16 November 2010

Daging kurban oke, bukan daging lebih oke

Iman D. Nugroho


"Gimana, jadi berkurban sapi?" tanya seorang kawan melalui pesan pendek. "Jadi, tapi uangku tidak cukup untuk patungan membeli sapi," jawabku. "Tidak apa-apa, asalkan ikhlas," jawabnya. "Apakah berkurban harus selalu dengan daging?"


Bila Idul Adha diartikan dengan semangat untuk saling berbagai antara si kaya dan si miskin, maka harus pula diterjemahkan dengan bentuk saling berbagi itu. Karena, akan sangat disayangkan, bila semangat yang mulia itu justru berakhir dengan kesia-siaan.

Eits,..jangan terburu-buru untuk tidak setuju dengan kata "kesia-siaan". Apalagi membenturkannya dengan proses atau ritual peribadahan. Karena "kesia-siaan" yang dimaksud di sini sama sekali tidak memiliki dimensi vertikal (baca: hubungan mahkluk dengan Tuhannya). Namun, lebih pada hubungan horisontal atau manusia dengan manusia lainnya.

Coba kita evaluasi Idul Adha yang terjadi di lingkungan kita. Saat itu, binatang ternak (kambing, sapi, kuda bahkan onta), disembelih. Dagingnya dibagikan. Orang yang miskin dan sangat membutuhkan, menjadi obyek pembagian daging kurban.

Yang terjadi kemudian, mayoritas orang akan akan daging di hari itu. Untuk pemilik kulkas, dagingnya akan disimpan untuk dimakan beberapa hari kemudian. Lalu apa? Apakah tidak ada mekanisme lain yang membuat kurban bisa lebih berefek jangka panjang?

Contoh sederhananya adalah mengumpulkan uang kurban menjadi modal usaha. Dan kemudian dibagikan kepada orang-orang miskin, atau yang membutuhkan. Agar tetap menjadi "kail", uang (baca: modal) itu setidaknya dirupakan usaha atau fasilitas. Atau, setidaknya membagikan dalam bentuk uang cash.

Adalah menjadi pilihan penerima daging kurban untuk mengolahnya. Bisa untuk membayar sekolah, menabung atau hal lain yang lebih berguna ketimbang daging 2,5 kg. Tertarik? Atau tetap ingin memberi daging pada si miskin?

No comments:

Post a Comment