Iman D. Nugroho
Menjelang hari pelaksanaan eksekusi atas dua terpidana mati Sumiasih dan Sugeng, terpidana mati Sumiasih tidak diberi kesempatan mengikuti kebaktian harian yang dilaksanakan di Gereja Lembaga Pemasyarakatan (LP) Medaeng, Surabaya. Pelaksanaan kebaktian harian Sumiasih hanya dilakukan di sel yang kini ditempati oleh Sumiasih. Hal itu dikatakan Pendeta Sindunata dari Gereja Full Gospel, Surabaya. "Sumiasih tidak boleh mengikuti kebaktian harian, Saya tidak melihat dia di gereja LP," kata Sindunata pada The Jakarta Post, Rabu (16/07/08) ini.
Pendeta Sindunata mengaku heran dengan hal itu. Karena bagi terpidana mati yang akan dieksekusi, mendekatkan diri kepada Tuhan adalah salah satu solusi untuk menenangkan diri. "Saya juga heran, mengapa Sumiasih tidak diperbolehkan mengikuti kebaktian," kata Sindunata, beberapa saat setelah dirinya menggelar kebaktian.
Sumiarsih (59) dan Sugeng (44) adalah dua terpidana mati yang "tersisa" dalam kasus pembunuhan berencana atas lima orang keluarga Letkol (Marinir) Poerwanto. Dua terpidana mati lain Djais Adi Prayitno (suami Suamiasih) dan menantunya Adi Saputro sudah meninggal dunia. Djais Adi Prayitno meninggal karena sakit pada tahun 2005, sementara Adi Saputro dieksekusi mati pada 1 Desember 1992 lalu.
Sejak divonis mati pada tahun 1988, Sumiasih dipenjara di LP Wanita, Malang. Sementara Sugeng mendekam di LP. Porong Sidoarjo. Selama ini Sumiasih dan Sugeng terus mengajukan grasi kepada Presiden RI. Perjuangan keduanya mendapatkan pengampunan dari Presiden berakhir ketika Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menolak permohonan grasi itu. Eksekusi Sumiasih dan Sugeng pun segera dilakukan. Selasa malam kemarin, Sumiasih dan Sugeng dipindahkan ke LP. Medaeng, Surabaya.
Salah satu anak Sumiasih, Rosmawati yang akan menjenguk ibu dan kakaknya Rabu pagi harus gigit jari. Karena tidak membawa surat dari Kejaksaan Negeri (Kejadi) Surabaya, Rosmawati yang didampingi rohaniawan Andreas Rusmandala dilarang masuk ke dalam LP. Medaeng. "Tolong, jangan sekarang (wawancaranya-RED), Saya masih sangat tertekan, kami akan ke Kejari untuk mengambil surat," kata Rosmawati kepada wartawan yang mencegatnya di depan LP. Medaeng. Hingga berita ini diturunkan, Rosmawati dan Andreas Rusmandala masih berada di Kejari Surabaya untuk menunggu surat izin bezuk.
Rohaniawan Lenny Chandra, dari Gereja Pelita Kasih yang Rabu ini memimpin kebaktian di LP. Medaeng mengaku melihat sel tempat Sumiasih selalu tertutup. Lenny menyaksikan dua rohaniawan lain, Ibu Hartono dan Johnatan Jie yang terlihat mondar-mandir di sekitar sel tempat Sumiasih tinggal. "Mungkin keduanya (Ibu Hartono dan Johnatan Jie-RED) yang saat ini intens menemani Sumiasih di selnya," kata Lenny pada The Jakarta Post.
Hingga saat ini, masih belum diketahui secara pasti kapan eksekusi penembakan mati Sumiasih dan Sugeng akan dilakukan. Hanya saja, Dari pengamatan The Jakarta Post, penjagaan di sekitar LP. Medaeng mulai ditingkatkan. Satu truk petugas Brimob Polda Jatim berjaga-jaga di pintu masuk menuju LP. Medaeng. Pihak LP. Medaeng pun bersiap-siap dengan memasang kawat berduri di pepohonan yang berada di seberang pintu keluar LP. Pohon itu biasanya digunakan wartawan untuk mengambil gambar keluarnya terpidana mati. "Wah, kalau seperti ini, bisa-bisa kita bisa kesulitan mengambil gambar," keluh Eddy Prasetyono, wartawan sebuah media online di Surabaya.
Rohaniawan yang mendampingi keluarga Sumiasih dan Sugeng, Andreas Rusmandala mengatakan dirinya juga tidak mengetahui kapan secara pasti eksekusi itu akan dilakukan. Hanya saja, pihak rohaniawan diminta untuk mendampingi terpidana mati 3x24 jam. Hal yang sama juga dilakukan rohaniawan asal Yayasan Dana Sosial al-Fallah (YDSF) yang mendampingi Sugeng (yang beragama muslim) menjelang pelaksanaan eksekusi.
16 Juli 2008
ITS Tawarkan Kolaborasi dengan NOAA untuk Tangani Tsunami
Press Release
Meski isu tsunami sudah bukan hal baru lagi, namun sistem peringatan dini terhadap datangnya bencana tsunami atau yang dikenal Tsunami Early Warning System (TEWS) masih kurang dipahami oleh sebagian besar masyarakat Indonesia.
Untuk itu, peneliti dari National Oceanic and Atmospheric Administration (NOAA) David McKinnie mencoba membantu menyosialisasikan teknologi TEWS tersebut melalui perguruan tinggi, salah satunya di Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Surabaya, Selasa (15/7). NOAA merupakan lembaga penelitian dari Amerika Serikat yang memfokuskan penelitiannya salah satunya pada berbagai gejala yang terjadi di laut.
Dalam paparannya, David mengingatkan bahwa dalam menghadapi bencana tsunami, yang paling penting adalah adanya kesiapan dari masyarakat setempat. ”Tanpa adanya kesiapan masyarakat, adanya teknologi deteksi, peringatan ataupun ramalan terhadap tsunami tetap akan sia-sia,” tegasnya dalam sarasehan ”Teknologi Tsunami Early Warning System” di Gedung Rektorat ITS.
Sarasehan ini dihadiri oleh sejumlah pakar dari ITS dan juga para utusan dari berbagai instansi terkait di Pemprov Jatim, termasuk di antaranya pakar tata ruang ITS Prof Johan Silas.
