Iman D. Nugroho
Kalau KAJI dan KARSA memang dalam quick count usai pencoblosan Pemilihan Gubernur Jawa Timur 2008, namun tidak bagi netter. Hasil polling ID Daily menunjukkan, tidak ada sama sekali netter yang memilih Khofifah dan Mudjiono. Hmm,..
Dalam polling yang bertema “Kandidat Pilgub yang Bisa Menyelesaikan Masalah Jawa Timur” itu, netter ID Daily memilih jawaban “Tidak Ada”, 66 persen. Artinya, tidak ada kandidat yang dianggap bisa menyelesaikan persoalan di Jawa Timur. Sutjipto dan Ridwan Hisjam, kandidat yang berangkat dari PDI Perjuangan, mendapatkan 18 persen.
Soekarwo-Syaifullah Yusuf meraup 15 persen suara, disusul Soenarjo-Ali Maschan Moesa di belakangannya dengan perolehan 6 persen suara. Ahmady-Soehartono hanya mendapatkan 3 persen suara. Apappun hasilnya, memang tidak lantas menjadikan polling ini menjadi “penting”. Karena, hasil resmi KPU Jatim belum diumumkan.
Namun kesimpulannya agaknya sama: Tidak ada kandidat yang bisa menyelesaikan persoalan di Jawa Timur. Terutama soal semburan Lumpur Panas dan Berbahaya Lapindo Brantas Inc.
23 Juli 2008
Banyak Pemilih Frustasi Melihat Elit Politik
Iman D Nugroho
Banyaknya jumlah golongan putih (golput) dalam Pemilihan Gubernur Jawa Timur 2008, mencapai hampir 40 persen, adalah hasil dari pemilih yang frustasi melihat prilaku politik elitnya. Hal itu membuat hasil pilkada gubernur secara sosial tidak terlegitimasi oleh masyarakat.
Sosiolog Ayu Sutarto melihat jelas kondisi itu. Menurut Ayu, golput bisa dilihat sebagai pergeseran cara pandang masyakat Jatim kepada vote getter yang tidal lain adalah tokoh dan kyai. Masyarakat melihat, birokrat, ulama dan tokoh masyarakat melakukan sesuatu yang jauh dari keinginan masyakat. “Ketika tokoh-tokoh ini menjadi vote getter, hasilnya justru penolakan dari masyarakat yang frustasi,” kata Ayu Sutarto pada The Post, Rabu (23/07) ini di Surabaya.
Dalam bahasa lain, Ayu melihat adanya erosi kepercayaan masyakaat pada figur ulama, politisi, dan birokrasi. Salah satu main problemnya adalah pendidikan politik yang keliru. “Kondisi itu diperparah dengan tidak bekerjanya mesin-mesin politik Lihat saja, yang membuat kandidat itu terpilih adalah adanya sentimen kepada kelompok tertentu, misalnya memilih calon yang perempuan satu-satunya, bukan karena jargon dan program kerja,” kata Ayu.
Intelektual muda NU Ali Khaidar menekankan, sosok vote getter yang selama ini dipilih oleh kandidat, seperti para kyai dan tokoh agama masyakat setempat, tidak lagi membawa pengaruh signifikan. Salah satu sebabnya, kyai dan tokoh masyatakat ini memiliki orientas yang beragam. “Tidak hanya di Jawa Timur, di banyak tempat, banyak kandidat yang didukung tokoh agama dan tokoh masyarakat malah tidak menang,” kata Ali Khaidar.
Namun, tokoh agama itu agaknya tetap dipakai sebagai vote getter karena biaya yang dikeluarkan untuk mereka tergolong murah. Dibandingkan dengan biaya yang diperlukan untuk iklan dan sarana komunikasi yang lain. “Masyarakat bisa melihat hal itu, banyak tokoh agama dan tokoh masyarakat yang berbicara seakan-akan membela masyarakat saat pilkada, padahal pada dalam kesehariannya justru melakukan hal-hal yang menyakitkan masyarakat,” kata Ali.
Ali melihat kondisi yang sama saat ketika Pemilihan Presiden langsung digelar pada 2004 lalu. Ketika itu, Hasyim Muzadi, Ketua PBNU maju sebagai calon wakil presiden bersama Megawati Soekarno Putri, malah kalah. Di tingkat kelurahan dan Kabupaten tempat Hasyim Muzadi tinggal, perolehan suara berada di bawah Susilo Bambang Yudhoyono.
Ketua Panitia Pengawas Pemilu (Panwaslu) Jawa Timur Sri Sugeng mencatat ada pelanggaran serius terjadi di Jawa Timur. Pelanggaran pertama adalah penghitungan suara di Madura yang dilakukan sebelum waktunya. Sementara di Ponorogo, undangan pencoblosan tidak diberikan pada setiap pemilih, melainkan hanya pada keluarga. Karena itu banyak yang merasa tidak diundang.
