Iman D. Nugroho
Tidak tertatanya sanitasi kota secara menyeluruh, membuat perkampungan di Kota Surabaya menghadapi persoalan sanitasi yang serius. Terutama penduduk yang tinggal di perkampungan lama. Entah itu di tengah maupun di pinggir kota. Tidak adanya program berkala oleh pemerintah kota dan tanpa kesadaran penduduk akan hal itu, memperburuk kondisi.
Demikian dikatakan Ipung Fitri Purwanti, Staf Pengajar Jurusan Lingkungan dan Peneliti Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Surabaya, pada The Jakarta Post, Rabu (6/08/08) ini di Surabaya. “Meskipun menjadi kota nomor dua di Indonesia, setelah Jakarta, sanitasi masih menjadi problem. Masih ada beberapa lokasi yang tidak punya sarana sanitasi yang memadai. Akibatnya penduduk memilih membuang sampah dan kotoran ke sungai,” kata Ipung.
Salah satu daerah yang dijadikan contoh Ipung adalah Perkampungan Keputih, Sukolilo, Surabaya Timur. Di daerah itu, katanya, masih banyak penduduk yang tidak memiliki fasilitas mandi cuci kakus (MCK), sarana air bersih dan tidak adanya kawasan hijau. “Hal ini menyedihkan, karena secara geografis, Keputih tidak jauh dari Kampus ITS Surabaya, namun kesadaran itu tidak tertular kepada warganya,” katanya.
Satu hal yang membuat sanitasi buruk adalah tidak adanya kepedulian dan program pemerintah kota untuk mengentas hal itu. Pemerintah Kota Surabaya hanya mengembar-gemborkan program lingkungan tanpa hasil. Di sisi yang lain, penduduk pun tidak memiliki kepedulian. “Ada kombinasi kesalahan yang dilakukan pemerintah, masyarakat dan kaum intelektual yang tidak membuat isu lingkungan menjadi hal penting, semakin memperburuk kondisi itu,” katanya.
Menilaian yang sama dikatakan Syaiful Munir, Ketua Komunitas Kampoeng Sawoeng, sebuah NGO yang bergerak dalam pemberdayaan perkampungan di Surabaya. Munir mengatakan, dari 33 perkampungan yang didampingi Kampoeng Sawoeng, hampir seluruhnya memiliki potret yang sama. “Semua memiliki problem sanitasi yang buruk,” kata Munir pada The Post.
Munir mencontohkan Kampung Gresikan di Surabaya Timur. Sampai sekarang, kondisi sanitasi di salah satu perkampungan padat di Surabaya ini belum terbangun. Selokan yang selalu macet karena dibersihkan satu bulan sekali, berpadu dengan tidak adanya penghijauan. “Masyarakat masih menganggap tidak perlu memperbaiki kondisi kampung, karena hal itu adalah tanggungjawab pemerintah,” katanya.
Dalam hal sanitasi, Munir mengelompokkan ada tiga problem besar, pengelolaan sampah, pengelolaan air dan MCK. Pengelolaan sampah yang dimaksud adalah sortasi sampah kering dan sampah basah. Problelm air menurutnya adalah tidak adanya mind set penghematan air. Sementara persoalan MCK lebih pada kebiasaan masyarakat pinggir sungai yang masih saja gemar membuang sampah rumah tangga ke sungai. “Masih belum tersentuh upaya manfaat air tanah, misalnya deperti di daerah Jambangan Surabaya yang sudah membuat bio-pori (pori-pori bumi),” katanya.
Tidak adanya manfaat yang langsung bisa dirasakan serta tidak adanya mereka informasi, membuat masyarakat abai akan hal itu. Belum lagi persoalan kepadatan. Dari daerah yang didampingi Kampoeng Sawoeng, yang paling parah daerah Kampung Tambaksari, Kampung Wonosari dan Kampung Wonokusumo. “Kampung-kampung itu adalah daerah padat penduduk, mereka tidak punya ruang berinisiatif, karena pendidikan rendah yang membuat kesadaran tidak muncul dan tidak cepat menangkap inisiatif itu,” katanya.
Karena kondisi itulah Munir mengatakan, sejak pertama kali mendampingi kawasan perkampungan pada tahun 2005 hingga sekarang, Kampoeng Sawoeng melakukan strategi yang berbeda. Pada awal tahun, Kampoeng Sawoeng mencoba mengubah prilaku anak-anak yang menjadi “masa depan” kampung itu. Bersama sekolah-sekolah, Kampoeng Sawoeng menggelar workshop menanam dan melukis. Ekstrakulikuler itu dilakukan setiap hari sabtu. “Hingga tiga tahun berjalan, beberapa sekolah masih menginginkan program itu terus dilakukan,” kata Munir.
