
25 Agustus 2009
Think Sport: Setia dalam Suka Duka
Jojo Raharjo [photo by yahoosport]
Harus diakui, Liga Premier Inggris merupakan kompetisi sepakbola dunia yang saat ini paling diminati, termasuk oleh para pencandu bola di Indonesia. Mungkin fenomenalnya hanya bisa ditandingi oleh La Liga, kompetisi bertabur bintang di Spanyol yang sayangnya hingga saat ini belum ada kepastian akses siaran langsung televisinya di Indonesia.

Urusan Terorisme, Apakah TNI Harus Mengambil Alih?
Iman D. Nugroho
Langkah penanganan kasus terorisme di Indonesia tiba-tiba saja memunculkan wacana pemberian tongkat estafet dari Polisi kepada Tentara Nasional Indonesia (TNI). TNI dinilai memiliki banyak kelebihan dibandingkan polisi-yang beberapa kali dinilai keliru. Bahkan ada yang meyakini, TNI mampu menyelesaikan kasus terorisme sampai tuntas. Bagaimana dengan konsep "kembali ke barak"?
***
Sebuah diskusi kecil pasca berbuka di Pancoran, Jakarta awal pekan ini berlangsung ganyeng. Saya dan seorang kawan jurnalis dari media nasional menerima "wejangan" dari seorang kawan lain yang juga mantan jurnalis majalah politik dan hukum. "Sepertinya, TNI-lah yang harus diberi kepercayaan untuk menuntaskan persoalan terorisme. Polisi terbukti tidak mampu," kata tegas. Apalagi, tambahnya, TNI tidak memiliki budaya "membisniskan" proyek keamanan.
Memang, perbincangan kecil itu tidak berarti apa-apa. Hanya saja, arah yang sama sempat mencuat di Doekoen Kafe, Pasar Minggu beberapa waktu lalu. Ketika itu, seorang pembicara yang konon dekat dengan dunia gerakan Islam itu menyarankan Kopassus TNI mengambil alih operasi pemberantasan terorisme. Seperti halnya seorang kawan mantan jurnalis, pembicara di Dokoen Kafe itu sama-sama menjadikan peristiwa pembajakan pesawat Garuda Indonesia GA-206 "Woyla" pada 28 Maret 1981.
Peristiwa itu dinilai sebagai contoh keberhasilan TNI mengatasi aksi terorisme. Itu tidak terbantahkan. Saat itu, sebuah grup Kopassus (dulu bernama Kopahasanda) di bawah komando Komandan Letnan Kolonel Infanteri Sintong Panjaitan dan Koordinator Letjen TNI LB. Moerdani berhasil melumpuhkan Commando Jihad yang membajak pesawat, tanpa ada korban satu sandera pun yang tewas. Lima pembajak, tewas di tangan pasukan Kopassus yang kini diberi nama Den 81 atau Sat 81 Gultor (Penanggulangan Terror)/ Grup 5 Kopassus.
Penjelasan singkat itu seperti tamparan pada sejarah. Bagaimana tidak, upaya "membelah" TNI dan Polisi yang dilakukan sebelum reformasi, dan menuai keberhasilan, harus kembali direvisi. TNI yang dulu sempat dipinggirkan, lantaran selama bertahun-tahun dijadikan alat Rezim Orde Baru dalam berbagai hal--terutama politik, tiba-tiba saja dianggap penting untuk kembali masuk ke wilayah keamanan sipil. "Tapi ini kebutuhan kita, polisi terbukti tidak mampu mengatasi terorisme," tegas kawan mantan jurnalis ini.
Mampu tidaknya polisi menangani terorisme, seharusnya tidak hanya dilihat dari peristiwa adanya pengeboman di Ritz Carlton dan JW Marriot dan merembet pada penyerbuan Temanggung, Jawa Tengah yang kontroversial itu. Namun, lebih dititikberatkan pada progress penanganan kasus, dalam skala yang lebih besar. Tidak ada yang membantah, figure polisi memang buruk dalam kasus terorisme terakhir ini. Namun, tidak dengan kasus Amrozi CS. Maksudnya, bagaimana polisi berhasil mengungkap peristiwa itu. Meskipun, kita sama-sama tahu, banyak celah pertanyaan menyangkut kasus Amrozi CS. Misalnya: apakah benar yang meledak di Kuta itu hanya bom mobil Amrozi? Bagaimana bisa berefek begitu dahsyat?