Meski begitu, Kapolda Jawa Timur Herman S. Sumawiredja mengatakan, hasil pantauan polsi di Jawa Timur selama pelaksanaan pilkada Jatim tidak mengindikasikan adanya kejadian luar biasa. Di beberapa titik yang dianggap rawan, seperti di Madura, Lumajang dan Malang masih aman-aman saja. “Tidak ada laporan tentang kejadian luar biasa, semua aman-aman saja,” katanya.
Banyaknya jumlah golongan putih (golput) dalam Pemilihan Gubernur Jawa Timur 2008, mencapai hampir 40 persen, adalah hasil dari pemilih yang frustasi melihat prilaku politik elitnya. Hal itu membuat hasil pilkada gubernur secara sosial tidak terlegitimasi oleh masyarakat.
Sosiolog Ayu Sutarto melihat jelas kondisi itu. Menurut Ayu, golput bisa dilihat sebagai pergeseran cara pandang masyakat Jatim kepada vote getter yang tidal lain adalah tokoh dan kyai. Masyarakat melihat, birokrat, ulama dan tokoh masyarakat melakukan sesuatu yang jauh dari keinginan masyakat. “Ketika tokoh-tokoh ini menjadi vote getter, hasilnya justru penolakan dari masyarakat yang frustasi,” kata Ayu Sutarto pada The Post, Rabu (23/07) ini di Surabaya.
Dalam bahasa lain, Ayu melihat adanya erosi kepercayaan masyakaat pada figur ulama, politisi, dan birokrasi. Salah satu main problemnya adalah pendidikan politik yang keliru. “Kondisi itu diperparah dengan tidak bekerjanya mesin-mesin politik Lihat saja, yang membuat kandidat itu terpilih adalah adanya sentimen kepada kelompok tertentu, misalnya memilih calon yang perempuan satu-satunya, bukan karena jargon dan program kerja,” kata Ayu.
Intelektual muda NU Ali Khaidar menekankan, sosok vote getter yang selama ini dipilih oleh kandidat, seperti para kyai dan tokoh agama masyakat setempat, tidak lagi membawa pengaruh signifikan. Salah satu sebabnya, kyai dan tokoh masyatakat ini memiliki orientas yang beragam. “Tidak hanya di Jawa Timur, di banyak tempat, banyak kandidat yang didukung tokoh agama dan tokoh masyarakat malah tidak menang,” kata Ali Khaidar.
Namun, tokoh agama itu agaknya tetap dipakai sebagai vote getter karena biaya yang dikeluarkan untuk mereka tergolong murah. Dibandingkan dengan biaya yang diperlukan untuk iklan dan sarana komunikasi yang lain. “Masyarakat bisa melihat hal itu, banyak tokoh agama dan tokoh masyarakat yang berbicara seakan-akan membela masyarakat saat pilkada, padahal pada dalam kesehariannya justru melakukan hal-hal yang menyakitkan masyarakat,” kata Ali.
Ali melihat kondisi yang sama saat ketika Pemilihan Presiden langsung digelar pada 2004 lalu. Ketika itu, Hasyim Muzadi, Ketua PBNU maju sebagai calon wakil presiden bersama Megawati Soekarno Putri, malah kalah. Di tingkat kelurahan dan Kabupaten tempat Hasyim Muzadi tinggal, perolehan suara berada di bawah Susilo Bambang Yudhoyono.
Ketua Panitia Pengawas Pemilu (Panwaslu) Jawa Timur Sri Sugeng mencatat ada pelanggaran serius terjadi di Jawa Timur. Pelanggaran pertama adalah penghitungan suara di Madura yang dilakukan sebelum waktunya. Sementara di Ponorogo, undangan pencoblosan tidak diberikan pada setiap pemilih, melainkan hanya pada keluarga. Karena itu banyak yang merasa tidak diundang.
Meski begitu, Kapolda Jawa Timur Herman S. Sumawiredja mengatakan, hasil pantauan polsi di Jawa Timur selama pelaksanaan pilkada Jatim tidak mengindikasikan adanya kejadian luar biasa. Di beberapa titik yang dianggap rawan, seperti di Madura, Lumajang dan Malang masih aman-aman saja. “Tidak ada laporan tentang kejadian luar biasa, semua aman-aman saja,” katanya.
19 Juli 2008
Eksekusi Mati, Pengacara Merasa Gagal, Kejaksaan Malah Bangga
Iman D. Nugroho
Eksekusi mati dua terpidana mati asal Surabaya, Sumiasih dan Sugeng dilaksanakan di Surabaya, Sabtu (19/07) dinihari. Usai pelaksanaan eksekusi, jenazah keduanya diserahkan kepada keluarga untuk dimakamkan di Malang, Jawa Timur. Pengacara mengaku gagal, Kejaksaan malah bangga.