Tahun 2006-2007, di samping meneruskan pelatihan anak-anak, fokus garapan Kampoeng Sawoeng diperlebar dengan meningkatkan kepedulian warga perkampungan. Intinya adalah penguatan komunitas melalui diskusi-diskusi dan partisipasi langsung dari masyarakat. Bentuknya, penanganan sampah dan penghijauan. Dari program itu, jumlah kampung dampingan yang awalnya “hanya” 15 kampung, bertambah menjadi 33 kampung. “Baru tahun ini masuk pada program perbaikan sanitasi,” katanya.
Pengelolaan air adalah fokus utama. Yakni dengan mendorong pembuatan lubang ke di tanah yang disebut sebagai bio-pori. Dengan bio-pori, air akan mengalir ke dalam tanah dan terikat oleh struktur tanah. “Jumlah air yang tumpah ke selokan akan lebih sedikit, karena air juga akan masuk ke dalam tanah dan menjadi air tanah,” kata Munir.
Meski terlihat sederhana, namun sosialisasi bio-pori memiliki kesulitan tersendiri. Terutama kesulitan teknis pengeboran. Harus ada campur tangan pemerintah dan lembaga funding untuk merealisasikan hal itu. “Ini lebih berat dari penghijauan, lagi-lagi, seperti yang saya katakan di awal, manfaat air tanah tidak bisa langsung dirasakan,” katanya.
Siswanto, warga Kampung Klampis Ngasem adalah salah satu warga yang “menunggu-nunggu” pelaksanaan program sanitasi Kampoeng Sawoeng dilaksanakan. Budaya penggunaan air di kampungnya, membuat Ketua RW 1 Kampung Klampis ini merasa perlu adanya pengelolaan air. “Dari pada air yang sudah digunakan dibuang., kan lebih baik diproses untuk bisa digunakan kembali,” katanya.
06 Agustus 2008
02 Agustus 2008
Kegelisahan Demi Kegelisahan
Anita Rachman
TIDAK ada yang tetap, semua berubah. Yang tetap cuma ketetapan perubahan dan perubahan ketetapan. Kalimat-kalimat itu ditulis oleh Tan Malaka dalam bukunya, yang digilai kaum marxis tanah air, Materialisme Dialektika Logika (Madilog). Pria jenius yang kecewa terhadap Islam itu sedang mengulas unsur atom dan partikelnya, tapi sudah barang tentu dia juga menyindir hidup.
Saya percaya apa yang dikatakan Tan Malaka benar. Seperti juga kepercayaan saya akan pergeseran definisi jurnalis menjadi wartawan atau reporter adalah sahih. Definis jurnalis sejatinya bergeser. Kala itu yang disebut jurnalis adalah mereka yang menulis jurnal-jurnal ilmiah, untuk kemudian diterbitkan dalam bahasa dan model yang formal. Seperti Charles Dickens.
Seiring almanak berganti, terutama pada abad ke 19, istilah itu melebar. Jurnalis tak hanya mereka yang menulis jurnal, tapi juga mereka yang mempraktikkan (apa yang kemudian disebut) ilmu jurnalistik. Jurnalis adalah mereka yang mengumpulkan data dan lantas menuliskannya dalam sebuah tulisan. Mereka tak dibatasi tembok dalam bekerja, tak juga diikat dasi atau rok mini saat bertugas, atau diatur untuk menyantap makan siang mulai pukul 12.00 hingga 13.00. Jurnalis adalah mereka yang bebas.
Namun bukan kebebasan absolut yang mereka punya; jurnalis yang tak perlu memakai dasi dan rok mini saat bekerja itu diikat sebuah ikrar berbentuk kode etik: benar, jujur, berimbang, serta beretika. Yang terakhir adalah bukan sembarang kode. Etika datangnya jauh dari kata ethikos milik Yunani yang berarti moralitas, cabang dari ilmu filsafat, yang berkaitan dengan sifat baik, buruk, serta tanggung jawab. Jurnalis, yang boleh makan siang pukul 10.00 atau mandi pukul 13.00, adalah mereka yang diminta beretika.
Seperti Graham Green atau Hemingway, jurnalis yang juga novelis, bebas merokok pukul 11.05, atau buang air besar pukul 13.35, menguap pukul 14.20, dan tetap beretika sepanjang hari. Di suatu tempat bernama Amerika Serikat, segala sesuatunya selalu tampak serba mudah dan murah. Bertolak dengan alam Pertiwi, di mana masih sering kita jumpai lalat berpantat hijau hinggap di sedotan es teh kita, segalanya serba susah dan mahal, tak terkecuali etika. Satu-satunya kekang seorang jurnalis.
