05 February 2010

Di Ujung Malam

Eka Ratna

Malam Senin yang basah. Hujan turun sejak pukul enam sore tadi. Derasnya tidak berkurang dan menimbulkan suara berisik di atap rumah. Angin malam yang masuk melalui kisi-kisi jendela menusuk tulang punggungku. Beberapa kali ketukan ujung ranting pohon di kaca jendela memberikan irama sela di tengah derasnya hujan.

Lima belas menit jelang tengah malam. Sepertinya aku akan menjadi makhluk malam lagi, seperti dua tiga malam sebelumnya.

Monitor komputer berkedap-kedip dengan cepat. Proposal Praktikum Pembuatan Kompos ini baru selesai separuh, belum masuk ke Tinjauan Pustaka padahal buku-buku referensi sudah siap dibuka. Tinggal mencari halaman sekian agar isinya bisa aku salin. Namun kesepuluh jari tanganku hanya mengambang di atas keyboard komputer.

Aku duduk diam.

Satu menit, dua menit… dua setengah menit berlalu tanpa sedikit pun memindahkan kursor komputer. Pendar-pendar sinar monitor yang memenuhi ruang mataku seakan-akan mengurungku supaya tetap tidak bergerak.

Aku buntu. Miskin ide.

Tiba-tiba aku ingat dia. Hei, kenapa mesti dia? Bukankah aku sekarang sudah punya pacar, bahkan sudah siap menjadi calon suami? Seharusnya yang sekarang-lah yang aku ingat, bukan yang tertinggal.

Sedang apa kamu di sana ? Di sana, entah di mana. Tentu saja aku tidak tahu karena kamu menghilang sejak enam tahun lalu. Tanpa alamat, tanpa berita. Surat-surat yang sengaja aku tulis tak pernah dikirim untukmu. Menumpuk begitu saja di dalam kotak harta (begitu kita pernah menyebutnya) bersama foto-foto kita yang sudah mulai menguning.

Semua karena aku masih ingin mengenangmu. Jangan salahkan aku. Tolong, jangan larang aku. Yang sesungguhnya aku rasakan tidak pernah kamu tahu. Apalagi mengharapkan kamu untuk lebih mengerti. Karena kamu begitu jauh. Ataukah karena sebenarnya kamu terlalu dekat di hatiku?

Whoooahmm…

Aku menguap sekali. Angin menerobos ventilasi, membelai leherku. Dingin. Agaknya hujan mulai reda. Tidak terdengar suara berisik lagi. Mouse kugeser ke kiri, ke kanan, lalu melingkar-lingkar. Sekali lagi aku menguap.

Aku kembali mengetik. Entahlah, apa benar yang sudah aku ketik. Peduli amat.

Pluk.

Seekor cicak jatuh di atas printer. Aku kaget. Ternyata mataku nyaris tertutup. Sampai mana ketikanku tadi?

Ugh, kenapa malam memaksa aku berpikir bukannya menuntunku untuk tidur?

Lagu. Bodoh, kenapa tidak memutar lagu saja? Barangkali mampu meredam kantukku. Banyak kaset di laci lemariku. Pop Indonesia , Barat , India -nyaris ada semua- kecuali dangdut dan keroncong. Kaset-kaset itu aku koleksi sejak SMP. Bahkan ada beberapa yang sudah jamuran namun tetap aku simpan.

Bryan Adam. Terlalu lembut. Firehouse. Yah, lumayan menghentak. Megadeth? Eh, kaset siapa yang nyasar di sini? Bukan milikku, barangkali salah seorang teman kampusku meninggalkannya di sini. Atau Ebiet G. Ade? Enggak ah, nanti tambah ngantuk. Oh, gimana kalau Bon Jovi? Tidak apa bukan? Mendengarkan slow rock tidak akan menganggu penghuni kamar sebelah yang mungkin sudah hanyut dalam sungai mimpi.