Drama eksekusi mati Sumiasih dan Sugeng itu diawali dari Lembaga Pemasyarakatan (LP) Medaeng, Surabaya. Dengan menggunakan enam mobil, keduanya dibawa di suatu tempat yang dirahasiakan. Beberapa wartawan yang coba membuntuti mobil yang membawa kedua narapidana, tidak mampu mengetahui lokasi pasti eksekusi itu, lantaran keenam mobil itu berjalan ke arah yang berbeda.
Ada dugaan, eksekusi itu dilakukan di lapangan tembak Markas Polda Jawa Timur di Jl. Ahmad Yani Surabaya. Beberapa wartawan yang menunggu di Mapolda Jatim melihat iring-iringan mobil masuk ke Mapolda Jatim. Tak lama berselang, iring-iringan mobil itu meninggalkan Mapolda Jatim dengan diiringi oleh sebuah mobil ambulance, menuju ke RSU Dr.Soetomo Surabaya untuk diotopsi.
“Yang pasti pelaksanaannya di sebuah lapangan luas, lokasi pastinya, jelas rahasia,” kata Kepala Kejaksaan Tinggi (Kejati) Jawa Timur yang juga Ketua Tim ekesekutor, Purwosudiro, Sabtu dini hari, usai pelaksanaan otopsi. Setelah semua proses selesai, jenazah Sumiasih dan Sugeng dirahterimakan kepada keluarga untuk dimakamkan di tempat pemakaman umum di Malang, Jawa Timur.
Sumiasih dan Sugeng adalah dua terpidana mati yang “tersisa” dalam kasus pembunuhan keluarga Letkol (purn) Marinir Purwanto dan empat anggota keluarganya di Surabaya 1988. Dua terpidana lain, Djais Adi Prayitno (meninggal karena sakit pada tahun 2005-RED) dan Adi Sucipto (dieksekusi mati tahun 1992-RED) sudah terlebih dahulu menghadap sang kuasa.
Atas pelaksanaan eksekusi itu, pengacara dua terpidana mati, Sutedja Djajasasmitha mengaku gagal mengubah nasib Sumiasih dan Sugeng. Upaya hukum Seutedja selama 20 tahun untuk mengubah vonis mati menjadi hukuman kurungan, tidak berhasil. “Namun semua upaya hukum mulai Naik Banding hingga Grasi Presiden, gagal, hingga akhirnya terdakwa dieksekusi pagi ini,” kata Sutedja.
Sutedja menilai, pelaksanaan hukuman mati hendaknya tidak lagi dilakukan diganti dengan hukuman badan seperti hukuman seumur hidup. “Meski gelap, Saya bisa melihat dari kegelapan bagaimana eksekusi itu,” kata Sutedja. Sumiasih dan Sugeng, katanya, duduk di dua kursi berjarak sekitar 20-an meter.
Tangan ibu dan anak itu ditalikan di sandaran belakang kursi. Di depan mereka ada dua regu tembak yang mengambil posisi tiarap. “Saya ada di sana sebagai saksi, para penembak tiarap, setelah ada komando, dua regu tembak itu menembak secara bersama-sama,” kata Sutedja. Semuanya mengarah ke bagian jantung yang ditandai dengan warna terang. Dor! Sumiasih dan Sugeng pun meninggal seketika.
Dua dokter polisi yang disiagakan di lokasi, segera memeriksa keadaan keduanya. Dan memastikan dua terpidana mati yang sudah menunggu pelaksanaan eksekusi selama 20 tahun itu benar-benar meregang nyawa. “Setelah itu Saya diminta menandatangani berita acara,” kata Sutedja. “Sebagai manusia, saya tidak ingin hal itu terjadi, Saya sudah berjuang bersama teman-teman jaringan di seluruh dunia untuk membatalkannya, tapi tetap gagal,” katanya.
Kejati Jatim yang juga Ketua Tim Eksekutor, Purwosudiro mendiskripsikan, Sumiasih dan Sugeng dalam keadaan ikhlas saat pelaksanaan eksekusi. Semua ditunjukkan dengan penandatanganan berita acara eksekusi oleh keduanya sebelum eksekusi dilaksanaan. “Keduanya mata mereka ditutup, mulut mereka dibiarkan terbuka untuk membaca doa,” kata Purwosudiro. Purwosudiro menjelaskan, tembakan peluru pasukan eksekusi menembus tubuh Sumiasih dan Sugeng.