Kalau hal itu dianggap belum cukup, tidak ada salahnya mengingatkan kembali perlunya memisahkan urusan dalam dan luar negeri. Regulasi perundangan tentang TNI dan Polisi jelas menyatakan bahwa TNI bertanggungjawab pada hal pertahanan dari luar Indonesia, sementara Polisi mengurus persoalan dalam Indonesia. Untuk itu pula, ada pendekatan yang berbeda dalam doktrin TNI dan Polisi. Bila ini kembali diobrak-abrik, maka yang muncul kemudian kegagalan sistem.
Apa yang terbaik dilakukan? Mau tidak mau, harus ada upaya mendorong Polisi untuk meningkatkan kualitasnya. Peningkatan kualitas di sini berarti upaya mendorong kemampuan Polisi di segala bidang. Kok capek banget sepertinya--melihat figure Polisi sekarang? Memang. Tapi itulah yang harus dilakukan. Pertanyaan selanjutnya, apa yang bisa dilakukan masyarakat? Mendukung. Masyarakat harus memberikan dukungan penuh. Well, dukungan itu bisa beragam. Dari kacamata saya, dukungan itu berarti: memuji bila baik, tetap kritis dan terus mengkritik bila buruk.

***
Sebuah diskusi kecil pasca berbuka di Pancoran, Jakarta awal pekan ini berlangsung ganyeng. Saya dan seorang kawan jurnalis dari media nasional menerima "wejangan" dari seorang kawan lain yang juga mantan jurnalis majalah politik dan hukum. "Sepertinya, TNI-lah yang harus diberi kepercayaan untuk menuntaskan persoalan terorisme. Polisi terbukti tidak mampu," kata tegas. Apalagi, tambahnya, TNI tidak memiliki budaya "membisniskan" proyek keamanan.
Memang, perbincangan kecil itu tidak berarti apa-apa. Hanya saja, arah yang sama sempat mencuat di Doekoen Kafe, Pasar Minggu beberapa waktu lalu. Ketika itu, seorang pembicara yang konon dekat dengan dunia gerakan Islam itu menyarankan Kopassus TNI mengambil alih operasi pemberantasan terorisme. Seperti halnya seorang kawan mantan jurnalis, pembicara di Dokoen Kafe itu sama-sama menjadikan peristiwa pembajakan pesawat Garuda Indonesia GA-206 "Woyla" pada 28 Maret 1981.
Peristiwa itu dinilai sebagai contoh keberhasilan TNI mengatasi aksi terorisme. Itu tidak terbantahkan. Saat itu, sebuah grup Kopassus (dulu bernama Kopahasanda) di bawah komando Komandan Letnan Kolonel Infanteri Sintong Panjaitan dan Koordinator Letjen TNI LB. Moerdani berhasil melumpuhkan Commando Jihad yang membajak pesawat, tanpa ada korban satu sandera pun yang tewas. Lima pembajak, tewas di tangan pasukan Kopassus yang kini diberi nama Den 81 atau Sat 81 Gultor (Penanggulangan Terror)/ Grup 5 Kopassus.
Penjelasan singkat itu seperti tamparan pada sejarah. Bagaimana tidak, upaya "membelah" TNI dan Polisi yang dilakukan sebelum reformasi, dan menuai keberhasilan, harus kembali direvisi. TNI yang dulu sempat dipinggirkan, lantaran selama bertahun-tahun dijadikan alat Rezim Orde Baru dalam berbagai hal--terutama politik, tiba-tiba saja dianggap penting untuk kembali masuk ke wilayah keamanan sipil. "Tapi ini kebutuhan kita, polisi terbukti tidak mampu mengatasi terorisme," tegas kawan mantan jurnalis ini.