Seperti siang itu, ketika saya melihat tali-tali etika dilepaskan oleh satria-satria pena, demi sebuah amplop.
Sungguh, bagai menyaksikan drama, lagi-lagi saya terperangah (walau saya sudah sering menghadapinya) dengan prosesi amplop. Kejadiannya acap kali berlangsung lama namun rapi. Saya dapat membaca alur dan adegan pembukanya, lantas konflik, klimaks, hingga antiklimaksnya. Seperti siang itu, di sebuah instansi milik pemerintah (yang juga berarti kepunyaan rakyat) di mana semua orang memakai setelan berwarna cokelat, dan menunduk-nunduk pada seorang pria yang juga bersetelan cokelat dan memakai plakat nama.
Siang itu, mulanya, kami ngobrol biasa saja. Kami berbincang tentang jumlah ini di propinsi ini, dan dana untuk melakukan itu di daerah itu, lalu tujuan melakukan kegiatan tersebut serta capaian yang dimaksud. Kami mendengar dan mencatat, sesekali menengok ke arah Bapak Bersetelan Cokelat penuh perhatian. Di pulau bagian timur ini, memang hanya dia yang punya data semacam rupa.
Berselang cukup lama, cangkir-cangkir teh lantas disuguhkan, kami diminta dengan hormat untuk menenggaknya. Sampai seorang pria berkumis, juga bersetelan cokelat, lantas berdiri dan mencatat. Mengamati kami para kuli tinta dengan seksama. Di bukunya, dia menuliskan nama dan angka, lalu menerawang menghitung. Ini adalah opening, yang membikin perut mual.
Sepuluh menit kemudian adegan mulai berirama. Guyonan-guyonan kering mengalir dari Bapak Bersetelan Cokelat. Dan para kuli pun tertawa renyah, menertawai guyonan Sang Bapak yang tak lucu. Tentang kesukaannya pada singkong dan kacang-kacang tanah yang direbus. Seorang kawan berkomentar, memuji Sang Bapak yang tetap rendah hati: meski sudah tinggi jabatan, tak hilang pula kesukaan pada makanan tanah. Rising Act.
Bapak Bersetelan Cokelat masih berbicara, saat lima menit kemudian kawan bersandal berpamitan pulang. Ada urusan penting sedang menunggu di luar sana, tuturnya. Bapak lantas melirik Pak Kumis, matanya berkedip. Itu sebuah kode, sebuah perintah: lepas kekangnya.
Ini konflik. Pak Kumis maju ke depan, sedikit berlari mengejar kawan. Amplop panjang berwarna coklat merangsek masuk ke dalam tas kawan bersandal. Sekilas aksi penolakan berlangsung, meski (tentu saja, Tuhan) gagal. Pak Kumis berhasil melepas tali kekang kawan bersandal. Seulas senyum dan anggukan Pak Kumis membuat mata Sang Bapak bersinar.
Kawan bersandal sudah di seberang pintu, tapi telinganya mungkin masih menangkap suara. Derak-derak sepatu Pak Kumis ketika berkeliling ruangan sambil membagi amplop panjang berwarna cokelat. Dia menjatuhkan amplop sambil menutup mata. Mereka yang menerima hanya membuka mulut, lantas mengatupkanya kembali. Terdengar seulas ucapan: terima kasih.
Ini anti klimaks. Ritual tahu sama tahu. Tali-tali kekang sudah terlepas. Mata-mata saling memandang. Saya dan dia yang menolak, dan mereka yang berterima kasih. Mata-mata tetap saling memandang. Semuanya telah bergeser. Dan Tan Malaka tak salah. Semuanya berubah.
Saya tak pernah membaca buku kode etik, mungkin begitu juga dengan kawan bersandal. Tapi tak tahukah kawan bersandal, bahwa kekang tak boleh lepas dari pundak. Karena kekang adalah jelmaan objektivitas. Kekang adalah rakyat dan amanat. Kekang adalah dialog yang utuh.
Ah, terlalu muluk saya berharap, agar kawan bersandal melihat rona merah di pipi saya ketika amplop menjejal masuk ke dalam ranselnya. Adalah mimpi meminta Tan Malaka menulis: ada yang tak pernah berubah dari dunia. Para kuli tinta yang selalu sigap menggendong kekang. Para kuli tinta yang selalu menjaga etika. Adalah mimpi.
