Iddaily Mobile | Dari Anda Untuk Publik
Youtube Pilihan Iddaily: Pati berani!
       

28 Juli 2008

Malaysia Targetkan Menang

Tim paralayang Malaysia menargetkan menang dalam Kejuaraan dan Festival Paralayang 2008 di Kota Batu, Jawa Timur. Untuk meraih target itu, tim paralayang Malaysia berlatih selama 2 bulan penuh. Hal itu diungkapkan Basyir Abdurrahman, Ketua Tim Malaysia pada The Jakarta Post.


"Jelas, target tim Malaysia adalah menang dalam kompetisi ini," kata Basyir Abdurrahman, Senin (28/07) ini di take off area Gunung Banyak, Kota Batu. Dalam kompetisi ini, Malaysia mengirimkan 12 atlet paralayangnya. Delapan atlet di antaranya adalah atlet lama, sementara sisanya atlet yang baru.

Basyir mengatakan, menjelang pelaksanaan lomba, tim paralayang Malaysia melakukan persiapan serius dengan berlatih setiap hari selama dua bulan penuh. Latihan itu dilaksanakan di Bukit Judre, Selangor Malaysia. "Selama dua bulan penuh kami berlatih di Bukit Judre, meskipun secara geografis lebih rendah, namun kami kira persiapan itu cukup," katanya.

Menurut Basyir, paralayang adalah salah satu olahraga yang belakangan ini berkembang di Malaysia. Meski begitu, perlahan-lahan, jumlah peminatnya terus bertambah. "Sayangnya, Malaysia tidak memiliki tempat latihan yang bagus seperti di Indonesia," kata Basyir.

Uniknya, bila Malaysia menargetkan menang, justru atlet paralayang tuan rumah Jawa Timur tidak menargetkan apa-apa dalam event kali ini. Hal itu dikatakan Ketua Pelaksana Kejuaraan dan Festival Paralayang 2008, Yudho Nugroho. "Kita tidak menargetkan menang, justru event ini adalah event rekreasi bagi atlet Jawa Timur," kata Yudho.

Tidakadanya terget menang, kata Yudho, disebabkan karena para atlet sudah kelelahan saat berangkat di Pekan Olahraga Nasional (PON) ke-17 di Kalimantan Timur. Jawa Timur hanya mendapatkan dua medali perunggu dalam PON-17 lalu.

Meski begitu, Yudho menjelaskan, perlombaan kali ini menghadirkan juri tingkat nasional yang memiliki brivet serta menggunakan peralatan terkomputerisasi. Apalagi, lomba kali ini diikuti oleh atlet dari tiga negara, Malaysia, Brunei Darussalam dan Jepang. "Semua itu kami lakukan untuk memenuhi standarisasi internasional," kata Yudho.

Kejuaraan dan Festival Paralayang di Kota Batu adalah agenda tahunan yang digelar pemerintah kota setempat. Melalui event ini, Pemerintah Kota Batu mengharapkan adanya peningkatan kunjungan turis domestik maupun manca negara ke kota yang dikenal sebagai Kota Apel itu.

23 Juli 2008

Money Politics Urgent Dipikirkan NU

Kacung Marijan, Pengamat Politik Universitas Airlangga
Dimuat di The Jakarta Post

"Saya kira menjadi hal urgent dipikirkan NU. Apalagi, dua tahun terakhir, money politics sangat kental dalam Pilkada. Bisa kita check pada pilkada 2005, 2006, 2007 dan 2008, biayanya jauh lebih besar,"


Empat dari kandidat gubernur Jawa Timur adalah orang NU, sebenarnya seperti apa permainan politik NU sekarang?

Prinsipnya, NU selalu menyerahkan urusan politik kepada jamaah melalui partai politik, bukan pada organisasi NU. Karena sejarahnya, ketika NU masuk ke ranah politik, maka banyak urusan yang menjadi ranah NU menjadi terbengkalai. Cuma yang menjadi masalah, tidak lantas NU tidak tersentuh urusan politik. Apalagi NU berada pada tempat yang fakum, melainkan sangat dinamis. Sehingga NU yang sejak tahun 1984 tidak terjun dalam politik, secara langsung atau tidak, terlibat dalam politik. Saat NU memfasilitasi parpol warga NU. Deklarator PKB adalah pentolan NU. Memang tidak tegas, tapi yang memfasilitasi adalah NU. Sejak saat itu, sampai sekarang, NU terlibat politik. Meski NU bukan partai politik. Misalnya ada perumusan caleg, NU masih dilibatkan. Walau tahun 2004, keterlibatan NU dalam penentuan caleg tidak terlalu besar.