Mampu tidaknya polisi menangani terorisme, seharusnya tidak hanya dilihat dari peristiwa adanya pengeboman di Ritz Carlton dan JW Marriot dan merembet pada penyerbuan Temanggung, Jawa Tengah yang kontroversial itu. Namun, lebih dititikberatkan pada progress penanganan kasus, dalam skala yang lebih besar. Tidak ada yang membantah, figure polisi memang buruk dalam kasus terorisme terakhir ini. Namun, tidak dengan kasus Amrozi CS. Maksudnya, bagaimana polisi berhasil mengungkap peristiwa itu. Meskipun, kita sama-sama tahu, banyak celah pertanyaan menyangkut kasus Amrozi CS. Misalnya: apakah benar yang meledak di Kuta itu hanya bom mobil Amrozi? Bagaimana bisa berefek begitu dahsyat?
Kalau hal itu dianggap belum cukup, tidak ada salahnya mengingatkan kembali perlunya memisahkan urusan dalam dan luar negeri. Regulasi perundangan tentang TNI dan Polisi jelas menyatakan bahwa TNI bertanggungjawab pada hal pertahanan dari luar Indonesia, sementara Polisi mengurus persoalan dalam Indonesia. Untuk itu pula, ada pendekatan yang berbeda dalam doktrin TNI dan Polisi. Bila ini kembali diobrak-abrik, maka yang muncul kemudian kegagalan sistem.
Apa yang terbaik dilakukan? Mau tidak mau, harus ada upaya mendorong Polisi untuk meningkatkan kualitasnya. Peningkatan kualitas di sini berarti upaya mendorong kemampuan Polisi di segala bidang. Kok capek banget sepertinya--melihat figure Polisi sekarang? Memang. Tapi itulah yang harus dilakukan. Pertanyaan selanjutnya, apa yang bisa dilakukan masyarakat? Mendukung. Masyarakat harus memberikan dukungan penuh. Well, dukungan itu bisa beragam. Dari kacamata saya, dukungan itu berarti: memuji bila baik, tetap kritis dan terus mengkritik bila buruk.
Robot ITS Tembus Perdelapan Final Kompetisi Robot di Jepang
Press Release
Ajang ABU Robocon 2009 yang telah dilaksanakan tanggal 22 Agustus kemarin di Tokyo Jepang merupakan kompetisi pertandingan robot Internasional tercepat yang pernah diadakan. Meskipun tidak seperti tahun-tahun sebelumnya, perjuangan tim D4=S1 dari Politeknik Elektronika Negeri Surabaya ITS tidak kalah beratnya. Selain harus beradaptasi dengan lingkungan, mengingat bersamaan dengan pelaksanaan ibadah puasa ramadhan red, tim juga harus putar otak mengingat lawan yang mereka hadapi benar-benar merupakan tim robot terbaik di negaranya masing-masing.
“Kami minta maaf, karena tahun ini PENS belum berhasil memboyong predikat juara. Namun demikian, salutasi untuk tim telah berusaha semaksimal mungkin di lapangan dan telah berhasil masuk di perdelapan final,” tambah Ir. Dadet Pramadihanto, M.Eng, PhD, Direktur PENS yang kemarin ikut sebagai official tim Indonesia.
Sejak awal drawing seluruh tim dibagi ke dalam 7 grup dan tim Indonesia telah masuk di grup B bersama dengan Fiji dan Vietnam. Pada putaran kedua tim Indonesia ditundukkan oleh tim KNIGHT dari Vietnam yang kemudian masuk di perdelapan final mewakili grup B. Karena hanya terdapat 7 grup, akhirnya panitia memutuskan untuk menambah 1 tim wild card yang dipilih berdasarkan skor dan performa bertandingnya. Akhirnya, D4=S1 lolos menjadi tim kedelapan yang ikut diperdelapan final.
