Youtube Pilihan Iddaily: CNN Indonesia
Iddaily Mobile | Dari Anda Untuk Publik
 

20 November 2009

Gholamreza Menyajikan Iran Dalam Ruang Sempit Film

Iman D. Nugroho

Bagai sutradara Gholamreza Ramezani, membuat film adalah proses menyajikan kenyataan di masyarakat. Dan semua itu harus dilakukan di antara sempitnya ruang gerak kebebasan di negaranya: Republik Islam Iran.

Ketika berbicara tentang Republik Islam Iran, bisa jadi "Islam" menjadi salah satu keyword pertama yang terlitas. Setelah itu, sang Presiden, "Mahmod Ahmadinejad" dan selanjutnya, "nuklir". Karena tiga hal itu yang seringkali muncul di media massa bila memuat berita tentang negara yang dikenal sebagai Negara Mulah atau Negara Para Ulama itu. Pernahkah terlintas keyword "film" di dalamnya?

Film karya sineas Iran memang jarang menjadi issue di dunia perfilman global. Belakangan, hanya film berjudul Children of Heaven saja yang sempat mencuri perhatian khalayak. Film karya sutradara Majid Majidi itu memang unik. Dengan tema besar kemiskinan yang disimbolkan dengan sepatu itu, mampu menembus pasar film dunia yang dikuasai Hollywood. Bahkan, memenangkan berbagai penghargaan film dunia pula.

Dunia Film Iran

Bagaimana sebenarnya dunia perfilman di Iran? Sutradara asal Iran, Gholamreza Ramezani menjelaskan semua dalam workshop di sela-sela Iranian Film Festival di Pusat Perfilman Usmar Ismail di Jakarta belum lama ini. "Di Iran, dunia perfilman juga berkembang, namun tidak semuanya dipasarkan sampai ke luar negeri," katanya. Dalalm satu tahun, kurang lebih 80 judul film dari berbagai genre dibuat di Iran.

Jumlah itu tergolong fantastis mengingat berbagai batasan yang dilakukan pemerintah Iran. Seperti kita ketahui, Iran adalah negara yang memilih untuk menjalankan syariat Islam dengan ketat. Tidak hanya itu, hubungan dengan luar negeri, khususnya AS pun pasang surut. Dalam dunia perfilman, hanya 15 persen dari seluruh film yang diputar di seluruh Iran, adalah film dari luar Iran. Selebihnya, karya asli sineas negara itu.

Meski menguasai pasar domestik, namun film karya Iran pun tidak boleh melanggar regulasi ketat yang sudah dibuat negara. Mulai tema hingga adegan yang ditayangkan. Semua hal yang berbagai melanggar kaidah Islam. Semua hal yang berbau sensual misalnya, adalah pelanggaran besar untuk disajikan. Tapi di sisi lain, justru dunia seni (khususnya perfilman) meningkat tajam.

Bagi Gholamreza Ramezani, dan mungkin seluruh sineas Iran, pengenalan kebiasaan bercerita yang didapatnya di pendidikan dasar menjadi modal utama. "Guru-guru sering meminta kami untuk berdiri di mulut gang, dan mencacat semua kejadian yang ada," kenang pria kelahiran Arak, Iran 1960 itu. Kebiasaan mencatat itu kemudian berlanjut dengan kebiasaan menulis buku harian. Tanpa disadari, hal itu menjadi dasar tumbuhnya rasa cintanya pada dunia tulis menulis naskah film.

Menjelang remaja, Gholam tertarik untuk mengasah kemampuannya berakting dengan menekuni dunia teater. Nasib membawanya lebih jauh ke dalam dunia itu. Sudah tak terhitung lagi naskah teater yang sudah dibuat, disutradarai dan dimainkannya. "Selama 10 tahun saya menggeluti teater, tapi hal itu seperti tidak memuaskan saya. Penonton mungkin puas, tapi saya tidak," kenang sutradara film Obur az Taleh yang berhasil terkenal itu.

Bapak satu anak ini pun memilih melirik film sebagai dunia baru yang akan digelutinya. Tentu saja, hal itu gampang-gampang susah. Mengingat dalam hal pembiayaan, film jauh lebih banyak dibandingkan teater. Belum lagi perangkat keras yang harus disiapkan. Semuanya harus diperlakukan secara matang sebelum proses pembuatan film dimulai. "Tapi, di sinilah saya merasa dunia saya yang sebenarnya, dunia film!" katanya.

