Iddaily Mobile | Dari Anda Untuk Publik
Youtube Pilihan Iddaily: Pramoedya Ananta Toer
       

22 Juli 2009

Angin Surga Berhembus Kencang di Batas Timor Leste-Indonesia

*10 Tahun Pasca Jajak Pendapat
Iman D. Nugroho dan Yemris Fointuna [untuk The Jakarta Post]

Garis kuning memudar dengan lebar sekitar 30 centimeter itu masih membelah jembatan Mota'ain, Kabupaten Belu, NTT. Meski demikian, setiap kendaraan yang tak memiliki ijin melintas garis itu tidak diperkenankan melewati garis kuning itu. Tak terkecuali, warga sipil yang ingin menjemput keluarganya.Tanpa passport dan visa, langkah harus terheni persis di garis batas ini. Dari sinilah angin surga itu berhembus.


Sejak Timor Leste memisahkan diri dengan Indonesia 10 tahun lalu pada 1999, perhatian pemerintah pusat terhadap pembangunan diperbatasan semakin meningkat. Meski hingga saat ini, kendala teknis di lapangan, seperti gangguan alat komunikasi di pos TNI yang terletak di wilayah Oepoli, Aplala dan Napan, yang berbatasan dengan Distrik Oecusi, masih sering dikeluhkan. Namun, hal itu tidak membuat Garuda Pancasila yang terpancang di gapura bertulis “Welcome to Indonesia,” kehilangan kemegahannya.

Wajah perbatasan kedua negara ini jauh berbeda. Barak pasukan pengamanan perbatasan yang dulunya dibangun darurat, telah direhab menjadi sebuah gedung yang asri. Lantai bangunan yang dulunya hanya beralaskan tanah telah kini berkeramik. Bukan hanya barak untuk 650 personel TNI saja yang dibangun mewah. Beberapa instansi pendukung seperti pos imigrasi, bea cukai, karantina hewan dan pertanian maupun pos kepolisian memiliki bangunan yang tak kalah megahnya. ”Semua bangunan ini dibangun oleh pemerintah pusat,” lanjut Dodi.

Perubahan pun terjadi pada cara petugas dalam melayani para pelintas batas. Senyum dan sapaan yang ramah, selalu terucap dari para aparat yang bertugas di pintu lintas batas tersebut. “Dulu, situasi disini (Motaain) terkesan seram. Sekarang, situasinya jauh berbeda,” kata seorang misionaris Timor Leste saat ditemui di Motaain. Memang, situasi keamanan di garis batas sepanjang 300 kilometer ini semakin kondusif. ”Saya juga selau berkomunikasi dengan pihak Policia Patrolha Fronteiras (Polisi penjaga perbatasan Timor Leste)," kata Komandan Satgas Pasukan TNI penjaga perbatasan, Letnan Kolonel Inf. Yunianto.

Di balik keindahan itu, Direktur CIS Winston Rondo melihat "sesuatu". Yakni hilangnya kebiasaan-kebiasaan humanis yang ada di sana. Seperti family meeting yang dahulu pernah ada. "Dulu ada pertemuan keluarga (family meeting) di perbatasan. Tapi sakarang sudah dilarang karena ada pungutan pungutan liar," kata Winston. Akibatnya, pertemuan keluarga itu berubah rupa dengan pertemuan sembunyi-sembunyi di sekitar perbatasan. Dengan melewati jalan-jalan setapak yang disebut "jalan tikus". TNI, kata Winston lebih baik melihat perbatasan sebagai zona damai.

"Saya selalu bilang, jangan terlalu tinggi tensinya karena akan sulit diurus, mengapa tidak membiarkan orang lewat dengan membayar USD 5 dolar, bila ada keluarga yang sakit, misalnya," jelasnya. Juga bila ada kegiatan ekonomi kecil-kecilan. Terutama pada Juni dan Agustus. Di bulan-bulan itu, orang orang eks Timtim dari kamp pengungsian menyeberang ke Timor Leste untuk panen kopi selama 1-2 bulan. Selama itu, karena tidak ada kebijakan yang humanis, kegiatan itu dilakukan secara ilegal melewati jalan-jalan tikus.

