Iman D. Nugroho
Kebutuhan alat utama sistem pertahanan (Alutsista) Tentara Nasional Indonesia (TNI) masih belum bisa terpenuhi oleh Badan Usaha Milk Negara (BUMN) nasional sebagai produsen alutsista. Kualitas, harga dan waktu pembuatan, menjadi tiga titik lemah BUMN dalam memenuhi kebutuhan alutsista. Belum lagi soal minimnya dana dan regulasi pemerintah yang membuat alutsista terpuruk.
Hal itu yang menjadi inti pembicaraan dalam Forum Triwulan Penentu Kebijakan Pengguna dan Produsen Bidang Alutsista di PT. PAL Surabaya, Jumat (11/07/08) ini. Hadir dalam forum itu Sekretaris Jenderal Departemen Pertahanan dan Keamanan Syafrie Syamsuddin, jajaran logistik TNI AL, AU dan AD dan direktur BUMN produsen alutsista. Seperti PT. Pindad, PT. Dirgantara Indonesia (DI), PT.PAL dan PT. Dahana. Juga perwakilan departeman terkait, seperti Departemen Keuangan, Bapenas, Menteri Negara BUMN dll.
Masukan dari TNI-AU misalnya menilai PT. Dirgantara Indonesia belum bisa memenuhi permintaan TNI-AU untuk pembuatan pesawat. Sementara TNI-AL meminta PT.PAL untuk segera memenuhi peralatan pembuatan kapal selam yang sangat dibutuhkan AL. Sementara TNI-AD meminta PT. PINDAD segera membuat kebutuhan amunisi kaliber besar, seperti yang dibutuhkan meriam.
Meski demikian, TNI tetap mengharapkan BUMN mampu mengejar semua ketertinggalan itu dan menjadi andalan TNI dalam pemenuhan alutsista. Bila perlu harus pula didorong adanya transfer teknologi dari negara maju untuk kebutuhan produksi alat tempur dalam negeti. “Kita harus terus memperbaiki diri dan jangan tergoda dengan teknologi yang ditawarkan oleh barat, ambil teknologinya,” kata Marsekal Muda TNI Amirullah Amin, Asrenum Panglima TNI dalam forum itu.
DR. Ir. Muhammad Said Didu, Sekretaris Kementerian BUMN mengatakan, tidak maksimalnya pemenuhan alutsista oleh BUMN disebabkan karena kondisi BUMN nasional memang tidak sepenuhnya “sehat”. Naik turunnya kondisi itu seperti terlihat di PT. DI dan PT. PAL. “Saat PT. DI mulai sehat, gantian PT. PAL yang kena sakit flu,” kata Said. Karena itulah, perlu dipikirkan untuk menyusun holding BUMN Pertahanan. BUMN Pertahanan yang dimaksud adalah satu lembaga yang menaungi semua BUMN yang merupakan produsen alutsista.
Data yang dilansir Bapenas dalam forum itu menyebutkan, setidaknya akan dikucurkan dana sebesar USD. 200 juta kepada PT. Pindad dan PT. DI untuk beberapa program alutsista seperti pengadaan panser dan pesawat terbang. Sedangkan pada tahun 2010, akan segera dianggarkan USD. 40 juta- 3 miliar untuk pemenuhan alutsista yang lain. “Pemerintah juga akan memberikan pinjaman, dan akan segera ditandatangani oleh Presiden SBY,” kata Eril Herliyanto dari Direktorat Jenderal Perencanaan Pertahanan TNI . Namun perlu diingat, pinjaman dalam negeri dibatasi oleh tahun anggaran dan kemampuan negara.
Sementara PT.PAL saat ini tengah menyelesaikan 2 unit kapal landing plat form (LPD) pesanan TNI-AL. Meski demikian, Direktur Utama PT PAL Indonesia Ir Adwin Suryohadiprojo mengatakan, meski PT.PAL sudah terbukti mampu membuat kapal perang pesanan TNI, namun untuk pemesanan kapal perang jenis kapal selam, masih belum mampu dilakukan. “Kalau ada pemesanan kapal selam, mungkin akan dibuat di dok lain dengan berkolaborasi antara PT.PAL dan perusahaan lain,” kata Adwin.
PT.PAL berhasil memproduksi berbagai jenis kapal perang, seperti kapal patroli cepat dan korvet yang dilengkapi oleh berbagai fasilitas tempur modern. PT.PAL juga berhasil melakukan overhaul kapal selam KRI Cekra dan KRI Nanggala milik TNI-AL. Menjawab pertanyaan wartawan, Adwin menegaskan perihal penundaan program Korvert Nasional yang dulu pernah dicanangkan. Semua dikarenakan persoalan dana yang minim. “Saat ini ada program baru yang dibuat di PT.PAL, program itu segera dilakukan,“ katanya tanpa mendiskripsikan apa program baru itu.
