12 February 2010

Menggugat Hari Pers Nasional

Margiyono

Hari ini, presiden dan para tokoh pers memperingati Hari Pers Nasional di Palembang. Memang, sejak tahun 1985, setiap tangggal 9 Februari HPN selalu diperingati para petinggi pers dan pejabat negara. Tapi satu hal yang dilupakan, apa dasar penetapan tanggal 9 Februari sebagai HPN?

Penetapan tanggal 9 Februari sebagai HPN dibuat melalui Keputusan Presiden Soeharto No. 5 tahun 1985. Tanggal 9 Februari, sesungguhnya merupakan hari lahir Persatuan Wartawan Indonesia, yang berdiri pada 1946 di Solo, Jawa Tengah. Entah apa yang ada di benak Soeharto untuk menetapkan hari lahir PWI sebagai Hari Pers Nasional.

Jika patokan HPN adalah hari lahir PWI, maka berarti umur pers Indonesia masih sangat muda. Sementara, dalam literatur-literatur sejarah perjuangan bangsa ini, kita disuguhi fakta bahwa para insan pers merupakan bagian perintis kemerdekaan negeri ini. Jika pers Indonesia memang bagian dari perintis kemerdekaan, akal sehat kita tentu akan menyimpulkan bahwa pers Indonesia telah ada sebelum kemerdekaan RI tahun 1945. Hal ini tentu mengusik pikiran banyak orang.

Salah satu intelektual yang terusik oleh penetapan tanggal 9 Februari sebagai HPN adalah budayawan Tafik Rahzen. Bahkan, Taufik melakukan penelusuran sejarah secara serius. Hasil penelitiannya itu diterbitkan dalam buku “100 Tahun Pers Nasional” yang diterbitkan saat peringatan Satu Abad Kebangkitan Nasional tahun 2008. Dari penelusuran Taufik, ditemukan tonggak pers nasional adalah terbitnya Medan Prijaji pada 1 Januari 1907, dibawah nahkoda Raden Mas Tirto Adhi Soerjo. Dengan demikian, menurut Taufik seharusnya HPN diperingati pada 1 Januari, tonggak kelahiran pers nasional.

Harian yang terbit di Bandung tersebut memang bukan pers yang pertama kali terbit di bumi nusantara. Sebelumnya banyak koran yang sudah terbit di Hindia Belanda. Tapi, menurut Taufik, Medan Prijaji adalah koran nasional pertama. Alasannya, semua awak koran tersebut adalah pribumi dan koran tersebut yang pertama menggunakan bahasa Melayu.

Memang, pendapat Taufik tersebut juga banyak kelemahannya. Suryadi, peneliti sejarah di Universitas Leiden, Belanda, adalah salah satu yang mengkritik Taufik. Ia mengatakan bahwa Medan Prijaji bukanlah koran nasional pertama. Menurutnya, jauh sebelum ada RM Tirto Adhi Soerjo dan Medan Prijaji, pada 1894-1910 di Sumatera telah terbit selusin koran berbahasa Melayu yang digawangi Dja Endar Moeda. Bahkan sebelumnya di Padang, tahun 1890-1921, “Bapak Pers Melayu” Mahyudin Datuk Sutan Maharadja telah menerbitkan 6 surat kabar berbahasa Melayu. Juga, ada Dr. Abdul Rivai yang menerbitkan Bintang Hindia yang kritis pada 1903-1907.

Memang, sampai saat ini belum ada kesimpulan para sejarawan kapan pers nasional pertama lahir, sehingga kita bisa menentukan tanggal Hari Pers Nasional yang layak diperingati. Tapi, adalah hal yang konyol jika kita memperingati HPN mengacu pada kelahiran PWI. Ini berarti kita merendahkan peran pers dalam perjuangan merintis kemerdekaan. Seolah-olah pers nasional baru lahir setahun setelah Indonesia
merdeka.

***

No comments:

Post a Comment