Lain Winston, lain pula Picing Palu. Laki-laki ini merasakan Mota'ain sebagai ladang rupiah dan dollar. Keinginan merantai ke Dili Timor Leste bersama isteri dan dua anaknya pun batal. Pria kelahiran Bone, Sulawesi Selatan ini melihat ada "celah ekonomi" di areal perbatasa. “Situasi disini sangat ramai. Kalau saya membuka kios, pasti jualan sangat laris karena kebanyakan kios berada diluar zona netral, kawasan yang dianggap steril bagi aktifitas warga sipil,” katanya.

Bermodalkan sedikit dana yang dibawa dari kampung halamannya, Picing, mencoba membuka usaha dengan menjual barang kebutuhan pokok. Ternyata, jualannya laris manis diserbu pembeli. “Setiap minggu, saya harus ke Atambua untuk membeli barang guna memenuhi kebutuhan para pelintas batas,” katanya. Keuntungan hasil usahanya, sebagian disimpan untuk mengembangkan usaha dan sisanya untuk investasi masa depan. Ia pun membeli tanah seluas 400 meter persegi yang hanya berjarak sekitar 20 meter dari pos lintas batas.

Di atas tanah itulah, ia membangun sebuah kios dan tempat tinggal. Rata-rata setiap hari, Picing memperoleh keuntungan sebesar Rp. 300 ribu sampai Rp.400 ribu. Berbagai jenis kebutuhan pokok dijual di sana. Mulai dari bahan makanan siap saji, minuman ringan, VCD film dan lagu-lagu populer sampai dengan pulsa handphone. “Kalau ramai, saya bisa mendapatkan keuntungan sampai dengan Rp 1 juta,” ujarnya. Saat The Jakarta Post mengunjungi perbatasan Motaain, belasan pelintas batas asal Filipina, Portugis dan Indonesia yang sementara membeli kebutuhan hidup mereka.

Kehadiran pintu lintas Batas Motaain, juga menjadi sumber rezeki bagi puluhan remaja putus sekolah, yang bermukim di wilayah itu. Hanya bermodalkan sebuah gerobak, setiap hari rata-rata remaja memperoleh keuntungan Rp.100 ribu sampai dengan Rp.300 ribu. Para remaja yang bergabung dalam kelompok Porter Mota'ain, bertugas membawa barang bawaan para pelintas batas dengan imbalan Rp.10.000 sampai dengan Rp.50 ribu. Tetapi apabila barang bawaan milik orang asing, para porter menerima imbalan dalam bentuk dollar AS. ”Biasanya kami membawa pulang sampai Rp.100 ribu lebih apabila perbatasan sangat ramai,” kata Okto Bere (27), salah satu koordinator porter. Okto mengaku, penghasilan digunakan untuk biaya hidup dan kebutuhan puteri semata wayangnya yang bersekolah di salah satu SMP swasta di Atambua.

foto dan teks foto: Iman D. Nugroho
1. Uang dollar dalam genggaman poter gerbang perbatasan Indonesia-Timor Leste
2. Pasukan penjaga perbatasan di gerbang perbatasan Mota'ain.

21 Juli 2009

Terlunta-lunta di Tanah Indah Flobamora

*10 Tahun Pasca Jajak Pendapat
Iman D. Nugroho dan Yemris Fointuna [untuk The Jakarta Post]

Maria Dacosta tiba-tiba menangis. Air mata perempuan 31 tahun itu mengalir ketika bercerita tentang nasib anaknya, Modestina de Araujo yang kini berusia 1,1 tahun. Modestina divonis dokter busung lapar dan umurnya hanya dalam hitungan hari. Mendengar itu, Maria hanya bisa pasrah. Tidak adanya biaya membuat Maria membiarkan saja Modestina menjemput nasib. "Tidak ada lagi uang, hanya mengandalkan pemberian orang sambil terus berdoa," kata Modestina yang kini tinggal menumpang di salah satu penduduk di Oebelo, Kupang Timur.