TIDAK ada yang tetap, semua berubah. Yang tetap cuma ketetapan perubahan dan perubahan ketetapan. Kalimat-kalimat itu ditulis oleh Tan Malaka dalam bukunya, yang digilai kaum marxis tanah air, Materialisme Dialektika Logika (Madilog). Pria jenius yang kecewa terhadap Islam itu sedang mengulas unsur atom dan partikelnya, tapi sudah barang tentu dia juga menyindir hidup.
Saya percaya apa yang dikatakan Tan Malaka benar. Seperti juga kepercayaan saya akan pergeseran definisi jurnalis menjadi wartawan atau reporter adalah sahih. Definis jurnalis sejatinya bergeser. Kala itu yang disebut jurnalis adalah mereka yang menulis jurnal-jurnal ilmiah, untuk kemudian diterbitkan dalam bahasa dan model yang formal. Seperti Charles Dickens.
Seiring almanak berganti, terutama pada abad ke 19, istilah itu melebar. Jurnalis tak hanya mereka yang menulis jurnal, tapi juga mereka yang mempraktikkan (apa yang kemudian disebut) ilmu jurnalistik. Jurnalis adalah mereka yang mengumpulkan data dan lantas menuliskannya dalam sebuah tulisan. Mereka tak dibatasi tembok dalam bekerja, tak juga diikat dasi atau rok mini saat bertugas, atau diatur untuk menyantap makan siang mulai pukul 12.00 hingga 13.00. Jurnalis adalah mereka yang bebas.
Namun bukan kebebasan absolut yang mereka punya; jurnalis yang tak perlu memakai dasi dan rok mini saat bekerja itu diikat sebuah ikrar berbentuk kode etik: benar, jujur, berimbang, serta beretika. Yang terakhir adalah bukan sembarang kode. Etika datangnya jauh dari kata ethikos milik Yunani yang berarti moralitas, cabang dari ilmu filsafat, yang berkaitan dengan sifat baik, buruk, serta tanggung jawab. Jurnalis, yang boleh makan siang pukul 10.00 atau mandi pukul 13.00, adalah mereka yang diminta beretika.
Seperti Graham Green atau Hemingway, jurnalis yang juga novelis, bebas merokok pukul 11.05, atau buang air besar pukul 13.35, menguap pukul 14.20, dan tetap beretika sepanjang hari. Di suatu tempat bernama Amerika Serikat, segala sesuatunya selalu tampak serba mudah dan murah. Bertolak dengan alam Pertiwi, di mana masih sering kita jumpai lalat berpantat hijau hinggap di sedotan es teh kita, segalanya serba susah dan mahal, tak terkecuali etika. Satu-satunya kekang seorang jurnalis.
Seperti siang itu, ketika saya melihat tali-tali etika dilepaskan oleh satria-satria pena, demi sebuah amplop.
Sungguh, bagai menyaksikan drama, lagi-lagi saya terperangah (walau saya sudah sering menghadapinya) dengan prosesi amplop. Kejadiannya acap kali berlangsung lama namun rapi. Saya dapat membaca alur dan adegan pembukanya, lantas konflik, klimaks, hingga antiklimaksnya. Seperti siang itu, di sebuah instansi milik pemerintah (yang juga berarti kepunyaan rakyat) di mana semua orang memakai setelan berwarna cokelat, dan menunduk-nunduk pada seorang pria yang juga bersetelan cokelat dan memakai plakat nama.
Siang itu, mulanya, kami ngobrol biasa saja. Kami berbincang tentang jumlah ini di propinsi ini, dan dana untuk melakukan itu di daerah itu, lalu tujuan melakukan kegiatan tersebut serta capaian yang dimaksud. Kami mendengar dan mencatat, sesekali menengok ke arah Bapak Bersetelan Cokelat penuh perhatian. Di pulau bagian timur ini, memang hanya dia yang punya data semacam rupa.
Berselang cukup lama, cangkir-cangkir teh lantas disuguhkan, kami diminta dengan hormat untuk menenggaknya. Sampai seorang pria berkumis, juga bersetelan cokelat, lantas berdiri dan mencatat. Mengamati kami para kuli tinta dengan seksama. Di bukunya, dia menuliskan nama dan angka, lalu menerawang menghitung. Ini adalah opening, yang membikin perut mual.
Sepuluh menit kemudian adegan mulai berirama. Guyonan-guyonan kering mengalir dari Bapak Bersetelan Cokelat. Dan para kuli pun tertawa renyah, menertawai guyonan Sang Bapak yang tak lucu. Tentang kesukaannya pada singkong dan kacang-kacang tanah yang direbus. Seorang kawan berkomentar, memuji Sang Bapak yang tetap rendah hati: meski sudah tinggi jabatan, tak hilang pula kesukaan pada makanan tanah. Rising Act.