Purwosudiro sempat menyinggung statemen beberapa pihak yang tidak sepakat dengan hukuman mati, dan mengatakan kedua terpidana menjalani hukuman dua kali, 20 tahun kurungan dan eksekusi mati. “Itu tidak benar, hukuman mereka cuma sekali, namun karena terpidana meminta banding, kasasi dan grasi, yang memakan waktu 20 tahun, kesannya pelaksanaan hukuman menjadi sangat panjang,” katanya. Padahal, bila Sumiasih dan Sugeng menerima vonis mati, maka eksekusi bisa langsung dilakukan. Seperti yang terjadi pada terpidana mati Adi Sucipto.
Kepala Kejaksaan Negeri yang juga anggota tim eksekutor, Abdul Azis mengatakan, apa yang dilakukan Kejaksaan Jawa Timur adalah penegakan Undang-Undang. Harus diingat, Sumiasih dan Sugeng sudah melakukan perbuatan keji berupa pembunuhan keluarga Letkol (purn) Marinis Purwanto. ”Pembunuhan yang dilakukan 13 Agustus 1989 itu memang keji, ingat, istri Letkol Purwanto sedang hamil ketika persitiwa itu terjadi,” katanya.
Tidak hanya membunuh, usai melakukan tindakan itu, korban dinaikkan ke mobil dan dibuang ke jurang dalam keadaan terbakar. “Jadi seharusnya kita bangga, penegakan hukum sudah dilakukan di Jawa Timur. Setelah Sumiasih, dua terpidana mati lain di Surabaya menunggu waktu eksekusi. “Tinggal tunggu saja, kalau grasi mereka ditolak, maka eksekusi akan segera dilakukan.
Meski begitu, Abdul Azis mengakui masih ada yang tidak setuju dengan pelaksanaan hukum mati. Ketidaksetujuan itu hendaknya disalurkan ke DPR untuk bisa merubah UU. “Kejaksaan hanya melaksanakan UU saja,” katanya.
Eksekusi mati dua terpidana mati asal Surabaya, Sumiasih dan Sugeng dilaksanakan di Surabaya, Sabtu (19/07) dinihari. Usai pelaksanaan eksekusi, jenazah keduanya diserahkan kepada keluarga untuk dimakamkan di Malang, Jawa Timur. Pengacara mengaku gagal, Kejaksaan malah bangga.
Drama eksekusi mati Sumiasih dan Sugeng itu diawali dari Lembaga Pemasyarakatan (LP) Medaeng, Surabaya. Dengan menggunakan enam mobil, keduanya dibawa di suatu tempat yang dirahasiakan. Beberapa wartawan yang coba membuntuti mobil yang membawa kedua narapidana, tidak mampu mengetahui lokasi pasti eksekusi itu, lantaran keenam mobil itu berjalan ke arah yang berbeda.
Ada dugaan, eksekusi itu dilakukan di lapangan tembak Markas Polda Jawa Timur di Jl. Ahmad Yani Surabaya. Beberapa wartawan yang menunggu di Mapolda Jatim melihat iring-iringan mobil masuk ke Mapolda Jatim. Tak lama berselang, iring-iringan mobil itu meninggalkan Mapolda Jatim dengan diiringi oleh sebuah mobil ambulance, menuju ke RSU Dr.Soetomo Surabaya untuk diotopsi.
“Yang pasti pelaksanaannya di sebuah lapangan luas, lokasi pastinya, jelas rahasia,” kata Kepala Kejaksaan Tinggi (Kejati) Jawa Timur yang juga Ketua Tim ekesekutor, Purwosudiro, Sabtu dini hari, usai pelaksanaan otopsi. Setelah semua proses selesai, jenazah Sumiasih dan Sugeng dirahterimakan kepada keluarga untuk dimakamkan di tempat pemakaman umum di Malang, Jawa Timur.
Sumiasih dan Sugeng adalah dua terpidana mati yang “tersisa” dalam kasus pembunuhan keluarga Letkol (purn) Marinir Purwanto dan empat anggota keluarganya di Surabaya 1988. Dua terpidana lain, Djais Adi Prayitno (meninggal karena sakit pada tahun 2005-RED) dan Adi Sucipto (dieksekusi mati tahun 1992-RED) sudah terlebih dahulu menghadap sang kuasa.
Atas pelaksanaan eksekusi itu, pengacara dua terpidana mati, Sutedja Djajasasmitha mengaku gagal mengubah nasib Sumiasih dan Sugeng. Upaya hukum Seutedja selama 20 tahun untuk mengubah vonis mati menjadi hukuman kurungan, tidak berhasil. “Namun semua upaya hukum mulai Naik Banding hingga Grasi Presiden, gagal, hingga akhirnya terdakwa dieksekusi pagi ini,” kata Sutedja.
Sutedja menilai, pelaksanaan hukuman mati hendaknya tidak lagi dilakukan diganti dengan hukuman badan seperti hukuman seumur hidup. “Meski gelap, Saya bisa melihat dari kegelapan bagaimana eksekusi itu,” kata Sutedja. Sumiasih dan Sugeng, katanya, duduk di dua kursi berjarak sekitar 20-an meter.
