Iddaily Mobile | Dari Anda Untuk Publik
Youtube Pilihan Iddaily: Pati berani!
       

17 Juli 2008

Terpidana Mati Sugeng: Saya Lebih Senang Kalau Segera Eksekusi

Iman D. Nugroho

"Aku lebih senang kalau segera dieksekusi, tugas Saya sebagai manusia sudah selesai," kata Sugeng, seperti ditirukan Rahmawati N. Penisusantri. Sugeng adalah salah satu terpidana mati yang saat ini menunggu detik-detik eksekusinya. Bersama Sumiasih, ibunya yang juga terpidana mati, Sugeng mendekam di Lembaga Pemasyarakatan (LP) Medaeng, Surabaya.


Kamis (17/07/08) ini, Sugeng dikunjungi teman lamanya yang juga anggota Komisi E DPRD Jawa Timur, Rahmawati N. Penisusantri. Peni, panggilan akrab Rahmawati adalah teman Sugeng saat bersekolah di SMPN 2 Jombang.

Usai pertemuan Peni menceritakan, Sugeng kecewa lantaran ada beberapa orang yang ingin dijumpainya sebelum eksekusi dilaksanakan, namun tidak dipenuhi oleh Kejaksaan Tinggi. "Mengapa nama-nama yang ada di list tidak dipenuhi?" tanya Sugeng seperti ditirukan oleh Peni. Karena itu juga, melalui Peni, Sugeng akhirnya mengirim surat ke beberapa teman yang hingga detik-detik eksekusi dilakukan, masih belum menemuinya.

Pertemuan yang berlangsung 30 menit itu, kata Peni dipenuhi oleh ceramah agama Sugeng. "Sugeng mengingatkan saya untuk tidak berbicara soal 3 hal, maut, jodoh dan rezeki, saya bingung juga, kok tiba-tiba Sugeng jadi seperti ini (berbuah menjadi lebih sholeh)," kata Peni. "Agama juga yang membuat Sugeng siap untuk dieksekusi," katanya.

Di hari yang sama, M.Sholeh, salah satu pengacara Sumiasih dan Sugeng dilarang masuk ke LP Medaeng. Sholeh dianggap menyebarkan foto pertemuan Sumiasih dan Sugeng di LP Medaeng. "Saya akan melaporkan ke Komnas HAM," kata M. Soleh.

Sementara itu, Kamis ini, LP Medaeng diramaikan oleh aksi sejumlah aktivis dari Masyarakat Pro Demokrasi yang menuntut penghapusan hukuman mati di Indonesia. Hukuman mati dinilai tidak menghargai hak hidup manusia dan tidak membawa efek jera kepada pelaku kejahatan.


Perjuangan Mengubah Peta Berdampak Terus Berlangsung

Iman D. Nugroho

Perjuangan warga korban semburan lumpur panas dan berbahaya Lapindo di Porong, Sidoarjo, Jawa Timur, terus berlangsung. Masyarakat tiga desa yang selama ini belum dimasukkan ke dalam peta terdampak lumpur kembali bergejolak. Sebagian pergi ke Jakarta untuk bertemu Presiden SBY, sebagian lagi memilih untuk memberi support di daerahnya.


Salah satu koordinator warga tiga desa, Desa Besuki, Desa Pajarakan dan Desa Kedungcangkring yang ada di Jakarta, Ali Mursyid mengatakan, Kamis (17/07) ini adalah hari ke-5 perwakilan tiga desa berjuang di Jakarta. Saat dihubungi, Ali Mursyid dan 80 orang perwakilan lainnya sedang melakukan demonstrasi di depan Istana Negara, Jakarta. “Tuntutan kami tidak berubah, kami ingin Peraturan Presiden (Perpres) No.14 tahun 2007 diubah. Beberapa kawasan yang awalnya tidak dimasukkan sebagai wilayah terdampak, dimasukkan ke dalam peta terdampak,” kata Ali pada The Jakarta post, Kamis.

Perpres No.14 tahun 2007 tentang Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS) yang menjadi dasar penyelesaian kasus semburan lumpur Lapindo, memang banyak menuai kecaman. Salah satunya karena Perpres No.14 bertentangan dengan Undang-Undang Pengelolaan Lingkungan Hidup yang memprasyaratkan beban risiko perusakan lingkungan kepada pelaku (dalam hal ini adalah Lapindo Brantas Inc). Padahal dalam Perpres No.14justru beban resiko itu dialihkan kepada negara melalui APBN.