Bapak Bersetelan Cokelat masih berbicara, saat lima menit kemudian kawan bersandal berpamitan pulang. Ada urusan penting sedang menunggu di luar sana, tuturnya. Bapak lantas melirik Pak Kumis, matanya berkedip. Itu sebuah kode, sebuah perintah: lepas kekangnya.
Ini konflik. Pak Kumis maju ke depan, sedikit berlari mengejar kawan. Amplop panjang berwarna coklat merangsek masuk ke dalam tas kawan bersandal. Sekilas aksi penolakan berlangsung, meski (tentu saja, Tuhan) gagal. Pak Kumis berhasil melepas tali kekang kawan bersandal. Seulas senyum dan anggukan Pak Kumis membuat mata Sang Bapak bersinar.
Kawan bersandal sudah di seberang pintu, tapi telinganya mungkin masih menangkap suara. Derak-derak sepatu Pak Kumis ketika berkeliling ruangan sambil membagi amplop panjang berwarna cokelat. Dia menjatuhkan amplop sambil menutup mata. Mereka yang menerima hanya membuka mulut, lantas mengatupkanya kembali. Terdengar seulas ucapan: terima kasih.
Ini anti klimaks. Ritual tahu sama tahu. Tali-tali kekang sudah terlepas. Mata-mata saling memandang. Saya dan dia yang menolak, dan mereka yang berterima kasih. Mata-mata tetap saling memandang. Semuanya telah bergeser. Dan Tan Malaka tak salah. Semuanya berubah.
Saya tak pernah membaca buku kode etik, mungkin begitu juga dengan kawan bersandal. Tapi tak tahukah kawan bersandal, bahwa kekang tak boleh lepas dari pundak. Karena kekang adalah jelmaan objektivitas. Kekang adalah rakyat dan amanat. Kekang adalah dialog yang utuh.
Ah, terlalu muluk saya berharap, agar kawan bersandal melihat rona merah di pipi saya ketika amplop menjejal masuk ke dalam ranselnya. Adalah mimpi meminta Tan Malaka menulis: ada yang tak pernah berubah dari dunia. Para kuli tinta yang selalu sigap menggendong kekang. Para kuli tinta yang selalu menjaga etika. Adalah mimpi.
01 Agustus 2008
Hasil Rekapitulasi Mensyaratkan Putaran Kedua Pilkada Jatim
Iman D. Nugroho
Hasil rekapitulasi hasil Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Langsung Gubernur Jawa Timur 2008 mensyaratkan adanya putaran kedua. Kandidat Khofifah Indar Parawansa-Mudjiono dan Soekarwo-Syaifullah Yusuf menempati urutan dua besar, sekaligus akan "bertarung" dalam putaran kedua.
Dalam rekapitulasi yang dilakukan di Komisi Pemilihan Umum (KPU) Jawa Timur Jumat (1/08/08) ini kandidat nomor urut 1, Khofifah Indar Parawansa dan Mudjiono atau KAJI mendapatkan 4,2 juta suara atau 24,82 persen. Kandidat nomor 2 Soetjipto dan Ridwan Hisjam atau SR, mendapatkan 3,6 juta suara atau 21,18 persen. Kandidat Soenarjo dan Ali Maschan Moesa atau SALAM, mendapatkan 3,2 juta suara atau 19,34 persen.
Kandidat Achmadi-Soehartono atau ACHSAN memperoleh 1,3 juta suara atau 8,21 persen dan Soekarwo-Syaifullah Yusuf memperoleh 4,4 juta suara atau 26,43 persen. "Berdasarkan hasil rekapitulasi itu, maka secara hukum akan dilakukan putaran kedua," kata Ketua KPU Jawa Timur Wahyudi, usai rekapitulasi dilakukan. Dalam perhitungan itu, jumlah suara sah 17.014.266 suara, dan tidak sah tercatat 895,045 suara, dari Daftar Pemilih Tetap (DPT) berjumlah 29.061.718 suara.
Dalam rekapitulasi itu, semua saksi dari kandidat gubernur Jawa Timur menerima pelaksanaan pilgub dan rekapitulasi. Bambang Yudhono dari saksi SR mengatakan adanya penterjemahan kampanye yang berbeda antara KPU Jatim dan Panwas Jawa Timur. "Perbedaan penterjemahan kampanye itu harus menjadi catatan pelaksanaan pilgub kedepan, meskipun padaprinsipnya kami menerima," kata Bambang.
Hasil rekapitulasi hasil Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Langsung Gubernur Jawa Timur 2008 mensyaratkan adanya putaran kedua. Kandidat Khofifah Indar Parawansa-Mudjiono dan Soekarwo-Syaifullah Yusuf menempati urutan dua besar, sekaligus akan "bertarung" dalam putaran kedua.
