Iman D. Nugroho
Kebebasan pers adalah barang "mahal". Itu pasti. Karena itu, mau tidak mau, harus dijaga dan tidak selayaknya dijual murah. Sedikit saja intervensi mempengaruhi media, maka itu merupakan kemunduran.
Tidak dipungkiri, setiap media pasti memiliki keterkaitan dengan kelompok tertentu. Entah itu berdimensi ekonomi, politik, sosial, budaya atau apalah! Tidak ada yang benar-benar independen.
Namun, terminologi fire wall (dinding api) untuk membatasi ruang redaksi (yang berpihak pada publik) dan kepentingan lain, hendaknya terus diingat. Ketika fire wall itu redup bahkan mati, maka, independensi pun hilang.
Pembaca dan nara sumber hendaknya juga memahami hal ini. Sehingga tidak perlu merasa aneh, bila dalam perjalanannya menemukan kondisi dimana seorang kawan yang kebetulan jurnalis, justru mengkritik dirinya atau kelompok di mana dia dekat atau bahkan tergabung di dalamnya.
Bila belum cukup "memuaskan", tengoklah UU Pers dan Kode Etik Jurnalistik (KEJ), dua "kitab suci" jurnalis. Pelajari, dan gunakan mekanisme penyelesaian sengketanya.
Sent trough BlackBerry®
03 November 2010
Butuh avatar untuk mulai melawan,..
Iman D. Nugroho
Ada perasaan berbeda ketika melihat film kartun Avatar, the Legend of Aang di Global TV, Rabu ini. Ketika para 'pengendali tanah' melakukan perlawanan pada 'pengendali api', setelah bertahun-tahun ditindas.
Pengendali Tanah adalah komunitas orang yang punya keahlian mengendalikan tanah. Gumpalan tanah itu, bisa dimanfaatkan dengan 'tenaga dalam' para Pengendali Tanah.
Namun, keahlian itu dianggap berbahaya oleh 'Pengendali Api', kerajaan yang berkuasa. Para pengendali tanah pun ditahan, dimatikan mentalnya, hingga tak punya kemampuan melawan.
Tibalah Sang Avatar Aang dkk datang, memberikan semangat dan mampu kembeli memunculkan perlawanan. Pengendali Tanah melawan! Pengendali Api yang awalnya hebat, bertekuk lutut. Pengendali Tanah pun kembali mendapatkan haknya.
Sebuah perlawanan untuk merebut kembali hak dan menumpas penguasa yang menindas, selalu memunculkan semangat. Sialnya, tak selalu mudah menemukan Avatar. :(
Sent trough BlackBerry®
Ada perasaan berbeda ketika melihat film kartun Avatar, the Legend of Aang di Global TV, Rabu ini. Ketika para 'pengendali tanah' melakukan perlawanan pada 'pengendali api', setelah bertahun-tahun ditindas.
Pengendali Tanah adalah komunitas orang yang punya keahlian mengendalikan tanah. Gumpalan tanah itu, bisa dimanfaatkan dengan 'tenaga dalam' para Pengendali Tanah.
Namun, keahlian itu dianggap berbahaya oleh 'Pengendali Api', kerajaan yang berkuasa. Para pengendali tanah pun ditahan, dimatikan mentalnya, hingga tak punya kemampuan melawan.
Tibalah Sang Avatar Aang dkk datang, memberikan semangat dan mampu kembeli memunculkan perlawanan. Pengendali Tanah melawan! Pengendali Api yang awalnya hebat, bertekuk lutut. Pengendali Tanah pun kembali mendapatkan haknya.
Sebuah perlawanan untuk merebut kembali hak dan menumpas penguasa yang menindas, selalu memunculkan semangat. Sialnya, tak selalu mudah menemukan Avatar. :(
Sent trough BlackBerry®
01 November 2010
Siapa anggota DPR yang selingkuh?
Iman D. Nugroho
"Siapa yang selingkuh di DPR?" Tiba-tiba kalimat tanya itu menyeruak dari mantan anggota DPR pada jurnalis. Ha! Memang ada? "Ada kok, saya dengar malah ada pimpinan partai politik yang melakukan pembelaan atas hal itu."
Berita perselingkungan memang selalu menarik untuk menjadi bahan pembicaraan. Seperti kata orang-orang bule, sex and conflict adalah dua hal yang memancing rasa penasaran. Tapi, bukan untuk diberitakan.