This romeo is bleeding, but you can’t see his blood… It’s nothing but some feelings, that this old dog kicked up… It’s been raining since you left me, now I’m drawning in the flood… You see I’ve always been a fighter, but without you I give up…

Aduh, kenapa Always yang pertama keluar? Hanya akan mengingatkan aku tentangnya. Bukankah ini lagu yang kamu nyanyikan saat malam perpisahan SMU? Yang khusus kamu persembahkan untukku, membuat aku tersanjung.

Kamu masih suka memetik gitar tua itu, yang kau sebut pacar kedua -setelah aku- itu? Tentu saja, musik adalah duniamu, setelah panjat tebing dan hiking. Menurutku hobimu yang lain (pasti kamu enggak sadar) adalah menaklukkan hati para gadis. Dengan senyum tanpa dosa tidak akan ada yang menolak ajakanmu. Termasuk aku.

Salahkah bila aku sering membayangkan wajahmu. Dosakah? Cuma membayangkan saja, bukan suatu pengkhianatan, kan ? Sungguh, sebesar apa pun keinginanku untuk menghapus ingatan tentangmu, sebesar itu pula ketidakmampuanku untuk melakukannya. Sungguh, aku masih sangat mencintai kamu. Memang benar kata orang, cinta pertama itu tidak akan pernah mati. Yang paling berkesan. Paling manis. Sekaligus juga pahit. Seperti itulah yang pertama, bukan?

Mungkin jalan satu-satunya adalah aku ikut program pencucian otak.

Saat tidak ada kerjaan, lebih senang mengingatmu. Saat bertengkar dengan pacarku, lebih nyaman bersama bayanganmu. Menggambar jengkal demi jengkal bagian tubuhmu, dari ujung rambut sampai ujung kaki. Menuangkannya ke dalam kanvas hatiku. Rambutmu yang panjang menggelitik, sepasang mata elang di bawah naungan alis hitam, serta bibir tipis yang selalu basah dan mengurai senyum meneduhkan. Aku hapal wajahmu. Setiap gurat di sana bisa aku ingat, berharap wajah yang aku lukis selalu tersenyum dan menyapaku di ujung malam. Tapi, apakah waktu enam tahun merubah semuanya?

Aku kangen kamu.

Kangen sapaan ‘selamat pagi’ yang selalu kamu berikan di depan pintu kelas. Kangen genggam tanganmu yang menuntunku turun dari sepeda saat mengantarku pulang. Kangen bisikan lembutmu saat membujuk hatiku. Juga lelucon konyolmu yang tidak pernah habis.

Aku kangen semua tentang kamu. Benar-benar.

Bed of Roses terdengar. Sejak kapan lagu demi lagu berganti? Rupanya aku keasyikan melamun. Keasyikan melukis kamu. Ah, peduli amat.

Tengah malam.

Aku benar-benar menjadi makhluk malam.

Sudah empat kali dalam seminggu ini. Banyak tugas baca, makalah, dan presentasi yang menguras isi kepala dan energiku. Aku sering tertidur pukul satu dinihari kemudian terjaga sejam berikutnya. Tidak mimpi. Tidak ada yang membangunkan. Ya, otomatis saja.

Sudahlah, pergilah semua bayangan tidak diundang dari kepalaku. Aku harus menyelesaikan tugas. Besok harus sudah presentasi di hadapan dosen dan teman-teman sekelas. Harus bagus, atau aku tidak boleh ikut midsemester.

Tiga buku setebal lima senti menenggelamkan kepalaku. Ini semuanya akan aku baca? Berbahasa Inggris pula. Di antara tiga buku hanya satu yang berbahasa Indonesia. Gila, memangnya aku kamus berjalan?

Kalau kamu, mungkin iya. Di SMP dan SMU, semua guru bahasa Inggris memuji kepintaranmu. Kosakata yang kamu kuasai jauh melebihi kemampuanku.

‘Dengan cara menghapal sepuluh kata setiap hari, tinggal dikalikan, maka kamu tidak akan percaya hasilnya.’