Mendulang Sukses

Satu persatu, film besutan Gholam pun diproduksi. Beberapa film terkenal karyanya menghiasi layar lebar di Iran. Seperti Hayat (kehidupan), Ghoflsaz (tukang kunci), Charkh (roda) dan tentu saja Obur az Taleh (melewati jebakan). Tidak hanya itu, Gholam juga dipercaya untuk menyutradarai film-film serta sinetron yang diputar di televisi. Dan dari semua filmnya, film Obur az Taleh menjadi puncak prestasinya. Melalui film berdurasi dua jam itu, Gholam memperoleh penghargaan sebagai sutradara terbaik dalam sebuah festival film di Iran.

Seperti halnya kebanyakan sutradara Iran, Gholam juga memfokuskan filmnya pada eksplorasi kehidupan di Iran. Dalam bahasa lain, semua filmnya base on true story kehidupan masyarakat negeri itu. Dalam film Hayat misalnya. Gholam menceritakan kisah seorang anak perempuan Iran bernama Hayat yang ingin mengikuti ujian unggulan antar desa. Namun, keluarganya yang miskin membuat Hayat harus menjaga kedua adiknya.

Begitu juga dalam film Goflsaz atau Tukang Kunci. Di film itu, Gholam mengangkat cerita seorang ayah yang berjuang untuk membebaskan anaknya, Muhammad Ali yang ditangkap polisi. Berbagai perangkap hokum yang ditemui sang ayah, membuat film ini menjadi sangat menarik untuk diikuti. “Semua yang saya angkat dalam film-film saya memang pernah terjadi di Iran,” katanya.

Gholam juga menjadikan catatan hariannya semasa kecil menjadi salah satu inspirasi. Film Charkh misalnya. Film ini adalah kisah Gholam saat masih anak-anak di kota Arak, Iran. Sungguh, film yang setingnya dibuat tahun 60-an itu sangat sederhana. Baik tema maupun sinematographynya. Diceritakan bagaimana seorang anak bandel yang dihukum ayahnya – seorang penjual buah keliling. Dia dikunci di dalam gerobak buah milik sang ayah. Kemana pun sang ayah pergi, anak bandel ini melihat semua sisi kehidupan dari lubang kecil di antara kayu gerobak. “Film yang menarik bukan, haha?” selorohnya.

Realita

Bagi Gholam, kesederhanaan realitas kehidupan adalah hal yang mutlak harus disajikan dalam sebuah film. Karena hal itu merupakan tanggungjawab seorang sutradara untuk penonton filmnya. “Meskipun kenyataan itu pahit, ya seperti itulah yang harus disajikan,” katanya. Karena itulah, Gholam tidak ragu menyajikan sisi negative –dalam terminology barat- dalam filmnya. Seperti adegan orang tua yang mencubit anaknya atau mengatai sang anak dengan sebutan kasar. “Bagi orang tua di Iran, di balik semua hal itu, ada rasa cinta yang luar biasa pada anak-anaknya,” katanya.

Laki-laki yang selalu menghiasai wajahnya dengan mimic serius ini menyarankan sineas di manapun, termasuk di Indonesia untuk tidak pernah berhenti mengabarkan kenyataan. Meskipun hal itu, tidak sedang menjadi trend di perfilm Hollywood. “Kita harus memiliki gaya sendiri, tidak harus seperti film Hollywood,” katanya. Terlebih lagi, sutradara adalah bagian dari masyarakat tempatnya berasal dan paling paham dengan apa yang terjdi di masyarakatnya.

Khusus untuk film Indonesia, Gholam mengaku terpesona dengan film Emak Ingin Naik Haji karya sutradara muda Aditya Gumai. Dalam film yang bercerita tentang keteguhan hati seorang anak dari keluarga miskin yang akan memberangkatkan emak (ibu)-nya berangkat Haji itu, bagi Gholam, sangat dekat dengan masyarakat. Apalagi, bagi penduduk di negara yang mayoritas Islam lain, hal serupa juga banyak ditemukan. “Saya memperkirakan, film semacam ini akan mampu sukses karena seperti menyuguhkan kenyataan di masyarakat,” katanya.