Dalam diskusinya, beberapa peserta menanyakan teknologi yang dikembangkan di NOAA untuk melakukan deteksi dini terhadap tsunami. Sebab, di Indonesia saat ini teknologi yang ada baru bisa mendeteksi datangnya tsunami sekitar 15-20 menit sebelumnya. Sehingga sering kesulitan untuk melakukan penanganan secepat mungkin, karena waktu yang dibutuhkan terlalu pendek.
”Kami masih terus mengembangkan teknologinya untuk bisa mendeteksi sedini mungkin. Sebenarnya pendeteksian datangnya tsunami berbeda-beda tergantung pada lokasi gempa dan besarannya di tengah lautan, tapi biasanya sekitar 20 menit sampai 1 jam sebelumnya,” jelas David yang menjabat sebagai Science Fellow Kedutaan Besar AS di Jakarta.
Dalam hal ini, ITS juga menawarkan sejumlah kerjasama yang bisa dilakukan bersama NOAA. Di antaranya kerjasama untuk mengembangkan teknologi komunikasi dalam menyampaikan peringatan dini tsunami dari lautan menuju ke daratan.
”Dengan mengembangkan teknologi TEWS secara computerized diharapkan bisa lebih mempercepat informasi dan koordinasi dalam menghadapi datangnya tsunami,” jelas Dr Ir Wahyudi, Kepala Pusat Studi Bencana dan Kebumian ITS yang juga didampingi Haryo Dwito Armono ST PhD, pembantu Dekan IV Fakultas Teknologi Kelautan (FTK) ITS.
Sebab, selama ini juga teknologi TEWS yang sudah diterapkan di Indonesia masih didatangkan dari luar negeri dan juga melibatkan para pakar dari mancanegara. Sehingga dipastikan memakan biaya yang tak sedikit. ”Tidak ada salahnya kalau kita mencoba megembangkan sendiri dari pakar-pakar yang ada di Indonesia ini,” ujar Wahyudi.
Selain, kerjasama untuk menangani bencana tsnami, ITS juga menawarkan kolaborasi penelitian dengan NOAA untuk mengatasi kerusakan alam lainnya seperti kerusakan pada laut yang juga bisa menyebabkan atau memicu terjadinya bencana.
HUMAS-ITS, 15 Juli 2008
Meski isu tsunami sudah bukan hal baru lagi, namun sistem peringatan dini terhadap datangnya bencana tsunami atau yang dikenal Tsunami Early Warning System (TEWS) masih kurang dipahami oleh sebagian besar masyarakat Indonesia.
Untuk itu, peneliti dari National Oceanic and Atmospheric Administration (NOAA) David McKinnie mencoba membantu menyosialisasikan teknologi TEWS tersebut melalui perguruan tinggi, salah satunya di Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Surabaya, Selasa (15/7). NOAA merupakan lembaga penelitian dari Amerika Serikat yang memfokuskan penelitiannya salah satunya pada berbagai gejala yang terjadi di laut.
Dalam paparannya, David mengingatkan bahwa dalam menghadapi bencana tsunami, yang paling penting adalah adanya kesiapan dari masyarakat setempat. ”Tanpa adanya kesiapan masyarakat, adanya teknologi deteksi, peringatan ataupun ramalan terhadap tsunami tetap akan sia-sia,” tegasnya dalam sarasehan ”Teknologi Tsunami Early Warning System” di Gedung Rektorat ITS.
Sarasehan ini dihadiri oleh sejumlah pakar dari ITS dan juga para utusan dari berbagai instansi terkait di Pemprov Jatim, termasuk di antaranya pakar tata ruang ITS Prof Johan Silas.
Dalam diskusinya, beberapa peserta menanyakan teknologi yang dikembangkan di NOAA untuk melakukan deteksi dini terhadap tsunami. Sebab, di Indonesia saat ini teknologi yang ada baru bisa mendeteksi datangnya tsunami sekitar 15-20 menit sebelumnya. Sehingga sering kesulitan untuk melakukan penanganan secepat mungkin, karena waktu yang dibutuhkan terlalu pendek.
”Kami masih terus mengembangkan teknologinya untuk bisa mendeteksi sedini mungkin. Sebenarnya pendeteksian datangnya tsunami berbeda-beda tergantung pada lokasi gempa dan besarannya di tengah lautan, tapi biasanya sekitar 20 menit sampai 1 jam sebelumnya,” jelas David yang menjabat sebagai Science Fellow Kedutaan Besar AS di Jakarta.
Dalam hal ini, ITS juga menawarkan sejumlah kerjasama yang bisa dilakukan bersama NOAA. Di antaranya kerjasama untuk mengembangkan teknologi komunikasi dalam menyampaikan peringatan dini tsunami dari lautan menuju ke daratan.
”Dengan mengembangkan teknologi TEWS secara computerized diharapkan bisa lebih mempercepat informasi dan koordinasi dalam menghadapi datangnya tsunami,” jelas Dr Ir Wahyudi, Kepala Pusat Studi Bencana dan Kebumian ITS yang juga didampingi Haryo Dwito Armono ST PhD, pembantu Dekan IV Fakultas Teknologi Kelautan (FTK) ITS.
Sebab, selama ini juga teknologi TEWS yang sudah diterapkan di Indonesia masih didatangkan dari luar negeri dan juga melibatkan para pakar dari mancanegara. Sehingga dipastikan memakan biaya yang tak sedikit. ”Tidak ada salahnya kalau kita mencoba megembangkan sendiri dari pakar-pakar yang ada di Indonesia ini,” ujar Wahyudi.
Selain, kerjasama untuk menangani bencana tsnami, ITS juga menawarkan kolaborasi penelitian dengan NOAA untuk mengatasi kerusakan alam lainnya seperti kerusakan pada laut yang juga bisa menyebabkan atau memicu terjadinya bencana.
HUMAS-ITS, 15 Juli 2008
14 Juli 2008
Harga BBM dan Ombak Tinggi Pukul Nelayan Banyuwangi
Iman D. Nugroho
Kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) dan tingginya ombak belakangan ini adalah pukulan telak bagi nelayan di Pelabuhan Muncar. Banyuwangi. Keengganan nelayan melaut karena menghemat BBM dan menghindari ombak tinggi, membuat pasokan ikan menipis. Akibatnya, harga ikan pun melambung tinggi.