Apa yang sebenarnya terjadi di Jawa Timur? Terutama soal PKB?

Sejarah NU yang kuat di Jawa Timur terjadi karena PKB sedang gonjang-ganjing. Ada pandangan dari elit NU, tentang Jawa Timur adalah basis NU. Karena itulah, bila NU tak ikut cawe-cawe dalam urusan pilkada, sepertinya kok tidak bijaksana. Hal itu juga yang membuat adanya keinginan kuat untuk melibatkan diri secara lansung dalam Pilgub di Jawa Timur. Misalnya, ketika Musyawarah Wilayah NU untuk memilih ketua PWNU baru pada Nopember lalu, ada perjanjian atau kontrak jam’iah yang menyebutkan tidak diperbolehkannya ketua PWNU terlibat secara langsung maupun tidak langsung dalam politik praktis. Tapi, kontrak jam’iyah itu sudah mempengaruhi politik secara tidak langsung. Yang langsung untuk Ali Maschan Moesa yang ketika itu terpilih. Karena itulah Ali Mschan dihukum rame-rame. Yang awalnya didukung, akhirnya secara jamaah dihindari. Bahkan sekarang yang menghindari Ali Maschan sebagian besar ke kubu Khofifah. Waktu itu, maunya NU tak terserat urusan pencalonan ini. Jadi, kontak jam’iah ini tidak realistis. Kalau kita lihat, yang namanya terlibat tidak langsung itu maknanya sangat luas sama sekali. Misalnya terlibat di opini dan penggalangan massa. Misalnya, ketika PBNU buat menjadi racangan program dan ditawarkan ke calon gubernur, secara tidak langsung mempengaruhi calon gubernur. Dalam kehidupan politik yang dinamis, tidak mungkin akan tidak terlibat dalam politik.

Lalu, NU dengan prinsip akhlakul karimah, dan berpolitik, dan kita banyak dengar adanya money politics melalui sumbangan dll, ini bagaimana?

Ini sebenarnya sesuatu yang mengkhawatirkan. Dua minggu lalu ada diskusi tentang fikih dalam pilkada, termasuk soal money politics, kesimpulannya saat itu adalah haram. Hal itu bisa dicheck dalam forum basul masail (forum diskusi hukum kekinian). Persoalannya bila ada orang memberi, apakah itu termasuk money politics atau tidak. Seperti ada orang menyumbang ke pesantren, itukan biasa, tidak mungkin ditanya, menyumbang untuk apa. Dianggap tidak sopan. Saya kira menjadi hal urgent dipikirkan NU. Apalagi, dua tahun terakhir, money politics sangat kental dalam Pilkada. Bisa kita check pada pilkada 2005, 2006, 2007 dan 2008, biaya nya jauh lebih besar. Itu info dari tim masing-masing calon. Alasannya, pemilih yang memilih kandidat berdasarkan uang yang diberikan makin banyak. Kandidat tidak Cuma memperbutkan suara, tapi juga memperebutkan vote getter. Mereka harus dibayar juga.

Jadi para ulama tidak terlibat untuk menghapus money politics?

Saya lihat tidak, bahkan menjadi bagian dari itu. Itu menyedihkan, walaupun basul masail, pada dua minggu lalu mengharamkan money politics. Cuma hasil basul masail belum disosialisasikan ke ulama yang lain. Harusnya, ini menjadi isu media juga. Tapi saya lihat, tidak ada media yang melaporkan secara langsung.

Bisa Anda memberikan contoh money politics yang paling transparan dari ulama-ulama ini?

Seperti yang saya katakan, money politics yang langsung mungkin masih debatable, karena calon-calon bukan ke voter, tapi ke tokoh-tokoh, ini yang kemudian memberikan sumbangan bisa puluhan juta. Sumbangan Rp. 1 M pada pada NU, itu sebagian kecil saja.

Tapi itu money politics?

Kalau itu tujuannya untuk mengarahkan suara ke calon tertentu, itu money politics. Karena difinisi money politics itu adalah langkah sengaja untuk mengarahkan suaranya ke calon tertentu. Nah, itu (sumbangan Rp. 1 M, KAJI) adalah tidak langsung bagian dari money politics juga. Karena momennya jelas.

Apalagi, Hasyim Muzadi bersama istrinya kemana-mana bersama Khofifah?

Iya. Itu secara tidak langsung bagian dari money politics.

Lalu soal dukungan kepada 4 kandidat?