Maria Dacista bisa jadi merupakan salah satu pengungsi eks Timor Timur yang terlunta nasibnya. Sejak memutuskan untuk bergabung dengan Indonesia dan mengungsi pada tahun 1999, Maria dan keluarganya tidak pernah keluar dari jerat kemiskinan. Apalagi, ketika suaminya, Domingus Dacosta meninggal karena penyakit paru-paru, ketika keluarga itu sedang berjuang untuk mendapatkan rumah sebagai tempat tinggal. Maria pun hidup menumpang di salah satu saudaranya.

Rumah tempat perempuan asli Viqueque Timtim dan keenam anaknya tinggal pun sangat sederhana. Beratap alang-alang dan berdinding kayu reyot, rumah tumpangan yang terletak di areal resutlement itu terlihat miring ke kiri. Lantainya tanah dengan kayu-kayu lapuk sebagai peembatas ruangan. Kamar mandi terbuka terletak di bagian luar. Balai-balai kayu di bagian depan difungsikan sebagai ruang tamu dan tempat berteduh saat panas menyengat di siang hari.

Apa yang dialami Maria dan kekuarganya, menurut Winston Rondo, Direktur Center for IDP's Service (CIS) Timor-NGO yang concern dalam hal pengungsi eks Timtim- adalah gambaran dari belum tuntasnya persoalan pengungi eks Timtim.Waktu terjadinya pengungsian yang sudah bertahun-tahun berlalu membuat perhatian pemerintah kepada pengungsi pun memudar. "Dari sisi nama saja, sudah diganti dengan menyebut mereka sebagai warga baru atau WNI keturunan Timtim, ini sebutan yang melemahkan," kata Winston pada The Jakarta Post.

CIS melihat, apa yang terjadi pada pengungsi eks Timtim ini adalah upaya mempertahankan hidup semata. Mereka juga merupakan kelompok yang sudah kehabisan pilihan. Opsi kembali dan menjadi warga Timor Leste sekarang sudah tidak ada lagi. Ada traumatik dari pilihan tahun 1999 lalu. Meski di tanah baru NTT, kondisi mereka tidak lebih baik. Dalam catatan CIS, pemerintah RI pernah dengan sadar mengingkari hak-hak pengungsi dengan menghentikan bantuan kepada pengungsi pada tahun 2002.

Bantuan perumahan yang dianggap sebagai "bantuan terakhir" yang digawangi oleh banyak kementerian pemerintah RI termasuk TNI, justru banyak yang tidak bermanfaat. Pembangunan rumah memunculkan peluang adanya konflik lahan dengan warga lokal. Oebelo, Kupang adalah contoh buruk akan hal ini. Di lokasi yang awalnya dibangun dengan dana bantuan Jepang senilai Rp. 51 miliar dengan fasilitas air bersih dan gereja sebagai kompensasi untuk warga lokal ini menuai persoalan ketika rumah pengungsi dibangun sangat berdekatan.

Dalam pengamatan The Jakarta Post di lokasi resutlement di wilayah Weliura, Atambua, kondisi memang jauh dari harapan. Rumah-rumah berukuran 4x6 itu dibangun dperbukitan. Jalan masih berupa batuan kapur yang licin bila hujan menggugur wilayah itu. Tanpa listrik dan air. "Semua yang ada di sini kami penuhi secara swadaya," kata Esperanza Lopes, penduduk setempat. Termasuk sebuah sekolah sederhana yang ada di bagian tengah wilayah resutlement itu. Sekolah berdinding dan berbangku kayu lapuk. Sebagian dindingnya berlubang di makan usia. Di sekolah inilah murid-murid sekolah dasar di Weliura akan segera memulai tahun ajaran barunya tahun ini.

Persoalan juga muncul ketika para pengungsi eks Timtim bekerja untuk hidup. Bila di Timor Leste mereka punya tanah untuk digarap sebagai ladang atau sawah, tidak demikian di NTT. Mereka menyewa tanah dari penduduk lokal dan menggarapnya. Untuk pengungsi yang tidak memiliki cukup uang, hal itu jelas tidak bisa dilakukan. Belum lagi muncul stigma di masyarakat tentang sosok pengungsi eks Timtim yang merupakan orang kasar dan tanpa kompromi. Stigma itu memunculkan ketidaksenangan di masyarakat lokal. "Juga, ada kecemburuan dari masyarakat lokal kepada pengungsi eks Timtim karena sering mendapatkan bantuan, ketidaksenangan itu memunculkan penolakan," kata Dionato Moriera, staff CIS wilayah Atambua. Pernah ada program bantuan dari UNHCR berupa pengadaan perahu nelayan untuk komunitas pengungsi dari Lospalos, Baukau dan Viqueque. "Bantuan ini justru menghangatkan konflik antar kelompok" kata Winston dari CIS Timor.

