19 January 2011

Telanjang

Oleh: Syarief Wadja Bae

Saat dia telanjang, aku Melihat luka berbaris tak rapi.
Terlintas pesan Bapak yang selalu diulang Mama, tentang jiwa yang besar; nurani dan kekuatan pikiran adalah sekolah tempat membaca dan menulis semesta raya dalam diri.


Jauh sebelum pra-ilmiah kebenaran telah dicabik.
Dan untuk kesekian kalinya, Aku melihat dia telanjang.
Bahkan bekas jahitan di kulitnya dilukai lagi.


Kadang aku benci pada daun kering yang merasa pengabdiannya seperti malaikat yang hidup Cuma sesaat.
Tumbuh, menghijau dalam pelukan dahan, memberi kita oksigen, lalu kering, jatuh, dan memilih bersekutu dengan tanah.
Kenapa tidak memilih untuk mengobati tubuh kebenaran? Atau menjadi pakaiannya?

Samudra yang menampung segala, membuat aku cemburu. aku bertanya pada samudra, kenapa tidak kau ajak kebenaran di daratan tenggelam dalam perutmu?
Mungkin ikan-ikan bisa merawat tubuh telanjangnya yang penuh dengan luka.
Pernah ada yang bilang, puisi itu tidak nyata. Beberapa orang dalam suatu waktu pernah berkata, cerpen itu maya.

Namun sekarang semua sudah menjadi puisi.
Di media berhamburan realita seperti cerpen.
Seolah-olah fiksi dan fakta saling menyamar.
Dan tubuh kebenaran terus dibakar.
Ini bukan gambaran putus asa.
Tapi kita perlu bertanya ulang, apakah kita sudah belajar di sekolah tempat membaca dan menulis semesta raya dalam diri?

Aku melihat tubuh kejujuran menjadi sangat gendut.
Disuap segala macam transaksi.
Sewaktu kita kecil, film, komik, puisi, dan cerpen, menyajikan kisah yang berkesimpulan heroik.
Beranjak remaja dan dewasa dalam perspektif usia, kita disuguhkan cerita dan berita yang membuat kita bingung menjelaskan mana yang pahlawan dan mana yang bukan.
Susno atau Gayus kah yang menjadi pahlawan kita?
Banyak buku yang seakan-akan menjadi ahli sejarah.

Sementara adik-adik kita beluma paham dengan jelas Tan Malaka itu siapa.
Banyak dari kita yang menyamakan antara menghargai waktu demi perut dan demi kepentingan para penjahat yang menginjak kita selama ini.
Kalau tidak kerja mertua bawel.
Sudah kerja pun masih ditanya bagaimana jaminan hari tua kita, dan kelangsungan masa depan anak serta cucunya nanti.

Seolah-olah tidak percaya adanya akhirat.
Memangnya siapa yang mau lapar?
Namun apa kita mau membiarkan tubuh kejujuran terus gendut tak beraturan hanya demi mertua?
Lalu seperti apa tubuh ideal untuk kejujuran?
Di jaman seperti sekarang kejujuran belum tentu benar.
Dan tubuh kebenaran yang telanjang, telah berulangkali dibanjiri luka.
Mari kita belajar berjiwa besar.
Karena nurani dan kekuatan pikiran adalah sekolah tempat membaca dan menulis semesta raya dalam diri.

Terimakasih Mama.
Terimakasih Mama.
Terimakasih Mama.

Engkau selalu mengingatkan aku dengan pesan Bapak.

Januari 2011

*Puisi lain, klik di sini.

No comments:

Post a Comment