Bagi pers, hal yang menyangkut pribadi, jelas tidak layak diberitakan. Kecuali (dengan bold dan italic), bila proses perselingkungan itu dilakukan dengan menggunakan properti milik rakyat.
Misalnya, perselingkungan itu dilakukan di kantor DPR, saat jam kerja. Wajib hukumnya untuk diberitakan. Atau, perselingkungan itu membuat rapat DPR jadi terbengkalai dan porak-porandalah jadwal kerja yang sudah diagendakan. Nah! Seret pelakunya ke pemberitaan.
Tapi,sejauh itu dilakukan dengan biaya sendiri, tidak mengganggu kepentingan publik dan jauh dari hal-hal lain yang merugikan negara, tidak layak untuk dijadikan berita. Tapikan dosa? Sorry, dosa atau tidak dosa, bukan urusan media massa.
"Siapa yang selingkuh di DPR?" Tiba-tiba kalimat tanya itu menyeruak dari mantan anggota DPR pada jurnalis. Ha! Memang ada? "Ada kok, saya dengar malah ada pimpinan partai politik yang melakukan pembelaan atas hal itu."
Berita perselingkungan memang selalu menarik untuk menjadi bahan pembicaraan. Seperti kata orang-orang bule, sex and conflict adalah dua hal yang memancing rasa penasaran. Tapi, bukan untuk diberitakan.
Bagi pers, hal yang menyangkut pribadi, jelas tidak layak diberitakan. Kecuali (dengan bold dan italic), bila proses perselingkungan itu dilakukan dengan menggunakan properti milik rakyat.
Misalnya, perselingkungan itu dilakukan di kantor DPR, saat jam kerja. Wajib hukumnya untuk diberitakan. Atau, perselingkungan itu membuat rapat DPR jadi terbengkalai dan porak-porandalah jadwal kerja yang sudah diagendakan. Nah! Seret pelakunya ke pemberitaan.
Tapi,sejauh itu dilakukan dengan biaya sendiri, tidak mengganggu kepentingan publik dan jauh dari hal-hal lain yang merugikan negara, tidak layak untuk dijadikan berita. Tapikan dosa? Sorry, dosa atau tidak dosa, bukan urusan media massa.
Dari lokalisasi untuk Mentawai-Merapi
Daniel L. Rorong
Kepedulian pada bencana bisa datang di mana saja. Yang terjadi pekan lalu, di lokalisasi Kremil, Surabaya, adalah salah satunya. Mereka mengumpulkan dana untuk korban tsunami di Mentawai dari Merapi. Tampak pada gambar, salah satu anak yang memerankan korban letusan Gunung Merapi beradegan memakan roti di “tempat pengungsian”, sebagai bentuk solidaritas.
Kepedulian pada bencana bisa datang di mana saja. Yang terjadi pekan lalu, di lokalisasi Kremil, Surabaya, adalah salah satunya. Mereka mengumpulkan dana untuk korban tsunami di Mentawai dari Merapi. Tampak pada gambar, salah satu anak yang memerankan korban letusan Gunung Merapi beradegan memakan roti di “tempat pengungsian”, sebagai bentuk solidaritas.
Persembahan seniman Surabaya untuk Si Burung Merak
Diana AV Sasa
Kepergian WS Rendra, tidak membuat seniman lupa. Seniman Surabaya misalnya, memilih Kompetisi Teater Indonesia 2010 dengan tema Tribute to WS Rendra, untuk mengenang Si Burung Merak itu.
Acara mulai digelar Senin ini (1/11) di Taman Budaya Jawa Timur, Genteng Kali 85, Surabaya. Acara yang diselenggarakan Lintas Masyarakat Teater Jawa Timur dan Dewan Kesenian Surabaya itu akan dibuka oleh Gubernur Jawa Timur Soekarwo dan dimeriahkan oleh permainan musik Bambu Wukir, Angin Timur, serta penampilan khusus repertoar puisi dari Bengkel Teater Rendra.
Bengkel Teater merupakan akar Rendra berteater sejak kembali dari Amerika pada tahun 1967. Ken Zuraida, istri almarhum, mengaku bahwa penyelenggaraan kegiatan ini adalah penghormatan bagi Rendra dan keluarga besar Bengkel Teater.
