Anita Rachman
TIDAK ada yang tetap, semua berubah. Yang tetap cuma ketetapan perubahan dan perubahan ketetapan. Kalimat-kalimat itu ditulis oleh Tan Malaka dalam bukunya, yang digilai kaum marxis tanah air, Materialisme Dialektika Logika (Madilog). Pria jenius yang kecewa terhadap Islam itu sedang mengulas unsur atom dan partikelnya, tapi sudah barang tentu dia juga menyindir hidup.
Saya percaya apa yang dikatakan Tan Malaka benar. Seperti juga kepercayaan saya akan pergeseran definisi jurnalis menjadi wartawan atau reporter adalah sahih. Definis jurnalis sejatinya bergeser. Kala itu yang disebut jurnalis adalah mereka yang menulis jurnal-jurnal ilmiah, untuk kemudian diterbitkan dalam bahasa dan model yang formal. Seperti Charles Dickens.
Seiring almanak berganti, terutama pada abad ke 19, istilah itu melebar. Jurnalis tak hanya mereka yang menulis jurnal, tapi juga mereka yang mempraktikkan (apa yang kemudian disebut) ilmu jurnalistik. Jurnalis adalah mereka yang mengumpulkan data dan lantas menuliskannya dalam sebuah tulisan. Mereka tak dibatasi tembok dalam bekerja, tak juga diikat dasi atau rok mini saat bertugas, atau diatur untuk menyantap makan siang mulai pukul 12.00 hingga 13.00. Jurnalis adalah mereka yang bebas.
Namun bukan kebebasan absolut yang mereka punya; jurnalis yang tak perlu memakai dasi dan rok mini saat bekerja itu diikat sebuah ikrar berbentuk kode etik: benar, jujur, berimbang, serta beretika. Yang terakhir adalah bukan sembarang kode. Etika datangnya jauh dari kata ethikos milik Yunani yang berarti moralitas, cabang dari ilmu filsafat, yang berkaitan dengan sifat baik, buruk, serta tanggung jawab. Jurnalis, yang boleh makan siang pukul 10.00 atau mandi pukul 13.00, adalah mereka yang diminta beretika.
Seperti Graham Green atau Hemingway, jurnalis yang juga novelis, bebas merokok pukul 11.05, atau buang air besar pukul 13.35, menguap pukul 14.20, dan tetap beretika sepanjang hari. Di suatu tempat bernama Amerika Serikat, segala sesuatunya selalu tampak serba mudah dan murah. Bertolak dengan alam Pertiwi, di mana masih sering kita jumpai lalat berpantat hijau hinggap di sedotan es teh kita, segalanya serba susah dan mahal, tak terkecuali etika. Satu-satunya kekang seorang jurnalis.
Seperti siang itu, ketika saya melihat tali-tali etika dilepaskan oleh satria-satria pena, demi sebuah amplop.
Sungguh, bagai menyaksikan drama, lagi-lagi saya terperangah (walau saya sudah sering menghadapinya) dengan prosesi amplop. Kejadiannya acap kali berlangsung lama namun rapi. Saya dapat membaca alur dan adegan pembukanya, lantas konflik, klimaks, hingga antiklimaksnya. Seperti siang itu, di sebuah instansi milik pemerintah (yang juga berarti kepunyaan rakyat) di mana semua orang memakai setelan berwarna cokelat, dan menunduk-nunduk pada seorang pria yang juga bersetelan cokelat dan memakai plakat nama.
Siang itu, mulanya, kami ngobrol biasa saja. Kami berbincang tentang jumlah ini di propinsi ini, dan dana untuk melakukan itu di daerah itu, lalu tujuan melakukan kegiatan tersebut serta capaian yang dimaksud. Kami mendengar dan mencatat, sesekali menengok ke arah Bapak Bersetelan Cokelat penuh perhatian. Di pulau bagian timur ini, memang hanya dia yang punya data semacam rupa.
Berselang cukup lama, cangkir-cangkir teh lantas disuguhkan, kami diminta dengan hormat untuk menenggaknya. Sampai seorang pria berkumis, juga bersetelan cokelat, lantas berdiri dan mencatat. Mengamati kami para kuli tinta dengan seksama. Di bukunya, dia menuliskan nama dan angka, lalu menerawang menghitung. Ini adalah opening, yang membikin perut mual.
Sepuluh menit kemudian adegan mulai berirama. Guyonan-guyonan kering mengalir dari Bapak Bersetelan Cokelat. Dan para kuli pun tertawa renyah, menertawai guyonan Sang Bapak yang tak lucu. Tentang kesukaannya pada singkong dan kacang-kacang tanah yang direbus. Seorang kawan berkomentar, memuji Sang Bapak yang tetap rendah hati: meski sudah tinggi jabatan, tak hilang pula kesukaan pada makanan tanah. Rising Act.
Bapak Bersetelan Cokelat masih berbicara, saat lima menit kemudian kawan bersandal berpamitan pulang. Ada urusan penting sedang menunggu di luar sana, tuturnya. Bapak lantas melirik Pak Kumis, matanya berkedip. Itu sebuah kode, sebuah perintah: lepas kekangnya.