Seperti itulah yang kamu bekalkan untukku. Kamu memang pintar, kok. Salah satu kelebihanmu yang sukses menjerat hatiku.

Lagi-lagi aku memikirkannya. Ada apa ini? Lupakan. Berusahalah ingat yang lain. Ingatlah seseorang yang nun jauh di sana, yang sedang berjuang untuk kebahagiaan dan masa depanku.

Nggak bisa. Hhh, aku memang nggak mau.

Aku bosan memikirkan yang sekarang. Terlalu sering. Senyum untuk dia, waktu, bahkan sampai airmata. Aku mau penyegaran. Suasana lain, bersama yang lain. Lagipula aku tidak bersama wujud nyata, hanya lamunan. Kan, tidak salah? Becanda dengan bayangan, tidak akan ada yang tahu, kan? Kecuali Dia tentunya.

Kepalaku ini sulit dikontrol rupanya. Sekali dibiarkan bebas maka akan berkelana sebebas-bebasnya. Tidak perlu mengerti kesusahan pemiliknya. Aku sedang sibuk. Aku sedang menguras isi otakku. Mencari-cari kalimat yang pas buat proposalku.

Tombol-tombol keyboard mulai aku tekan dengan kecepatan luar biasa. Isi otakku mengalir deras dan tidak mau aku stop, karena sekali aku stop maka selamanya akan hilang. Mumpung masih segar dan mumpung pikiranku sedang konsen ke satu hal saja, kerjakan sekarang juga.

Pengertian Sampah… Pembagian Sampah… Sumber Sampah…

Apa ini? Bahasa Inggris lagi. Mana kamusku? Di mana aku letakkan tadi? Aduh, aku begini ceroboh dan tergesa-gesa. Selalu ada yang berantakan dan tertinggal. Tidak pernah teratur dan rapi. Ah, sebodo amat. Aku tidak perlu berdiskusi tentang ini.

Cepat, tinggal dua paragraf lagi. Setelah itu masuk ke Metodologi Pembuatan Sampah. Gampang, sudah ada konsep. Tinggal aku ketik dengan penambahan di sana sini sebagai pemanis. Ketua kelompok sungguh baik hati, bersedia menulis serapi ini. Mungkin dia sudah tahu kalau aku bakal kelelahan.

Krriiiinnngg!

Siapa lagi malam-malam begini?

Krriiinngg!

Pantatku terangkat. Tanganku terulur siap meraih knop pintu. Sialan, tak ada suara lagi. Siapa pula yang usil. Sukanya mengganggu ketenangan orang.

Aku duduk kembali. Lho, sepi? Ternyata kaset Bon Jovi side A sudah habis sejak lima menit yang lalu. Aku segera membaliknya.

I wake up in the morning, and I raise my weary head… I’ve got an old coat for a pillow, and the earth was last night bed... I don’t know where I’m going only God knows where I’ve been… I’m a devil on the run, a six gun lover a candle in the wind, yeah…

Setiap beat lagu itu memberikan stimulus agar aku bekerja kembali.

Jemariku terpaku di atas keyboard. Sial, ke mana semua kalimat yang sudah aku susun tadi? Pasti gara-gara dering telepon kurang ajar itu!

Kalau saja dia ada di sini pasti aku dibantu. Tangannya ringan dalam membantuku. Tidak pernah mengeluh, tidak pernah bertanya kenapa, atau pun memberikan nasihat sepanjang Jabotabek.

‘Lain kali lebih teliti.’

Hanya itu katanya. Tidak lebih.

Cinta pertama. Tidak akan pernah habis untuk diceritakan. Seperti sebuah drama teve yang sekarang sedang booming di kalangan remaja dan orang tua. Apa itu judulnya? Meteor Garden? Setiap kuliah kosong, di setiap sudut kelas membicarakannya. Setiap tangan memegang gambar atau fotonya. Bla, bla, bla….

Lho, malah ngelantur?

Yah, cinta pertamaku memang tidak akan habis atau memudar. Kalau dijadikan bahan novel, bisa setebal 200 halaman bolak-balik. Belum ditambah cover eksklusif dan halaman persembahan.