Selain itu, Perpres itu juga dianggap melanggar HAM karena mengabaikan hak warga Porong, Sidoarjo lain yang juga ikut terdampak semburan lumpur. Disebutkan dalam Perpres no.14 itu, Lapindo Brantas Inc hanya bertanggungjawab membeli tanah dan bangunan milik masyarakat di 5 desa terdampak Lapindo. Padahal kenyataannya, jumlah desa yang terkena jauh lebih banyak, hingga 11 desa. “Termasuk tiga desa kami, Kedungcangkring, Pejarakan, dan Besuki,” kata Ali.

Sayangnya, kata Ali, sejak hari pertama kedatangan perwakilan tiga desa ke Jakarta, Minggu lalu hingga saat ini, tuntutan mereka untuk bertemu dengan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono atau SBY, masih belum bisa dipenuhi. “Tidak ada yang menemui kami, tidak apa-apa, yang pasti kami akan terus berjuang di Jakarta, sampai keinginan kami terpenuhi,” katanya.

Sementara itu dari Porong, Sidoarjo, sekitar 100-an warga Desa Besuki melakukan aksi demonstrasi untuk mendukung perjuangan perwakilan yang ada di Jakarta. Aksi itu berupa blokade jalan bekas jalan tol Porong-Gempol. Tidak tanggung-tanggung, dalam aksi Rabu (16/07) lalu itu, warga menjadikan pipa pembuangan lumpur sebagai alat blokade jalan. Aksi itu membuat arus di Jl. Raya Porong, Sidoarjo terjebak dalam kemacetan parah.

Mobil-mobil yang biasanya menggunakan jalur alternatif itu untuk menghindari kemacetan di Jl. Raya Porong, terpaksa berbalik arah kembali ke Jl. Raya Porong. Penumpukan kendaraan membuat macet semakin panjang hingga 5 Km. Kendaraan roda empat yang keluar dari pintu keluar tol Porong, diarahkan kembali ke Kota Sidoarjo, karena Jl. Raya Porong tidak lagi bisa menampung volume kendaraan yang menumpuk.

Lala Saputra, salah satu demonstran warga Desa Besuki mengatakan, dirinya meminta maaf kepada pengendara yang terjebak di Jl. Raya Porong. Karena semua yang dilakukan warga Desa Besuki dan tiga desa lainnya, adalah upaya menuntut hak. “Kami meminta maaf, ini adalah salah satu upaya untuk mununtut hak kami,” katanya pada The Jakarta Post.

Sementara itu, Rabu kemarin, Menteri Koordinasi dan Kesejahteraan Rakyat (Menkokesra) Aburizal Bakrie untuk pertama kalinya mengunjungi korban lumpur Lapindo. Jelas bukan korban lumpur di Pasar Baru Porong atau di desa terdampak yang belum masuk ke peta berdasarkan Perpres no.14 2007, melainkan korban lumpur yang menerima ganti rugi resetlement di perumahan Kahuripan Nirwana Village (KNV), Kabupaten Sidoarjo.

Uniknya, kunjungan Aburizal ke korban lumpur Lapindo bukanlah kunjungan resmi, melainkan kunjungan “dadakan” setelah menghadiri Rakernas Partai Bintang Reformasi (PBR) di Hotel JW Marriott. Karena itu jugalah, “hanya” Wakil Bupati Syaiful Illah yang menemani orang terkaya di Indonesia itu. Itupun, Syaiful datang terlambat sekitar 30 menit.

16 Juli 2008

Jelang Eksekusi, Sumiasih Tidak Diberi Kesempatan Mengikuti Kebaktian

Iman D. Nugroho

Menjelang hari pelaksanaan eksekusi atas dua terpidana mati Sumiasih dan Sugeng, terpidana mati Sumiasih tidak diberi kesempatan mengikuti kebaktian harian yang dilaksanakan di Gereja Lembaga Pemasyarakatan (LP) Medaeng, Surabaya. Pelaksanaan kebaktian harian Sumiasih hanya dilakukan di sel yang kini ditempati oleh Sumiasih. Hal itu dikatakan Pendeta Sindunata dari Gereja Full Gospel, Surabaya. "Sumiasih tidak boleh mengikuti kebaktian harian, Saya tidak melihat dia di gereja LP," kata Sindunata pada The Jakarta Post, Rabu (16/07/08) ini.



Pendeta Sindunata mengaku heran dengan hal itu. Karena bagi terpidana mati yang akan dieksekusi, mendekatkan diri kepada Tuhan adalah salah satu solusi untuk menenangkan diri. "Saya juga heran, mengapa Sumiasih tidak diperbolehkan mengikuti kebaktian," kata Sindunata, beberapa saat setelah dirinya menggelar kebaktian.