Rekor victory tercepat diraih oleh Dragon Team dari Harbin Institute of Technology yang sekaligus menjadi pemenang pada ABU Robocon 2009 dengan mengalahkan tim Sapientia dari University of Hongkong dalam waktu 19 detik. Sementara 2nd runner up diraih oleh tim KNIGHT dari University of Technical Education Ho Chi Minh City Vietnam dan tim tuan rumah, ToYoHaShi*Robocons dari Toyohashi University of Technology. 7 penghargaan lainnya jatuh pada tim dari negara Jepang (Ide terbaik), Mesir (teknik terbaik), Hongkong (desain terbaik), Thailand (Panasonic Award), Malaysia (Toyota Award), Mongolia (Mbuchi Motor Award) dan Korea (Nintendo Award). Sementara Special ABU Award dianugrahkan kepada China.
“Robot tim China sangat bagus dan cukup menarik,”tambah Dadet. Robot ini cukup stabil dalam melewati berbagai rintangan. Dengan desain yang lebih kecil, robot ini terlihat bergerak lincah dan menggunakan strategi unik dengan melintasi jalur forest (tiang) secara berlawanan dengan yang seharusnya terdapat di buku panduan. Sehingga waktu tempuh relatif lebih singkat dibandingkan jalur aslinya. Panitia pun memperbolehkan mengingat tidak ada peraturan larangan mengenai hal itu pada buku petunjuk. Sehari pasca perlombaan, panitia pun mengumumkan peraturan dan tema ABU ROBOCON 2010 mendatang yang rencananya akan diselenggarakan di Mesir.
Ajang ABU Robocon 2009 yang telah dilaksanakan tanggal 22 Agustus kemarin di Tokyo Jepang merupakan kompetisi pertandingan robot Internasional tercepat yang pernah diadakan. Meskipun tidak seperti tahun-tahun sebelumnya, perjuangan tim D4=S1 dari Politeknik Elektronika Negeri Surabaya ITS tidak kalah beratnya. Selain harus beradaptasi dengan lingkungan, mengingat bersamaan dengan pelaksanaan ibadah puasa ramadhan red, tim juga harus putar otak mengingat lawan yang mereka hadapi benar-benar merupakan tim robot terbaik di negaranya masing-masing.
“Kami minta maaf, karena tahun ini PENS belum berhasil memboyong predikat juara. Namun demikian, salutasi untuk tim telah berusaha semaksimal mungkin di lapangan dan telah berhasil masuk di perdelapan final,” tambah Ir. Dadet Pramadihanto, M.Eng, PhD, Direktur PENS yang kemarin ikut sebagai official tim Indonesia.
Sejak awal drawing seluruh tim dibagi ke dalam 7 grup dan tim Indonesia telah masuk di grup B bersama dengan Fiji dan Vietnam. Pada putaran kedua tim Indonesia ditundukkan oleh tim KNIGHT dari Vietnam yang kemudian masuk di perdelapan final mewakili grup B. Karena hanya terdapat 7 grup, akhirnya panitia memutuskan untuk menambah 1 tim wild card yang dipilih berdasarkan skor dan performa bertandingnya. Akhirnya, D4=S1 lolos menjadi tim kedelapan yang ikut diperdelapan final.
Rekor victory tercepat diraih oleh Dragon Team dari Harbin Institute of Technology yang sekaligus menjadi pemenang pada ABU Robocon 2009 dengan mengalahkan tim Sapientia dari University of Hongkong dalam waktu 19 detik. Sementara 2nd runner up diraih oleh tim KNIGHT dari University of Technical Education Ho Chi Minh City Vietnam dan tim tuan rumah, ToYoHaShi*Robocons dari Toyohashi University of Technology. 7 penghargaan lainnya jatuh pada tim dari negara Jepang (Ide terbaik), Mesir (teknik terbaik), Hongkong (desain terbaik), Thailand (Panasonic Award), Malaysia (Toyota Award), Mongolia (Mbuchi Motor Award) dan Korea (Nintendo Award). Sementara Special ABU Award dianugrahkan kepada China.