Tangan ibu dan anak itu ditalikan di sandaran belakang kursi. Di depan mereka ada dua regu tembak yang mengambil posisi tiarap. “Saya ada di sana sebagai saksi, para penembak tiarap, setelah ada komando, dua regu tembak itu menembak secara bersama-sama,” kata Sutedja. Semuanya mengarah ke bagian jantung yang ditandai dengan warna terang. Dor! Sumiasih dan Sugeng pun meninggal seketika.
Dua dokter polisi yang disiagakan di lokasi, segera memeriksa keadaan keduanya. Dan memastikan dua terpidana mati yang sudah menunggu pelaksanaan eksekusi selama 20 tahun itu benar-benar meregang nyawa. “Setelah itu Saya diminta menandatangani berita acara,” kata Sutedja. “Sebagai manusia, saya tidak ingin hal itu terjadi, Saya sudah berjuang bersama teman-teman jaringan di seluruh dunia untuk membatalkannya, tapi tetap gagal,” katanya.
Kejati Jatim yang juga Ketua Tim Eksekutor, Purwosudiro mendiskripsikan, Sumiasih dan Sugeng dalam keadaan ikhlas saat pelaksanaan eksekusi. Semua ditunjukkan dengan penandatanganan berita acara eksekusi oleh keduanya sebelum eksekusi dilaksanaan. “Keduanya mata mereka ditutup, mulut mereka dibiarkan terbuka untuk membaca doa,” kata Purwosudiro. Purwosudiro menjelaskan, tembakan peluru pasukan eksekusi menembus tubuh Sumiasih dan Sugeng.
Purwosudiro sempat menyinggung statemen beberapa pihak yang tidak sepakat dengan hukuman mati, dan mengatakan kedua terpidana menjalani hukuman dua kali, 20 tahun kurungan dan eksekusi mati. “Itu tidak benar, hukuman mereka cuma sekali, namun karena terpidana meminta banding, kasasi dan grasi, yang memakan waktu 20 tahun, kesannya pelaksanaan hukuman menjadi sangat panjang,” katanya. Padahal, bila Sumiasih dan Sugeng menerima vonis mati, maka eksekusi bisa langsung dilakukan. Seperti yang terjadi pada terpidana mati Adi Sucipto.
Kepala Kejaksaan Negeri yang juga anggota tim eksekutor, Abdul Azis mengatakan, apa yang dilakukan Kejaksaan Jawa Timur adalah penegakan Undang-Undang. Harus diingat, Sumiasih dan Sugeng sudah melakukan perbuatan keji berupa pembunuhan keluarga Letkol (purn) Marinis Purwanto. ”Pembunuhan yang dilakukan 13 Agustus 1989 itu memang keji, ingat, istri Letkol Purwanto sedang hamil ketika persitiwa itu terjadi,” katanya.
Tidak hanya membunuh, usai melakukan tindakan itu, korban dinaikkan ke mobil dan dibuang ke jurang dalam keadaan terbakar. “Jadi seharusnya kita bangga, penegakan hukum sudah dilakukan di Jawa Timur. Setelah Sumiasih, dua terpidana mati lain di Surabaya menunggu waktu eksekusi. “Tinggal tunggu saja, kalau grasi mereka ditolak, maka eksekusi akan segera dilakukan.
Meski begitu, Abdul Azis mengakui masih ada yang tidak setuju dengan pelaksanaan hukum mati. Ketidaksetujuan itu hendaknya disalurkan ke DPR untuk bisa merubah UU. “Kejaksaan hanya melaksanakan UU saja,” katanya.
17 Juli 2008
Terpidana Mati Sugeng: Saya Lebih Senang Kalau Segera Eksekusi
Iman D. Nugroho
"Aku lebih senang kalau segera dieksekusi, tugas Saya sebagai manusia sudah selesai," kata Sugeng, seperti ditirukan Rahmawati N. Penisusantri. Sugeng adalah salah satu terpidana mati yang saat ini menunggu detik-detik eksekusinya. Bersama Sumiasih, ibunya yang juga terpidana mati, Sugeng mendekam di Lembaga Pemasyarakatan (LP) Medaeng, Surabaya.
Kamis (17/07/08) ini, Sugeng dikunjungi teman lamanya yang juga anggota Komisi E DPRD Jawa Timur, Rahmawati N. Penisusantri. Peni, panggilan akrab Rahmawati adalah teman Sugeng saat bersekolah di SMPN 2 Jombang.