Dalam rekapitulasi yang dilakukan di Komisi Pemilihan Umum (KPU) Jawa Timur Jumat (1/08/08) ini kandidat nomor urut 1, Khofifah Indar Parawansa dan Mudjiono atau KAJI mendapatkan 4,2 juta suara atau 24,82 persen. Kandidat nomor 2 Soetjipto dan Ridwan Hisjam atau SR, mendapatkan 3,6 juta suara atau 21,18 persen. Kandidat Soenarjo dan Ali Maschan Moesa atau SALAM, mendapatkan 3,2 juta suara atau 19,34 persen.
Kandidat Achmadi-Soehartono atau ACHSAN memperoleh 1,3 juta suara atau 8,21 persen dan Soekarwo-Syaifullah Yusuf memperoleh 4,4 juta suara atau 26,43 persen. "Berdasarkan hasil rekapitulasi itu, maka secara hukum akan dilakukan putaran kedua," kata Ketua KPU Jawa Timur Wahyudi, usai rekapitulasi dilakukan. Dalam perhitungan itu, jumlah suara sah 17.014.266 suara, dan tidak sah tercatat 895,045 suara, dari Daftar Pemilih Tetap (DPT) berjumlah 29.061.718 suara.
Dalam rekapitulasi itu, semua saksi dari kandidat gubernur Jawa Timur menerima pelaksanaan pilgub dan rekapitulasi. Bambang Yudhono dari saksi SR mengatakan adanya penterjemahan kampanye yang berbeda antara KPU Jatim dan Panwas Jawa Timur. "Perbedaan penterjemahan kampanye itu harus menjadi catatan pelaksanaan pilgub kedepan, meskipun padaprinsipnya kami menerima," kata Bambang.
31 Juli 2008
Dokter Jiwa: Ryan Tidak Mengalami Gangguan Jiwa
Iman D. Nugroho
Hasil pemeriksaan kesehatan jiwa Kepolisian Polda Jawa Timur terhadap Verry Idam Henyansyah atau Ryan, pemuda yang diduga melakukan pembunuhan berantai terhadap 11 orang, menunjukkan bahwa Ryan tidak mengalamo gangguan jiwa. Artinya, Ryan dalam kondisi sadar saat melakukan pembunuhan yang dituduhkan kepadanya. Hal itu dikatakan AKBP. Dr. Rony Subagyo, Spesialis Kedokteran Jiwa Polda Jatim, Kamis (31/07/08) di Mapolda Jatim.
“Tidak ada tanda adanya gangguan jiwa berat. Daya nilai realitas, baik dan normal. Berarti apa yang dilakukan, disadari dan dipahami, termasuk akibat dan konsekuensi dari perbuatan itu,” kata Rony Subagyo. Dokter juga menemukan ciri kepribadian yang sensitif, mudah tersinggung dan mudah marah. Dalam melampiaskan kemarahannya itu, bentuknya impulsif dan agresif. Seperti melempar, membanting dan memukul.
Sifat Ryan yang demikian, menurut Rony disebabkan karena dinamika kehidupan keluarga yang sering diwarnai dengan cek-cok. Sang Ibu, Kasiyatun, yang sehari-hari dominan dalam perkawinan, membentuk Ryan menjadi pemarah, agresif dan membenci wanita. “Karena itulah, Ryan akhirnya tumbuh menjadi homoseksual, dalam hal ini Ryan senang menjadi sosok wanita,” kata Rony. Terlebih, sejak kecil Ryan juga tidak mendapatkan perhatian.
Dalam pemeriksaan terhadap Kasiyatun pun ditemukan hasil yang cenderung sama. Ibu Ryan yang memiliki sifat sensitif, mudah tersinggung dan mudah marah. Meski begitu, Rony meyakinkan tidak adanya keterkaitan antara orientasi seksual Ryan dengan perbuatan yang dilakukannya.
Dalam proses pemeriksaan, kata Rony, Ryan sering menunjukkan prilaku pura-pura gila Ryan ingin kelihatan tidak normal atau sakit. Untungnya dokter bisa mengetahui hal itu. “Dalam kasus Ryan, tidak ada penyesalan, karena itulah tidak ada perubahan setelah dia melakukan pembunuhan yang pertama,” katanya.