Ini konflik. Pak Kumis maju ke depan, sedikit berlari mengejar kawan. Amplop panjang berwarna coklat merangsek masuk ke dalam tas kawan bersandal. Sekilas aksi penolakan berlangsung, meski (tentu saja, Tuhan) gagal. Pak Kumis berhasil melepas tali kekang kawan bersandal. Seulas senyum dan anggukan Pak Kumis membuat mata Sang Bapak bersinar.
Kawan bersandal sudah di seberang pintu, tapi telinganya mungkin masih menangkap suara. Derak-derak sepatu Pak Kumis ketika berkeliling ruangan sambil membagi amplop panjang berwarna cokelat. Dia menjatuhkan amplop sambil menutup mata. Mereka yang menerima hanya membuka mulut, lantas mengatupkanya kembali. Terdengar seulas ucapan: terima kasih.
Ini anti klimaks. Ritual tahu sama tahu. Tali-tali kekang sudah terlepas. Mata-mata saling memandang. Saya dan dia yang menolak, dan mereka yang berterima kasih. Mata-mata tetap saling memandang. Semuanya telah bergeser. Dan Tan Malaka tak salah. Semuanya berubah.
Saya tak pernah membaca buku kode etik, mungkin begitu juga dengan kawan bersandal. Tapi tak tahukah kawan bersandal, bahwa kekang tak boleh lepas dari pundak. Karena kekang adalah jelmaan objektivitas. Kekang adalah rakyat dan amanat. Kekang adalah dialog yang utuh.
Ah, terlalu muluk saya berharap, agar kawan bersandal melihat rona merah di pipi saya ketika amplop menjejal masuk ke dalam ranselnya. Adalah mimpi meminta Tan Malaka menulis: ada yang tak pernah berubah dari dunia. Para kuli tinta yang selalu sigap menggendong kekang. Para kuli tinta yang selalu menjaga etika. Adalah mimpi.
02 Agustus 2008
01 Agustus 2008
Hasil Rekapitulasi Mensyaratkan Putaran Kedua Pilkada Jatim
Iman D. Nugroho
Hasil rekapitulasi hasil Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Langsung Gubernur Jawa Timur 2008 mensyaratkan adanya putaran kedua. Kandidat Khofifah Indar Parawansa-Mudjiono dan Soekarwo-Syaifullah Yusuf menempati urutan dua besar, sekaligus akan "bertarung" dalam putaran kedua.
Dalam rekapitulasi yang dilakukan di Komisi Pemilihan Umum (KPU) Jawa Timur Jumat (1/08/08) ini kandidat nomor urut 1, Khofifah Indar Parawansa dan Mudjiono atau KAJI mendapatkan 4,2 juta suara atau 24,82 persen. Kandidat nomor 2 Soetjipto dan Ridwan Hisjam atau SR, mendapatkan 3,6 juta suara atau 21,18 persen. Kandidat Soenarjo dan Ali Maschan Moesa atau SALAM, mendapatkan 3,2 juta suara atau 19,34 persen.
Kandidat Achmadi-Soehartono atau ACHSAN memperoleh 1,3 juta suara atau 8,21 persen dan Soekarwo-Syaifullah Yusuf memperoleh 4,4 juta suara atau 26,43 persen. "Berdasarkan hasil rekapitulasi itu, maka secara hukum akan dilakukan putaran kedua," kata Ketua KPU Jawa Timur Wahyudi, usai rekapitulasi dilakukan. Dalam perhitungan itu, jumlah suara sah 17.014.266 suara, dan tidak sah tercatat 895,045 suara, dari Daftar Pemilih Tetap (DPT) berjumlah 29.061.718 suara.
Dalam rekapitulasi itu, semua saksi dari kandidat gubernur Jawa Timur menerima pelaksanaan pilgub dan rekapitulasi. Bambang Yudhono dari saksi SR mengatakan adanya penterjemahan kampanye yang berbeda antara KPU Jatim dan Panwas Jawa Timur. "Perbedaan penterjemahan kampanye itu harus menjadi catatan pelaksanaan pilgub kedepan, meskipun padaprinsipnya kami menerima," kata Bambang.
Hasil rekapitulasi hasil Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Langsung Gubernur Jawa Timur 2008 mensyaratkan adanya putaran kedua. Kandidat Khofifah Indar Parawansa-Mudjiono dan Soekarwo-Syaifullah Yusuf menempati urutan dua besar, sekaligus akan "bertarung" dalam putaran kedua.
Dalam rekapitulasi yang dilakukan di Komisi Pemilihan Umum (KPU) Jawa Timur Jumat (1/08/08) ini kandidat nomor urut 1, Khofifah Indar Parawansa dan Mudjiono atau KAJI mendapatkan 4,2 juta suara atau 24,82 persen. Kandidat nomor 2 Soetjipto dan Ridwan Hisjam atau SR, mendapatkan 3,6 juta suara atau 21,18 persen. Kandidat Soenarjo dan Ali Maschan Moesa atau SALAM, mendapatkan 3,2 juta suara atau 19,34 persen.
