
21 Agustus 2009
Belajar Sedikit Kesederhanaan Suku Badui Dalam di Jakarta
Iman D. Nugroho
Modernisasi tidak selamanya bisa menggilas adat dan budaya. Kesan itu yang muncul ketika berdialog dengan Karsa, Yana dan Santa, tiga orang suku Badui Dalam yang mengunjungi kantor AJI Jakarta di Pancoran, Jumat (21/08/09) ini. "Kita berangkat Kamis minggu lalu, jalan kaki dari Badui Dalam," kata Karsa.

Me and My Family: Masih Ada Ketidaktahuan
Balgis Muhyidin
Tadi pagi saya mengantarkan putri bungsu kami ke puskesmas. Minggu lalu dia berusia sembilan bulan. Usia dimana dia sebaiknya mendapatkan imunisasi campak. Penyakit ini bahkan bisa menyebabkan kematian, khususnya jika menyerang anak yang kurang gizi atau mempunyai daya tahan rendah dan belum diimunisasi campak. Saya ke loket, mengambil nomor antrian, dipanggil dan membayar biaya registrasi sebesar Rp. 2.500. Kemudian bidan BKIA memanggil nama putri saya dan kami mendapatkan pelayanan. Tiba-tiba seorang ibu yang sedang menggendong bayi datang kepada petugas di BKIA yang sedang melakukan pencatatan dan bertanya.
Tadi pagi saya mengantarkan putri bungsu kami ke puskesmas. Minggu lalu dia berusia sembilan bulan. Usia dimana dia sebaiknya mendapatkan imunisasi campak. Penyakit ini bahkan bisa menyebabkan kematian, khususnya jika menyerang anak yang kurang gizi atau mempunyai daya tahan rendah dan belum diimunisasi campak. Saya ke loket, mengambil nomor antrian, dipanggil dan membayar biaya registrasi sebesar Rp. 2.500. Kemudian bidan BKIA memanggil nama putri saya dan kami mendapatkan pelayanan. Tiba-tiba seorang ibu yang sedang menggendong bayi datang kepada petugas di BKIA yang sedang melakukan pencatatan dan bertanya.
19 Agustus 2009
Tukar Pengalaman Perjuangan Upah Layak di Kamboja, India dan Indonesia
Iman D. Nugroho
Friedrich Ebert Stiftung (FES) menggelar workshop tentang upah layak di Jakarta, Rabu (19/08). Acara itu sekaligus merupakan tukar pengalaman perjuangan buruh di Kamboja, India dan Indonesia. Tampak pada gambar, Direktur FES Indonesia Erwin Schweisshelm (paling kiri) mendampingi Doug Miller dari International Textile Garment and Lether Workers Federation (ITGLWF) yang sedang memberikan paparan dalam acara itu.

Union Busting Masih Terjadi di Indonesia
Iman D. Nugroho
Hingga saat ini, Union Busting atau pemberangusan serikat pekerja (SP) atau serikat buruh (SB) masih terjadi di Indonesia. Ironisnya Union Busting itu juga dilakukan dengan berbagai trik-trik baru yang mengarah pada eksploitasi buruh dan menyebabkan puluhan buruh kehilangan pekerjaan ketika memperjuangkan hak-haknya. Hal itu dikatakan oleh Anwar Santro Ma'ruf Koordinator Komite Solidaritas Nasional (KSN) dalam seminar nasional buruh di Jakarta, Selasa (18/08) ini.
Union Busting di masa kini, jelas Sastro, pada umumnya dilakukan dengan dua bentuk dasar, melarang buruh untuk membentuk atau tergabung dengan SP/SB. Dan melemahkan SP/SB dengan memberikan sanksi pada aktivis SP/SB dengan intimidasi dan tindakan diskriminatif. "Semua itu dilakukan dengan beragam cara, mulai keterlibatan negara, membentuk serikat pekerja/buruh boneka hingga menolak perjanjian kerja bersama atau PKB," jelas Sastro.
Keterlibatan negara dalam union busting menurut Sastro bisa dilihat melalui Undang-Undang no.21 tahun 2000 dengan SP/SB yang melakukan pelebelan yang berbeda antara "serikat buruh" dan "serikat pekerja". Begitu juga dengan prasyarat yang sangat mudah bagi pendirian serikat pekerja. Di satu sisi hal itu bisa mendorong munculnya banyak serikat pekerja, namun di sisi lain hal itu berpotensi menciptakan serikat pekerja tandingan.
Dalam hal lain, klausul perselisihan antar serikat pekerja yang ada dalam UU no.2 tahun 2004 tentang Pernyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (PPHI), akan membuka ruang legal bagi perusahaan untuk melakukan adu domba antar serikat pekerja. Sastro juga mencium adanya upaya perusahaan untuk melakukan doktrinasi pada aktivis serikat buruh dengan mengikutkan aktivis serikat buruh itu pada pelatihan khusus. Seperti di Lembaga Pertahanan Nasional (Lemhanas). Bukan tidak mungkin, setelah pelatihan itu, maka aktivis yang bersangkutan akan mengalami disorientasi pada organisasi serikat pekerjanya.
Sementara itu, Direktur LBH Jakarta Nurkholis Hidayat menganggap penting adanya kesadaran yang merata pada aktivis serikat pekerja mengenai hal ini. Terutama kesadaran hukum tentang Union Busting. Nurkholis mengingatkan tentang ancaman serius pada pihak-pihak yang sengaja melakukan Union Busting. Dalam Pasal 43 UU Serikat Pekerja jelas disebutkan upaya Union Busting diancam sanksi pidana 1-5 tahun atau denda Rp.100-500 juta.