19 November 2009

Kemungkinan Terburuk KPK

Iman D. Nugroho

Bisa dibilang, perjalanan kasus KPK-Polisi memang sudah separuh jalan. Bukan jalan untuk kembali menempatkan hukum di relnya yang benar, melainkan semakin menjerumuskannya ke dalam wilayah yang nista.

Inti dari rekomendasi Tim 8 kasus Bibit-Chandra sebenarnya sangat mudah dipahami: Bebaskan Bibit-Chandra dan hukum pihak-pihak yang merekayasa kasus itu. Namun sepertinya hal itu menjadi begitu rumit untuk dijalankan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Publik sama sekali tidak mengerti, apa sebenarnya hal yang membuat Presiden tidak segera mereaksi cepat, secepat mereka membentuk Tim 8 di awal-awal mencuatnya kasus ini.

Kelambanan Presiden berbanding terbalik dengan kegirasan Kejaksaan dan Kepolisian. Kejaksaan justru menganggap kasus Bibit-Chandra sudah tuntas, dan berarti siap diajukan ke pengadilan. Kepolisian malah lebih lucu. Mereka kembali "mempekerjakan" Kepala Badan Reserse Kriminal (Kabareskrim) Susno Duadji. Padahal sebelumnya Susno yang sudah jelas-jelas masuk ke dalam wilayah sengketa kasus ini sempat dinonaktifkan sebagai Kabareskrim.

Nah, berdasarkan berbagai gejala itu, sepertinya kemungkinan tidak berubahnya status Bibit-Chandra akan semakin jelas. Meski tidak ditahan, kasus mantan Ketua KPK non aktif itu akan segera masuk ke pengadilan. Apa artinya? Artinya, komisi yang bertugas untuk meranggas korupsi di Indonesia itu akan kehilangan dua jagoannya. Lantaran, mau tidak mau, Bibit Samad Riyanto dan Chandra M. Hamzah harus dicopot dari jabatannya, karena terlibat masalah hukum.

Ini jelas pukulan bagi gerakan melawan korupsi di Indonesia. Seperti kita tahu, KPK punya bertumpuk agenda pengusutan kasus. Bila dua taring KPK harus diadili, KPK menjadi tumpul. Tidak salah bila publik bertanya: mengapa penumpulan KPK dibiarkan? Apakah semua "pemain" yang terlibat di dalam kasus-kasus bidikan KPK sedang bersatu mengalahkan KPK? Dan pertanyaan kuncinya: Mengapa presiden diam saja melihat KPK dilemahkan?

Jangan-jangan,...

18 November 2009

Tema Sederhana Penggarapan Luar Biasa

Iman D. Nugroho

Dibanding Ibunya, Tetty Liz atau sang kakak, Marcella Zalianty, Olivia Zalianty memang masih muda dalam dunia film. Apalagi, gadis kelahiran Jakarta, 18 Oktober 1981 ini memilih tidak "royal" menerima setiap tawaran main sinetron yang mengalir deras ke arahnya. Namun, siapa sangka, sosok yang melejit melalui film Ada Apa Dengan Cinta (AADC) ini diam-diam menyiapkan sesuatu yang besar. "Pertengahan tahun depan, film yang Aku sutradarai akan dirilis, semoga saja," katanya.

Perjalanan Olivia menapak dunia film memang pelan tapi pasti. Saat semua bintang muda sibuk mencari sensasi melalui hal-hal sensasional, Olivia justru aktif dalam Persatuan Artis Film Indonesia atau Parfi. Di situlah, Olivia menimba berbagai ilmu dari senior-seniornya. Termasuk menjadi Ketua Panitia dalam Iranian Film Festival 2009 yang digelar di Pusat Perfilman Haji Usmar Ismail Jakarta. "Ini saatnya Aku belajar bagaimana mengeksplorasi film karya sineas Iran yang terkenal syarat makna," kata Olivia.

Di mata Olivia, film-film karya sineas Iran memang luar biasa. Di tengah situasi politik yang tidak mendukung di Iran yang hanya membuka kran 15 persen untuk film Hollywood, namun tidak membuat sineas Negeri Mulah (negeri Para Ulama) itu kehilangan akal. "Mereka kuat dalalm hal tema dan pemaknaan sebuah tema," seloroh Olivia. Tema keseharian dan penuh makna ala sineas Iran itu mampu menutup kekurangan dalam hal teknis sinematografi. "Tapi, justru tema-tema sederhana itu yang membuat pesan yang terselip di film itu menjadi gampang diterima penonton," kata artis yang juga 'Duta Anti Narkoba' ini.