Kandidat Achmadi-Soehartono atau ACHSAN memperoleh 1,3 juta suara atau 8,21 persen dan Soekarwo-Syaifullah Yusuf memperoleh 4,4 juta suara atau 26,43 persen. "Berdasarkan hasil rekapitulasi itu, maka secara hukum akan dilakukan putaran kedua," kata Ketua KPU Jawa Timur Wahyudi, usai rekapitulasi dilakukan. Dalam perhitungan itu, jumlah suara sah 17.014.266 suara, dan tidak sah tercatat 895,045 suara, dari Daftar Pemilih Tetap (DPT) berjumlah 29.061.718 suara.
Dalam rekapitulasi itu, semua saksi dari kandidat gubernur Jawa Timur menerima pelaksanaan pilgub dan rekapitulasi. Bambang Yudhono dari saksi SR mengatakan adanya penterjemahan kampanye yang berbeda antara KPU Jatim dan Panwas Jawa Timur. "Perbedaan penterjemahan kampanye itu harus menjadi catatan pelaksanaan pilgub kedepan, meskipun padaprinsipnya kami menerima," kata Bambang.
31 Juli 2008
Dokter Jiwa: Ryan Tidak Mengalami Gangguan Jiwa
Iman D. Nugroho
Hasil pemeriksaan kesehatan jiwa Kepolisian Polda Jawa Timur terhadap Verry Idam Henyansyah atau Ryan, pemuda yang diduga melakukan pembunuhan berantai terhadap 11 orang, menunjukkan bahwa Ryan tidak mengalamo gangguan jiwa. Artinya, Ryan dalam kondisi sadar saat melakukan pembunuhan yang dituduhkan kepadanya. Hal itu dikatakan AKBP. Dr. Rony Subagyo, Spesialis Kedokteran Jiwa Polda Jatim, Kamis (31/07/08) di Mapolda Jatim.
“Tidak ada tanda adanya gangguan jiwa berat. Daya nilai realitas, baik dan normal. Berarti apa yang dilakukan, disadari dan dipahami, termasuk akibat dan konsekuensi dari perbuatan itu,” kata Rony Subagyo. Dokter juga menemukan ciri kepribadian yang sensitif, mudah tersinggung dan mudah marah. Dalam melampiaskan kemarahannya itu, bentuknya impulsif dan agresif. Seperti melempar, membanting dan memukul.
Sifat Ryan yang demikian, menurut Rony disebabkan karena dinamika kehidupan keluarga yang sering diwarnai dengan cek-cok. Sang Ibu, Kasiyatun, yang sehari-hari dominan dalam perkawinan, membentuk Ryan menjadi pemarah, agresif dan membenci wanita. “Karena itulah, Ryan akhirnya tumbuh menjadi homoseksual, dalam hal ini Ryan senang menjadi sosok wanita,” kata Rony. Terlebih, sejak kecil Ryan juga tidak mendapatkan perhatian.
Dalam pemeriksaan terhadap Kasiyatun pun ditemukan hasil yang cenderung sama. Ibu Ryan yang memiliki sifat sensitif, mudah tersinggung dan mudah marah. Meski begitu, Rony meyakinkan tidak adanya keterkaitan antara orientasi seksual Ryan dengan perbuatan yang dilakukannya.
Dalam proses pemeriksaan, kata Rony, Ryan sering menunjukkan prilaku pura-pura gila Ryan ingin kelihatan tidak normal atau sakit. Untungnya dokter bisa mengetahui hal itu. “Dalam kasus Ryan, tidak ada penyesalan, karena itulah tidak ada perubahan setelah dia melakukan pembunuhan yang pertama,” katanya.
Sementara itu, indikasi masih adanya 4-5 mayat lain dan kemungkinan keterlibatan pihak ketiga (keluarga) itulah, yang membuat pihak Kepolisian Daerah Jawa Timur melakukan penggalian Kamis (31/07/08) ini. Penggalian dilakukan menyeluruh di halaman belakang dan bagian dalam rumah Ryan di Jombang, Jawa Timur. “Hari ini dibongkar secara menyeluruh di rumah itu, agar masyarakat tahu bahwa polisi sudah mencari semua meskipun tanpa pengakuan Ryan,” kata Rusli Nasution, Direktur Reserse dan Kriminal Polda Jawa Timur.
Informasi yang didapatkan The Jakarta Post dari Polda Jatim menyebutkan, saat ini ada 4-5 mayat lain yang masih berada di dalam tanah. Yakni, dua mayat di dalam rumah, tepatnya di bawah ruang tamu dan di bawah kamar Ryan. Serta tiga lagi di halaman antara kandang ayam dan kamar mandi, halaman sebelah kanan dan di bawah kebun tebu belakang rumah. Titik terakhir ini dicurigai karena selalu dikerubuti lalat di atasnya.