Sumiarsih (59) dan Sugeng (44) adalah dua terpidana mati yang "tersisa" dalam kasus pembunuhan berencana atas lima orang keluarga Letkol (Marinir) Poerwanto. Dua terpidana mati lain Djais Adi Prayitno (suami Suamiasih) dan menantunya Adi Saputro sudah meninggal dunia. Djais Adi Prayitno meninggal karena sakit pada tahun 2005, sementara Adi Saputro dieksekusi mati pada 1 Desember 1992 lalu.

Sejak divonis mati pada tahun 1988, Sumiasih dipenjara di LP Wanita, Malang. Sementara Sugeng mendekam di LP. Porong Sidoarjo. Selama ini Sumiasih dan Sugeng terus mengajukan grasi kepada Presiden RI. Perjuangan keduanya mendapatkan pengampunan dari Presiden berakhir ketika Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menolak permohonan grasi itu. Eksekusi Sumiasih dan Sugeng pun segera dilakukan. Selasa malam kemarin, Sumiasih dan Sugeng dipindahkan ke LP. Medaeng, Surabaya.

Salah satu anak Sumiasih, Rosmawati yang akan menjenguk ibu dan kakaknya Rabu pagi harus gigit jari. Karena tidak membawa surat dari Kejaksaan Negeri (Kejadi) Surabaya, Rosmawati yang didampingi rohaniawan Andreas Rusmandala dilarang masuk ke dalam LP. Medaeng. "Tolong, jangan sekarang (wawancaranya-RED), Saya masih sangat tertekan, kami akan ke Kejari untuk mengambil surat," kata Rosmawati kepada wartawan yang mencegatnya di depan LP. Medaeng. Hingga berita ini diturunkan, Rosmawati dan Andreas Rusmandala masih berada di Kejari Surabaya untuk menunggu surat izin bezuk.

Rohaniawan Lenny Chandra, dari Gereja Pelita Kasih yang Rabu ini memimpin kebaktian di LP. Medaeng mengaku melihat sel tempat Sumiasih selalu tertutup. Lenny menyaksikan dua rohaniawan lain, Ibu Hartono dan Johnatan Jie yang terlihat mondar-mandir di sekitar sel tempat Sumiasih tinggal. "Mungkin keduanya (Ibu Hartono dan Johnatan Jie-RED) yang saat ini intens menemani Sumiasih di selnya," kata Lenny pada The Jakarta Post.

Hingga saat ini, masih belum diketahui secara pasti kapan eksekusi penembakan mati Sumiasih dan Sugeng akan dilakukan. Hanya saja, Dari pengamatan The Jakarta Post, penjagaan di sekitar LP. Medaeng mulai ditingkatkan. Satu truk petugas Brimob Polda Jatim berjaga-jaga di pintu masuk menuju LP. Medaeng. Pihak LP. Medaeng pun bersiap-siap dengan memasang kawat berduri di pepohonan yang berada di seberang pintu keluar LP. Pohon itu biasanya digunakan wartawan untuk mengambil gambar keluarnya terpidana mati. "Wah, kalau seperti ini, bisa-bisa kita bisa kesulitan mengambil gambar," keluh Eddy Prasetyono, wartawan sebuah media online di Surabaya.

Rohaniawan yang mendampingi keluarga Sumiasih dan Sugeng, Andreas Rusmandala mengatakan dirinya juga tidak mengetahui kapan secara pasti eksekusi itu akan dilakukan. Hanya saja, pihak rohaniawan diminta untuk mendampingi terpidana mati 3x24 jam. Hal yang sama juga dilakukan rohaniawan asal Yayasan Dana Sosial al-Fallah (YDSF) yang mendampingi Sugeng (yang beragama muslim) menjelang pelaksanaan eksekusi.

ITS Tawarkan Kolaborasi dengan NOAA untuk Tangani Tsunami

Press Release

Meski isu tsunami sudah bukan hal baru lagi, namun sistem peringatan dini terhadap datangnya bencana tsunami atau yang dikenal Tsunami Early Warning System (TEWS) masih kurang dipahami oleh sebagian besar masyarakat Indonesia.


Untuk itu, peneliti dari National Oceanic and Atmospheric Administration (NOAA) David McKinnie mencoba membantu menyosialisasikan teknologi TEWS tersebut melalui perguruan tinggi, salah satunya di Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Surabaya, Selasa (15/7). NOAA merupakan lembaga penelitian dari Amerika Serikat yang memfokuskan penelitiannya salah satunya pada berbagai gejala yang terjadi di laut.