“Robot tim China sangat bagus dan cukup menarik,”tambah Dadet. Robot ini cukup stabil dalam melewati berbagai rintangan. Dengan desain yang lebih kecil, robot ini terlihat bergerak lincah dan menggunakan strategi unik dengan melintasi jalur forest (tiang) secara berlawanan dengan yang seharusnya terdapat di buku panduan. Sehingga waktu tempuh relatif lebih singkat dibandingkan jalur aslinya. Panitia pun memperbolehkan mengingat tidak ada peraturan larangan mengenai hal itu pada buku petunjuk. Sehari pasca perlombaan, panitia pun mengumumkan peraturan dan tema ABU ROBOCON 2010 mendatang yang rencananya akan diselenggarakan di Mesir.
24 Agustus 2009
Polisi Menyuburkan Stigma Islam adalah Teroris
Iman D. Nugroho
Untuk kesekiankalinya, Polisi Republik Indonesia atau Polri membuat langkah tergesa-gesa untuk menyelesaikan kasus terorisme. Setelah penyerbuan yang "over" di Temanggung Jawa Tengah, kali ini Polisi memilih untuk mengawasi para da'i penceramah yang melakukan dakwah Islam selama bulan Ramadhan. Hal ini semakin memperkuat stigma aktivitas Islam adalah teroris.
***
Jumat pertama, setelah gembong teroris Dr. Azahari tertembak di Kota Batu, Jawa Timur, sebuah penugasan meluncur dari editor sebuah media di Jakarta. "Tolong kamu awasi beberapa ceramah Jumat, menarik untuk ditulis, apa yang mereka ceramahkan," kata seorang editor. Penugasan itu unik, karena secara tidak langsung, membuktikan masih adanya image bahwa Islam versi Noordin M. Top dan Dr. Azahari (serta Jemaah Islamiyah-nya) sudah begitu besar. Bahkan, sampai masuk ke ruang-ruang dakwah Islam di masjid-masjid. Tentu saja. Hal itu jauh dari benar.
Logika itu ternyata tidak surut. Melalui Kadiv Humas, Polri Nanan Sukarna secara resmi mengumumkan akan mengawasi kegiatan dakwah Islam selama Bulan Ramadhan. Apakah artinya statemen ini? Secara gamblang, Polri menganggap ceramah agama yang dilakukan dalam Bulan Ramadhan ada kemungkinan disusupi ideologi versi terorisme. Melalui dakwah agama itu, Polri memperkirakan, para da'i kemungkinan akan mengajak atau minimal menghembuskan semangat terorisme versi "teroris" yang belakangan mulai terdefinisikan sebagai "calon pengantin" Noordin M. Top. Bagaimana polisi bisa begitu sederhana melihat aktivitas Islam?
Saya tidak akan menjelaskan tentang aliran Islam yang bermuara pada perbedaan ideologis dan stategi gerakan. Namun, hanya ingin mengingatkan kembali bagaimana pendekatan dilakukan aparat keamanan (dalam hal ini polisi) kepada aktivitas warganya. Ini kekeliruan yang paling mendasar. Polisi menilai, mengawasi kegiatan masyarakat akan bisa meminimalisir radikalisme. Logikanya justru terbalik. Sejarah membuktikan, saat Orde Baru di bawah Soeharto berkuasa, pengawasan kegiatan yang ketat akan memunculkan rejected atau penolakan kepada sistem itu. Acara diskusi "sederhana" tentang isu-isu politik pada jaman itu, berubah menjadi aktivitas subversif di mata rezim.
Hasilnya, selain rakyat makin bodoh, aparat keamanan menjadi common enemy atau musuh bersama. Radikalisme melawan aparat keamanan justru muncul. Nah, bila hal ini dilakukan polisi, bukan tidak mungkin, radikalisme umat Islam kepada polisi yang suatu saat menjadi common enemy akan terbentuk. Polisi yang seharusnya menjadi mitra masyarakat (atau sebaliknya) dalam melawan terorisme, akan berbalik. Belum lagi, ketidakpahaman aparat kepolisian tentang materi-materi ke-Islaman. Apakah ada standarisasi khusus yang diberikan kepada aparat polisi yang bertugas sebagai pengawas da'i? Misalnya, ketika da'i berbicara "Jihad melawan kebodohan", kira-kira apa terjemahan dari polisi?