Minimnya pasokan ikan itu mulai terasa sejak dua minggu lalu. Beberapa jenis ikan, seperti Ikan Lemuru, Ikan Tongkol dan Ikan Layang yang menjadi andalan nelayan di Pelabuhan Muncar, Banyuwangi perlahan-lahan menghilang di pasaran setempat. Kalau toh ada, harganya jauh melambung tinggi. “Sejak dua minggu lalu, stok ikan mulai menipis, banyak nelayan yang memilih untuk tidak melaut,” kata Syaiful Johan, pengepul ikan di Muncar Banyuwangi pada The Jakarta Post.
Bagi pengecer ikan, sedikitnya pasokan ikan adalah “mimpi buruk”. Jumaiyah adalah salah satunya. Perempuan pedagang ikan eceran di Pasar Ikan Muncar ini mengatakan barang dagangannya banyak yang tidak terjual lantaran harganya terlalu tinggi. “Ikan tongkol yang biasanya Rp.6 ribu/Kg, saat ini bisa mencapai Rp.9 ribu/Kg, tidak banyak orang yang membeli ikan dengan harga setinggi itu,” katanya.
Kabupaten Banyuwangi terletak 239 Km sebelah timur Surabaya. Di kabupaten ini terdapat Pelabuhan Ketapang yang merupakan pintu masuk menuju Pulau Bali dengan menggunakan kapal feri. Selain bertani, penduduk Kabupaten Banyuwangi hidup sebagai nelayan. Terutama penduduk yang menepat di sekitar pantai yang terbentang di bagian timur dan selatan kabupaten ini. Pelabuhan pendaratan ikan Muncar, yang terletak di Kecamatan Muncar, adalah salah satu pelabuhan ikan terbesar di Jawa Timur.
Di Kecamatan Muncar inilah terdapat puluhan pabrik pengolahan ikan. Selain dijual di pasaran, ikan yang ditangkap juga diolah menjadi produk sarden, sosis ikan, daging burger ikan, dan fish finger. Kebanyakan, produk hasil olahan dari Muncar dieksport ke Hongkong, Singapura bahkan sampai Belanda. Hasil pengolahan sampingan lain adalah minyak ikan. Penduduk setempat memanfaatkan minyak ikan untuk dijual atau diolah kembali.
Kenaikan harga BBM yang ditetapkan pemerintah awal tahun ini membuat nelayan Muncar kelimpungan. Hasil tangkapan ikan tidak sebanding dengan harga solar yang melambung. “Seringkali, ikan yang ditangkap hanya pas untuk mengganti ongkos solar, sama sekali tidak sebanding,” kata Subairi, salah satu nelayan. Tak heran bila banyak nelayan yang memilih untuk tidak melaut karena itu. Tak sedikit yang menjual kapanya dan beralih ke bisnis lain. “Kapal yang saya miliki sudah saya jual, sekarang saya membuka warung,” kata Subairi.
Warga Muncar yang memilih untuk tetap menjadi nelayan, memilih waktu yang tepat untuk melaut. Bila dirasa ombak terlalu besar, nelayan memilih untuk tetap di darat. Pekan lalu, Badan Meteorologi dan Geofisika (BMG) Surabaya merilis besarnya ombak di Samudera Hindia. Menurut BMG, tinggi gelombang di lautan Nusa Tenggara Barat mencapai 2 hingga 5 meter dengan kecepatan angin 45-60 Km/jamnya. Kondisi yang sangat membahayakan bagi nelayan. BMG menghimbau nelayan untuk tidak melaut dahulu.
Memang, nelayan Muncar tidak mengetahui himbauan BMG, namun, nelayan memiliki “rambu-rambu” tersendiri. “Biasanya, kalau menjelang pertengahan bulan, mulai tanggal 12-17, banyak nelayan yang tidak melaut, pada tanggal itulah ombak sedang besar,” kata Subaeri. Di darat, nelayan memilih untuk memperbaiki kapal atau memeriksa jaring. “Dulunya sih, nelayan Muncar tidak takut ombak besar, kita terjang saja. Tapi belakangan, saat harga BBM melambung, nelayan jadi mikir-mikir, untung tidak banyak, nyawa taruhannya,” kata Subairi. Apalagi, daerah pencarian ikan nelayan Muncar hingga ke perairan Nusa Tenggara Barat, bahkan sampai ke Samudera Hindia, perbatasan dengan Australia.
Hal lain yang bisa dilakukan nelayan adalah pilih-pilih jenis ikan yang diperkirakan memiliki nilai jual tinggi. Menangkap Ikan Hiu adalah salah satu pilihan. Harga jual Ikan Hiu relatif tidak berubah. Pengepul ikan Syaiful Johan mengatakan, harga jual satu ekor ikan hiu dengan siripnya berkisar Rp.20 Ribu/Kg. Untuk harga seperti itu, seekor ikan hiu memiliki panjang kurang lebih 1,5M dengan sirip sepanjang 30-40 Cm. Berat totalnya sekitar 1 kwintal. “Meski tidak banyak namun nelayan sering menjual ikan hiu yang ditangkapnya,” kata Syaiful.
Di pasaran, harga jual sirip hiu masih tergolong tinggi. Sirip Hiu Hitam misalnya, masih bisa dijual dengan harga Rp1.2 juta/Kg. Jenis Hiu Kikir ditawarkan Rp. 500 ribuan/Kg, sementara sirip Hiu Putih dipatok harga hingga Rp.1.5 juta/Kg. Hiu jenis Kupu-kupu dan Hiu Karet dijual Rp. 700 ribu/Kg. “Namun, jumlah-nya tidak banyak, karena nelayan memang jarang melaut,” kata Syaiful.
Kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) dan tingginya ombak belakangan ini adalah pukulan telak bagi nelayan di Pelabuhan Muncar. Banyuwangi. Keengganan nelayan melaut karena menghemat BBM dan menghindari ombak tinggi, membuat pasokan ikan menipis. Akibatnya, harga ikan pun melambung tinggi.
Minimnya pasokan ikan itu mulai terasa sejak dua minggu lalu. Beberapa jenis ikan, seperti Ikan Lemuru, Ikan Tongkol dan Ikan Layang yang menjadi andalan nelayan di Pelabuhan Muncar, Banyuwangi perlahan-lahan menghilang di pasaran setempat. Kalau toh ada, harganya jauh melambung tinggi. “Sejak dua minggu lalu, stok ikan mulai menipis, banyak nelayan yang memilih untuk tidak melaut,” kata Syaiful Johan, pengepul ikan di Muncar Banyuwangi pada The Jakarta Post.