Awalnya Hasyim Muzadi mendukung Ali Maschan Moesa. Masalahnya, ada desakan Ali Maschan mundur, tapi tidak mau. Akhirnya konflik. Lalu, Khofifah yang tidak jadi agenda dicalonkan, akhirnya jadi agenda.

Kenapa Khofifah?

Karena Hasyim dan tokoh NU lain mencari alternative. Apalagi, Khofifah relative bersih, dan memiliki jaringan yang luas sampai ranting. Untuk menang, harus melalui hal seperti itu. Nah, saya tidak tahu, tiba-tiba dukungan luar biasa, dan itu tidak lepas dengan uang yang luar biasa juga. Tidak mungkin calon bisa iklan ½ halaman tiap hari di media massa, dan memasang billboard di seantro Jatim, tanpa uang Rp.100 M, itu tidak mungkin. Belum lagi, mobilisasi ndukungan di lavel grassroad, butuh modal yang luar biasa. Karena itu, dukungan itu luar biasa.

Juga pemberian mobil ke 44 Muslimat NU di kabupaten kota di Jatim?

Nah, itu juga. Faktanya, Muslimat 44 cabang dapat mobil APV. Belum juga partai yang lainya.

Hasil Polling Khofifah: 0 %, Karsa: 15 %

Iman D. Nugroho

Kalau KAJI dan KARSA memang dalam quick count usai pencoblosan Pemilihan Gubernur Jawa Timur 2008, namun tidak bagi netter. Hasil polling ID Daily menunjukkan, tidak ada sama sekali netter yang memilih Khofifah dan Mudjiono. Hmm,..


Dalam polling yang bertema “Kandidat Pilgub yang Bisa Menyelesaikan Masalah Jawa Timur” itu, netter ID Daily memilih jawaban “Tidak Ada”, 66 persen. Artinya, tidak ada kandidat yang dianggap bisa menyelesaikan persoalan di Jawa Timur. Sutjipto dan Ridwan Hisjam, kandidat yang berangkat dari PDI Perjuangan, mendapatkan 18 persen.

Soekarwo-Syaifullah Yusuf meraup 15 persen suara, disusul Soenarjo-Ali Maschan Moesa di belakangannya dengan perolehan 6 persen suara. Ahmady-Soehartono hanya mendapatkan 3 persen suara. Apappun hasilnya, memang tidak lantas menjadikan polling ini menjadi “penting”. Karena, hasil resmi KPU Jatim belum diumumkan.

Namun kesimpulannya agaknya sama: Tidak ada kandidat yang bisa menyelesaikan persoalan di Jawa Timur. Terutama soal semburan Lumpur Panas dan Berbahaya Lapindo Brantas Inc.



Banyak Pemilih Frustasi Melihat Elit Politik

Iman D Nugroho

Banyaknya jumlah golongan putih (golput) dalam Pemilihan Gubernur Jawa Timur 2008, mencapai hampir 40 persen, adalah hasil dari pemilih yang frustasi melihat prilaku politik elitnya. Hal itu membuat hasil pilkada gubernur secara sosial tidak terlegitimasi oleh masyarakat.


Sosiolog Ayu Sutarto melihat jelas kondisi itu. Menurut Ayu, golput bisa dilihat sebagai pergeseran cara pandang masyakat Jatim kepada vote getter yang tidal lain adalah tokoh dan kyai. Masyarakat melihat, birokrat, ulama dan tokoh masyarakat melakukan sesuatu yang jauh dari keinginan masyakat. “Ketika tokoh-tokoh ini menjadi vote getter, hasilnya justru penolakan dari masyarakat yang frustasi,” kata Ayu Sutarto pada The Post, Rabu (23/07) ini di Surabaya.

Dalam bahasa lain, Ayu melihat adanya erosi kepercayaan masyakaat pada figur ulama, politisi, dan birokrasi. Salah satu main problemnya adalah pendidikan politik yang keliru. “Kondisi itu diperparah dengan tidak bekerjanya mesin-mesin politik Lihat saja, yang membuat kandidat itu terpilih adalah adanya sentimen kepada kelompok tertentu, misalnya memilih calon yang perempuan satu-satunya, bukan karena jargon dan program kerja,” kata Ayu.

Intelektual muda NU Ali Khaidar menekankan, sosok vote getter yang selama ini dipilih oleh kandidat, seperti para kyai dan tokoh agama masyakat setempat, tidak lagi membawa pengaruh signifikan. Salah satu sebabnya, kyai dan tokoh masyatakat ini memiliki orientas yang beragam. “Tidak hanya di Jawa Timur, di banyak tempat, banyak kandidat yang didukung tokoh agama dan tokoh masyarakat malah tidak menang,” kata Ali Khaidar.