Untuk kesekiankalinya, Polisi Republik Indonesia atau Polri membuat langkah tergesa-gesa untuk menyelesaikan kasus terorisme. Setelah penyerbuan yang "over" di Temanggung Jawa Tengah, kali ini Polisi memilih untuk mengawasi para da'i penceramah yang melakukan dakwah Islam selama bulan Ramadhan. Hal ini semakin memperkuat stigma aktivitas Islam adalah teroris.
***
Jumat pertama, setelah gembong teroris Dr. Azahari tertembak di Kota Batu, Jawa Timur, sebuah penugasan meluncur dari editor sebuah media di Jakarta. "Tolong kamu awasi beberapa ceramah Jumat, menarik untuk ditulis, apa yang mereka ceramahkan," kata seorang editor. Penugasan itu unik, karena secara tidak langsung, membuktikan masih adanya image bahwa Islam versi Noordin M. Top dan Dr. Azahari (serta Jemaah Islamiyah-nya) sudah begitu besar. Bahkan, sampai masuk ke ruang-ruang dakwah Islam di masjid-masjid. Tentu saja. Hal itu jauh dari benar.
Logika itu ternyata tidak surut. Melalui Kadiv Humas, Polri Nanan Sukarna secara resmi mengumumkan akan mengawasi kegiatan dakwah Islam selama Bulan Ramadhan. Apakah artinya statemen ini? Secara gamblang, Polri menganggap ceramah agama yang dilakukan dalam Bulan Ramadhan ada kemungkinan disusupi ideologi versi terorisme. Melalui dakwah agama itu, Polri memperkirakan, para da'i kemungkinan akan mengajak atau minimal menghembuskan semangat terorisme versi "teroris" yang belakangan mulai terdefinisikan sebagai "calon pengantin" Noordin M. Top. Bagaimana polisi bisa begitu sederhana melihat aktivitas Islam?
Saya tidak akan menjelaskan tentang aliran Islam yang bermuara pada perbedaan ideologis dan stategi gerakan. Namun, hanya ingin mengingatkan kembali bagaimana pendekatan dilakukan aparat keamanan (dalam hal ini polisi) kepada aktivitas warganya. Ini kekeliruan yang paling mendasar. Polisi menilai, mengawasi kegiatan masyarakat akan bisa meminimalisir radikalisme. Logikanya justru terbalik. Sejarah membuktikan, saat Orde Baru di bawah Soeharto berkuasa, pengawasan kegiatan yang ketat akan memunculkan rejected atau penolakan kepada sistem itu. Acara diskusi "sederhana" tentang isu-isu politik pada jaman itu, berubah menjadi aktivitas subversif di mata rezim.
Hasilnya, selain rakyat makin bodoh, aparat keamanan menjadi common enemy atau musuh bersama. Radikalisme melawan aparat keamanan justru muncul. Nah, bila hal ini dilakukan polisi, bukan tidak mungkin, radikalisme umat Islam kepada polisi yang suatu saat menjadi common enemy akan terbentuk. Polisi yang seharusnya menjadi mitra masyarakat (atau sebaliknya) dalam melawan terorisme, akan berbalik. Belum lagi, ketidakpahaman aparat kepolisian tentang materi-materi ke-Islaman. Apakah ada standarisasi khusus yang diberikan kepada aparat polisi yang bertugas sebagai pengawas da'i? Misalnya, ketika da'i berbicara "Jihad melawan kebodohan", kira-kira apa terjemahan dari polisi?
23 Agustus 2009
Ketika Malaysia Kembali Mengklaim Karya Asli Indonesia
Iman D. Nugroho
Entah. Terserempet setan dari mana, tiba-tiba iklan wisata Malaysia yang diberi judul "Enigmatic Malaysia" memuat Tari Pendet sebagai tarian asli Malaysia. Banyak pihak, terutama dari Indonesia, khususnya seniman Bali, memprotes hal itu. Sayangnya, hingga saat ini Pemerintah Indonesia tidak mengeluarkan nota protes mengenai hal itu. Nasionalisme Malaysia tampaknya "berlebihan", hingga merembet ke negara tetangganya,Indonesia.