Sayangnya, hal itu tidak membuat upaya Union Busting terhenti. Dalam catatan LBH Jakarta, ada beberapa kejadian Union Busting akhir-akhir ini. "Seperti mutasi tidak rasional dan ancaman di Blue Bird, PHK di Lippo, indo Prima, Kompas, Polysindo dan ancaman PHK di Blue Bird dan PT. Sarana," kata Nurkholis.
Dalam hal regulasi, :LBH Jakarta mencatat adanya regulasi yang muncul dan memandulkan serikat pekerja. Seperti UU. no. 13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan dan UU no.2 tahun 2004 tentang PPHI dan Permenaker no.6 tahun 2005. "UU PPHI telah mengabaikan UU no.21 tahun 2003 tentang Pengesahan Konvensi ILO no 81 tentang Pengawasan Ketenagakerjaan dana Industri dan Perdagangan," jelas Nurkholis.
Hingga saat ini, Union Busting atau pemberangusan serikat pekerja (SP) atau serikat buruh (SB) masih terjadi di Indonesia. Ironisnya Union Busting itu juga dilakukan dengan berbagai trik-trik baru yang mengarah pada eksploitasi buruh dan menyebabkan puluhan buruh kehilangan pekerjaan ketika memperjuangkan hak-haknya. Hal itu dikatakan oleh Anwar Santro Ma'ruf Koordinator Komite Solidaritas Nasional (KSN) dalam seminar nasional buruh di Jakarta, Selasa (18/08) ini.
Union Busting di masa kini, jelas Sastro, pada umumnya dilakukan dengan dua bentuk dasar, melarang buruh untuk membentuk atau tergabung dengan SP/SB. Dan melemahkan SP/SB dengan memberikan sanksi pada aktivis SP/SB dengan intimidasi dan tindakan diskriminatif. "Semua itu dilakukan dengan beragam cara, mulai keterlibatan negara, membentuk serikat pekerja/buruh boneka hingga menolak perjanjian kerja bersama atau PKB," jelas Sastro.
Keterlibatan negara dalam union busting menurut Sastro bisa dilihat melalui Undang-Undang no.21 tahun 2000 dengan SP/SB yang melakukan pelebelan yang berbeda antara "serikat buruh" dan "serikat pekerja". Begitu juga dengan prasyarat yang sangat mudah bagi pendirian serikat pekerja. Di satu sisi hal itu bisa mendorong munculnya banyak serikat pekerja, namun di sisi lain hal itu berpotensi menciptakan serikat pekerja tandingan.
Dalam hal lain, klausul perselisihan antar serikat pekerja yang ada dalam UU no.2 tahun 2004 tentang Pernyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (PPHI), akan membuka ruang legal bagi perusahaan untuk melakukan adu domba antar serikat pekerja. Sastro juga mencium adanya upaya perusahaan untuk melakukan doktrinasi pada aktivis serikat buruh dengan mengikutkan aktivis serikat buruh itu pada pelatihan khusus. Seperti di Lembaga Pertahanan Nasional (Lemhanas). Bukan tidak mungkin, setelah pelatihan itu, maka aktivis yang bersangkutan akan mengalami disorientasi pada organisasi serikat pekerjanya.
Sementara itu, Direktur LBH Jakarta Nurkholis Hidayat menganggap penting adanya kesadaran yang merata pada aktivis serikat pekerja mengenai hal ini. Terutama kesadaran hukum tentang Union Busting. Nurkholis mengingatkan tentang ancaman serius pada pihak-pihak yang sengaja melakukan Union Busting. Dalam Pasal 43 UU Serikat Pekerja jelas disebutkan upaya Union Busting diancam sanksi pidana 1-5 tahun atau denda Rp.100-500 juta.
Sayangnya, hal itu tidak membuat upaya Union Busting terhenti. Dalam catatan LBH Jakarta, ada beberapa kejadian Union Busting akhir-akhir ini. "Seperti mutasi tidak rasional dan ancaman di Blue Bird, PHK di Lippo, indo Prima, Kompas, Polysindo dan ancaman PHK di Blue Bird dan PT. Sarana," kata Nurkholis.
Dalam hal regulasi, :LBH Jakarta mencatat adanya regulasi yang muncul dan memandulkan serikat pekerja. Seperti UU. no. 13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan dan UU no.2 tahun 2004 tentang PPHI dan Permenaker no.6 tahun 2005. "UU PPHI telah mengabaikan UU no.21 tahun 2003 tentang Pengesahan Konvensi ILO no 81 tentang Pengawasan Ketenagakerjaan dana Industri dan Perdagangan," jelas Nurkholis.
18 Agustus 2009
Ke Puncak Rasa Bersama Buku Laksmi Pamuntjak
Iman D. Nugroho
Penulis buku, Laksmi Pamuntjak melaunching Jakarta Good Food Guide (JGFG) 2008-2009 dan Update JGFG 2009-2010 di Komunitas Salihara, Jakarta, Selasa (18/08/09) ini. "Dengan keluarnya buku-buku ini, Laksmi Pamuntjak pantas mendapat sebutan Gubernur Makanan Jakarta," kata Bondan Winarno. Tampak dalam gambar, Lakmi Pamuntjak (kedua dari kanan), sedang menemani para bartender di acara itu.