Bagi pengecer ikan, sedikitnya pasokan ikan adalah “mimpi buruk”. Jumaiyah adalah salah satunya. Perempuan pedagang ikan eceran di Pasar Ikan Muncar ini mengatakan barang dagangannya banyak yang tidak terjual lantaran harganya terlalu tinggi. “Ikan tongkol yang biasanya Rp.6 ribu/Kg, saat ini bisa mencapai Rp.9 ribu/Kg, tidak banyak orang yang membeli ikan dengan harga setinggi itu,” katanya.
Kabupaten Banyuwangi terletak 239 Km sebelah timur Surabaya. Di kabupaten ini terdapat Pelabuhan Ketapang yang merupakan pintu masuk menuju Pulau Bali dengan menggunakan kapal feri. Selain bertani, penduduk Kabupaten Banyuwangi hidup sebagai nelayan. Terutama penduduk yang menepat di sekitar pantai yang terbentang di bagian timur dan selatan kabupaten ini. Pelabuhan pendaratan ikan Muncar, yang terletak di Kecamatan Muncar, adalah salah satu pelabuhan ikan terbesar di Jawa Timur.
Di Kecamatan Muncar inilah terdapat puluhan pabrik pengolahan ikan. Selain dijual di pasaran, ikan yang ditangkap juga diolah menjadi produk sarden, sosis ikan, daging burger ikan, dan fish finger. Kebanyakan, produk hasil olahan dari Muncar dieksport ke Hongkong, Singapura bahkan sampai Belanda. Hasil pengolahan sampingan lain adalah minyak ikan. Penduduk setempat memanfaatkan minyak ikan untuk dijual atau diolah kembali.
Kenaikan harga BBM yang ditetapkan pemerintah awal tahun ini membuat nelayan Muncar kelimpungan. Hasil tangkapan ikan tidak sebanding dengan harga solar yang melambung. “Seringkali, ikan yang ditangkap hanya pas untuk mengganti ongkos solar, sama sekali tidak sebanding,” kata Subairi, salah satu nelayan. Tak heran bila banyak nelayan yang memilih untuk tidak melaut karena itu. Tak sedikit yang menjual kapanya dan beralih ke bisnis lain. “Kapal yang saya miliki sudah saya jual, sekarang saya membuka warung,” kata Subairi.
Warga Muncar yang memilih untuk tetap menjadi nelayan, memilih waktu yang tepat untuk melaut. Bila dirasa ombak terlalu besar, nelayan memilih untuk tetap di darat. Pekan lalu, Badan Meteorologi dan Geofisika (BMG) Surabaya merilis besarnya ombak di Samudera Hindia. Menurut BMG, tinggi gelombang di lautan Nusa Tenggara Barat mencapai 2 hingga 5 meter dengan kecepatan angin 45-60 Km/jamnya. Kondisi yang sangat membahayakan bagi nelayan. BMG menghimbau nelayan untuk tidak melaut dahulu.
Memang, nelayan Muncar tidak mengetahui himbauan BMG, namun, nelayan memiliki “rambu-rambu” tersendiri. “Biasanya, kalau menjelang pertengahan bulan, mulai tanggal 12-17, banyak nelayan yang tidak melaut, pada tanggal itulah ombak sedang besar,” kata Subaeri. Di darat, nelayan memilih untuk memperbaiki kapal atau memeriksa jaring. “Dulunya sih, nelayan Muncar tidak takut ombak besar, kita terjang saja. Tapi belakangan, saat harga BBM melambung, nelayan jadi mikir-mikir, untung tidak banyak, nyawa taruhannya,” kata Subairi. Apalagi, daerah pencarian ikan nelayan Muncar hingga ke perairan Nusa Tenggara Barat, bahkan sampai ke Samudera Hindia, perbatasan dengan Australia.
Hal lain yang bisa dilakukan nelayan adalah pilih-pilih jenis ikan yang diperkirakan memiliki nilai jual tinggi. Menangkap Ikan Hiu adalah salah satu pilihan. Harga jual Ikan Hiu relatif tidak berubah. Pengepul ikan Syaiful Johan mengatakan, harga jual satu ekor ikan hiu dengan siripnya berkisar Rp.20 Ribu/Kg. Untuk harga seperti itu, seekor ikan hiu memiliki panjang kurang lebih 1,5M dengan sirip sepanjang 30-40 Cm. Berat totalnya sekitar 1 kwintal. “Meski tidak banyak namun nelayan sering menjual ikan hiu yang ditangkapnya,” kata Syaiful.
Di pasaran, harga jual sirip hiu masih tergolong tinggi. Sirip Hiu Hitam misalnya, masih bisa dijual dengan harga Rp1.2 juta/Kg. Jenis Hiu Kikir ditawarkan Rp. 500 ribuan/Kg, sementara sirip Hiu Putih dipatok harga hingga Rp.1.5 juta/Kg. Hiu jenis Kupu-kupu dan Hiu Karet dijual Rp. 700 ribu/Kg. “Namun, jumlah-nya tidak banyak, karena nelayan memang jarang melaut,” kata Syaiful.
11 Juli 2008
BUMN Masih Belum Mampu Mengatasi Alutsista TNI
Iman D. Nugroho
Kebutuhan alat utama sistem pertahanan (Alutsista) Tentara Nasional Indonesia (TNI) masih belum bisa terpenuhi oleh Badan Usaha Milk Negara (BUMN) nasional sebagai produsen alutsista. Kualitas, harga dan waktu pembuatan, menjadi tiga titik lemah BUMN dalam memenuhi kebutuhan alutsista. Belum lagi soal minimnya dana dan regulasi pemerintah yang membuat alutsista terpuruk.
Hal itu yang menjadi inti pembicaraan dalam Forum Triwulan Penentu Kebijakan Pengguna dan Produsen Bidang Alutsista di PT. PAL Surabaya, Jumat (11/07/08) ini. Hadir dalam forum itu Sekretaris Jenderal Departemen Pertahanan dan Keamanan Syafrie Syamsuddin, jajaran logistik TNI AL, AU dan AD dan direktur BUMN produsen alutsista. Seperti PT. Pindad, PT. Dirgantara Indonesia (DI), PT.PAL dan PT. Dahana. Juga perwakilan departeman terkait, seperti Departemen Keuangan, Bapenas, Menteri Negara BUMN dll.
