariat Badan Musyawarah Organisasi Islam Wanita Indonesia (BMOIWI). Kantor Majelis Ulama Indonesia (MUI) di lokasi yang sama pun terkena akibatnya. 

Umat Islam di Indonesia mendidih karena peristiwa itu. Polisi menemukan fakta, bahan peledak yang digunakan adalah jenis TNT. Tujuh orang, yang sehari-hari  menjadi pengamen di sekitar Istiqlal, ditahan dalam peristiwa itu. Mereka dipaksa seseorang untuk meletakkan TNT di lokasi ledakan, dengan ancaman keluarga mereka akan disiksa.

Gus Dur, kalau tidak salah ketika itu ketua PBNU, menggelar jumpa pers di kantor PBNU di Jakarta. Saya hadir dalam peristiwa itu. Saya merekam semua keterangan Gus Dur tentang bom Istiqlal dengan menggunakan tape recorder kaset kecil. Saya tidak mau, menggunakan blocknote, khawatir kejadian di Surabaya terulang :). 

Usai memberikan keterangan pers, Gus Dur mempersilakan jurnalis untuk bertanya. Saya memberanikan diri untuk bertanya: "GusDur, saya Iman, apakah peledakan di Istiqlal ini adalah sesuatu yang serius? Menurut saya, kalau ledakanya serius, kenapa peledakan tidak dilakukan di kubah masjid?"

Dengan nada tinggi Gus Dur menjawab kurang lebih seperti ini: "Tidak serius bagaimana?! Ini peledakan yang serius!". Saya tersentak dengan jawaban itu. Mungkin terdengar pertanyaan yang bodoh, paling tidak saya berani bertanya pada tokoh besar dan panutan. Jumpa pers berakhir. 

Saya kembali ke kantor di Jakarta Selatan naik motor. Di tengah-tengah jalan, saya masih tidak percaya, saya menanyakan pertanyaan "bodoh" itu, sambil senyum-senyum sendiri.

Tiba-tiba, sebuah angkot di depan saya berhenti mendadak. Saya menghindari tabrakan dengan mengambil jalur kiri. Sialnya, stang motor menghajar pintu sebelah kiri angkot yang tiba-tiba terbuka. 

Brak! Punggung tangan kanan saya terhantam pintu. Di RS, saya mengetahui, tangan saya retak. Tidak bisa digunakan untuk beraktivitas. Termasuk: tidak bisa mengetik hasil jumpa pers Gus Dur di PBNU. Ampun deh. Kata kawan-kawan, saya kualat sama Gus Dur. Entahlah.

Lalu, sampailah pada 1999, sebuah tahun bersinggungan dengan Gus Dur yang bagi saya sangat bersejarah. Saat itu, saya hadir ketika Gus Dur dilantik menjadi Presiden keempat RI pada tahun 1999. Saya menjadi saksi salawat badar menggema di Gedung Kura-Kura, Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta. Ada rasa bangga, menyaksikan semuanya. Dan Indonesia menjadi lebih meriah dengan Gus Dur sebagai Presidennya.

Satu hal yang patut diingat, Gus Dur menjadikan Istana Merdeka sebagai tempat yang terbuka bagi semua orang. Istana, menjadi lebih santuy. Semua orang boleh masuk ke Istana. Kata orang-orang sih, di zaman Gus Dur, di pojok-pojok Istana terdapat sarung dan sajadah, untuk siapa saja yang mau salat.

Hanya Gus Dur yang berani membubarkan Departemen Sosial dan Departemen Penerangan. Departemen Penerangan ini dikenal dengan sosok Harmoko dengan kalimat ikoniknya: "Atas petunjuk bapak Presiden (Soeharto)." Dan di era Gus Dur jugalah, pengadilan kepada Penguasa Orde baru Soeharto dilakukan. Belum berakhir, Gus Dur pula yang mengusulkan Ketetapan MPR tentang Partai Komunis Indonesia (PKI) dihapuskan.

Ketika DPR/MPR mulai hiruk pikuk tak terkendali mengarah pada Sidang Istimewa MPR, Gus Dur mengancam akan mengeluarkan Dekrit untuk membubarkan MPR/DPR, mempercepat pemilu dalam waktu satu tahun, dan membekukan Partai Golkar sebagai bentuk perlawanan. 

Sayangnya, dekrit tidak didukung. Dan pada 23 Juli, MPR secara resmi memakzulkan Gus Dur, dan menggantinya dengan Megawati Soekarnoputri. Gus Dur pun menjadi "orang biasa". Meskipun tetap luar biasa.

Lalu, datangnya tahun 2009 yang menyedihkan. Tepatnya, 30 Desember 2009, Gus Dur meninggal dunia. Inilah momen dalam hidup saya, untuk pertama kali tidak bisa menahan kesedihan dalam sebuah peliputan. 

Saya yang ketika itu ada di kediaman Gus Dur di Ciganjur, Jakarta. Hanya bisa tersimpuh di musala depan, di samping gerbang rumah. Raungan ambulan yang membawa jenazah Gus Dur menyayat hati. Gus Dur telah pergi, meninggalkan Indonesia. 

"Iman, mana beritanya?" tanya redaktur di ujung telepon.

"Maaf, saya terlalu sedih. Saya tidak bisa menulis beritanya," jawab saya. 

Alfatihah


***

Selamat ulang tahun ke-100 NU!
16 Rajab 1344 Hijriah-16 Rajab 1444 Hijriah

*FOTO: Alif, NU.or.id,  Wikiwand, Ngopi Bareng, Teguh Timur

No comments:

Post a Comment