Dalam paparannya, David mengingatkan bahwa dalam menghadapi bencana tsunami, yang paling penting adalah adanya kesiapan dari masyarakat setempat. ”Tanpa adanya kesiapan masyarakat, adanya teknologi deteksi, peringatan ataupun ramalan terhadap tsunami tetap akan sia-sia,” tegasnya dalam sarasehan ”Teknologi Tsunami Early Warning System” di Gedung Rektorat ITS.

Sarasehan ini dihadiri oleh sejumlah pakar dari ITS dan juga para utusan dari berbagai instansi terkait di Pemprov Jatim, termasuk di antaranya pakar tata ruang ITS Prof Johan Silas.

Dalam diskusinya, beberapa peserta menanyakan teknologi yang dikembangkan di NOAA untuk melakukan deteksi dini terhadap tsunami. Sebab, di Indonesia saat ini teknologi yang ada baru bisa mendeteksi datangnya tsunami sekitar 15-20 menit sebelumnya. Sehingga sering kesulitan untuk melakukan penanganan secepat mungkin, karena waktu yang dibutuhkan terlalu pendek.

”Kami masih terus mengembangkan teknologinya untuk bisa mendeteksi sedini mungkin. Sebenarnya pendeteksian datangnya tsunami berbeda-beda tergantung pada lokasi gempa dan besarannya di tengah lautan, tapi biasanya sekitar 20 menit sampai 1 jam sebelumnya,” jelas David yang menjabat sebagai Science Fellow Kedutaan Besar AS di Jakarta.

Dalam hal ini, ITS juga menawarkan sejumlah kerjasama yang bisa dilakukan bersama NOAA. Di antaranya kerjasama untuk mengembangkan teknologi komunikasi dalam menyampaikan peringatan dini tsunami dari lautan menuju ke daratan.
”Dengan mengembangkan teknologi TEWS secara computerized diharapkan bisa lebih mempercepat informasi dan koordinasi dalam menghadapi datangnya tsunami,” jelas Dr Ir Wahyudi, Kepala Pusat Studi Bencana dan Kebumian ITS yang juga didampingi Haryo Dwito Armono ST PhD, pembantu Dekan IV Fakultas Teknologi Kelautan (FTK) ITS.

Sebab, selama ini juga teknologi TEWS yang sudah diterapkan di Indonesia masih didatangkan dari luar negeri dan juga melibatkan para pakar dari mancanegara. Sehingga dipastikan memakan biaya yang tak sedikit. ”Tidak ada salahnya kalau kita mencoba megembangkan sendiri dari pakar-pakar yang ada di Indonesia ini,” ujar Wahyudi.

Selain, kerjasama untuk menangani bencana tsnami, ITS juga menawarkan kolaborasi penelitian dengan NOAA untuk mengatasi kerusakan alam lainnya seperti kerusakan pada laut yang juga bisa menyebabkan atau memicu terjadinya bencana.

HUMAS-ITS, 15 Juli 2008

14 Juli 2008

Harga BBM dan Ombak Tinggi Pukul Nelayan Banyuwangi

Iman D. Nugroho

Kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) dan tingginya ombak belakangan ini adalah pukulan telak bagi nelayan di Pelabuhan Muncar. Banyuwangi. Keengganan nelayan melaut karena menghemat BBM dan menghindari ombak tinggi, membuat pasokan ikan menipis. Akibatnya, harga ikan pun melambung tinggi.


Minimnya pasokan ikan itu mulai terasa sejak dua minggu lalu. Beberapa jenis ikan, seperti Ikan Lemuru, Ikan Tongkol dan Ikan Layang yang menjadi andalan nelayan di Pelabuhan Muncar, Banyuwangi perlahan-lahan menghilang di pasaran setempat. Kalau toh ada, harganya jauh melambung tinggi. “Sejak dua minggu lalu, stok ikan mulai menipis, banyak nelayan yang memilih untuk tidak melaut,” kata Syaiful Johan, pengepul ikan di Muncar Banyuwangi pada The Jakarta Post.

Bagi pengecer ikan, sedikitnya pasokan ikan adalah “mimpi buruk”. Jumaiyah adalah salah satunya. Perempuan pedagang ikan eceran di Pasar Ikan Muncar ini mengatakan barang dagangannya banyak yang tidak terjual lantaran harganya terlalu tinggi. “Ikan tongkol yang biasanya Rp.6 ribu/Kg, saat ini bisa mencapai Rp.9 ribu/Kg, tidak banyak orang yang membeli ikan dengan harga setinggi itu,” katanya.