Keberadaan dua mayat yang berada di dalam rumah itulah memperkuat dugaan keterlibatan keluarga Ryan. Meskipun hingga saat ini Polisi masih belum bisa memastikan hal itu. “Keterlibatan keluarga Ryan akan kita dalami lagi, termasuk sejauh mana keterlibatannya, karena memang harus diketahui kapan menggali dan kapan pembunuhan itu terjadi,” katanya.
Kemungkinan keterlibatan keluarga dikuatkan ditemukannya sepeda motor milik Achsoni atau Soni, salah satu korban yang diduga kuat meninggal, dipakai oleh salah satu kerabat Ryan bernama Mulyo Wasis. Dugaan lain adalah pengakuan dua warga setempat, Suwarto dan Budiono, yang mengaku pernah disuruh ibu Ryan, Kasiyatun untuk menggali lubang di belakang rumah. Di lokasi yang digali itu ditemukan mayat.
Ryan sendiri, hingga saat ini masih ditahan di Polda Jawa Timur, didampingi Noval, seseorang yang disebut-sebut sebagai kawan dekat Ryan. Hingga berita ini diturunkan, Ryan tetap bersikukuh “hanya” membunuh 10 mayat di Jombang dan 1 di Jakarta. “Tidak ada pengakuan lain selain itu,” kata Rusli.
Sampai Kamis ini, Polda Jawa Timur sudah memeriksa 25 saksi yang diduga bisa memperjelas peristiwa pembunuhan itu. Termasuk pihak keluarga dan warga sekitar yang pernah bersinggungan dengan Ryan dan keluarganya. Mulai kuli gali tanah, kuli angkut hingga tetangga kanan dan kiri rumah Ryan di Jombang.
Sementara itu, otopsi yang dilakukan di Rumah Sakit Bhayangkara Polda Jatim masih belum menunjukkan perkembangan berarti. Hanya tiga dari 10 mayat yang berhasil diidentifikasi. Dr. Kesehatan Polda Jawa Timur, M. Rudi mengatakan, lamanya mayat dikubur membuat proses otopsi sulit dilakukan. Ketiga mayat itu dan diserahkan ke pada keluarga, Jumat besok. Di ruang otopsi RS. Bhayangkara masih tersimpan enam tengkorak manusia yang beberapa hari lalu diambil dari belakang rumah Ryan.
*Indra Harsaputra Melaporkan dari Jombang, Jawa Timur
Hasil pemeriksaan kesehatan jiwa Kepolisian Polda Jawa Timur terhadap Verry Idam Henyansyah atau Ryan, pemuda yang diduga melakukan pembunuhan berantai terhadap 11 orang, menunjukkan bahwa Ryan tidak mengalamo gangguan jiwa. Artinya, Ryan dalam kondisi sadar saat melakukan pembunuhan yang dituduhkan kepadanya. Hal itu dikatakan AKBP. Dr. Rony Subagyo, Spesialis Kedokteran Jiwa Polda Jatim, Kamis (31/07/08) di Mapolda Jatim.
“Tidak ada tanda adanya gangguan jiwa berat. Daya nilai realitas, baik dan normal. Berarti apa yang dilakukan, disadari dan dipahami, termasuk akibat dan konsekuensi dari perbuatan itu,” kata Rony Subagyo. Dokter juga menemukan ciri kepribadian yang sensitif, mudah tersinggung dan mudah marah. Dalam melampiaskan kemarahannya itu, bentuknya impulsif dan agresif. Seperti melempar, membanting dan memukul.
Sifat Ryan yang demikian, menurut Rony disebabkan karena dinamika kehidupan keluarga yang sering diwarnai dengan cek-cok. Sang Ibu, Kasiyatun, yang sehari-hari dominan dalam perkawinan, membentuk Ryan menjadi pemarah, agresif dan membenci wanita. “Karena itulah, Ryan akhirnya tumbuh menjadi homoseksual, dalam hal ini Ryan senang menjadi sosok wanita,” kata Rony. Terlebih, sejak kecil Ryan juga tidak mendapatkan perhatian.
Dalam pemeriksaan terhadap Kasiyatun pun ditemukan hasil yang cenderung sama. Ibu Ryan yang memiliki sifat sensitif, mudah tersinggung dan mudah marah. Meski begitu, Rony meyakinkan tidak adanya keterkaitan antara orientasi seksual Ryan dengan perbuatan yang dilakukannya.
Dalam proses pemeriksaan, kata Rony, Ryan sering menunjukkan prilaku pura-pura gila Ryan ingin kelihatan tidak normal atau sakit. Untungnya dokter bisa mengetahui hal itu. “Dalam kasus Ryan, tidak ada penyesalan, karena itulah tidak ada perubahan setelah dia melakukan pembunuhan yang pertama,” katanya.