Dari berbagai hal itulah, perlu adanya upaya sistematis untuk mengubah nasib pengungsi eks Timtim. Negosiasi lahan dengan pendekatan adat dengan warga lokal menjadi hal yang paling penting. Lahan dapat dipakai untuk membangun rumah agar memindahkan pengungsi dari kamp dan resutlement yang tidak layak. Negosiasi ini juga akan mengurangi terjadinya penyerobotan tanah. Pendekatan adat pulalah yang akan mengangkat posisi pengungsi menjadi lebih baik. Hingga tak ada lagi pengungsi yang terluntas seperti Maria Dacosta dan keenam anaknya.

foto dan teks foto by Iman D. Nugroho:
1. Perumahan resutlement di Weliura, Atambua, Timor Barat.
2. Maria Dacosta dan anak-anaknya.

Perjuangan Belum Berakhir Untuk Pengungsi Pro Integrasi

*10 Tahun Pasca Jajak Pendapat
Iman D. Nugroho dan Yemris Fointuna [untuk The Jakarta Post]

Bayangan hitam itu terus bertambah dekat. Mateus Guedes yang sedang sibuk mengatur rombongan pro-integrasi untuk mengungsi ke perbatasan Mota'ain menaruh curiga. Teriakan perintah untuk berhenti mengendap tidak dihiraukan. Bayangan itu tetap mendekat. Dan,..dor-dor-dor! Senapan rakitan yang saat itu dipegang Meteus pun menyalak. Bayangan itu roboh. "Saya tidak tahu, apakah tembakan itu mengenainya atau tidak, kami terus melanjutkan evakuasi," kenang Mateus Guedes, mantan anggota Aitara wilayah Dili pada The Jakarta Post.


Peristiwa 10 tahun lalu, tepatnya pada bulan September 1999 masih dikenang oleh Meteus. Saat itulah, Mateus dan puluhan ribu warga Timor Timur pro Integrasi harus rela meninggalkan tanah kelahirannya untuk mengungsi ke Nusa Tenggara Timur (NTT), provinsi tetangga Timor Timur. Jajak Pendapat yang dilakukan di Timor Timur menghasilkan kemerdekaan bagi Timor Leste. "Saat itu pilihannya hanya mengungsi, atau terbunuh," kata Mateus.

Peristiwa merdekanya Timor Timur yang sudah 23 berintegrasi dengan Indonesia sepuluh tahun lalu memang diwarnai dengan darah. Masyarakat Timor-Timur yang terbelah menjadi dua, pro integrasi dan pro kemerdekaan masing-masing saling serang. Kelompok pro integrasi dengan Indonesia terbagi dalam kelompok-kelompok Pejuangan Pembela Integrasi (PPI). Seperti Tim Alfa (Lautem), Saca/Sera (Bacau), Makikit (Vequeque), Ablai (Manufahi), AHI (Aileu), Mahidi (Ainaro), Laksaur (Covalima), Aitara (Dili), Sakunar (Ambeno), BMP (Liquisa), Hahilintar (Bobonaro), Jati Merah Putih (Lospalos) dan Darah Merah Putih (Ermera). Sementara pihak pro-kemerdekaan bersatu dengan sayap militer partai politik Timor Leste.

Tidak ada jumlah yang pasti menyangkut pengungsi pro-integrasi yang masuk ke NTT. Setidaknya, tak kurang dari 100 ribu jiwa termobilisasi masuk ke NTT saat itu. Sebagian dari mereka membuat kamp pengungsi di beberapa kawasan di Kecamatan Belu. Sementara yang lain menyebar sampai ke TTU dan ke Kupang. Mereka menempati tanah-tanah kosong yang ada di sana. Mulai lahan persawahan, stasion, laddang jagung hingga bukit-bukit. Mateo sendiri memilih tinggal di Atambua, Kecamatan Belu. Bersama keluarga besarnya yang pada tahun 1975 sudah ada yang mengungsi di tempat itu.

