11 April 2011

Berbagai cerita sedih di Checkpoint Charlie

Story | Photo | Video

Ketika Berlin masih terbelah oleh tembok yang memisahkan Berlin Timur dan Berlin Barat, checkpoint (poin pemeriksaan) adalah tempat yang tidak menyenangkan. Namun, setelah tembok itu diruntuhkan sekitar 20 tahun lalu, checkpoint menjadi tempat popular untuk dituju untuk mengingat kembali semuanya.

Dua orang ‘pasukan’ AS itu berdiri dalam posisi siap, dengan bendera AS di tangan. Di belakangnya, sebuah Pos Pemeriksaan Pasukan AS berukuran 3x2. Di antara dua pasukan itu, seorang perempuan berdiri dan bergaya membuka kedua tanganya lebar-lebar, menunggu perempuan lain membidikkan kamera. “Yup, I got the picture.”

Penggalan kejadian di persimpangan Friedrickstrasse, Berlin itu terjadi hampir setiap hari. Ribuan turis yang datang ke kota ini, hampir pasti mengunjungi areal yang disebut Checkpoint Charlie. Checkpoint Charlie adalah sebutan dari tempat pemeriksaan ‘C’, satu diantara tiga checkpoint yang ada di Berlin. Dua lainnya adalah checkpoint ‘A’ dan ‘B’ yang sudah hilang, seiring dengan robohnya Tembok Berlin.

Tentu saja, Checkpoint Charlie saat ini berbeda dengan Checkpoint Charlie di masa lalu. Saat ini, lokasi itu hanya terbuka untuk turis. Meski demikian, nuansa jaman ‘perang dingin’ yang dulu pernah ada tetap di pertahankan. Meskipun semua yang ada di lokasi itu sudah bukan barang-barang asli. Termasuk dua ‘pasukan’ AS itu. Keduanya hanya artis yang mendapatkan beberapa Euro untuk foto.

Museum Kesedihan

Di lokasi yang sama, berdiri museum Checkpoint Charlie. Di tempat tiga lantai inilah disimpan berbagai barang asli Checkpoint Charlie. Untuk masuk museum yang didirikan oleh Rainer Hildebrandt (1914-2004), setidaknya perlu merogoh kocek beberapa Euro. Mulai 5,50-12,50 Euro. Namun untuk jurnalis, seperti halnya di seluruh museum di Jerman, gratis.

Tidak hanya itu, untuk menambah mengetahuan, museum menyediakan guide port, sebuah peralatan elektronik dengan earphones untuk mendengarkan penjelasan setiap momentum yang barang-barangnya terpajang di sana. Untuk guide port, perlu menambah biaya sewa 3,50 Euro.

Di pintu masuk museum, pengunjung langsung disuguhi mobil milik Kurt Wordel, seorang warga eks Berlin Timur. Dengan mobil jenis Volkswagen ‘kodok’ inilah, Kurt membantu pelarian warga Berlin Timur ke Berlin Barat pada tahun 1964-1966. Tidak main-main, mobil ini dimodifikasi secara khusus agar bisa memasukkan orang di bagasi mobil.

Kisah pelarian lain yang dipajang di museum itu adalah koper yang sudah dimodifikasi sedemikian rupa agar bisa memasukkan seorang wanita dewasa. Caranya, dengan menggabungkan dua kopor secara vertikal, dan memotong bagian pinggir kopor yang menempel, tanpa membuang bentuk kopornya. Juga termasuk cerita pelarian yang dilakukan dengan menggali terowongan, yang menembus tembok berlin dari bawah tanah.

Satu cara pelarian lain yang juga banyak menyedot perhatian pengunjung adalah balon udara, yang menggunakan gas dari empat tabung serupa elpiji ini, sebuah keluarga berhasil keluar dari Berlin Timur pada tahun 1979. Termasuk alat peluncur buatan tangan yang digunakan untuk meluncur dari perkantoran di Berlin Timur ke Berlin Barat, paralayang, gantole, peralatan selam sederhana, dan kano yang digunakan untuk melarikan diri dari Berlin Timur melalui laut.



“Tahun 1961-1989, ada 913 pelarian melalui laut ke Dermark dan Swedia, 187 orang tenggelam karenanya,” demikian tertulis di Checkpoint Charlie.

Selain penuh dengan cerita dan peralatan pelarian dari timur ke barat, Museum ini cukup lengkap menyajikan barang-barang yang dulu digunakan untuk ‘melengkapi’ berdirinya Tembok Berlin. Seperti kandang anjing penjaga. Setidaknya ada ratusan anjing yang digunakan untuk menjaga tembok itu. Museum itu juga memajang baju asli Hans Friedrick yang pada tahun 1973 memanjat tembok dan harus menerima serentetan tembakan dari pasukan Berlin Timur. Hans akhirnya selamat.

Kisah Peter Fechter, yang tewas mengenaskan juga tersaji. Melalui foto-foto, ditunjukkan bagaimana Fecher memanjat tembok, dan akhirnya tewas tertembak, lalu jenazahnya kembali ke Berlin Timur. Setelah itu, serangkaian demonstrasi besar terjadi di Berlin Barat, memprotes kebiadaban itu.

Satu cerita yang tidak kalah menarik dan juga dipajang dalam museum itu adalah kisah Furrer Reinhard, yang pada tahun 1964 menolong penduduk melarikan diri dari Berlin Timur ke Berlin Barat, akhirnya berhasil sukses menjadi astronaut, berikut cerita tentang mantan Presiden AS Ronald Reagan dan Mahatma Gandhi yang juga ikut memberikan andil pada perjuangan rakyat Berlin dan Jerman untuk kembali bersatu. | Iman

No comments:

Post a Comment