Usai pertemuan Peni menceritakan, Sugeng kecewa lantaran ada beberapa orang yang ingin dijumpainya sebelum eksekusi dilaksanakan, namun tidak dipenuhi oleh Kejaksaan Tinggi. "Mengapa nama-nama yang ada di list tidak dipenuhi?" tanya Sugeng seperti ditirukan oleh Peni. Karena itu juga, melalui Peni, Sugeng akhirnya mengirim surat ke beberapa teman yang hingga detik-detik eksekusi dilakukan, masih belum menemuinya.
Pertemuan yang berlangsung 30 menit itu, kata Peni dipenuhi oleh ceramah agama Sugeng. "Sugeng mengingatkan saya untuk tidak berbicara soal 3 hal, maut, jodoh dan rezeki, saya bingung juga, kok tiba-tiba Sugeng jadi seperti ini (berbuah menjadi lebih sholeh)," kata Peni. "Agama juga yang membuat Sugeng siap untuk dieksekusi," katanya.
Di hari yang sama, M.Sholeh, salah satu pengacara Sumiasih dan Sugeng dilarang masuk ke LP Medaeng. Sholeh dianggap menyebarkan foto pertemuan Sumiasih dan Sugeng di LP Medaeng. "Saya akan melaporkan ke Komnas HAM," kata M. Soleh.
Sementara itu, Kamis ini, LP Medaeng diramaikan oleh aksi sejumlah aktivis dari Masyarakat Pro Demokrasi yang menuntut penghapusan hukuman mati di Indonesia. Hukuman mati dinilai tidak menghargai hak hidup manusia dan tidak membawa efek jera kepada pelaku kejahatan.
"Aku lebih senang kalau segera dieksekusi, tugas Saya sebagai manusia sudah selesai," kata Sugeng, seperti ditirukan Rahmawati N. Penisusantri. Sugeng adalah salah satu terpidana mati yang saat ini menunggu detik-detik eksekusinya. Bersama Sumiasih, ibunya yang juga terpidana mati, Sugeng mendekam di Lembaga Pemasyarakatan (LP) Medaeng, Surabaya.
Kamis (17/07/08) ini, Sugeng dikunjungi teman lamanya yang juga anggota Komisi E DPRD Jawa Timur, Rahmawati N. Penisusantri. Peni, panggilan akrab Rahmawati adalah teman Sugeng saat bersekolah di SMPN 2 Jombang.
Usai pertemuan Peni menceritakan, Sugeng kecewa lantaran ada beberapa orang yang ingin dijumpainya sebelum eksekusi dilaksanakan, namun tidak dipenuhi oleh Kejaksaan Tinggi. "Mengapa nama-nama yang ada di list tidak dipenuhi?" tanya Sugeng seperti ditirukan oleh Peni. Karena itu juga, melalui Peni, Sugeng akhirnya mengirim surat ke beberapa teman yang hingga detik-detik eksekusi dilakukan, masih belum menemuinya.
Pertemuan yang berlangsung 30 menit itu, kata Peni dipenuhi oleh ceramah agama Sugeng. "Sugeng mengingatkan saya untuk tidak berbicara soal 3 hal, maut, jodoh dan rezeki, saya bingung juga, kok tiba-tiba Sugeng jadi seperti ini (berbuah menjadi lebih sholeh)," kata Peni. "Agama juga yang membuat Sugeng siap untuk dieksekusi," katanya.
Di hari yang sama, M.Sholeh, salah satu pengacara Sumiasih dan Sugeng dilarang masuk ke LP Medaeng. Sholeh dianggap menyebarkan foto pertemuan Sumiasih dan Sugeng di LP Medaeng. "Saya akan melaporkan ke Komnas HAM," kata M. Soleh.
Sementara itu, Kamis ini, LP Medaeng diramaikan oleh aksi sejumlah aktivis dari Masyarakat Pro Demokrasi yang menuntut penghapusan hukuman mati di Indonesia. Hukuman mati dinilai tidak menghargai hak hidup manusia dan tidak membawa efek jera kepada pelaku kejahatan.
Perjuangan Mengubah Peta Berdampak Terus Berlangsung
Iman D. Nugroho
Perjuangan warga korban semburan lumpur panas dan berbahaya Lapindo di Porong, Sidoarjo, Jawa Timur, terus berlangsung. Masyarakat tiga desa yang selama ini belum dimasukkan ke dalam peta terdampak lumpur kembali bergejolak. Sebagian pergi ke Jakarta untuk bertemu Presiden SBY, sebagian lagi memilih untuk memberi support di daerahnya.