Masukan dari TNI-AU misalnya menilai PT. Dirgantara Indonesia belum bisa memenuhi permintaan TNI-AU untuk pembuatan pesawat. Sementara TNI-AL meminta PT.PAL untuk segera memenuhi peralatan pembuatan kapal selam yang sangat dibutuhkan AL. Sementara TNI-AD meminta PT. PINDAD segera membuat kebutuhan amunisi kaliber besar, seperti yang dibutuhkan meriam.
Meski demikian, TNI tetap mengharapkan BUMN mampu mengejar semua ketertinggalan itu dan menjadi andalan TNI dalam pemenuhan alutsista. Bila perlu harus pula didorong adanya transfer teknologi dari negara maju untuk kebutuhan produksi alat tempur dalam negeti. “Kita harus terus memperbaiki diri dan jangan tergoda dengan teknologi yang ditawarkan oleh barat, ambil teknologinya,” kata Marsekal Muda TNI Amirullah Amin, Asrenum Panglima TNI dalam forum itu.
DR. Ir. Muhammad Said Didu, Sekretaris Kementerian BUMN mengatakan, tidak maksimalnya pemenuhan alutsista oleh BUMN disebabkan karena kondisi BUMN nasional memang tidak sepenuhnya “sehat”. Naik turunnya kondisi itu seperti terlihat di PT. DI dan PT. PAL. “Saat PT. DI mulai sehat, gantian PT. PAL yang kena sakit flu,” kata Said. Karena itulah, perlu dipikirkan untuk menyusun holding BUMN Pertahanan. BUMN Pertahanan yang dimaksud adalah satu lembaga yang menaungi semua BUMN yang merupakan produsen alutsista.
Data yang dilansir Bapenas dalam forum itu menyebutkan, setidaknya akan dikucurkan dana sebesar USD. 200 juta kepada PT. Pindad dan PT. DI untuk beberapa program alutsista seperti pengadaan panser dan pesawat terbang. Sedangkan pada tahun 2010, akan segera dianggarkan USD. 40 juta- 3 miliar untuk pemenuhan alutsista yang lain. “Pemerintah juga akan memberikan pinjaman, dan akan segera ditandatangani oleh Presiden SBY,” kata Eril Herliyanto dari Direktorat Jenderal Perencanaan Pertahanan TNI . Namun perlu diingat, pinjaman dalam negeri dibatasi oleh tahun anggaran dan kemampuan negara.
Sementara PT.PAL saat ini tengah menyelesaikan 2 unit kapal landing plat form (LPD) pesanan TNI-AL. Meski demikian, Direktur Utama PT PAL Indonesia Ir Adwin Suryohadiprojo mengatakan, meski PT.PAL sudah terbukti mampu membuat kapal perang pesanan TNI, namun untuk pemesanan kapal perang jenis kapal selam, masih belum mampu dilakukan. “Kalau ada pemesanan kapal selam, mungkin akan dibuat di dok lain dengan berkolaborasi antara PT.PAL dan perusahaan lain,” kata Adwin.
PT.PAL berhasil memproduksi berbagai jenis kapal perang, seperti kapal patroli cepat dan korvet yang dilengkapi oleh berbagai fasilitas tempur modern. PT.PAL juga berhasil melakukan overhaul kapal selam KRI Cekra dan KRI Nanggala milik TNI-AL. Menjawab pertanyaan wartawan, Adwin menegaskan perihal penundaan program Korvert Nasional yang dulu pernah dicanangkan. Semua dikarenakan persoalan dana yang minim. “Saat ini ada program baru yang dibuat di PT.PAL, program itu segera dilakukan,“ katanya tanpa mendiskripsikan apa program baru itu.
Ada tiga keputusan penting dalam forum kali ini. Yang pertama adalah perlu terus diperhatikan kualitas, harga dan waktu pembuatan alutsista. Baik yang sudah maupun yang akan diproduksi. Kedua, TNI sebagai pengguna harus mengajukan kebutuhan sesuai yang ditetapkan, sehingga bisa dipahami. “Keputusan ketiga adalah proses pengadaan tidak usah memperhatikan counter trade dari luar negeri, dan straight pada kemandirian nasional dan mendorong transfer teknologi kepada Indonesia,” kata Eril Herliyanto dari Direktorat Jenderal Perencanaan Pertahanan TNI.
Satu hal yang patut dicermati adalah posisi BUMN Indonesia sebagai produsen alutsista yang cukup kompetitif. Salah satu contohnya adalah amunisi jenis APR 6x6 produksi PT. Pindad. Dengan kemampuan dan mutu yang tidak jauh beda dengan BAP buatan Prancis, namun APR 6x6 memiliki harga yang jauh lebih murah Rp.3 miliar.
Sekjen Departeman Pertahanan (Dephan) Syafrie Sjamsuddin meminta TNI dan BUMN atau pihak yang terkait dengan alutsista untuk mengawal kemandirian bangsa dalam pemenuhan alutsista. “Semua ada tahapannya, yang pasti untuk kemandian bangsa dalam alutsista,” kata Syafrie.
Kebutuhan alat utama sistem pertahanan (Alutsista) Tentara Nasional Indonesia (TNI) masih belum bisa terpenuhi oleh Badan Usaha Milk Negara (BUMN) nasional sebagai produsen alutsista. Kualitas, harga dan waktu pembuatan, menjadi tiga titik lemah BUMN dalam memenuhi kebutuhan alutsista. Belum lagi soal minimnya dana dan regulasi pemerintah yang membuat alutsista terpuruk.
Hal itu yang menjadi inti pembicaraan dalam Forum Triwulan Penentu Kebijakan Pengguna dan Produsen Bidang Alutsista di PT. PAL Surabaya, Jumat (11/07/08) ini. Hadir dalam forum itu Sekretaris Jenderal Departemen Pertahanan dan Keamanan Syafrie Syamsuddin, jajaran logistik TNI AL, AU dan AD dan direktur BUMN produsen alutsista. Seperti PT. Pindad, PT. Dirgantara Indonesia (DI), PT.PAL dan PT. Dahana. Juga perwakilan departeman terkait, seperti Departemen Keuangan, Bapenas, Menteri Negara BUMN dll.
Masukan dari TNI-AU misalnya menilai PT. Dirgantara Indonesia belum bisa memenuhi permintaan TNI-AU untuk pembuatan pesawat. Sementara TNI-AL meminta PT.PAL untuk segera memenuhi peralatan pembuatan kapal selam yang sangat dibutuhkan AL. Sementara TNI-AD meminta PT. PINDAD segera membuat kebutuhan amunisi kaliber besar, seperti yang dibutuhkan meriam.