Sementara itu, indikasi masih adanya 4-5 mayat lain dan kemungkinan keterlibatan pihak ketiga (keluarga) itulah, yang membuat pihak Kepolisian Daerah Jawa Timur melakukan penggalian Kamis (31/07/08) ini. Penggalian dilakukan menyeluruh di halaman belakang dan bagian dalam rumah Ryan di Jombang, Jawa Timur. “Hari ini dibongkar secara menyeluruh di rumah itu, agar masyarakat tahu bahwa polisi sudah mencari semua meskipun tanpa pengakuan Ryan,” kata Rusli Nasution, Direktur Reserse dan Kriminal Polda Jawa Timur.
Informasi yang didapatkan The Jakarta Post dari Polda Jatim menyebutkan, saat ini ada 4-5 mayat lain yang masih berada di dalam tanah. Yakni, dua mayat di dalam rumah, tepatnya di bawah ruang tamu dan di bawah kamar Ryan. Serta tiga lagi di halaman antara kandang ayam dan kamar mandi, halaman sebelah kanan dan di bawah kebun tebu belakang rumah. Titik terakhir ini dicurigai karena selalu dikerubuti lalat di atasnya.
Keberadaan dua mayat yang berada di dalam rumah itulah memperkuat dugaan keterlibatan keluarga Ryan. Meskipun hingga saat ini Polisi masih belum bisa memastikan hal itu. “Keterlibatan keluarga Ryan akan kita dalami lagi, termasuk sejauh mana keterlibatannya, karena memang harus diketahui kapan menggali dan kapan pembunuhan itu terjadi,” katanya.
Kemungkinan keterlibatan keluarga dikuatkan ditemukannya sepeda motor milik Achsoni atau Soni, salah satu korban yang diduga kuat meninggal, dipakai oleh salah satu kerabat Ryan bernama Mulyo Wasis. Dugaan lain adalah pengakuan dua warga setempat, Suwarto dan Budiono, yang mengaku pernah disuruh ibu Ryan, Kasiyatun untuk menggali lubang di belakang rumah. Di lokasi yang digali itu ditemukan mayat.
Ryan sendiri, hingga saat ini masih ditahan di Polda Jawa Timur, didampingi Noval, seseorang yang disebut-sebut sebagai kawan dekat Ryan. Hingga berita ini diturunkan, Ryan tetap bersikukuh “hanya” membunuh 10 mayat di Jombang dan 1 di Jakarta. “Tidak ada pengakuan lain selain itu,” kata Rusli.
Sampai Kamis ini, Polda Jawa Timur sudah memeriksa 25 saksi yang diduga bisa memperjelas peristiwa pembunuhan itu. Termasuk pihak keluarga dan warga sekitar yang pernah bersinggungan dengan Ryan dan keluarganya. Mulai kuli gali tanah, kuli angkut hingga tetangga kanan dan kiri rumah Ryan di Jombang.
Sementara itu, otopsi yang dilakukan di Rumah Sakit Bhayangkara Polda Jatim masih belum menunjukkan perkembangan berarti. Hanya tiga dari 10 mayat yang berhasil diidentifikasi. Dr. Kesehatan Polda Jawa Timur, M. Rudi mengatakan, lamanya mayat dikubur membuat proses otopsi sulit dilakukan. Ketiga mayat itu dan diserahkan ke pada keluarga, Jumat besok. Di ruang otopsi RS. Bhayangkara masih tersimpan enam tengkorak manusia yang beberapa hari lalu diambil dari belakang rumah Ryan.
*Indra Harsaputra Melaporkan dari Jombang, Jawa Timur
Hasil pemeriksaan kesehatan jiwa Kepolisian Polda Jawa Timur terhadap Verry Idam Henyansyah atau Ryan, pemuda yang diduga melakukan pembunuhan berantai terhadap 11 orang, menunjukkan bahwa Ryan tidak mengalamo gangguan jiwa. Artinya, Ryan dalam kondisi sadar saat melakukan pembunuhan yang dituduhkan kepadanya. Hal itu dikatakan AKBP. Dr. Rony Subagyo, Spesialis Kedokteran Jiwa Polda Jatim, Kamis (31/07/08) di Mapolda Jatim.
“Tidak ada tanda adanya gangguan jiwa berat. Daya nilai realitas, baik dan normal. Berarti apa yang dilakukan, disadari dan dipahami, termasuk akibat dan konsekuensi dari perbuatan itu,” kata Rony Subagyo. Dokter juga menemukan ciri kepribadian yang sensitif, mudah tersinggung dan mudah marah. Dalam melampiaskan kemarahannya itu, bentuknya impulsif dan agresif. Seperti melempar, membanting dan memukul.