Salah satu koordinator warga tiga desa, Desa Besuki, Desa Pajarakan dan Desa Kedungcangkring yang ada di Jakarta, Ali Mursyid mengatakan, Kamis (17/07) ini adalah hari ke-5 perwakilan tiga desa berjuang di Jakarta. Saat dihubungi, Ali Mursyid dan 80 orang perwakilan lainnya sedang melakukan demonstrasi di depan Istana Negara, Jakarta. “Tuntutan kami tidak berubah, kami ingin Peraturan Presiden (Perpres) No.14 tahun 2007 diubah. Beberapa kawasan yang awalnya tidak dimasukkan sebagai wilayah terdampak, dimasukkan ke dalam peta terdampak,” kata Ali pada The Jakarta post, Kamis.
Perpres No.14 tahun 2007 tentang Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS) yang menjadi dasar penyelesaian kasus semburan lumpur Lapindo, memang banyak menuai kecaman. Salah satunya karena Perpres No.14 bertentangan dengan Undang-Undang Pengelolaan Lingkungan Hidup yang memprasyaratkan beban risiko perusakan lingkungan kepada pelaku (dalam hal ini adalah Lapindo Brantas Inc). Padahal dalam Perpres No.14justru beban resiko itu dialihkan kepada negara melalui APBN.
Selain itu, Perpres itu juga dianggap melanggar HAM karena mengabaikan hak warga Porong, Sidoarjo lain yang juga ikut terdampak semburan lumpur. Disebutkan dalam Perpres no.14 itu, Lapindo Brantas Inc hanya bertanggungjawab membeli tanah dan bangunan milik masyarakat di 5 desa terdampak Lapindo. Padahal kenyataannya, jumlah desa yang terkena jauh lebih banyak, hingga 11 desa. “Termasuk tiga desa kami, Kedungcangkring, Pejarakan, dan Besuki,” kata Ali.
Sayangnya, kata Ali, sejak hari pertama kedatangan perwakilan tiga desa ke Jakarta, Minggu lalu hingga saat ini, tuntutan mereka untuk bertemu dengan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono atau SBY, masih belum bisa dipenuhi. “Tidak ada yang menemui kami, tidak apa-apa, yang pasti kami akan terus berjuang di Jakarta, sampai keinginan kami terpenuhi,” katanya.
Sementara itu dari Porong, Sidoarjo, sekitar 100-an warga Desa Besuki melakukan aksi demonstrasi untuk mendukung perjuangan perwakilan yang ada di Jakarta. Aksi itu berupa blokade jalan bekas jalan tol Porong-Gempol. Tidak tanggung-tanggung, dalam aksi Rabu (16/07) lalu itu, warga menjadikan pipa pembuangan lumpur sebagai alat blokade jalan. Aksi itu membuat arus di Jl. Raya Porong, Sidoarjo terjebak dalam kemacetan parah.
Mobil-mobil yang biasanya menggunakan jalur alternatif itu untuk menghindari kemacetan di Jl. Raya Porong, terpaksa berbalik arah kembali ke Jl. Raya Porong. Penumpukan kendaraan membuat macet semakin panjang hingga 5 Km. Kendaraan roda empat yang keluar dari pintu keluar tol Porong, diarahkan kembali ke Kota Sidoarjo, karena Jl. Raya Porong tidak lagi bisa menampung volume kendaraan yang menumpuk.
Lala Saputra, salah satu demonstran warga Desa Besuki mengatakan, dirinya meminta maaf kepada pengendara yang terjebak di Jl. Raya Porong. Karena semua yang dilakukan warga Desa Besuki dan tiga desa lainnya, adalah upaya menuntut hak. “Kami meminta maaf, ini adalah salah satu upaya untuk mununtut hak kami,” katanya pada The Jakarta Post.
Sementara itu, Rabu kemarin, Menteri Koordinasi dan Kesejahteraan Rakyat (Menkokesra) Aburizal Bakrie untuk pertama kalinya mengunjungi korban lumpur Lapindo. Jelas bukan korban lumpur di Pasar Baru Porong atau di desa terdampak yang belum masuk ke peta berdasarkan Perpres no.14 2007, melainkan korban lumpur yang menerima ganti rugi resetlement di perumahan Kahuripan Nirwana Village (KNV), Kabupaten Sidoarjo.
Uniknya, kunjungan Aburizal ke korban lumpur Lapindo bukanlah kunjungan resmi, melainkan kunjungan “dadakan” setelah menghadiri Rakernas Partai Bintang Reformasi (PBR) di Hotel JW Marriott. Karena itu jugalah, “hanya” Wakil Bupati Syaiful Illah yang menemani orang terkaya di Indonesia itu. Itupun, Syaiful datang terlambat sekitar 30 menit.
Perjuangan warga korban semburan lumpur panas dan berbahaya Lapindo di Porong, Sidoarjo, Jawa Timur, terus berlangsung. Masyarakat tiga desa yang selama ini belum dimasukkan ke dalam peta terdampak lumpur kembali bergejolak. Sebagian pergi ke Jakarta untuk bertemu Presiden SBY, sebagian lagi memilih untuk memberi support di daerahnya.