Meski demikian, TNI tetap mengharapkan BUMN mampu mengejar semua ketertinggalan itu dan menjadi andalan TNI dalam pemenuhan alutsista. Bila perlu harus pula didorong adanya transfer teknologi dari negara maju untuk kebutuhan produksi alat tempur dalam negeti. “Kita harus terus memperbaiki diri dan jangan tergoda dengan teknologi yang ditawarkan oleh barat, ambil teknologinya,” kata Marsekal Muda TNI Amirullah Amin, Asrenum Panglima TNI dalam forum itu.
DR. Ir. Muhammad Said Didu, Sekretaris Kementerian BUMN mengatakan, tidak maksimalnya pemenuhan alutsista oleh BUMN disebabkan karena kondisi BUMN nasional memang tidak sepenuhnya “sehat”. Naik turunnya kondisi itu seperti terlihat di PT. DI dan PT. PAL. “Saat PT. DI mulai sehat, gantian PT. PAL yang kena sakit flu,” kata Said. Karena itulah, perlu dipikirkan untuk menyusun holding BUMN Pertahanan. BUMN Pertahanan yang dimaksud adalah satu lembaga yang menaungi semua BUMN yang merupakan produsen alutsista.
Data yang dilansir Bapenas dalam forum itu menyebutkan, setidaknya akan dikucurkan dana sebesar USD. 200 juta kepada PT. Pindad dan PT. DI untuk beberapa program alutsista seperti pengadaan panser dan pesawat terbang. Sedangkan pada tahun 2010, akan segera dianggarkan USD. 40 juta- 3 miliar untuk pemenuhan alutsista yang lain. “Pemerintah juga akan memberikan pinjaman, dan akan segera ditandatangani oleh Presiden SBY,” kata Eril Herliyanto dari Direktorat Jenderal Perencanaan Pertahanan TNI . Namun perlu diingat, pinjaman dalam negeri dibatasi oleh tahun anggaran dan kemampuan negara.
Sementara PT.PAL saat ini tengah menyelesaikan 2 unit kapal landing plat form (LPD) pesanan TNI-AL. Meski demikian, Direktur Utama PT PAL Indonesia Ir Adwin Suryohadiprojo mengatakan, meski PT.PAL sudah terbukti mampu membuat kapal perang pesanan TNI, namun untuk pemesanan kapal perang jenis kapal selam, masih belum mampu dilakukan. “Kalau ada pemesanan kapal selam, mungkin akan dibuat di dok lain dengan berkolaborasi antara PT.PAL dan perusahaan lain,” kata Adwin.
PT.PAL berhasil memproduksi berbagai jenis kapal perang, seperti kapal patroli cepat dan korvet yang dilengkapi oleh berbagai fasilitas tempur modern. PT.PAL juga berhasil melakukan overhaul kapal selam KRI Cekra dan KRI Nanggala milik TNI-AL. Menjawab pertanyaan wartawan, Adwin menegaskan perihal penundaan program Korvert Nasional yang dulu pernah dicanangkan. Semua dikarenakan persoalan dana yang minim. “Saat ini ada program baru yang dibuat di PT.PAL, program itu segera dilakukan,“ katanya tanpa mendiskripsikan apa program baru itu.
Ada tiga keputusan penting dalam forum kali ini. Yang pertama adalah perlu terus diperhatikan kualitas, harga dan waktu pembuatan alutsista. Baik yang sudah maupun yang akan diproduksi. Kedua, TNI sebagai pengguna harus mengajukan kebutuhan sesuai yang ditetapkan, sehingga bisa dipahami. “Keputusan ketiga adalah proses pengadaan tidak usah memperhatikan counter trade dari luar negeri, dan straight pada kemandirian nasional dan mendorong transfer teknologi kepada Indonesia,” kata Eril Herliyanto dari Direktorat Jenderal Perencanaan Pertahanan TNI.
Satu hal yang patut dicermati adalah posisi BUMN Indonesia sebagai produsen alutsista yang cukup kompetitif. Salah satu contohnya adalah amunisi jenis APR 6x6 produksi PT. Pindad. Dengan kemampuan dan mutu yang tidak jauh beda dengan BAP buatan Prancis, namun APR 6x6 memiliki harga yang jauh lebih murah Rp.3 miliar.
Sekjen Departeman Pertahanan (Dephan) Syafrie Sjamsuddin meminta TNI dan BUMN atau pihak yang terkait dengan alutsista untuk mengawal kemandirian bangsa dalam pemenuhan alutsista. “Semua ada tahapannya, yang pasti untuk kemandian bangsa dalam alutsista,” kata Syafrie.
09 Juli 2008
Bila Calon Gubernur Peduli "Bungkus"
Iman D. Nugroho
Penampilan, bagi pasangan kandidat gubernur dan wakil gubernur adalah hal yang penting. Melalui penampilanlah, kandidat bisa meyakinkan masyarakat bahwa mereka layak dipilih. Hal itulah yang dibaca Pakar Komunikasi Universitas Airlangga (Unair) Henry Subiyakto dari cara kandidat gubernur-wakil gubernur Jawa Timur yang akan berlaga dalam pemilihan gubernur Jawa Timur 23 Juli mendatang. “Mereka masih memenuhi keinginan masyarakat, yang hanya mementingkan “bungkus”, tanpa memperdulikan isi,” kata Henry Subiyakto pada The Jakarta Post.
Henry mencontohkan, hampir semua kandidat tiba-tiba saja menunjukkan betapa dekatnya mereka dengan organisasi Nahdlatul Ulama (NU) dan underbow-nya. Calon No.1, Khofifah Indar Parawansa-Mujiono (KAJI) yang kemana-mana selalu didampingi istri Hasyim Musyadi, Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama. Begitu juga Calon No.3 Soenarjo-Ali Maschan Moesa (SALAM) yang kemana-mana tidak pernah lepas “mengabarkan” Ali Maschan Moesa adalah mantan ketua Pengurus Wilayah NU (PWNU).
Apalagi Calon No.4 Ahmady-Suhartono (ACHSAN) yang mengusung nama KH. Abdurahman Wahid atau Gusdur. “Kalau Syaifullah Yusuf (pasangan Calon No.5, Soekarwo-KARSA-RED), menunjukkan identitas sebagai ketua Ansor dan menyebut diri sebagau Gus (anak kyai-RED) Ipul,” kata Henry. Senada, Calon No.3 Soetjipto-Ridwan Hisjam (SR) menunjukkan identitas nasionalis dan pro wong cilik kemana pun mereka pergi. “Pertanyaan saya, apakah mereka akan terus seperti itu, atau akan berubah setelah mereka jadi gubernur,” kata Henry.