Kabupaten Banyuwangi terletak 239 Km sebelah timur Surabaya. Di kabupaten ini terdapat Pelabuhan Ketapang yang merupakan pintu masuk menuju Pulau Bali dengan menggunakan kapal feri. Selain bertani, penduduk Kabupaten Banyuwangi hidup sebagai nelayan. Terutama penduduk yang menepat di sekitar pantai yang terbentang di bagian timur dan selatan kabupaten ini. Pelabuhan pendaratan ikan Muncar, yang terletak di Kecamatan Muncar, adalah salah satu pelabuhan ikan terbesar di Jawa Timur.

Di Kecamatan Muncar inilah terdapat puluhan pabrik pengolahan ikan. Selain dijual di pasaran, ikan yang ditangkap juga diolah menjadi produk sarden, sosis ikan, daging burger ikan, dan fish finger. Kebanyakan, produk hasil olahan dari Muncar dieksport ke Hongkong, Singapura bahkan sampai Belanda. Hasil pengolahan sampingan lain adalah minyak ikan. Penduduk setempat memanfaatkan minyak ikan untuk dijual atau diolah kembali.

Kenaikan harga BBM yang ditetapkan pemerintah awal tahun ini membuat nelayan Muncar kelimpungan. Hasil tangkapan ikan tidak sebanding dengan harga solar yang melambung. “Seringkali, ikan yang ditangkap hanya pas untuk mengganti ongkos solar, sama sekali tidak sebanding,” kata Subairi, salah satu nelayan. Tak heran bila banyak nelayan yang memilih untuk tidak melaut karena itu. Tak sedikit yang menjual kapanya dan beralih ke bisnis lain. “Kapal yang saya miliki sudah saya jual, sekarang saya membuka warung,” kata Subairi.

Warga Muncar yang memilih untuk tetap menjadi nelayan, memilih waktu yang tepat untuk melaut. Bila dirasa ombak terlalu besar, nelayan memilih untuk tetap di darat. Pekan lalu, Badan Meteorologi dan Geofisika (BMG) Surabaya merilis besarnya ombak di Samudera Hindia. Menurut BMG, tinggi gelombang di lautan Nusa Tenggara Barat mencapai 2 hingga 5 meter dengan kecepatan angin 45-60 Km/jamnya. Kondisi yang sangat membahayakan bagi nelayan. BMG menghimbau nelayan untuk tidak melaut dahulu.

Memang, nelayan Muncar tidak mengetahui himbauan BMG, namun, nelayan memiliki “rambu-rambu” tersendiri. “Biasanya, kalau menjelang pertengahan bulan, mulai tanggal 12-17, banyak nelayan yang tidak melaut, pada tanggal itulah ombak sedang besar,” kata Subaeri. Di darat, nelayan memilih untuk memperbaiki kapal atau memeriksa jaring. “Dulunya sih, nelayan Muncar tidak takut ombak besar, kita terjang saja. Tapi belakangan, saat harga BBM melambung, nelayan jadi mikir-mikir, untung tidak banyak, nyawa taruhannya,” kata Subairi. Apalagi, daerah pencarian ikan nelayan Muncar hingga ke perairan Nusa Tenggara Barat, bahkan sampai ke Samudera Hindia, perbatasan dengan Australia.

Hal lain yang bisa dilakukan nelayan adalah pilih-pilih jenis ikan yang diperkirakan memiliki nilai jual tinggi. Menangkap Ikan Hiu adalah salah satu pilihan. Harga jual Ikan Hiu relatif tidak berubah. Pengepul ikan Syaiful Johan mengatakan, harga jual satu ekor ikan hiu dengan siripnya berkisar Rp.20 Ribu/Kg. Untuk harga seperti itu, seekor ikan hiu memiliki panjang kurang lebih 1,5M dengan sirip sepanjang 30-40 Cm. Berat totalnya sekitar 1 kwintal. “Meski tidak banyak namun nelayan sering menjual ikan hiu yang ditangkapnya,” kata Syaiful.

Di pasaran, harga jual sirip hiu masih tergolong tinggi. Sirip Hiu Hitam misalnya, masih bisa dijual dengan harga Rp1.2 juta/Kg. Jenis Hiu Kikir ditawarkan Rp. 500 ribuan/Kg, sementara sirip Hiu Putih dipatok harga hingga Rp.1.5 juta/Kg. Hiu jenis Kupu-kupu dan Hiu Karet dijual Rp. 700 ribu/Kg. “Namun, jumlah-nya tidak banyak, karena nelayan memang jarang melaut,” kata Syaiful.