Namun, tokoh agama itu agaknya tetap dipakai sebagai vote getter karena biaya yang dikeluarkan untuk mereka tergolong murah. Dibandingkan dengan biaya yang diperlukan untuk iklan dan sarana komunikasi yang lain. “Masyarakat bisa melihat hal itu, banyak tokoh agama dan tokoh masyarakat yang berbicara seakan-akan membela masyarakat saat pilkada, padahal pada dalam kesehariannya justru melakukan hal-hal yang menyakitkan masyarakat,” kata Ali.

Ali melihat kondisi yang sama saat ketika Pemilihan Presiden langsung digelar pada 2004 lalu. Ketika itu, Hasyim Muzadi, Ketua PBNU maju sebagai calon wakil presiden bersama Megawati Soekarno Putri, malah kalah. Di tingkat kelurahan dan Kabupaten tempat Hasyim Muzadi tinggal, perolehan suara berada di bawah Susilo Bambang Yudhoyono.

Ketua Panitia Pengawas Pemilu (Panwaslu) Jawa Timur Sri Sugeng mencatat ada pelanggaran serius terjadi di Jawa Timur. Pelanggaran pertama adalah penghitungan suara di Madura yang dilakukan sebelum waktunya. Sementara di Ponorogo, undangan pencoblosan tidak diberikan pada setiap pemilih, melainkan hanya pada keluarga. Karena itu banyak yang merasa tidak diundang.

Meski begitu, Kapolda Jawa Timur Herman S. Sumawiredja mengatakan, hasil pantauan polsi di Jawa Timur selama pelaksanaan pilkada Jatim tidak mengindikasikan adanya kejadian luar biasa. Di beberapa titik yang dianggap rawan, seperti di Madura, Lumajang dan Malang masih aman-aman saja. “Tidak ada laporan tentang kejadian luar biasa, semua aman-aman saja,” katanya.



19 Juli 2008

Eksekusi Mati, Pengacara Merasa Gagal, Kejaksaan Malah Bangga

Iman D. Nugroho

Eksekusi mati dua terpidana mati asal Surabaya, Sumiasih dan Sugeng dilaksanakan di Surabaya, Sabtu (19/07) dinihari. Usai pelaksanaan eksekusi, jenazah keduanya diserahkan kepada keluarga untuk dimakamkan di Malang, Jawa Timur. Pengacara mengaku gagal, Kejaksaan malah bangga.


Drama eksekusi mati Sumiasih dan Sugeng itu diawali dari Lembaga Pemasyarakatan (LP) Medaeng, Surabaya. Dengan menggunakan enam mobil, keduanya dibawa di suatu tempat yang dirahasiakan. Beberapa wartawan yang coba membuntuti mobil yang membawa kedua narapidana, tidak mampu mengetahui lokasi pasti eksekusi itu, lantaran keenam mobil itu berjalan ke arah yang berbeda.

Ada dugaan, eksekusi itu dilakukan di lapangan tembak Markas Polda Jawa Timur di Jl. Ahmad Yani Surabaya. Beberapa wartawan yang menunggu di Mapolda Jatim melihat iring-iringan mobil masuk ke Mapolda Jatim. Tak lama berselang, iring-iringan mobil itu meninggalkan Mapolda Jatim dengan diiringi oleh sebuah mobil ambulance, menuju ke RSU Dr.Soetomo Surabaya untuk diotopsi.

“Yang pasti pelaksanaannya di sebuah lapangan luas, lokasi pastinya, jelas rahasia,” kata Kepala Kejaksaan Tinggi (Kejati) Jawa Timur yang juga Ketua Tim ekesekutor, Purwosudiro, Sabtu dini hari, usai pelaksanaan otopsi. Setelah semua proses selesai, jenazah Sumiasih dan Sugeng dirahterimakan kepada keluarga untuk dimakamkan di tempat pemakaman umum di Malang, Jawa Timur.

Sumiasih dan Sugeng adalah dua terpidana mati yang “tersisa” dalam kasus pembunuhan keluarga Letkol (purn) Marinir Purwanto dan empat anggota keluarganya di Surabaya 1988. Dua terpidana lain, Djais Adi Prayitno (meninggal karena sakit pada tahun 2005-RED) dan Adi Sucipto (dieksekusi mati tahun 1992-RED) sudah terlebih dahulu menghadap sang kuasa.