Sementara itu, indikasi masih adanya 4-5 mayat lain dan kemungkinan keterlibatan pihak ketiga (keluarga) itulah, yang membuat pihak Kepolisian Daerah Jawa Timur melakukan penggalian Kamis (31/07/08) ini. Penggalian dilakukan menyeluruh di halaman belakang dan bagian dalam rumah Ryan di Jombang, Jawa Timur. “Hari ini dibongkar secara menyeluruh di rumah itu, agar masyarakat tahu bahwa polisi sudah mencari semua meskipun tanpa pengakuan Ryan,” kata Rusli Nasution, Direktur Reserse dan Kriminal Polda Jawa Timur.
Informasi yang didapatkan The Jakarta Post dari Polda Jatim menyebutkan, saat ini ada 4-5 mayat lain yang masih berada di dalam tanah. Yakni, dua mayat di dalam rumah, tepatnya di bawah ruang tamu dan di bawah kamar Ryan. Serta tiga lagi di halaman antara kandang ayam dan kamar mandi, halaman sebelah kanan dan di bawah kebun tebu belakang rumah. Titik terakhir ini dicurigai karena selalu dikerubuti lalat di atasnya.
Keberadaan dua mayat yang berada di dalam rumah itulah memperkuat dugaan keterlibatan keluarga Ryan. Meskipun hingga saat ini Polisi masih belum bisa memastikan hal itu. “Keterlibatan keluarga Ryan akan kita dalami lagi, termasuk sejauh mana keterlibatannya, karena memang harus diketahui kapan menggali dan kapan pembunuhan itu terjadi,” katanya.
Kemungkinan keterlibatan keluarga dikuatkan ditemukannya sepeda motor milik Achsoni atau Soni, salah satu korban yang diduga kuat meninggal, dipakai oleh salah satu kerabat Ryan bernama Mulyo Wasis. Dugaan lain adalah pengakuan dua warga setempat, Suwarto dan Budiono, yang mengaku pernah disuruh ibu Ryan, Kasiyatun untuk menggali lubang di belakang rumah. Di lokasi yang digali itu ditemukan mayat.
Ryan sendiri, hingga saat ini masih ditahan di Polda Jawa Timur, didampingi Noval, seseorang yang disebut-sebut sebagai kawan dekat Ryan. Hingga berita ini diturunkan, Ryan tetap bersikukuh “hanya” membunuh 10 mayat di Jombang dan 1 di Jakarta. “Tidak ada pengakuan lain selain itu,” kata Rusli.
Sampai Kamis ini, Polda Jawa Timur sudah memeriksa 25 saksi yang diduga bisa memperjelas peristiwa pembunuhan itu. Termasuk pihak keluarga dan warga sekitar yang pernah bersinggungan dengan Ryan dan keluarganya. Mulai kuli gali tanah, kuli angkut hingga tetangga kanan dan kiri rumah Ryan di Jombang.
Sementara itu, otopsi yang dilakukan di Rumah Sakit Bhayangkara Polda Jatim masih belum menunjukkan perkembangan berarti. Hanya tiga dari 10 mayat yang berhasil diidentifikasi. Dr. Kesehatan Polda Jawa Timur, M. Rudi mengatakan, lamanya mayat dikubur membuat proses otopsi sulit dilakukan. Ketiga mayat itu dan diserahkan ke pada keluarga, Jumat besok. Di ruang otopsi RS. Bhayangkara masih tersimpan enam tengkorak manusia yang beberapa hari lalu diambil dari belakang rumah Ryan.
*Indra Harsaputra Melaporkan dari Jombang, Jawa Timur
28 Juli 2008
Malaysia Targetkan Menang

"Jelas, target tim Malaysia adalah menang dalam kompetisi ini," kata Basyir Abdurrahman, Senin (28/07) ini di take off area Gunung Banyak, Kota Batu. Dalam kompetisi ini, Malaysia mengirimkan 12 atlet paralayangnya. Delapan atlet di antaranya adalah atlet lama, sementara sisanya atlet yang baru.
Basyir mengatakan, menjelang pelaksanaan lomba, tim paralayang Malaysia melakukan persiapan serius dengan berlatih setiap hari selama dua bulan penuh. Latihan itu dilaksanakan di Bukit Judre, Selangor Malaysia. "Selama dua bulan penuh kami berlatih di Bukit Judre, meskipun secara geografis lebih rendah, namun kami kira persiapan itu cukup," katanya.
Menurut Basyir, paralayang adalah salah satu olahraga yang belakangan ini berkembang di Malaysia. Meski begitu, perlahan-lahan, jumlah peminatnya terus bertambah. "Sayangnya, Malaysia tidak memiliki tempat latihan yang bagus seperti di Indonesia," kata Basyir.
Uniknya, bila Malaysia menargetkan menang, justru atlet paralayang tuan rumah Jawa Timur tidak menargetkan apa-apa dalam event kali ini. Hal itu dikatakan Ketua Pelaksana Kejuaraan dan Festival Paralayang 2008, Yudho Nugroho. "Kita tidak menargetkan menang, justru event ini adalah event rekreasi bagi atlet Jawa Timur," kata Yudho.
Tidakadanya terget menang, kata Yudho, disebabkan karena para atlet sudah kelelahan saat berangkat di Pekan Olahraga Nasional (PON) ke-17 di Kalimantan Timur. Jawa Timur hanya mendapatkan dua medali perunggu dalam PON-17 lalu.