Apapun hasil akhirnya, Henry menilai, apa yang dilakukan kandidat itu sah-sah saja. Apalagi, cagub-cawagub itu menyadari, sebagian besar pemilih di Jawa Timur masih lebih mementingkan pencitraan “bungkus”, dari pada isi kampanyenya. Maka, para kandidat akan menciptakan “bungkus” sebaik-baiknya, daripada pemikiran yang bisa terurai melalui debat. “Kandidat lebih mementingkan iklan, ketimbang debat, ironisnya, masyarakat menyukai hal itu,” katanya.
Karena urusan “bungkus” itulah, salah satu “orang dalam” kandidat Khofifah Indar Parawansa sampai harus mati-matian mengubah sosok Khofifah melalui busana. Sumber The Jakarta Post menyebutkan, Khofifah sampai harus membeli puluhan jilbab dengan warna cerah dan minim motif untuk mengesankan kesederhanaan. Cara memakai jilbabnya pun berubah. Tidak ada lagi jilbab yang terjuntai di dada (khas NU), berganti dengan yang lebih modis. Tanpa meninggalkan kesan NU, yang ditandai dengan tekukan di sekitar sudut mata.
“Awalnya, ada salah satu pengusaha media yang mengatakan pada kami (Tim Kampanye KAJI) untuk membuat Khofifah marketable, akhirnya perubahan pun dilakukan,” kata sumber The Post. Tidak hanya itu, tim KAJI pun meminta salah satu fotografer terkemuka asal Jakarta untuk memotret Khofifah dan Mujiono. Awalnya, Khofifah sempat merasa kagok. “Ternyata Saya cantik juga ya,” kata Khofifah seperti ditirukan sumber The Post.
Tim Kampanye KAJI juga secara khusus menyiapkan tenaga untuk mengatur bahasa tubuh kandidat yang diusung 12 partai. Semisal, selalu mengingatkan Khofifah untuk menegakkan dagunya. Baik saat di event resmi, depan podium maupun di atas panggung.
Calon KARSA, yang menempatkan kumis sebagai salah satu tagline, “Coblos Brengose,” bahkan melarang dua kandidat, Soekarwo-Syafullah Yusuf untuk memotong kumis mereka. “Kebetulan dua calon kami punya kumis, akhirnya kami menjadikan kumis mereka sebagai cara untuk mempermudah memperkenalkan diri,” kata Mashuri, salah satu anggota Tim KARSA, ada The Post.
Dan hal itu sudah terpikir sejak dua tahun lalu, ketika pasangan KARSA mulai muncul ke permukaan. Soekarwo menamakan dirinya sebagai Pakde (Paman) Karwo. Pakde, dalam struktur Jawa memiliki peran lebih tinggi dari bapak. Pakde, dianggap lebih tua dan bisa mewakili peran bapak. “Makanya, kami menamakan Soekarwo sebagai Pakde Karwo, Pakdenya masyarakat Jawa Timur,” katanya.
Pasangan Soenarjo-Ali Maschan Moesa (SALAM) lain lagi. Mereka menampatkan baju batik, sebagai kekhasan pasangan itu. Pasangan yang diusung Partai Golkar ini selalu memakai batik dalam gambar-gambar poster yang dipasang dirempatan-perempatan jalan di Surabaya. Tidak hanya itu, Ali Maschan Moesa, yang ketika menjadi ketua PWNU terbiasa caplas-ceplos dalam berbicara, saat menjadi cawagub pun terlihat lebih tertata. “Ah, kami hanya ingin berhati-hati dalam berbicara, karena apa yang SALAM bicarakan adalah persoalan riil,” kata Ali Maschan Moesa pada The Post.
Henry Subiyakto menilai, apa yang dilakukan kandidat cagub dan cawagub adalah hal yang biasa. Meskipun hal itu merupakan salah satu bentuk pemenuhan high content culture yang sampai saat ini masih menjadi budaya masyarakat. Untuk itu merketing politik betul-betul “dimainkan”. “Hasilnya, orang lebih mementingkan tayangan iklan, dari pada debat kandidat,” katanya.
Bahkan, ada kecenderungan, kandidat yang jago dalam berdebat akan dijuluki dengan berbagai macam julukan negatif. Mulai omong doang, no action talk only (NATO) dll. “Padahal, kalau orang tahu, banyak iklan yang manipulatif,”katanya. Karena itulah, Henry meminta masyarakat untuk lebih cerdas dalam memilih kandidat mendatang. “Lihat dan cermati pelaksanaan debat, nilai isi perdebatannya, jangan cuma melihat poster dan iklannya,” kata Henry.
Yang paling parah dari budaya “bungkus” itu, kata Henry adalah bagaimana para kandidat itu terkesan tidak percaya diri dengan kapasitasnya. Bentuk rasa tidak percaya diri itu adalah dengan memasang gambar tokoh nasional sebagai background dalam setiap poster atau spanduk.
Dalam pengamatan The Jakarta Post, dua pasangan yang selalu menempatkan tokoh politik nasional dalam spanduknya adalah pasangan Soetjipto-Ridwan Hisjam (SR) dan Achmady-Suhartono (ACHSAN). SR, selalu menempatkan Ketua Umum PDI Perjuangan Megawati Soekarno Putri dalam spanduknya. Sementara ACHSAN menempatkan Gus Dur sebagai background.
Penampilan, bagi pasangan kandidat gubernur dan wakil gubernur adalah hal yang penting. Melalui penampilanlah, kandidat bisa meyakinkan masyarakat bahwa mereka layak dipilih. Hal itulah yang dibaca Pakar Komunikasi Universitas Airlangga (Unair) Henry Subiyakto dari cara kandidat gubernur-wakil gubernur Jawa Timur yang akan berlaga dalam pemilihan gubernur Jawa Timur 23 Juli mendatang. “Mereka masih memenuhi keinginan masyarakat, yang hanya mementingkan “bungkus”, tanpa memperdulikan isi,” kata Henry Subiyakto pada The Jakarta Post.