Olivia membayangkan, sineas Indonesia bisa membuat film yang lebih dari itu. Apalagi, atmosfir keterbukaan di Indonesia jauh lebih lebar. Namun, katanya, justru yang terjadi malah kebalikannya. Banyak sutradara Indonesia yang tergoda untuk membuat film berdana besar, namun tidak memperdulikan tema yang membumi. "Yang terjadi kemudian, tidak ada peningkatan kualitas film Indonesia, nah, saya pikir inilah saatnya kita belajar dari film-film dan menciptakan film bertema sederhana tapi digarap dengan luar biasa," katanya

***

Indonesia-Iran Semakin Akrab

Iman D. Nugroho

Kerjasama Indonesia-Iran semakin akrab saja. Kali ini kerjasama antar dua negara semakin erat dalam dunia budaya. Dalam setahun ini, festival film Iran dilaksanakan di Indonesia. Dan Festival Film Iran terakhir ditutup Rabu (18/11) ini di Usmar Ismail, Kuningan, Jakarta. Tampak pada gambar Direktur Jenderal Nilai Budaya, Seni dan Film Departemen Budaya dan Pariwisata, Cecep Suparmen memberikan cinderamata kepada Muhammad Ali Rabbani, Cultural Calsellor embassy of The Islamic Republic of Iran.

Dicuekin di Indonesia, Diminati Luar Negeri

Iman D. Nugroho [3]

Dalam dunia industri, tidak hanyak perusahaan yang memandang temulawak sebagai bahan baku yang bisa diolah dan dilempar ke pasaran. PT. Helmigs Prima Sejahtera atau dikenal sebagai PT. Helmigs adalah salah satu perusahaan yang percaya diri menjadikan temulawak menjadi "menu utama". Perusahaan yang didirikan pada tahun 1993 itu memiliki empat produk utamanya berbahan baku temulawak. Mulai Curcumin Sugar Free, Curcumin Tablet, Curcumin plus Vitamin C dan Curcumin Candy dengan curcumin dan Xylitol.

Factory Manager Sutarko Tantra menjelaskan setiap hari bertonton extract temulawak didatangkan dari perusahaan pengekstrak temulawak untuk diproses. Dengan menggunakan bahan pembantu dan effervicient, perusahaan di bawah PT. Helmigs Jerman ini mengemas temulawak menjadi produk siap saji. "Karena kami bergerak di bidang bahan baku tradisional, maka seluruh penanganan yang kami lakukan adalah kombinasi tradisional dan modern," jelasnya.

Extract yang sudah diukur kandungan zatnya, terlebih dahulu dikeringkan di sebuah alat khusus. Baru kemudian dipacking kedalam tablet atau saset dengan mesin canggih yang didatangkan dari China. "Kami mengikuti standart dengan quality control tinggi, karena produk yang kami hasilnya dipasarkan tidak hanya di Indonesia, melainkan ke luar negeri," kata Sutarko. Mulai Singapura, Filipina, Thailand, Hong Kong, Arab, Canada, Belanda dan Korea Selatan. Selebihnya dipasarkan di Indonesia.

Sutarko menjelaskan, sebagian besar produk yang dihasilkan PT. Helmigs diekspor ke luar negeri. Berdasarkan survey pasar yang dilakukan perusahaan itu, justru orang luar negeri yang memahami arti penting mengkonsumsi temulawak. "Seperti di Korea misalnya, justru permintaan banyak datang dari sana," ketanya. Sementara di Indonesia, yang menjadi daerah asal temulawak, justru kehadiran produk temulawak tidak banyak diterima.

Pada tahun 2007 misalnya, ketika pemerintah menggalakkan Gerakan Minum Temulawak Nasional, dengan salah satu langkah strategis menjadikan temulawak sebagai welcome drink di hotel-hotel, malah tidak disambut secara baik. Hal ini berbeda dengan yang terjadi di Korea dan Malaysia. "Malaysia sekarang lagi gencar menggalakkan minuman ramuan Tongkat Ali, dengan promosi yang tidak kalah menarik, tapi temulawak, justru tidak seperti itu," katanya.