Meski begitu, Yudho menjelaskan, perlombaan kali ini menghadirkan juri tingkat nasional yang memiliki brivet serta menggunakan peralatan terkomputerisasi. Apalagi, lomba kali ini diikuti oleh atlet dari tiga negara, Malaysia, Brunei Darussalam dan Jepang. "Semua itu kami lakukan untuk memenuhi standarisasi internasional," kata Yudho.
Kejuaraan dan Festival Paralayang di Kota Batu adalah agenda tahunan yang digelar pemerintah kota setempat. Melalui event ini, Pemerintah Kota Batu mengharapkan adanya peningkatan kunjungan turis domestik maupun manca negara ke kota yang dikenal sebagai Kota Apel itu.
23 Juli 2008
Money Politics Urgent Dipikirkan NU
Kacung Marijan, Pengamat Politik Universitas Airlangga
Dimuat di The Jakarta Post
"Saya kira menjadi hal urgent dipikirkan NU. Apalagi, dua tahun terakhir, money politics sangat kental dalam Pilkada. Bisa kita check pada pilkada 2005, 2006, 2007 dan 2008, biayanya jauh lebih besar,"
Empat dari kandidat gubernur Jawa Timur adalah orang NU, sebenarnya seperti apa permainan politik NU sekarang?
Prinsipnya, NU selalu menyerahkan urusan politik kepada jamaah melalui partai politik, bukan pada organisasi NU. Karena sejarahnya, ketika NU masuk ke ranah politik, maka banyak urusan yang menjadi ranah NU menjadi terbengkalai. Cuma yang menjadi masalah, tidak lantas NU tidak tersentuh urusan politik. Apalagi NU berada pada tempat yang fakum, melainkan sangat dinamis. Sehingga NU yang sejak tahun 1984 tidak terjun dalam politik, secara langsung atau tidak, terlibat dalam politik. Saat NU memfasilitasi parpol warga NU. Deklarator PKB adalah pentolan NU. Memang tidak tegas, tapi yang memfasilitasi adalah NU. Sejak saat itu, sampai sekarang, NU terlibat politik. Meski NU bukan partai politik. Misalnya ada perumusan caleg, NU masih dilibatkan. Walau tahun 2004, keterlibatan NU dalam penentuan caleg tidak terlalu besar.
Apa yang sebenarnya terjadi di Jawa Timur? Terutama soal PKB?
Sejarah NU yang kuat di Jawa Timur terjadi karena PKB sedang gonjang-ganjing. Ada pandangan dari elit NU, tentang Jawa Timur adalah basis NU. Karena itulah, bila NU tak ikut cawe-cawe dalam urusan pilkada, sepertinya kok tidak bijaksana. Hal itu juga yang membuat adanya keinginan kuat untuk melibatkan diri secara lansung dalam Pilgub di Jawa Timur. Misalnya, ketika Musyawarah Wilayah NU untuk memilih ketua PWNU baru pada Nopember lalu, ada perjanjian atau kontrak jam’iah yang menyebutkan tidak diperbolehkannya ketua PWNU terlibat secara langsung maupun tidak langsung dalam politik praktis. Tapi, kontrak jam’iyah itu sudah mempengaruhi politik secara tidak langsung. Yang langsung untuk Ali Maschan Moesa yang ketika itu terpilih. Karena itulah Ali Mschan dihukum rame-rame. Yang awalnya didukung, akhirnya secara jamaah dihindari. Bahkan sekarang yang menghindari Ali Maschan sebagian besar ke kubu Khofifah. Waktu itu, maunya NU tak terserat urusan pencalonan ini. Jadi, kontak jam’iah ini tidak realistis. Kalau kita lihat, yang namanya terlibat tidak langsung itu maknanya sangat luas sama sekali. Misalnya terlibat di opini dan penggalangan massa. Misalnya, ketika PBNU buat menjadi racangan program dan ditawarkan ke calon gubernur, secara tidak langsung mempengaruhi calon gubernur. Dalam kehidupan politik yang dinamis, tidak mungkin akan tidak terlibat dalam politik.
Lalu, NU dengan prinsip akhlakul karimah, dan berpolitik, dan kita banyak dengar adanya money politics melalui sumbangan dll, ini bagaimana?
Ini sebenarnya sesuatu yang mengkhawatirkan. Dua minggu lalu ada diskusi tentang fikih dalam pilkada, termasuk soal money politics, kesimpulannya saat itu adalah haram. Hal itu bisa dicheck dalam forum basul masail (forum diskusi hukum kekinian). Persoalannya bila ada orang memberi, apakah itu termasuk money politics atau tidak. Seperti ada orang menyumbang ke pesantren, itukan biasa, tidak mungkin ditanya, menyumbang untuk apa. Dianggap tidak sopan. Saya kira menjadi hal urgent dipikirkan NU. Apalagi, dua tahun terakhir, money politics sangat kental dalam Pilkada. Bisa kita check pada pilkada 2005, 2006, 2007 dan 2008, biaya nya jauh lebih besar. Itu info dari tim masing-masing calon. Alasannya, pemilih yang memilih kandidat berdasarkan uang yang diberikan makin banyak. Kandidat tidak Cuma memperbutkan suara, tapi juga memperebutkan vote getter. Mereka harus dibayar juga.