Masuk daerah baru, dengan kondisi nol, adalah masalah bagi pengungsi eks Timtim ketika itu.Hiruk pikuk politik nasional di Jakarta saat itu, membuat persoalan pengungsi Timtim sempat terlupakan. Tidak terhitung lagi berapa kali muncul peristiwa tragis di pengungsian dan perbatasan yang membawa korban tewas. Kehadiran pasukan lembaga baru bentukan UN ketika itu juga tidak mampun meminimalisir konflik horisontal. Dalam pertemuan di Bulan Desember 2000, Eurico Guterres (Aitara) dan Cansio Lopes de Calvalho (Mahidi) sempat meminta dengan keras kepada pemerintah pusat untuk menangani pengungsi dengan lebih serius. Waktu terus berjalan. Penanganan pengungsi yang tahun-demi tahun dilakukan melalui resutlement di beberapa tempat.

Bagaimana setelah 10 tahun berselang? Dalam sebuah pertemuan di pinggiran kota Kupang, Eurico Guterres mengumpamakan perjuangan bagi eks PPI belum juga berakhir. Kondisi para warga eks Timtim masih dipenuhi dengan kesengsaraan. "Orang di luar hanya melihat pengungsi sudah dibangunkan rumah 6x6. Program penanganan pemerintah setengah hati, pembangunan rumah tidak manusiawi, dan asal jadi," kata Eurico Tegas. Benar juga, dalam pengamatan The Jakarta Post di kamp dan resatlement Kabupaten Belum dan Kabupaten Kupang NTT, tampak sekali kondisi itu. Di wilayah Oebelo, Kupang misalnya. Para eks Timtim tinggal di rumah resutlement yang sangat sederhana. Berlantai tanah, dan beratap kayu. Beton hanya dibangun 1 meter dari tanah. Hanya ada 1 pompa untuk ratusan.

Ironisnya, tanah dan rumah itu tidak didapatkan secara gratis. Domingos Soares eks PPI yang tinggal di tempat itu mengaku harus membayar tanah yang dia miliki. Pekerjaan sebagai buruh tani membuatnya kesulitan untuk itu. "Semua uang untuk membayar rumah selama bertahun-tahun, tidak ada untuk keluarga," kata Domingos pada The Post. Akibatnya, muncul problem kesehatan di keluarga mantan pasukan Aitara itu. Anak Domingos adalah salah satu balita yang terkena penyakit kurang gizi. Problem lain adalah muncul dari pengungsi yang tinggal di tanah milik warga lokal. Selama sepuluh tahun ini, eks Timtim selalu dihadapkan pada persoalan membayar sewa tanah yang selama ini dipakei. Kalau pengungsi eks Timor Timur tidak mau membayar, mereka diminta keluar dari tanah pengungsian. "Ini tidak diketahui. Saya mau publik tahu. Harus dilakukan sesuatu untuk itu," kata Eurico Guterres.

Di Kabupaten Belu, khususnya di Atambua pun sama. Meri Djami, koordinator NGO Pengungsi CIS Atambua mengatakan, hingga saat ini ada 20 ribu pengungsi di Atambua. Sekitar 5000-an orang di ataranya masih tinggal di kamp pengungsian. "Sementara sisanya hidup di resutlement," katanya. Di wilayah ini, kata Meri, pengungsi eks Timtim setidaknya menghadati tiga persoalan besar. Yakni persoalan tanah dan tempat tinggal, persoalan stigma sebagai warga Timtim dan persoalan kecemburuan sosial. "Mereka terus menghadapi masalah ini, sementara jumlah lembaga yang peduli dengan pengungsi eks Timtim sangat minim," katanya.