Klaim lagu Rasa Sayange dan Reyog Ponorogo oleh Malaysia, sepertinya belum cukup. Kali ini Tari Pendet Bali menjadi sasaran Malaysia. Benarkah seperti itu? Soal originalitas memang rumit. Hanya saja, The Free Encyclopedia Wikipedia menuliskan, tapi Pendet berasal dari Bali, Indonesia. Bukan dari Malaysia. Berikut kutipan selengkapnya:
Tari Pendet pada awalnya merupakan tari pemujaan yang banyak diperagakan di pura. Tarian ini melambangkan penyambutan atas turunnya dewata ke alam dunia. Lambat-laun, seiring perkembangan zaman, para seniman Bali mengubah Pendet menjadi "ucapan selamat datang", meski tetap mengandung anasir yang sakral-religius.
Pendet merupakan pernyataan dari sebuah persembahan dalam bentuk tarian upacara. Tidak seperti halnya tarian-tarian pertunjukkan yang memerlukan pelatihan intensif, Pendet dapat ditarikan oleh semua orang, pemangkus pria dan wanita, kaum wanita dan gadis desa.
Tarian ini diajarkan sekedar dengan mengikuti gerakkan dan jarang dilakukan di banjar-banjar. Para gadis muda mengikuti gerakkan dari para wanita yang lebih senior yang mengerti tanggung jawab mereka dalam memberikan contoh yang baik.
Tari putri yang memiliki pola gerak yang lebih dinamis dari tari Rejang yang dibawakan secara berkelompok atau berpasangan, ditampilkan setelah tari Rejang di halaman pura dan biasanya menghadap ke arah suci (pelinggih) dengan mengenakan pakaian upacara dan masing-masing penari membawa sangku, kendi, cawan dan perlengkapan sesajen lainnya.
Entah. Terserempet setan dari mana, tiba-tiba iklan wisata Malaysia yang diberi judul "Enigmatic Malaysia" memuat Tari Pendet sebagai tarian asli Malaysia. Banyak pihak, terutama dari Indonesia, khususnya seniman Bali, memprotes hal itu. Sayangnya, hingga saat ini Pemerintah Indonesia tidak mengeluarkan nota protes mengenai hal itu. Nasionalisme Malaysia tampaknya "berlebihan", hingga merembet ke negara tetangganya,Indonesia.
Klaim lagu Rasa Sayange dan Reyog Ponorogo oleh Malaysia, sepertinya belum cukup. Kali ini Tari Pendet Bali menjadi sasaran Malaysia. Benarkah seperti itu? Soal originalitas memang rumit. Hanya saja, The Free Encyclopedia Wikipedia menuliskan, tapi Pendet berasal dari Bali, Indonesia. Bukan dari Malaysia. Berikut kutipan selengkapnya:
Tari Pendet pada awalnya merupakan tari pemujaan yang banyak diperagakan di pura. Tarian ini melambangkan penyambutan atas turunnya dewata ke alam dunia. Lambat-laun, seiring perkembangan zaman, para seniman Bali mengubah Pendet menjadi "ucapan selamat datang", meski tetap mengandung anasir yang sakral-religius.
Pendet merupakan pernyataan dari sebuah persembahan dalam bentuk tarian upacara. Tidak seperti halnya tarian-tarian pertunjukkan yang memerlukan pelatihan intensif, Pendet dapat ditarikan oleh semua orang, pemangkus pria dan wanita, kaum wanita dan gadis desa.
Tarian ini diajarkan sekedar dengan mengikuti gerakkan dan jarang dilakukan di banjar-banjar. Para gadis muda mengikuti gerakkan dari para wanita yang lebih senior yang mengerti tanggung jawab mereka dalam memberikan contoh yang baik.
Tari putri yang memiliki pola gerak yang lebih dinamis dari tari Rejang yang dibawakan secara berkelompok atau berpasangan, ditampilkan setelah tari Rejang di halaman pura dan biasanya menghadap ke arah suci (pelinggih) dengan mengenakan pakaian upacara dan masing-masing penari membawa sangku, kendi, cawan dan perlengkapan sesajen lainnya.