10 April 2008

Sisi Keamanan Penambangan Emas (Bagian Ke-2)

Amankah aktivitas penambangan emas di Gunung Tumpang Pitu dan Pulau Merah? Dalam presentasi PT. Jember Mineral (JM) 29 Agustus 2000 di Jember dan presentasi PT Banyuwangi Mineral 31 Agustus 2000 lalu, dijelaskan adanya menerapkan sistem Submarine Tailing Disposal (STD) dalam pengolahan limbah penambangan. Rencana STD juga dapat dilihat pada analisis dampak lingkungan (Andal) yang telah dibuat PT. IMN. Block tailing direncanakan dibangun di tengah laut yang berdekatan dengan pulau merah.


”Pembuangan limbah model ini dipastikan akan menghancurkan beberapa jenis vegetasi laut di perairan itu sebagaimana tabel di bawah ini,” kata Direktur Walhi Jatim, Ridho Saiful Ashadi.

Pilihan underground mining dengan konsekuensi pembuangan limbah di darat pun tidak memiliki garansi untuk tidak mengalir ke laut. Harus diingat, blok Tumpang Pitu berdempetan dengan laut. Bahkan Pulau Merah dan Pulau Mahkota yang masuk dalam kawasan blok tersebut, justru merupakan pulau kecil yang berada di tengah laut. Pembuangan limbah ke darat bahkan akan mengancam pemukiman dan pertanian penduduk mengingat kawasan limbah tersebut direncanakan berada di kawasan daratan seluas 250 hektar.

Pengamat pertambangan yang juga anggota Forum Komunitasi Pencita Alam, Stevanus Bordonski menegaskan, hampir pasti penambangan deposit emas di Banyuwangi akan menimbulkan malapetaka. Karena memang seperti itulah efek samping yang dihasilkan oleh penambangan. Apalagi aktivitas penambangan di Indonesia selalu mengabaikan fase penting dalam penambangan, yakni study kelayakan. “Study kelayakan penting dilakukan untuk mengetahui kondisi ekologi dan sosial, sebelum, saat pelaksanaan dan sesudah penambangan, ini yang selalu tidak dilakukan secara kontinyu,” katanya pada The Jakarta Post.

Karenanya, penambangan cenderung meninggalkan kerusakan. Apalagi, secara teknis, penambangan tergolong proses yang mengerikan. Diawali dengan pengeboran (drill) dari berbagai sudut, pengeboran vertikal, pengeboran miring hingga pengeboran silang. Tujuan pengeboran tahap awal ini untuk mencari kapasitas deposit objek yang akan ditambang. “Melalui pengeboran tahap satu itu akan diketahui berapa jenis bahan tambang yang ada, berapa banyak dan berapa waktu yang diperlukan untuk menambang,” jelasnya. Bila data sudah didapat, maka dilakukan eksploitasi.

Proses eksploitasi ini tergolong mengerikan. Kecuali eksploitasi Uranium, sejak Perang Dunia II berakhir, tidak ada lagi eksploitasi vertikal dengan menggunakan terowongan (tunnel). Melainkan bentuk eksploitasi terbuka (open mining). Eksploitasi dengan ini secara otomatis akan membuang lapisan tanah yang tidak memiliki kandungan mineral atau over border. Jumlahnya bisa jutaan matrix ton. “Bentuknya seperti obat nyamuk, melingkar ke bawah semakin kecil, seperti yang dilakukan Newmont dan Freeport, tanah yang tidak bermineral akan dibuang ke waste dam,” jelas Stevanus. Jalan melinkar itu digunakan sebagai jalur truk untuk mengangkut soil.

Soil yang dikumpulkan dari lapisan tanah bermineral (deposit), kemudian akan diproses dengan menggunakan mesin canggih. Dalam proses itu, digunakan berbagai bahan berbahaya seperti arsenik, asam sianida, mercury dll. Melalui bahan kimia itu, akan dipisahkan mineral dan serbuk batu. Mineral yang sudah terkumpul akan dibuat konsentrat, sementara serbuk batu akan dibuang. “Jangan lupa, dalam setiap aktivitas penambangan, hasilnya tidak hanya satu jenis mineral saja, misalnya, dalam lapisan tanah itu akan ditemukan pula mineral lain yang bernilai ekonomis, seperti zeng, nikel, barium dan kloroid, semuanya memiliki nilai ekonomis,” jelas Stevanus.

Namun, yang lebih penting dari itu, adalah efek samping dari penambangan, yakni munculnya gas dan elemen berbahaya lain. Nah, hal inilah yang mebuat Stavanus bisa memastikan akan adanya malapetaka pertambangan. “Pasti, akan terjadi pencemaran dan kerusakan lingkungan, bahkan tidak mungkin akan berakibat kematian,” kata Stavanus.


No comments:

Post a Comment