Nantinya dapat dilihat sejauh mana Rendra sebagai tonggak teater modern di Indonesia dimaknai oleh masing-masing peserta melalui karya-karyanya.
Kelompok music jazzrock Angin Timur yang sebagain personilnya adalah anak didik seniman jebolan Bengkel Teater, Sawung Jabo, mengaku bahwa metode proses berkesenian yang mereka jalani bersama Jabo sebagian besar menerapkan prinsip-prinsip pengajaran di Bengkel Teater.
Kompetisi yang diikuti oleh 44 kelompok teater dari seluruh Indonesia ini akan menjadi tonggak pertama penyelenggaraan kompetisi teater di Indonesia dalam skala nasional.
Untuk memperkuat visi kompetisi, dihadirkan 5 orang juri yang masing-masing masih berproses dalam kelompok teater masing-masing. Mereka adalah Rahman Sabur (Payung Hitam Bandung), Dindon WS (Teater Kubur, Jakarta), Joko Bibit Santoso (Teater Ruang), (Afrizal Malna, pengamat) dan Rusdi Zaki (pengamat, akademisi).
Sent trough BlackBerry®
Kepergian WS Rendra, tidak membuat seniman lupa. Seniman Surabaya misalnya, memilih Kompetisi Teater Indonesia 2010 dengan tema Tribute to WS Rendra, untuk mengenang Si Burung Merak itu.
Acara mulai digelar Senin ini (1/11) di Taman Budaya Jawa Timur, Genteng Kali 85, Surabaya. Acara yang diselenggarakan Lintas Masyarakat Teater Jawa Timur dan Dewan Kesenian Surabaya itu akan dibuka oleh Gubernur Jawa Timur Soekarwo dan dimeriahkan oleh permainan musik Bambu Wukir, Angin Timur, serta penampilan khusus repertoar puisi dari Bengkel Teater Rendra.
Bengkel Teater merupakan akar Rendra berteater sejak kembali dari Amerika pada tahun 1967. Ken Zuraida, istri almarhum, mengaku bahwa penyelenggaraan kegiatan ini adalah penghormatan bagi Rendra dan keluarga besar Bengkel Teater.
Nantinya dapat dilihat sejauh mana Rendra sebagai tonggak teater modern di Indonesia dimaknai oleh masing-masing peserta melalui karya-karyanya.
Kelompok music jazzrock Angin Timur yang sebagain personilnya adalah anak didik seniman jebolan Bengkel Teater, Sawung Jabo, mengaku bahwa metode proses berkesenian yang mereka jalani bersama Jabo sebagian besar menerapkan prinsip-prinsip pengajaran di Bengkel Teater.
Kompetisi yang diikuti oleh 44 kelompok teater dari seluruh Indonesia ini akan menjadi tonggak pertama penyelenggaraan kompetisi teater di Indonesia dalam skala nasional.
Untuk memperkuat visi kompetisi, dihadirkan 5 orang juri yang masing-masing masih berproses dalam kelompok teater masing-masing. Mereka adalah Rahman Sabur (Payung Hitam Bandung), Dindon WS (Teater Kubur, Jakarta), Joko Bibit Santoso (Teater Ruang), (Afrizal Malna, pengamat) dan Rusdi Zaki (pengamat, akademisi).
Sent trough BlackBerry®
31 Oktober 2010
Ketika harus menghadapi preman perumahan
Iman D. Nugroho
Cerita ini mungkin sangat biasa untuk sebagian orang, namun sangat menyentak untuk sebagian orang lain. Aku, termasuk golongan yang kedua. Bagaimana bisa, preman menjadi sangat berkuasa di sebuah daerah, bahkan lebih berkuasa dari satpam dan polisi sekalipun?
Singkat cerita, waktu untuk pindah rumah pun tiba. Keluarga Andi, sebut saja begitu, menyewa mobil pick up dan mengangkut semua barang-barang miliknya di rumah kontrakannya di Tangerang Selatan, untuk pindah ke rumah barunya di kawasan Jombang, juga di Tangerang Selatan.
"Tolong didampingi ya, karena satpamnya biasa meminta uang Rp.350 ribu, sebagai ongkos pindahan," kata Anisa, istri Andi. "Saya sih biasanya ngeyel, tidak mau membayar, tapi Mas Andi malas ribut, dan memilih untuk membayar," tambahnya.