Sifat Ryan yang demikian, menurut Rony disebabkan karena dinamika kehidupan keluarga yang sering diwarnai dengan cek-cok. Sang Ibu, Kasiyatun, yang sehari-hari dominan dalam perkawinan, membentuk Ryan menjadi pemarah, agresif dan membenci wanita. “Karena itulah, Ryan akhirnya tumbuh menjadi homoseksual, dalam hal ini Ryan senang menjadi sosok wanita,” kata Rony. Terlebih, sejak kecil Ryan juga tidak mendapatkan perhatian.
Dalam pemeriksaan terhadap Kasiyatun pun ditemukan hasil yang cenderung sama. Ibu Ryan yang memiliki sifat sensitif, mudah tersinggung dan mudah marah. Meski begitu, Rony meyakinkan tidak adanya keterkaitan antara orientasi seksual Ryan dengan perbuatan yang dilakukannya.
Dalam proses pemeriksaan, kata Rony, Ryan sering menunjukkan prilaku pura-pura gila Ryan ingin kelihatan tidak normal atau sakit. Untungnya dokter bisa mengetahui hal itu. “Dalam kasus Ryan, tidak ada penyesalan, karena itulah tidak ada perubahan setelah dia melakukan pembunuhan yang pertama,” katanya.
Sementara itu, indikasi masih adanya 4-5 mayat lain dan kemungkinan keterlibatan pihak ketiga (keluarga) itulah, yang membuat pihak Kepolisian Daerah Jawa Timur melakukan penggalian Kamis (31/07/08) ini. Penggalian dilakukan menyeluruh di halaman belakang dan bagian dalam rumah Ryan di Jombang, Jawa Timur. “Hari ini dibongkar secara menyeluruh di rumah itu, agar masyarakat tahu bahwa polisi sudah mencari semua meskipun tanpa pengakuan Ryan,” kata Rusli Nasution, Direktur Reserse dan Kriminal Polda Jawa Timur.
Informasi yang didapatkan The Jakarta Post dari Polda Jatim menyebutkan, saat ini ada 4-5 mayat lain yang masih berada di dalam tanah. Yakni, dua mayat di dalam rumah, tepatnya di bawah ruang tamu dan di bawah kamar Ryan. Serta tiga lagi di halaman antara kandang ayam dan kamar mandi, halaman sebelah kanan dan di bawah kebun tebu belakang rumah. Titik terakhir ini dicurigai karena selalu dikerubuti lalat di atasnya.
Keberadaan dua mayat yang berada di dalam rumah itulah memperkuat dugaan keterlibatan keluarga Ryan. Meskipun hingga saat ini Polisi masih belum bisa memastikan hal itu. “Keterlibatan keluarga Ryan akan kita dalami lagi, termasuk sejauh mana keterlibatannya, karena memang harus diketahui kapan menggali dan kapan pembunuhan itu terjadi,” katanya.
Kemungkinan keterlibatan keluarga dikuatkan ditemukannya sepeda motor milik Achsoni atau Soni, salah satu korban yang diduga kuat meninggal, dipakai oleh salah satu kerabat Ryan bernama Mulyo Wasis. Dugaan lain adalah pengakuan dua warga setempat, Suwarto dan Budiono, yang mengaku pernah disuruh ibu Ryan, Kasiyatun untuk menggali lubang di belakang rumah. Di lokasi yang digali itu ditemukan mayat.
Ryan sendiri, hingga saat ini masih ditahan di Polda Jawa Timur, didampingi Noval, seseorang yang disebut-sebut sebagai kawan dekat Ryan. Hingga berita ini diturunkan, Ryan tetap bersikukuh “hanya” membunuh 10 mayat di Jombang dan 1 di Jakarta. “Tidak ada pengakuan lain selain itu,” kata Rusli.
Sampai Kamis ini, Polda Jawa Timur sudah memeriksa 25 saksi yang diduga bisa memperjelas peristiwa pembunuhan itu. Termasuk pihak keluarga dan warga sekitar yang pernah bersinggungan dengan Ryan dan keluarganya. Mulai kuli gali tanah, kuli angkut hingga tetangga kanan dan kiri rumah Ryan di Jombang.
Sementara itu, otopsi yang dilakukan di Rumah Sakit Bhayangkara Polda Jatim masih belum menunjukkan perkembangan berarti. Hanya tiga dari 10 mayat yang berhasil diidentifikasi. Dr. Kesehatan Polda Jawa Timur, M. Rudi mengatakan, lamanya mayat dikubur membuat proses otopsi sulit dilakukan. Ketiga mayat itu dan diserahkan ke pada keluarga, Jumat besok. Di ruang otopsi RS. Bhayangkara masih tersimpan enam tengkorak manusia yang beberapa hari lalu diambil dari belakang rumah Ryan.
*Indra Harsaputra Melaporkan dari Jombang, Jawa Timur