Henry mencontohkan, hampir semua kandidat tiba-tiba saja menunjukkan betapa dekatnya mereka dengan organisasi Nahdlatul Ulama (NU) dan underbow-nya. Calon No.1, Khofifah Indar Parawansa-Mujiono (KAJI) yang kemana-mana selalu didampingi istri Hasyim Musyadi, Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama. Begitu juga Calon No.3 Soenarjo-Ali Maschan Moesa (SALAM) yang kemana-mana tidak pernah lepas “mengabarkan” Ali Maschan Moesa adalah mantan ketua Pengurus Wilayah NU (PWNU).
Apalagi Calon No.4 Ahmady-Suhartono (ACHSAN) yang mengusung nama KH. Abdurahman Wahid atau Gusdur. “Kalau Syaifullah Yusuf (pasangan Calon No.5, Soekarwo-KARSA-RED), menunjukkan identitas sebagai ketua Ansor dan menyebut diri sebagau Gus (anak kyai-RED) Ipul,” kata Henry. Senada, Calon No.3 Soetjipto-Ridwan Hisjam (SR) menunjukkan identitas nasionalis dan pro wong cilik kemana pun mereka pergi. “Pertanyaan saya, apakah mereka akan terus seperti itu, atau akan berubah setelah mereka jadi gubernur,” kata Henry.
Apapun hasil akhirnya, Henry menilai, apa yang dilakukan kandidat itu sah-sah saja. Apalagi, cagub-cawagub itu menyadari, sebagian besar pemilih di Jawa Timur masih lebih mementingkan pencitraan “bungkus”, dari pada isi kampanyenya. Maka, para kandidat akan menciptakan “bungkus” sebaik-baiknya, daripada pemikiran yang bisa terurai melalui debat. “Kandidat lebih mementingkan iklan, ketimbang debat, ironisnya, masyarakat menyukai hal itu,” katanya.
Karena urusan “bungkus” itulah, salah satu “orang dalam” kandidat Khofifah Indar Parawansa sampai harus mati-matian mengubah sosok Khofifah melalui busana. Sumber The Jakarta Post menyebutkan, Khofifah sampai harus membeli puluhan jilbab dengan warna cerah dan minim motif untuk mengesankan kesederhanaan. Cara memakai jilbabnya pun berubah. Tidak ada lagi jilbab yang terjuntai di dada (khas NU), berganti dengan yang lebih modis. Tanpa meninggalkan kesan NU, yang ditandai dengan tekukan di sekitar sudut mata.
“Awalnya, ada salah satu pengusaha media yang mengatakan pada kami (Tim Kampanye KAJI) untuk membuat Khofifah marketable, akhirnya perubahan pun dilakukan,” kata sumber The Post. Tidak hanya itu, tim KAJI pun meminta salah satu fotografer terkemuka asal Jakarta untuk memotret Khofifah dan Mujiono. Awalnya, Khofifah sempat merasa kagok. “Ternyata Saya cantik juga ya,” kata Khofifah seperti ditirukan sumber The Post.
Tim Kampanye KAJI juga secara khusus menyiapkan tenaga untuk mengatur bahasa tubuh kandidat yang diusung 12 partai. Semisal, selalu mengingatkan Khofifah untuk menegakkan dagunya. Baik saat di event resmi, depan podium maupun di atas panggung.
Calon KARSA, yang menempatkan kumis sebagai salah satu tagline, “Coblos Brengose,” bahkan melarang dua kandidat, Soekarwo-Syafullah Yusuf untuk memotong kumis mereka. “Kebetulan dua calon kami punya kumis, akhirnya kami menjadikan kumis mereka sebagai cara untuk mempermudah memperkenalkan diri,” kata Mashuri, salah satu anggota Tim KARSA, ada The Post.
Dan hal itu sudah terpikir sejak dua tahun lalu, ketika pasangan KARSA mulai muncul ke permukaan. Soekarwo menamakan dirinya sebagai Pakde (Paman) Karwo. Pakde, dalam struktur Jawa memiliki peran lebih tinggi dari bapak. Pakde, dianggap lebih tua dan bisa mewakili peran bapak. “Makanya, kami menamakan Soekarwo sebagai Pakde Karwo, Pakdenya masyarakat Jawa Timur,” katanya.
Pasangan Soenarjo-Ali Maschan Moesa (SALAM) lain lagi. Mereka menampatkan baju batik, sebagai kekhasan pasangan itu. Pasangan yang diusung Partai Golkar ini selalu memakai batik dalam gambar-gambar poster yang dipasang dirempatan-perempatan jalan di Surabaya. Tidak hanya itu, Ali Maschan Moesa, yang ketika menjadi ketua PWNU terbiasa caplas-ceplos dalam berbicara, saat menjadi cawagub pun terlihat lebih tertata. “Ah, kami hanya ingin berhati-hati dalam berbicara, karena apa yang SALAM bicarakan adalah persoalan riil,” kata Ali Maschan Moesa pada The Post.
Henry Subiyakto menilai, apa yang dilakukan kandidat cagub dan cawagub adalah hal yang biasa. Meskipun hal itu merupakan salah satu bentuk pemenuhan high content culture yang sampai saat ini masih menjadi budaya masyarakat. Untuk itu merketing politik betul-betul “dimainkan”. “Hasilnya, orang lebih mementingkan tayangan iklan, dari pada debat kandidat,” katanya.
Bahkan, ada kecenderungan, kandidat yang jago dalam berdebat akan dijuluki dengan berbagai macam julukan negatif. Mulai omong doang, no action talk only (NATO) dll. “Padahal, kalau orang tahu, banyak iklan yang manipulatif,”katanya. Karena itulah, Henry meminta masyarakat untuk lebih cerdas dalam memilih kandidat mendatang. “Lihat dan cermati pelaksanaan debat, nilai isi perdebatannya, jangan cuma melihat poster dan iklannya,” kata Henry.
Yang paling parah dari budaya “bungkus” itu, kata Henry adalah bagaimana para kandidat itu terkesan tidak percaya diri dengan kapasitasnya. Bentuk rasa tidak percaya diri itu adalah dengan memasang gambar tokoh nasional sebagai background dalam setiap poster atau spanduk.
Dalam pengamatan The Jakarta Post, dua pasangan yang selalu menempatkan tokoh politik nasional dalam spanduknya adalah pasangan Soetjipto-Ridwan Hisjam (SR) dan Achmady-Suhartono (ACHSAN). SR, selalu menempatkan Ketua Umum PDI Perjuangan Megawati Soekarno Putri dalam spanduknya. Sementara ACHSAN menempatkan Gus Dur sebagai background.