Karena tidak mau terus dalam keadaan yang tidak menentu itulah, eks Timtim mulai bergerak sendiri untuk memperbaiki nasib. Salah satunya membentuk organisasi di Atambua bernama Forum Kemanusiaan Warga Negara Indonesia Eks Timor Timur Korban Keputusan Politik. Forum itu diketuai oleh Carlos Araujo Brito. Meski hanya dibentuk oleh pengungsi, forum ini tergolong maju dengan mencatatkan diri di notaris setempat. Memalui forum ini, eks Timtim di Belu mencoba mengidentifikasi jumlah secara pasti persoalan-persoalan yang dirasakan 20 ribuan anggotanya. Termasuk memberikan solusi-solusi terbaik. Sementara di Kabupaten Kupang, Eurico Guterres terus mengorganisir diri untuk membangun kapasitas warga eks Timtim untuk bisa kembali maju memperbaiki nasibnya. Eurico dkk berencana membuat buku edisi 10 tahun di pengungsian dan diserahkan secara khusus ke Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.

Sayang, perjalanan mereka pun acap kali terseok.Dalam sebuah demonstrasi di DPRD Belu yang dilakukan selama satu minggu pada tahun tahun 2008 dan berakhir bentrok, membuat pentolan Forum WNI Eks Timtim Korban Keputusan Politik ditangkap dan dipenjara. Sementara di Kupang, gerakan yang dilakukan Eurico Guterres harus berhadapat dengan ketidakkompakan warga eks Timtim. Saat Eurico mencalonkan diri sebagai anggota DPR-RI melalui PAN dalam Pemilu 2009 pun kandas. "Karakter orang Timor memang tidak bisa bersatu. Kalau bisa bersatu Timor akan jadi besar," katanya.

Meskipun dalam keadaan menderita, warga eks Timtim sudah sepakat untuk tidak meninggalkan Indonesia dan kembali ke Timtim. Meski kondisi riil lebih kondufis untuk mereka berkebun, namun sejarah masa lalu yang berdarah-darah tidak memungkinkan bagi mereka untuk kembali ke Timor Leste. "Pilihan untuk hidup di Indonesia adalah pilihan sadar saya, meski perjuangan eks PPI ternyata belum selesai sebagai warga negara Indonesia," kata Meteus.

foto dan teks foto by Iman D. Nugroho
1. Keluarga Domingos Soares di Kupang
2. Seorang eks Timtim di kuburan Emelia S. Baretto dan Agista de Jesus. Keduanya meninggal tahun 2005, karena diperkosa di hutan wilayah perbatasan, saat masuk secara ilegal ke Timor Leste.

Menggenggam Erat Adat Hingga Akhir Hayat

Iman D. Nugroho dan Yemris Fointuna
[Foto dokumentasi NGO CIS]


"Ayah saya tidak sadar, ada sebuah peluru yang mengenai hidung dan punggung kanannya. Mungkin itulah akibat Obat (jimat) yang dipakai sebelum berperang," kenang Dionato Moriera, pemuda aktivis NGO Pengungsi CIS. Ayah Dionato adalah salah satu pejuang integrasi 1975.


***

Seperti halnya daerah-daerah lain di Indonesia, dalam hal budaya, masyarakat Timor pun mengenal apa yang disebut ilmu kanuragan (tenaga dalam). Peran tenaga dalam di sini tidak bisa dilepaskan dari kepercayaan masyarakat setempat pada animisme (mengakui adanya roh-roh). Masyarakat Timor percaya, ada kekuatan di luar kekuatan manusia yang menyebabkan orang menjadi bertingkah yang tidak wajar. Juga, adanya keajaiban-keajaiban yang disebabkan oleh kekuatan-kekuatan itu. Ada beberapa nama tentang ilmu kanuragan ini. Mulai Obat (ramuan/jimat), Leu-leu (santet) dan Suwanggi (roh jahat)

Bagi masyarakat Timor, berbicara soal tenaga dalam sedikit memiliki unsur "rahasia". Hampir setiap orang yang menjelaskan soal ini, memilih untuk mengecilkan volume suaranya, dan sedikit berbisik. Salah satu narasbumber yang juga mantan anggota Aitarak, Mateus B.C Guedes mengatakan, dalam persoalan ilmu tenaga dalam, tidak bisa dilepaskan dari sejarah keturunan masing-masing keluarga. Mateus sendiri mengaku pernah memiliki keturunan leluhur yang tidak boleh makan ikan hasil laut. Itu pantangannya. Tidak jelas benar, mengapa hal itu dilakukan, yang pasti hingga kini seluruh anggota keluarganya tidak makan ikan dari laut.