Atas pelaksanaan eksekusi itu, pengacara dua terpidana mati, Sutedja Djajasasmitha mengaku gagal mengubah nasib Sumiasih dan Sugeng. Upaya hukum Seutedja selama 20 tahun untuk mengubah vonis mati menjadi hukuman kurungan, tidak berhasil. “Namun semua upaya hukum mulai Naik Banding hingga Grasi Presiden, gagal, hingga akhirnya terdakwa dieksekusi pagi ini,” kata Sutedja.

Sutedja menilai, pelaksanaan hukuman mati hendaknya tidak lagi dilakukan diganti dengan hukuman badan seperti hukuman seumur hidup. “Meski gelap, Saya bisa melihat dari kegelapan bagaimana eksekusi itu,” kata Sutedja. Sumiasih dan Sugeng, katanya, duduk di dua kursi berjarak sekitar 20-an meter.

Tangan ibu dan anak itu ditalikan di sandaran belakang kursi. Di depan mereka ada dua regu tembak yang mengambil posisi tiarap. “Saya ada di sana sebagai saksi, para penembak tiarap, setelah ada komando, dua regu tembak itu menembak secara bersama-sama,” kata Sutedja. Semuanya mengarah ke bagian jantung yang ditandai dengan warna terang. Dor! Sumiasih dan Sugeng pun meninggal seketika.

Dua dokter polisi yang disiagakan di lokasi, segera memeriksa keadaan keduanya. Dan memastikan dua terpidana mati yang sudah menunggu pelaksanaan eksekusi selama 20 tahun itu benar-benar meregang nyawa. “Setelah itu Saya diminta menandatangani berita acara,” kata Sutedja. “Sebagai manusia, saya tidak ingin hal itu terjadi, Saya sudah berjuang bersama teman-teman jaringan di seluruh dunia untuk membatalkannya, tapi tetap gagal,” katanya.

Kejati Jatim yang juga Ketua Tim Eksekutor, Purwosudiro mendiskripsikan, Sumiasih dan Sugeng dalam keadaan ikhlas saat pelaksanaan eksekusi. Semua ditunjukkan dengan penandatanganan berita acara eksekusi oleh keduanya sebelum eksekusi dilaksanaan. “Keduanya mata mereka ditutup, mulut mereka dibiarkan terbuka untuk membaca doa,” kata Purwosudiro. Purwosudiro menjelaskan, tembakan peluru pasukan eksekusi menembus tubuh Sumiasih dan Sugeng.

Purwosudiro sempat menyinggung statemen beberapa pihak yang tidak sepakat dengan hukuman mati, dan mengatakan kedua terpidana menjalani hukuman dua kali, 20 tahun kurungan dan eksekusi mati. “Itu tidak benar, hukuman mereka cuma sekali, namun karena terpidana meminta banding, kasasi dan grasi, yang memakan waktu 20 tahun, kesannya pelaksanaan hukuman menjadi sangat panjang,” katanya. Padahal, bila Sumiasih dan Sugeng menerima vonis mati, maka eksekusi bisa langsung dilakukan. Seperti yang terjadi pada terpidana mati Adi Sucipto.

Kepala Kejaksaan Negeri yang juga anggota tim eksekutor, Abdul Azis mengatakan, apa yang dilakukan Kejaksaan Jawa Timur adalah penegakan Undang-Undang. Harus diingat, Sumiasih dan Sugeng sudah melakukan perbuatan keji berupa pembunuhan keluarga Letkol (purn) Marinis Purwanto. ”Pembunuhan yang dilakukan 13 Agustus 1989 itu memang keji, ingat, istri Letkol Purwanto sedang hamil ketika persitiwa itu terjadi,” katanya.

Tidak hanya membunuh, usai melakukan tindakan itu, korban dinaikkan ke mobil dan dibuang ke jurang dalam keadaan terbakar. “Jadi seharusnya kita bangga, penegakan hukum sudah dilakukan di Jawa Timur. Setelah Sumiasih, dua terpidana mati lain di Surabaya menunggu waktu eksekusi. “Tinggal tunggu saja, kalau grasi mereka ditolak, maka eksekusi akan segera dilakukan.

Meski begitu, Abdul Azis mengakui masih ada yang tidak setuju dengan pelaksanaan hukum mati. Ketidaksetujuan itu hendaknya disalurkan ke DPR untuk bisa merubah UU. “Kejaksaan hanya melaksanakan UU saja,” katanya.