09 July 2008

Bila Calon Gubernur Peduli "Bungkus"

Iman D. Nugroho

Penampilan, bagi pasangan kandidat gubernur dan wakil gubernur adalah hal yang penting. Melalui penampilanlah, kandidat bisa meyakinkan masyarakat bahwa mereka layak dipilih. Hal itulah yang dibaca Pakar Komunikasi Universitas Airlangga (Unair) Henry Subiyakto dari cara kandidat gubernur-wakil gubernur Jawa Timur yang akan berlaga dalam pemilihan gubernur Jawa Timur 23 Juli mendatang. “Mereka masih memenuhi keinginan masyarakat, yang hanya mementingkan “bungkus”, tanpa memperdulikan isi,” kata Henry Subiyakto pada The Jakarta Post.


Henry mencontohkan, hampir semua kandidat tiba-tiba saja menunjukkan betapa dekatnya mereka dengan organisasi Nahdlatul Ulama (NU) dan underbow-nya. Calon No.1, Khofifah Indar Parawansa-Mujiono (KAJI) yang kemana-mana selalu didampingi istri Hasyim Musyadi, Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama. Begitu juga Calon No.3 Soenarjo-Ali Maschan Moesa (SALAM) yang kemana-mana tidak pernah lepas “mengabarkan” Ali Maschan Moesa adalah mantan ketua Pengurus Wilayah NU (PWNU).

Apalagi Calon No.4 Ahmady-Suhartono (ACHSAN) yang mengusung nama KH. Abdurahman Wahid atau Gusdur. “Kalau Syaifullah Yusuf (pasangan Calon No.5, Soekarwo-KARSA-RED), menunjukkan identitas sebagai ketua Ansor dan menyebut diri sebagau Gus (anak kyai-RED) Ipul,” kata Henry. Senada, Calon No.3 Soetjipto-Ridwan Hisjam (SR) menunjukkan identitas nasionalis dan pro wong cilik kemana pun mereka pergi. “Pertanyaan saya, apakah mereka akan terus seperti itu, atau akan berubah setelah mereka jadi gubernur,” kata Henry.

Apapun hasil akhirnya, Henry menilai, apa yang dilakukan kandidat itu sah-sah saja. Apalagi, cagub-cawagub itu menyadari, sebagian besar pemilih di Jawa Timur masih lebih mementingkan pencitraan “bungkus”, dari pada isi kampanyenya. Maka, para kandidat akan menciptakan “bungkus” sebaik-baiknya, daripada pemikiran yang bisa terurai melalui debat. “Kandidat lebih mementingkan iklan, ketimbang debat, ironisnya, masyarakat menyukai hal itu,” katanya.

Karena urusan “bungkus” itulah, salah satu “orang dalam” kandidat Khofifah Indar Parawansa sampai harus mati-matian mengubah sosok Khofifah melalui busana. Sumber The Jakarta Post menyebutkan, Khofifah sampai harus membeli puluhan jilbab dengan warna cerah dan minim motif untuk mengesankan kesederhanaan. Cara memakai jilbabnya pun berubah. Tidak ada lagi jilbab yang terjuntai di dada (khas NU), berganti dengan yang lebih modis. Tanpa meninggalkan kesan NU, yang ditandai dengan tekukan di sekitar sudut mata.

“Awalnya, ada salah satu pengusaha media yang mengatakan pada kami (Tim Kampanye KAJI) untuk membuat Khofifah marketable, akhirnya perubahan pun dilakukan,” kata sumber The Post. Tidak hanya itu, tim KAJI pun meminta salah satu fotografer terkemuka asal Jakarta untuk memotret Khofifah dan Mujiono. Awalnya, Khofifah sempat merasa kagok. “Ternyata Saya cantik juga ya,” kata Khofifah seperti ditirukan sumber The Post.

Tim Kampanye KAJI juga secara khusus menyiapkan tenaga untuk mengatur bahasa tubuh kandidat yang diusung 12 partai. Semisal, selalu mengingatkan Khofifah untuk menegakkan dagunya. Baik saat di event resmi, depan podium maupun di atas panggung.
Calon KARSA, yang menempatkan kumis sebagai salah satu tagline, “Coblos Brengose,” bahkan melarang dua kandidat, Soekarwo-Syafullah Yusuf untuk memotong kumis mereka. “Kebetulan dua calon kami punya kumis, akhirnya kami menjadikan kumis mereka sebagai cara untuk mempermudah memperkenalkan diri,” kata Mashuri, salah satu anggota Tim KARSA, ada The Post.

Dan hal itu sudah terpikir sejak dua tahun lalu, ketika pasangan KARSA mulai muncul ke permukaan. Soekarwo menamakan dirinya sebagai Pakde (Paman) Karwo. Pakde, dalam struktur Jawa memiliki peran lebih tinggi dari bapak. Pakde, dianggap lebih tua dan bisa mewakili peran bapak. “Makanya, kami menamakan Soekarwo sebagai Pakde Karwo, Pakdenya masyarakat Jawa Timur,” katanya.

Pasangan Soenarjo-Ali Maschan Moesa (SALAM) lain lagi. Mereka menampatkan baju batik, sebagai kekhasan pasangan itu. Pasangan yang diusung Partai Golkar ini selalu memakai batik dalam gambar-gambar poster yang dipasang dirempatan-perempatan jalan di Surabaya. Tidak hanya itu, Ali Maschan Moesa, yang ketika menjadi ketua PWNU terbiasa caplas-ceplos dalam berbicara, saat menjadi cawagub pun terlihat lebih tertata. “Ah, kami hanya ingin berhati-hati dalam berbicara, karena apa yang SALAM bicarakan adalah persoalan riil,” kata Ali Maschan Moesa pada The Post.

Henry Subiyakto menilai, apa yang dilakukan kandidat cagub dan cawagub adalah hal yang biasa. Meskipun hal itu merupakan salah satu bentuk pemenuhan high content culture yang sampai saat ini masih menjadi budaya masyarakat. Untuk itu merketing politik betul-betul “dimainkan”. “Hasilnya, orang lebih mementingkan tayangan iklan, dari pada debat kandidat,” katanya.

Bahkan, ada kecenderungan, kandidat yang jago dalam berdebat akan dijuluki dengan berbagai macam julukan negatif. Mulai omong doang, no action talk only (NATO) dll. “Padahal, kalau orang tahu, banyak iklan yang manipulatif,”katanya. Karena itulah, Henry meminta masyarakat untuk lebih cerdas dalam memilih kandidat mendatang. “Lihat dan cermati pelaksanaan debat, nilai isi perdebatannya, jangan cuma melihat poster dan iklannya,” kata Henry.

Yang paling parah dari budaya “bungkus” itu, kata Henry adalah bagaimana para kandidat itu terkesan tidak percaya diri dengan kapasitasnya. Bentuk rasa tidak percaya diri itu adalah dengan memasang gambar tokoh nasional sebagai background dalam setiap poster atau spanduk.

Dalam pengamatan The Jakarta Post, dua pasangan yang selalu menempatkan tokoh politik nasional dalam spanduknya adalah pasangan Soetjipto-Ridwan Hisjam (SR) dan Achmady-Suhartono (ACHSAN). SR, selalu menempatkan Ketua Umum PDI Perjuangan Megawati Soekarno Putri dalam spanduknya. Sementara ACHSAN menempatkan Gus Dur sebagai background.

No comments:

Post a Comment