Adanya Rumah Adat bagi masyarakat Timor juga memiliki kekuatan magis tersendiri. Rumah ada dipercaya sebagai rumah tempat berkumpulnya seluruh kekuatan keluarga besar. Termasuk roh-roh leluhur yang sudah mati pun berkumpul di sana. Karena sakralnya Rumah Adat, maka bila ada persoalan-persoalan keluarga, biasanya diselesaikan secara musyawarah di Rumah Adat. Tidak hanya itu, di rumah ada jugalah, tempat di mana orang Timor bisa mengambil obat (jimat) yang digunakan untuk berbagai macam hal.

Salah satu sumber anggota eks PPI, Domingos Soares mengatakan, dirinya memperoleh Obat dari rumah adat di Vequeque, Timor Timur sebelum memutuskan untuk ikut berperang di pihak pro integrasi. Meski tidak pernah merasakan secara pasti kasiat Obat yang dia kenakan, tapi Domingos yakin, Obat yang dia kenakan itu membuatnya hidup sampai sekarang. Hingga kini, Domingos masih menyimpan Obat yang didapatkan pada tahun 1999 itu. "Hampir semua kawan-kawan saya yang akan berperang juga menggunakan itu," katanya.

Mateus dari Atambua mengatakan, dirinya juga memiliki Obat berupa Sirih Pinang yang juga didapatkannya dari Rumah Adat. Saat mendapatkan Sirih Pinang itu, Mateus mengucapkan doa agar para leluhur melindungi dia dan keluarganya saat berjuang demi Indonesia. Saat berdemonstrasi untuk membela hak pengungsi di tahun 2008 yang berujung bentrok pun Mateus kembali mengenakan Sirih Pinang itu. "Mohon maaf, kalau sedang memakai itu tidak boleh sentuh istri," kata Mateus. Selain Sirih Pinang, Mateus juga membawa Kontas (rosario) untuk selalu ingat kepada Tuhan.

Selain Mateus, salah satu saudaranya, Abel, juga memakai jimat yang disebut Biru. Mateus mengaku sejak memakai itu, Abel tidak tertembus oleh peluru. Biru yang dipakai bentuknya berupa ikat kepala yang didapatnya dari hutan. "Kalau tidak salah Biru itu dia dapat dari hutan saat dirinya berburu monyet, saat monyet itu mati, berubah menjadi Biru (Jimat)," katanya.

Selain Rumah Adat, posisi pemakanan keluarga juga memiliki nilai sakral. Orang Timor percaya, dengan menjaga kuburan keluarga, maka roh yang terkubur di situ akan melindungi mereka. Mateus, salah satu sumber mengaku sampai saat ini keluarganya masih merawat kuburan yang masih dalam bentuk batu-batuan. Begitu pentingnya arti kuburan ini, membuat orang Timor rela melakukan prosesi upacara pemindahan tulang belulang keluarga untuk dikuburkan di lokasi yang dianggap tepat.

Penghormatan kepada leluhur juga dilakukan Mateus di tempatnya tinggal sekarang, di Atambua. Hingga kini, Mateus mengaku selalu memberi hormat kepada leluhur dengan memberikan rejeki yang didapatnya. "Kalau saya makan daging, sebelum saya makan, leluhur harus lebih dahulu makan. Paling kurang tiga potong daging saya simpan di di batu untuk makanan leluhur. Saya hormati kekutan-kekutan gaib dan leluhur yang ada," katanya.

20 Juli 2009

Jalan Rusak Mewarnai Jalan Kupang-Atambua

Iman D. Nugroho

Perjalanan dari Kupang menuju Atambua dan terus ke perbatasan Mota'ain diwarnai dengan rusaknya jalan dan jembatan. Seperti tampak pada gambar, suasana jalan dan jembatan rusak di wilayah Kefaminanu, NTT. Tidak ada pilihan bagi penduduk untuk melewati jalan ini karena inilah jalan besar satu-satunya yang harus dilewati.