Ada tiga keputusan penting dalam forum kali ini. Yang pertama adalah perlu terus diperhatikan kualitas, harga dan waktu pembuatan alutsista. Baik yang sudah maupun yang akan diproduksi. Kedua, TNI sebagai pengguna harus mengajukan kebutuhan sesuai yang ditetapkan, sehingga bisa dipahami. “Keputusan ketiga adalah proses pengadaan tidak usah memperhatikan counter trade dari luar negeri, dan straight pada kemandirian nasional dan mendorong transfer teknologi kepada Indonesia,” kata Eril Herliyanto dari Direktorat Jenderal Perencanaan Pertahanan TNI.
Satu hal yang patut dicermati adalah posisi BUMN Indonesia sebagai produsen alutsista yang cukup kompetitif. Salah satu contohnya adalah amunisi jenis APR 6x6 produksi PT. Pindad. Dengan kemampuan dan mutu yang tidak jauh beda dengan BAP buatan Prancis, namun APR 6x6 memiliki harga yang jauh lebih murah Rp.3 miliar.
Sekjen Departeman Pertahanan (Dephan) Syafrie Sjamsuddin meminta TNI dan BUMN atau pihak yang terkait dengan alutsista untuk mengawal kemandirian bangsa dalam pemenuhan alutsista. “Semua ada tahapannya, yang pasti untuk kemandian bangsa dalam alutsista,” kata Syafrie.
11 Juli 2008
09 Juli 2008
Bila Calon Gubernur Peduli "Bungkus"
Iman D. Nugroho
Penampilan, bagi pasangan kandidat gubernur dan wakil gubernur adalah hal yang penting. Melalui penampilanlah, kandidat bisa meyakinkan masyarakat bahwa mereka layak dipilih. Hal itulah yang dibaca Pakar Komunikasi Universitas Airlangga (Unair) Henry Subiyakto dari cara kandidat gubernur-wakil gubernur Jawa Timur yang akan berlaga dalam pemilihan gubernur Jawa Timur 23 Juli mendatang. “Mereka masih memenuhi keinginan masyarakat, yang hanya mementingkan “bungkus”, tanpa memperdulikan isi,” kata Henry Subiyakto pada The Jakarta Post.
Henry mencontohkan, hampir semua kandidat tiba-tiba saja menunjukkan betapa dekatnya mereka dengan organisasi Nahdlatul Ulama (NU) dan underbow-nya. Calon No.1, Khofifah Indar Parawansa-Mujiono (KAJI) yang kemana-mana selalu didampingi istri Hasyim Musyadi, Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama. Begitu juga Calon No.3 Soenarjo-Ali Maschan Moesa (SALAM) yang kemana-mana tidak pernah lepas “mengabarkan” Ali Maschan Moesa adalah mantan ketua Pengurus Wilayah NU (PWNU).
Apalagi Calon No.4 Ahmady-Suhartono (ACHSAN) yang mengusung nama KH. Abdurahman Wahid atau Gusdur. “Kalau Syaifullah Yusuf (pasangan Calon No.5, Soekarwo-KARSA-RED), menunjukkan identitas sebagai ketua Ansor dan menyebut diri sebagau Gus (anak kyai-RED) Ipul,” kata Henry. Senada, Calon No.3 Soetjipto-Ridwan Hisjam (SR) menunjukkan identitas nasionalis dan pro wong cilik kemana pun mereka pergi. “Pertanyaan saya, apakah mereka akan terus seperti itu, atau akan berubah setelah mereka jadi gubernur,” kata Henry.
Apapun hasil akhirnya, Henry menilai, apa yang dilakukan kandidat itu sah-sah saja. Apalagi, cagub-cawagub itu menyadari, sebagian besar pemilih di Jawa Timur masih lebih mementingkan pencitraan “bungkus”, dari pada isi kampanyenya. Maka, para kandidat akan menciptakan “bungkus” sebaik-baiknya, daripada pemikiran yang bisa terurai melalui debat. “Kandidat lebih mementingkan iklan, ketimbang debat, ironisnya, masyarakat menyukai hal itu,” katanya.
Karena urusan “bungkus” itulah, salah satu “orang dalam” kandidat Khofifah Indar Parawansa sampai harus mati-matian mengubah sosok Khofifah melalui busana. Sumber The Jakarta Post menyebutkan, Khofifah sampai harus membeli puluhan jilbab dengan warna cerah dan minim motif untuk mengesankan kesederhanaan. Cara memakai jilbabnya pun berubah. Tidak ada lagi jilbab yang terjuntai di dada (khas NU), berganti dengan yang lebih modis. Tanpa meninggalkan kesan NU, yang ditandai dengan tekukan di sekitar sudut mata.