Salah satu koordinator warga tiga desa, Desa Besuki, Desa Pajarakan dan Desa Kedungcangkring yang ada di Jakarta, Ali Mursyid mengatakan, Kamis (17/07) ini adalah hari ke-5 perwakilan tiga desa berjuang di Jakarta. Saat dihubungi, Ali Mursyid dan 80 orang perwakilan lainnya sedang melakukan demonstrasi di depan Istana Negara, Jakarta. “Tuntutan kami tidak berubah, kami ingin Peraturan Presiden (Perpres) No.14 tahun 2007 diubah. Beberapa kawasan yang awalnya tidak dimasukkan sebagai wilayah terdampak, dimasukkan ke dalam peta terdampak,” kata Ali pada The Jakarta post, Kamis.
Perpres No.14 tahun 2007 tentang Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS) yang menjadi dasar penyelesaian kasus semburan lumpur Lapindo, memang banyak menuai kecaman. Salah satunya karena Perpres No.14 bertentangan dengan Undang-Undang Pengelolaan Lingkungan Hidup yang memprasyaratkan beban risiko perusakan lingkungan kepada pelaku (dalam hal ini adalah Lapindo Brantas Inc). Padahal dalam Perpres No.14justru beban resiko itu dialihkan kepada negara melalui APBN.
Selain itu, Perpres itu juga dianggap melanggar HAM karena mengabaikan hak warga Porong, Sidoarjo lain yang juga ikut terdampak semburan lumpur. Disebutkan dalam Perpres no.14 itu, Lapindo Brantas Inc hanya bertanggungjawab membeli tanah dan bangunan milik masyarakat di 5 desa terdampak Lapindo. Padahal kenyataannya, jumlah desa yang terkena jauh lebih banyak, hingga 11 desa. “Termasuk tiga desa kami, Kedungcangkring, Pejarakan, dan Besuki,” kata Ali.
Sayangnya, kata Ali, sejak hari pertama kedatangan perwakilan tiga desa ke Jakarta, Minggu lalu hingga saat ini, tuntutan mereka untuk bertemu dengan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono atau SBY, masih belum bisa dipenuhi. “Tidak ada yang menemui kami, tidak apa-apa, yang pasti kami akan terus berjuang di Jakarta, sampai keinginan kami terpenuhi,” katanya.
Sementara itu dari Porong, Sidoarjo, sekitar 100-an warga Desa Besuki melakukan aksi demonstrasi untuk mendukung perjuangan perwakilan yang ada di Jakarta. Aksi itu berupa blokade jalan bekas jalan tol Porong-Gempol. Tidak tanggung-tanggung, dalam aksi Rabu (16/07) lalu itu, warga menjadikan pipa pembuangan lumpur sebagai alat blokade jalan. Aksi itu membuat arus di Jl. Raya Porong, Sidoarjo terjebak dalam kemacetan parah.
Mobil-mobil yang biasanya menggunakan jalur alternatif itu untuk menghindari kemacetan di Jl. Raya Porong, terpaksa berbalik arah kembali ke Jl. Raya Porong. Penumpukan kendaraan membuat macet semakin panjang hingga 5 Km. Kendaraan roda empat yang keluar dari pintu keluar tol Porong, diarahkan kembali ke Kota Sidoarjo, karena Jl. Raya Porong tidak lagi bisa menampung volume kendaraan yang menumpuk.
Lala Saputra, salah satu demonstran warga Desa Besuki mengatakan, dirinya meminta maaf kepada pengendara yang terjebak di Jl. Raya Porong. Karena semua yang dilakukan warga Desa Besuki dan tiga desa lainnya, adalah upaya menuntut hak. “Kami meminta maaf, ini adalah salah satu upaya untuk mununtut hak kami,” katanya pada The Jakarta Post.
Sementara itu, Rabu kemarin, Menteri Koordinasi dan Kesejahteraan Rakyat (Menkokesra) Aburizal Bakrie untuk pertama kalinya mengunjungi korban lumpur Lapindo. Jelas bukan korban lumpur di Pasar Baru Porong atau di desa terdampak yang belum masuk ke peta berdasarkan Perpres no.14 2007, melainkan korban lumpur yang menerima ganti rugi resetlement di perumahan Kahuripan Nirwana Village (KNV), Kabupaten Sidoarjo.
Uniknya, kunjungan Aburizal ke korban lumpur Lapindo bukanlah kunjungan resmi, melainkan kunjungan “dadakan” setelah menghadiri Rakernas Partai Bintang Reformasi (PBR) di Hotel JW Marriott. Karena itu jugalah, “hanya” Wakil Bupati Syaiful Illah yang menemani orang terkaya di Indonesia itu. Itupun, Syaiful datang terlambat sekitar 30 menit.