Waduh, otakku kacau lagi. Mungkin aku memang harus masuk program cuci otak.

Lalu kenapa putus?

Pertanyaan simpel tapi jawabannya serumit benang wol yang dijadikan mainan si Pussy. Bukan mauku untuk putus. Bukan rencanaku untuk meninggalkannya. Semua bukan bermula dari aku. Andai masih bisa memilih, aku akan memilihnya.

Bermula dari seseorang yang aku sebut ‘ibu’ dalam keluarga. Yang sudah mempertaruhkan nyawa agar aku melihat dunia, bangun di tengah malam karena aku menangis minta susu, dan mengajari ucapan ‘ayah, ibu’ sampai lidah rasanya kelu. Ibu. Makhluk ciptaan Tuhan yang paling mulia.

Semua orang tua mengharapkan yang terbaik untuk anaknya Begitulah kata nenek, tiga hari sebelum beliau berpulang. Apalagi untuk anak semata wayang yang diserahi tanggung jawab total membawa nama baik keluarga, seperti aku. Harus begini, harus begitu. Jangan bergaul dengan ini, jangan dengan itu. Aku boleh memilih tapi tetap menyesuaikan dengan keinginan ibu. Sama saja bohong, kan? Ibu mengharapkan yang terbaik untukku, tapi ‘terbaik’ menurut beliau.

Dia pintar. Dia siswa teladan. Dia luar biasa baik hati. Bak pangeran negeri antah berantah. Tidak pernah mabuk-mabukan. Mencium bau bir saja membuatnya muntah. Bukan pecandu narkoba, seperti yang sekarang merebak di kalangan pelajar. Dia bersih lahir bathin. Lalu apanya yang salah?

Keluarganya.

Menurut penilaian orang-orang di sekitarku, ayahnya bukan contoh yang baik. Seorang laki-laki yang telah menanamkan benih ke wanita yang bukan istri sahnya. Ialah ibunya. Tapi dia bukan anak haram. Dia cuma anak yang kurang diinginkan.

Napasku tersendat, sudut mataku terasa hangat.

Sungguh cengeng. Kembali ke masa-masa itu akan memaksaku untuk menangis. Bukan terharu pada keluarganya yang broken home, namun sedih akan kenyataan yang aku anggap tidak adil. Perpisahan yang tidak aku mau, begitu jauh, begitu lama…

Aku tidak yakin dia ingat bentuk wajahku. Ingat lekuk tubuhku saat melintas di dekatnya. Ingat suaraku saat aku menyapa. Atau bagaimana aroma rambutku yang dulu sering diciuminya. Waktu sudah habis demikian banyak, memberi kesempatan untuk suatu perubahan. Dan setiap manusia pasti akan mengalami perubahan, bukan?

Sudahlah.

Berhenti memikirkan hal-hal yang sentimentil. Berhenti sok romantis. Sok puitis. Hanya akan membuka luka lama. Membuatnya menganga dan berdarah lagi.

Bukan ini yang aku harapkan. Tidak. Aku juga ingin lepas dari belenggu masa lalu. Lepas dari ikatan benang merah yang pernah ia ikatkan di kelingking kiriku. Melepaskan bola-bola cinta yang merantaiku ini.

Tolong, bantu aku. Jangan hanya kau pandangi aku dari kejauhan. Jangan hanya bergerak sebagai bayangan membisu. Genggamlah tanganku untuk terakhir kali. Bisikkan suara lembutmu untuk terakhir kali.

Untuk mengucap kata ‘selamat tinggal’ untukku.

Pipiku membasah. Selalu berakhir begini.

Monitor komputer tetap berkedap-kedip. Pendar sinarnya tetap menyeruak ke dalam mataku, menambah panas.

Bon Jovi tetap menyanyi.

Dan aku tetap duduk, mencoba menyelesaikan tugasku hingga akhir.

Biarlah seperti ini.


1 comment: