Iddaily Mobile | Dari Anda Untuk Publik
Youtube Pilihan Iddaily: Pramoedya Ananta Toer
       

16 Februari 2011

Menakertrans tolak bantuan uang untuk TKI

Sejak dimulainya aksi solidaritas Rp.1000,- pada 12 Januari 2011 untuk pemulangan TKI yang terlantar di kolong jembatan, dukungan dan partisipasi masyarakat di berbagai daerah di Indonesia dan bahkan di luar negeri terus mengalir.


Fenomena ini sekaligus menunjukkan bahwa tingkat kepercayaan terhadap pemerintah pada tingkat yang sangat kritis, terutama pada perlindungan bagi buruh migran yang nyata-nyata telah banyak menghasilkan devisa bagi negara.

Komitmen perlindungan yang lemah ini nampak begitu nyata ketika pemerintah tidak segera melakukan perlindungan bagi mereka yang telah terlantar selama berbulan-bulan terlantar di Saudi Arabia, dan menjadikan kolong jembatan sebagai tempat tinggalnya.

Apresiasi Pemerintah

Aksi kepedulian ini, yang memang sengaja dimaksudkan untuk mengetuk kesadaran pemerintah, tampak cukup efektif untuk mendesak pemerintah agar melakukan tanggung jawab perlindungan yang menjadi mandatnya.

Sebulan pasca aksi, pemerintah akhirnya memulangkan TKI yang terlantar di kolong jembatan sebanyak 301 orang pada 14 Februari 2011. Untuk itu, Jaringan Rp. 1000 mengapresiasi pemerintah Indonesia atas upayanya memulangkan TKI terlantar kemarin.

Namun demikian, jaringan Rp. 1000 akan terus memantau mekanisme yang telah dilakukan oleh pemerintah. Hal ini lebih karena pemulangan sesungguhnya bukan satu-satunya tanggung jawab negara, karena banyak sekali masalah yang melatari setiap buruh migran yang terlantar tersebut.

Semua permasalahan itu harus dituntaskan, dan sekali lagi itu merupakan tanggung jawab pemerintah. Untuk itu, dengan dipulangkannya ratusan TKI yang terlantar di kolong jembatan, aksi kepedulian ini tidak berarti selesai, karena jaringan ini akan terus melakukan upaya desakan sampai perlindungan TKI benar-benar terwujud.

Menakertrans Menolak

Terakhir, aksi kepedulian ini telah berhasil mengumpulkan sejumlah dana yang cukup signifikan. Hingga tanggal 14 Februari, dana yang terkumpul mencapai Rp. 130.523.727,22,- Sejatinya, dana yang terkumpul sudah disampaikan kepada kemenakertrans pada tanggal 7 Februari 2011, namun ditolak oleh menteri yang bersangkutan.

Untuk itu, dalam rangka mempertanggungjawabkan dana yang telah terkumpul ini, Jaringan Rp. 1000 akan meminta masukan dari masyarakat luas mengenai pemanfaatannya. Hal ini karena memang dana itu adalah milik masyarakat yang telah dengan tulus dan bersimpati pada penderitaan buruh migran yang terlantar.
Dukungan dan partisipasi masyarakat ini adalah wujud nyata dari kesadaran untuk menjadi bangsa yang berdaulat dan bermartabat. Inilah amanah yang harus selalu kita jaga, selamanya!

Jakarta, 15 Pebruari 2010
Inisiator Aksi “Rp.1000 untuk Pemulangan TKI”
*press release

15 Februari 2011

A letter for Mr. President Yudhoyono

In memory of Indonesian Domestic Workers Day. We urge the Indonesian government: to establish a law for the protection on domestic workers, to vote for a Convention, supplemented by A Recommendation for domestic workers at the ILC in June 2011 in Geneva and to ratify the Convention Today is Indonesian Domestic Workers Day.


It is the day to remember the death of Sunarsih, a 14-year-old domestic worker who was assaulted by her employer into death in 2001, in the city of Surabaya. It is the day to remember, not only Sunarsih, but millions of Indonesian domestic workers who are under exploitation and abuses locally and abroad.

We urge the government of Indonesia to establish a national law to protect millions of domestic workers and cooperate with destination countries to ensure the protection of migrant domestic workers.

Indonesia is a country with one of the largest number of domestic workers in all Asia. This includes 10 million local domestic workers in Indonesia and six million migrant domestic workers abroad. Their work has been an integral part of thriving economies in the world. Every day, they work around the clock to send billions of remittance home. Yet, until now, Indonesian domestic workers remain the most exploited, by the malpractice of employment agencies, bad employers and discriminatory policies and society.

We urge the government of Indonesia, in cooperation with governments of destination countries, to take affirmative measures to stop the exploitation of domestic workers. We urge the governments especially to take measures to stop abusive practices by employment agencies. We urge the government of Indonesia to restart the discussion at its parliament on the draft law on the protection on domestic workers.

With the organizing and mobilizing effort of domestic workers around the world, the International Labour Organization (ILO) will have its second and last round of discussion on decent work for domestic workers in the coming International Labour Conference in June this year.

Tripartite bodies of its Member States will make a decision on the adoption of an ILO Convention supplemented by a Recommendation on domestic workers. Domestic workers are workers. They should enjoy equal rights as other workers do. We urge the government of Indonesia to vote “yes” on the adoption of the international instrument and ratify it as soon as it is adopted.

Domestic workers are large in number. Protection on domestic workers ensures protection for a big population and a just and harmonious society.

In Solidarity,

Mrytle Witbooi

Chair, International Domestic Workers Network (IDWN)

Wujudkan UU Perlindungan PRT, segera!

Ketika banyak orang, pemimpin, penyelenggara negara, para tokoh bicara keadilan, kesetaraan, demokrasi, bicara hak asasi manusia, orang lupa pada satu kelompok yang tidak bisa menikmati demokrasi dan hak asasi tetapi bisa membuat banyak orang tersebut bicara keadilan, kesetaraan, demokrasi dan hak asasi


Ketika banyak orang, pemimpin, penyelenggara negara, para tokoh bicara kesejahteraan, orang lupa pada satu kelompok yang tidak bisa hidup sehat, sejahtera tetapi bisa membuat banyak orang tersebut bicara kesejateraan dan bisa hidup sejahtera.

Ketika banyak orang, pemimpin, penyelenggara negara, para tokoh bicara pendidikan, orang lupa pada satu kelompok yang tidak bisa mengakses pendidikan tetapi bisa membuat banyak orang tersebut bicara pendidikan dan bisa menikmati pendidikan.

Sekian banyak pemimpin, penyelenggara negara, tokoh, dan sebagian kalayak masyarakat, majikan yang lupa, bahwa ada ”Tokoh di belakang kayar” yaitu pekerja rumah tangga (PRT) yang memungkinkan mereka bisa bekerja.

Berbicara banyak tentang demokrasi, keadilan, kesejahteraan, HAM, perubahan iklim, kesehatan, atas nama rakyat, bekerja dengan profesional, memiliki kesuksesan karir, memiliki keahlian di bidangnya, hidup sejahtera dan juga untuk keluarganya.

Mereka bisa berbicara, berperan, menyelenggarakan segala aktivitas dan aspek kehidupan publik segala sektor penyelenggaraan negara, pendidikan, pengembangan iptek, usaha: industri barang, jasa, hiburan, karena kontribusi besar ekonomi, sosial, waktu dari PRT,

Ironis

Namun demikian, situasi Pekerja Rumah (PRT) Tangga sungguh berbeda, jauh dengan situasi bertema kesetaraan, keadilan, HAM, kesejahteraan. Realitas menunjukkan pelanggaran HAM kerap terjadi pada kawan-kawan yang bekerja sebagai PRT - yang mayoritas adalah perempuan dan anak.

Dimensi pelanggarannya adalah pelanggaran atas hak anak, hak pendidikan, kekerasan dalam berbagai bentuk. PRT ini rentan berbagai kekerasan dari fisik, psikis, ekonomi, sosial. PRT berada dalam situasi hidup dan kerja yang tidak layak, situasi perbudakan.

PRT mengalami pelanggaran hak-haknya: upah yang sangat rendah ataupun tidak dibayar; ditunda pembayarannya; pemotongan semena-mena; tidak ada batasan beban kerja yang jelas dan layak. Semua beban kerja domestik bisa ditimpakan kepada PRT, jam kerja yang panjang: rata-rata di atas 12-16 jam kerja yang beresiko tinggi terhadap kesehatan, nasib tergantung pada kebaikan majikan.

Tidak ada hari libur mingguan, cuti; minim akses bersosialisasi - terisolasi di rumah majikan, rentan akan eksploitasi agen - korban trafficking, tidak ada jaminan sosial, tidak ada perlindungan ketenagakerjaan, dan PRT migran berada dalam situasi kekuasaan negara lain.

PRT tidak diakui sebagai pekerja, karena pekerjaan rumah tangga tidak dianggap sebagai pekerjaan yang sesungguhnya dan mengalami diskriminasi terhadap mereka sebagai perempuan, pekerja rumah tangga dan anak-anak. Dikotomi antara PRT dengan buruh pada sektor yang lain sering mengakibatkan kebijakan yang tidak adil dan diskriminatif bagi PRT.

Hari PRT

Pada tanggal 15 Februari 2011 ini, Indonesia memperingati Hari PRT yang ke-5, sejak Hari PRT ini dilaunching pada tahun 2007. Hari PRT ini dilatarbelakangi oleh peristiwa penganiyaan terhadap PRT Anak bernama Sunarsih usia 14 tahun yang dianiaya oleh majikannya hingga meninggal pada tahun 2001 di kota Surabaya, dan majikannya berkali 4 melakukan penganiayaan terhadap PRT berbeda-beda pada tahun 1999, 2000, 2001, 2005, namun tak pernah dihukum.

Peringatan ke-5 ini artinya 10 tahun sejak peristiwa Sunarsih, dan di negara kita belum terjadi perubahan apapun dalam perlindungan PRT di Indonesia dan juga PRT Migran. Sebagaimana kita ketahui Indonesia adalah salah negara dengan jumlah PRT terbesar dengan 10 juta PRT lokal dan 6 juta PRT migran.

Selama 10 tahun masih terjadi terus terjadi dan bahkan semakin betambah jumlahnya atas “Sunarsih-Sunarsih” yang lain. 5 tahun dari 2007 sampai dengan 2011, tercatat 726 kasus kekerasan berat terhadap PRT di Indonesia, yang mana 536 kasus upah tak dibayar, 348 diantaranya terjadi pada PRTA, 617 kasus penyekapan, penganiayaan hingga luka berat, dan bahkan meninggal.

Berbagai kasus bisa diketahui setelah ada proses pendampingan, sebagian diketahui dan dilaporkan oleh masyarakat setelah PRT mengalami luka parah. Kasus kekerasan yang terjadi ini adalah kasus kekerasan di samping pelanggaran hak-hak mereka sebagai pekerja, seperti tidakadanya libur mingguan, larangan bersosialisasi, berkumpul, tidak ada kesepakatan yanng jelas, sehingga majikan bisa ingkar janji.

Untuk itu kami:
1. Mendesak DPR, Presiden, Menakertrans untuk segera membahas dan mewujudkan UU PRT di tahun 2011.
2. Mendesak Pemerintah untuk mendukung konvensi kerja layak PRT yang disahkan pada sesi ke-100 sidang perburuhan internasional pada Juni 2011.
3. Mendesak penetapan Hari PRT pada 15 Pebruari dan hari libur PRT.
4. Mendesak pemerintah dan DPR untuk segera meratifikasi Konvensi PBB tahun 1990 tentang perlindungan hak buruh migran dan keluarganya.
5. Mendesak revisi UU no.39 tahun 2004 tentang Penempatan Perlindungan TKI Luar Negeri berdasar Konvensi PBB tahun 1990.

15 Pebruari 2011,

Komite Aksi Pekerja Rumah Tangga
*Pernyataan sikap bersama

14 Februari 2011

Perjalanan panjang dan berliku RUU PRT

Perjalanan RUU PRT, panjang dan berliku. Penyusunan dan pengesahan UU PRT ke dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) tahun 2010 terjadi setelah bertahun-tahun kampanye oleh organisasi nasional dan internasional.


Rancangan UU yang diperoleh Amnesty International pada April 2010 dinilai tidak memenuhi standar dan hukum HAM internasional. Terutama terkait dengan perlindungan pekerja perempuan sebelum dan sesudah masa kehamilan.

Rancangan tersebut juga tidak berisikan ketentuan mengenai kebutuhan khusus perempuan, walaupun mayoritas pekerja rumah tangga di Indonesia adalah perempuan dan anak perempuan.

Pada Juni 2010, Komisi IX yang membidani isu Ketenagakerjaan dan Transmigrasi, Kependudukan serta Kesehatan dari Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI), yang bertanggungjawab atas penyusunan Undang-Undang tersebut, mengumumkan penundaan pembahasan, akibat dari perbedaan pendapat yang belum terselesaikan di antara partai politik.

Pada November 2010, Sekretaris Umum Amnesty International, Salil Shetty, mengunjungi Indonesia dan mengungkapkan perhatiannya atas perlunya perlindungan pekerja rumah tangga dalam pertemuan dengan Menteri-Menteri pemerintah RI dan sejumlah pemangku kepentingan lainnya.

Undang-Undang tersebut telah diprioritaskan lagi pada Program Legislasi Nasional 2011 namun sejauh ini belum ada perkembangan. | Press Release

Amnesty International: PRT Indonesia rentan eksploitasi

Pekerja Rumah Tangga (PRT) Indonesia yang mayoritas perempuan dan anak perempuan, akan tetap rentan terhadap eksploitasi dan perlakuan buruk, kecuali parlemen mengesahkan UU PRT, ungkap Amnesty International hari ini.


Sekarang ini, PRT tidak mendapatkan keuntungan dari perlidungan hukum dibandingkan dengan pekerja lainnya berdasarkan hukum Indonesia. “Saat Indonesia memperingati Hari Pekerja Rumah Tangga Nasional pada 15 Februari, sekitar 2,6 juta PRT tetap berada diluar perlindungan hukum,“ ujar Sam Zarifi, Direktur Asia Pasifik Amnesty International.

Saat ini, UU Ketenagakerjaan tahun 2003, yang melindungi hak-hak pekerja, mendiskriminasikan PRT. UU tersebut tidak menyediakan perlindungan yang sama selayaknya pekerja lainnya, seperti pembatasan waktu kerja dan ketentuan atas istirahat dan liburan.

Kegagalan mewujudkan UU PRT, lebih dari setahun setelah dijadikan prioritas oleh parlemen, meninggalkan para PRT rentan terhadap eksploitasi dan perlakuan buruk.

Akibatnya adalah perempuan dan anak perempuan yang menjadi PRT hidup dan bekerja dalam kondisi buruk yang jauh dari pemantauan publik. Mereka mengalami eksploitasi ekonomi, dan kekerasan fisik, psikologis dan seksual secara reguler.

“Penundaan dalam memperluas perlindungan hukum ke PRT di dalam negeri terlihat berbeda dengan langkah yang diambil pemerintah Indonesia dalam memperbaiki perlindungan hukum buruh migrannya, termasuk PRT diluar negeri. Sementara kami mendukung langkah-langkah itu, tetap tidak boleh ada standar ganda dalam perlindungan HAM,” ungkap Sam Zarifi.

Kurangnya perlindungan yang layak juga berdampak pada hak kesehatan seksual dan reproduktif yang bisa dinikmati PRT. Dalam sebuah laporan yang berjudul "Tak Ada Pilihan: Rintangan Atas Kesehatan Reproduktif di Indonesia" yang dipublikasikan tahun lalu, Amnesty International menemukan bahwa PRT berisiko kehilangan pekerjaan mereka bila mengalami kehamilan. Tanpa bentuk kompensasi apapun. Mereka juga dipaksa untuk bekerja dalam situasi yang membahayakan diri dan janin mereka.

Menjamin perlindungan hukum bagi PRT perempuan akan mendukung upaya pemerintah dalam memperkuat kesetaraan gender dan kesehatan ibu, sebagai bagian dari komitmennya atas Sasaran Pembangunan Milenium PBB (UN Millenium Development Goals).

Amnesty International menyuarakan dukungannya terhadap Jaringan Nasional Advokasi Pekerja Rumah Tangga (Jala-PRT), sebuah koalisi nasional yang telah mengkampanyekan hak-hak PRT di Indonesia. Jala-PRT bersama dengan sejumlah organisasi dan serikat buruh akan mengadakan serangkaian kegiatan diseluruh nusantara dalam memperingati Hari Pekerja Rumah Tangga Nasional | press release.

Statement for Indonesia's Domestic Workers Day

On 15 February 2011 the death of 14-year old domestic worker Sunarsih ten years ago in Indonesia will be commemorated by women workers, migrant and local domestic workers, women’s rights advocates and labour support groups all over Asia.


Committee for Asian Women (CAW) joins JALA PRT, TUNAS MULIA and all domestic workers organisations in Indonesia in remembering Sunarsih, whose cruel death at the hands of her employers brought an early end to a promising life. Sunarsih is honoured in what is now known as Indonesia’s National Day for Domestic Workers.

The country’s domestic workers population has steadily increased by millions in the last decade notably in terms of domestic workers leaving Indonesia for work in the Middle East, East Asia and Europe.

None of them are legally protected under Indonesian law or international statutes. Hundreds of thousands of domestic workers continue to live in invisible, slave-like, and dangerous working conditions in Indonesia and abroad.

In the context of international efforts to adopt labour standards for domestic work through an ILO Convention, Indonesia’s government intended to discuss a possible national legislation in parliament but by the end of 2010 this has not reached its preliminary stages. Likewise in the ILO’s 99th session Indonesia did not support a Convention on Domestic Work citing effects to its economy.

As one of Asia’s largest population of employed domestic workers locally and overseas, Indonesia is in a unique position to lead the region towards a safe, secure and progressive working environment for millions of women working in households throughout the world.

In fact the overwhelming number of Indonesians affected by issues and concerns as domestic workers must constitute the highest national priorities. Hence the appeal for protective national legislation is not only relevant but urgent.

Committee for Asian Women and the Asian Domestic Workers Network likewise call on the Indonesian government to support the adoption of a comprehensive ILO Convention on Domestic Work at the 2011 Session of the International Labour Conference in Geneva.

An international standard provides universal legal recognition of domestic workers rights wherever they are employed and therefore strengthens Indonesia’s protective mechanisms towards its citizens.

Committee for Asian Women and the Asian Domestic Workers Network strongly support domestic workers in their struggle for decent working conditions, safe and healthy occupational standards, their rights to sexual and reproductive health, and their right to organise. We salute the millions of working women who daily brave the turmoil of household labour and risking life and limb to provide for their families and their county’s economic stability.

In Solidarity,
Lucia Victor Jayaseelan
Executive Coordinator

*press release