Jadi para ulama tidak terlibat untuk menghapus money politics?
Saya lihat tidak, bahkan menjadi bagian dari itu. Itu menyedihkan, walaupun basul masail, pada dua minggu lalu mengharamkan money politics. Cuma hasil basul masail belum disosialisasikan ke ulama yang lain. Harusnya, ini menjadi isu media juga. Tapi saya lihat, tidak ada media yang melaporkan secara langsung.
Bisa Anda memberikan contoh money politics yang paling transparan dari ulama-ulama ini?
Seperti yang saya katakan, money politics yang langsung mungkin masih debatable, karena calon-calon bukan ke voter, tapi ke tokoh-tokoh, ini yang kemudian memberikan sumbangan bisa puluhan juta. Sumbangan Rp. 1 M pada pada NU, itu sebagian kecil saja.
Tapi itu money politics?
Kalau itu tujuannya untuk mengarahkan suara ke calon tertentu, itu money politics. Karena difinisi money politics itu adalah langkah sengaja untuk mengarahkan suaranya ke calon tertentu. Nah, itu (sumbangan Rp. 1 M, KAJI) adalah tidak langsung bagian dari money politics juga. Karena momennya jelas.
Apalagi, Hasyim Muzadi bersama istrinya kemana-mana bersama Khofifah?
Iya. Itu secara tidak langsung bagian dari money politics.
Lalu soal dukungan kepada 4 kandidat?
Awalnya Hasyim Muzadi mendukung Ali Maschan Moesa. Masalahnya, ada desakan Ali Maschan mundur, tapi tidak mau. Akhirnya konflik. Lalu, Khofifah yang tidak jadi agenda dicalonkan, akhirnya jadi agenda.
Kenapa Khofifah?
Karena Hasyim dan tokoh NU lain mencari alternative. Apalagi, Khofifah relative bersih, dan memiliki jaringan yang luas sampai ranting. Untuk menang, harus melalui hal seperti itu. Nah, saya tidak tahu, tiba-tiba dukungan luar biasa, dan itu tidak lepas dengan uang yang luar biasa juga. Tidak mungkin calon bisa iklan ½ halaman tiap hari di media massa, dan memasang billboard di seantro Jatim, tanpa uang Rp.100 M, itu tidak mungkin. Belum lagi, mobilisasi ndukungan di lavel grassroad, butuh modal yang luar biasa. Karena itu, dukungan itu luar biasa.
Juga pemberian mobil ke 44 Muslimat NU di kabupaten kota di Jatim?
Nah, itu juga. Faktanya, Muslimat 44 cabang dapat mobil APV. Belum juga partai yang lainya.
Dimuat di The Jakarta Post
"Saya kira menjadi hal urgent dipikirkan NU. Apalagi, dua tahun terakhir, money politics sangat kental dalam Pilkada. Bisa kita check pada pilkada 2005, 2006, 2007 dan 2008, biayanya jauh lebih besar,"
Empat dari kandidat gubernur Jawa Timur adalah orang NU, sebenarnya seperti apa permainan politik NU sekarang?
Prinsipnya, NU selalu menyerahkan urusan politik kepada jamaah melalui partai politik, bukan pada organisasi NU. Karena sejarahnya, ketika NU masuk ke ranah politik, maka banyak urusan yang menjadi ranah NU menjadi terbengkalai. Cuma yang menjadi masalah, tidak lantas NU tidak tersentuh urusan politik. Apalagi NU berada pada tempat yang fakum, melainkan sangat dinamis. Sehingga NU yang sejak tahun 1984 tidak terjun dalam politik, secara langsung atau tidak, terlibat dalam politik. Saat NU memfasilitasi parpol warga NU. Deklarator PKB adalah pentolan NU. Memang tidak tegas, tapi yang memfasilitasi adalah NU. Sejak saat itu, sampai sekarang, NU terlibat politik. Meski NU bukan partai politik. Misalnya ada perumusan caleg, NU masih dilibatkan. Walau tahun 2004, keterlibatan NU dalam penentuan caleg tidak terlalu besar.
Apa yang sebenarnya terjadi di Jawa Timur? Terutama soal PKB?