Entah bagaimana awalnya, satpam di perumahan barunya sangat berkuasa, bahkan untuk meminta uang dari penghuni barunya. Tidak hanya itu, ketika pihak developer melakukan pembangunan pun, satpam di perumahan yang sama meminta uang. Bila truk baru bata melintas dengan membawa batu bata misalnya, uang "pajak" yang diminta dihitung perbatu bata.
Sebelumnya, hal yang sama dialami keluarga Andi saat melakukan pengeboran air di rumahnya. Pihak satpam pun meminta sejumlah uang senilai Rp.150 ribu. Penduduk yang lain pun, sampai kini masih belum "berani" pindah rumah dengan membawa kasur spring bed dan sofa, karena palakan yang tidak masuk akal dari sang satpam.
Ternyata, tidak cuma satpam, preman kampung sekitar pun berkolaborasi dengan sang satpam untuk meminta uang. Dengan dalih ongkos kuli angkut untuk barang yang baru datang, preman-preman itu menebar keresahan bila ada penolakan. "Kalau tidak memakai kuli angkut dari kami (preman kampung-red), nanti malam pasti kita 'kerjain'," kata preman itu pada sopir pick up yang disewa Andi.
Dengan berat hati, Andi pun merogoh kocek untuk membayar preman kuli angkut itu, dan langsung membuat preman yang mengenakan topi dan jaket seragam organisasi berbasis kedaerahakan di Jakarta itu pergi. Tidak lama berselang, datang lagi preman kuli angkut, melakukan hal yang sama. "Sudah (diberiakan) tadi," katanya.
Sampai kapan premanisme perumahan itu akan terus terjadi?
Cerita ini mungkin sangat biasa untuk sebagian orang, namun sangat menyentak untuk sebagian orang lain. Aku, termasuk golongan yang kedua. Bagaimana bisa, preman menjadi sangat berkuasa di sebuah daerah, bahkan lebih berkuasa dari satpam dan polisi sekalipun?
Singkat cerita, waktu untuk pindah rumah pun tiba. Keluarga Andi, sebut saja begitu, menyewa mobil pick up dan mengangkut semua barang-barang miliknya di rumah kontrakannya di Tangerang Selatan, untuk pindah ke rumah barunya di kawasan Jombang, juga di Tangerang Selatan.
"Tolong didampingi ya, karena satpamnya biasa meminta uang Rp.350 ribu, sebagai ongkos pindahan," kata Anisa, istri Andi. "Saya sih biasanya ngeyel, tidak mau membayar, tapi Mas Andi malas ribut, dan memilih untuk membayar," tambahnya.
Entah bagaimana awalnya, satpam di perumahan barunya sangat berkuasa, bahkan untuk meminta uang dari penghuni barunya. Tidak hanya itu, ketika pihak developer melakukan pembangunan pun, satpam di perumahan yang sama meminta uang. Bila truk baru bata melintas dengan membawa batu bata misalnya, uang "pajak" yang diminta dihitung perbatu bata.
Sebelumnya, hal yang sama dialami keluarga Andi saat melakukan pengeboran air di rumahnya. Pihak satpam pun meminta sejumlah uang senilai Rp.150 ribu. Penduduk yang lain pun, sampai kini masih belum "berani" pindah rumah dengan membawa kasur spring bed dan sofa, karena palakan yang tidak masuk akal dari sang satpam.
Ternyata, tidak cuma satpam, preman kampung sekitar pun berkolaborasi dengan sang satpam untuk meminta uang. Dengan dalih ongkos kuli angkut untuk barang yang baru datang, preman-preman itu menebar keresahan bila ada penolakan. "Kalau tidak memakai kuli angkut dari kami (preman kampung-red), nanti malam pasti kita 'kerjain'," kata preman itu pada sopir pick up yang disewa Andi.
Dengan berat hati, Andi pun merogoh kocek untuk membayar preman kuli angkut itu, dan langsung membuat preman yang mengenakan topi dan jaket seragam organisasi berbasis kedaerahakan di Jakarta itu pergi. Tidak lama berselang, datang lagi preman kuli angkut, melakukan hal yang sama. "Sudah (diberiakan) tadi," katanya.
Sampai kapan premanisme perumahan itu akan terus terjadi?