Sejarah NU yang kuat di Jawa Timur terjadi karena PKB sedang gonjang-ganjing. Ada pandangan dari elit NU, tentang Jawa Timur adalah basis NU. Karena itulah, bila NU tak ikut cawe-cawe dalam urusan pilkada, sepertinya kok tidak bijaksana. Hal itu juga yang membuat adanya keinginan kuat untuk melibatkan diri secara lansung dalam Pilgub di Jawa Timur. Misalnya, ketika Musyawarah Wilayah NU untuk memilih ketua PWNU baru pada Nopember lalu, ada perjanjian atau kontrak jam’iah yang menyebutkan tidak diperbolehkannya ketua PWNU terlibat secara langsung maupun tidak langsung dalam politik praktis. Tapi, kontrak jam’iyah itu sudah mempengaruhi politik secara tidak langsung. Yang langsung untuk Ali Maschan Moesa yang ketika itu terpilih. Karena itulah Ali Mschan dihukum rame-rame. Yang awalnya didukung, akhirnya secara jamaah dihindari. Bahkan sekarang yang menghindari Ali Maschan sebagian besar ke kubu Khofifah. Waktu itu, maunya NU tak terserat urusan pencalonan ini. Jadi, kontak jam’iah ini tidak realistis. Kalau kita lihat, yang namanya terlibat tidak langsung itu maknanya sangat luas sama sekali. Misalnya terlibat di opini dan penggalangan massa. Misalnya, ketika PBNU buat menjadi racangan program dan ditawarkan ke calon gubernur, secara tidak langsung mempengaruhi calon gubernur. Dalam kehidupan politik yang dinamis, tidak mungkin akan tidak terlibat dalam politik.
Lalu, NU dengan prinsip akhlakul karimah, dan berpolitik, dan kita banyak dengar adanya money politics melalui sumbangan dll, ini bagaimana?
Ini sebenarnya sesuatu yang mengkhawatirkan. Dua minggu lalu ada diskusi tentang fikih dalam pilkada, termasuk soal money politics, kesimpulannya saat itu adalah haram. Hal itu bisa dicheck dalam forum basul masail (forum diskusi hukum kekinian). Persoalannya bila ada orang memberi, apakah itu termasuk money politics atau tidak. Seperti ada orang menyumbang ke pesantren, itukan biasa, tidak mungkin ditanya, menyumbang untuk apa. Dianggap tidak sopan. Saya kira menjadi hal urgent dipikirkan NU. Apalagi, dua tahun terakhir, money politics sangat kental dalam Pilkada. Bisa kita check pada pilkada 2005, 2006, 2007 dan 2008, biaya nya jauh lebih besar. Itu info dari tim masing-masing calon. Alasannya, pemilih yang memilih kandidat berdasarkan uang yang diberikan makin banyak. Kandidat tidak Cuma memperbutkan suara, tapi juga memperebutkan vote getter. Mereka harus dibayar juga.
Jadi para ulama tidak terlibat untuk menghapus money politics?
Saya lihat tidak, bahkan menjadi bagian dari itu. Itu menyedihkan, walaupun basul masail, pada dua minggu lalu mengharamkan money politics. Cuma hasil basul masail belum disosialisasikan ke ulama yang lain. Harusnya, ini menjadi isu media juga. Tapi saya lihat, tidak ada media yang melaporkan secara langsung.
Bisa Anda memberikan contoh money politics yang paling transparan dari ulama-ulama ini?
Seperti yang saya katakan, money politics yang langsung mungkin masih debatable, karena calon-calon bukan ke voter, tapi ke tokoh-tokoh, ini yang kemudian memberikan sumbangan bisa puluhan juta. Sumbangan Rp. 1 M pada pada NU, itu sebagian kecil saja.
Tapi itu money politics?
Kalau itu tujuannya untuk mengarahkan suara ke calon tertentu, itu money politics. Karena difinisi money politics itu adalah langkah sengaja untuk mengarahkan suaranya ke calon tertentu. Nah, itu (sumbangan Rp. 1 M, KAJI) adalah tidak langsung bagian dari money politics juga. Karena momennya jelas.
Apalagi, Hasyim Muzadi bersama istrinya kemana-mana bersama Khofifah?
Iya. Itu secara tidak langsung bagian dari money politics.
Lalu soal dukungan kepada 4 kandidat?
Awalnya Hasyim Muzadi mendukung Ali Maschan Moesa. Masalahnya, ada desakan Ali Maschan mundur, tapi tidak mau. Akhirnya konflik. Lalu, Khofifah yang tidak jadi agenda dicalonkan, akhirnya jadi agenda.
Kenapa Khofifah?
Karena Hasyim dan tokoh NU lain mencari alternative. Apalagi, Khofifah relative bersih, dan memiliki jaringan yang luas sampai ranting. Untuk menang, harus melalui hal seperti itu. Nah, saya tidak tahu, tiba-tiba dukungan luar biasa, dan itu tidak lepas dengan uang yang luar biasa juga. Tidak mungkin calon bisa iklan ½ halaman tiap hari di media massa, dan memasang billboard di seantro Jatim, tanpa uang Rp.100 M, itu tidak mungkin. Belum lagi, mobilisasi ndukungan di lavel grassroad, butuh modal yang luar biasa. Karena itu, dukungan itu luar biasa.
Juga pemberian mobil ke 44 Muslimat NU di kabupaten kota di Jatim?
Nah, itu juga. Faktanya, Muslimat 44 cabang dapat mobil APV. Belum juga partai yang lainya.