“Awalnya, ada salah satu pengusaha media yang mengatakan pada kami (Tim Kampanye KAJI) untuk membuat Khofifah marketable, akhirnya perubahan pun dilakukan,” kata sumber The Post. Tidak hanya itu, tim KAJI pun meminta salah satu fotografer terkemuka asal Jakarta untuk memotret Khofifah dan Mujiono. Awalnya, Khofifah sempat merasa kagok. “Ternyata Saya cantik juga ya,” kata Khofifah seperti ditirukan sumber The Post.
Tim Kampanye KAJI juga secara khusus menyiapkan tenaga untuk mengatur bahasa tubuh kandidat yang diusung 12 partai. Semisal, selalu mengingatkan Khofifah untuk menegakkan dagunya. Baik saat di event resmi, depan podium maupun di atas panggung.
Calon KARSA, yang menempatkan kumis sebagai salah satu tagline, “Coblos Brengose,” bahkan melarang dua kandidat, Soekarwo-Syafullah Yusuf untuk memotong kumis mereka. “Kebetulan dua calon kami punya kumis, akhirnya kami menjadikan kumis mereka sebagai cara untuk mempermudah memperkenalkan diri,” kata Mashuri, salah satu anggota Tim KARSA, ada The Post.
Dan hal itu sudah terpikir sejak dua tahun lalu, ketika pasangan KARSA mulai muncul ke permukaan. Soekarwo menamakan dirinya sebagai Pakde (Paman) Karwo. Pakde, dalam struktur Jawa memiliki peran lebih tinggi dari bapak. Pakde, dianggap lebih tua dan bisa mewakili peran bapak. “Makanya, kami menamakan Soekarwo sebagai Pakde Karwo, Pakdenya masyarakat Jawa Timur,” katanya.
Pasangan Soenarjo-Ali Maschan Moesa (SALAM) lain lagi. Mereka menampatkan baju batik, sebagai kekhasan pasangan itu. Pasangan yang diusung Partai Golkar ini selalu memakai batik dalam gambar-gambar poster yang dipasang dirempatan-perempatan jalan di Surabaya. Tidak hanya itu, Ali Maschan Moesa, yang ketika menjadi ketua PWNU terbiasa caplas-ceplos dalam berbicara, saat menjadi cawagub pun terlihat lebih tertata. “Ah, kami hanya ingin berhati-hati dalam berbicara, karena apa yang SALAM bicarakan adalah persoalan riil,” kata Ali Maschan Moesa pada The Post.
Henry Subiyakto menilai, apa yang dilakukan kandidat cagub dan cawagub adalah hal yang biasa. Meskipun hal itu merupakan salah satu bentuk pemenuhan high content culture yang sampai saat ini masih menjadi budaya masyarakat. Untuk itu merketing politik betul-betul “dimainkan”. “Hasilnya, orang lebih mementingkan tayangan iklan, dari pada debat kandidat,” katanya.
Bahkan, ada kecenderungan, kandidat yang jago dalam berdebat akan dijuluki dengan berbagai macam julukan negatif. Mulai omong doang, no action talk only (NATO) dll. “Padahal, kalau orang tahu, banyak iklan yang manipulatif,”katanya. Karena itulah, Henry meminta masyarakat untuk lebih cerdas dalam memilih kandidat mendatang. “Lihat dan cermati pelaksanaan debat, nilai isi perdebatannya, jangan cuma melihat poster dan iklannya,” kata Henry.
Yang paling parah dari budaya “bungkus” itu, kata Henry adalah bagaimana para kandidat itu terkesan tidak percaya diri dengan kapasitasnya. Bentuk rasa tidak percaya diri itu adalah dengan memasang gambar tokoh nasional sebagai background dalam setiap poster atau spanduk.
Dalam pengamatan The Jakarta Post, dua pasangan yang selalu menempatkan tokoh politik nasional dalam spanduknya adalah pasangan Soetjipto-Ridwan Hisjam (SR) dan Achmady-Suhartono (ACHSAN). SR, selalu menempatkan Ketua Umum PDI Perjuangan Megawati Soekarno Putri dalam spanduknya. Sementara ACHSAN menempatkan Gus Dur sebagai background.
Penampilan, bagi pasangan kandidat gubernur dan wakil gubernur adalah hal yang penting. Melalui penampilanlah, kandidat bisa meyakinkan masyarakat bahwa mereka layak dipilih. Hal itulah yang dibaca Pakar Komunikasi Universitas Airlangga (Unair) Henry Subiyakto dari cara kandidat gubernur-wakil gubernur Jawa Timur yang akan berlaga dalam pemilihan gubernur Jawa Timur 23 Juli mendatang. “Mereka masih memenuhi keinginan masyarakat, yang hanya mementingkan “bungkus”, tanpa memperdulikan isi,” kata Henry Subiyakto pada The Jakarta Post.
Henry mencontohkan, hampir semua kandidat tiba-tiba saja menunjukkan betapa dekatnya mereka dengan organisasi Nahdlatul Ulama (NU) dan underbow-nya. Calon No.1, Khofifah Indar Parawansa-Mujiono (KAJI) yang kemana-mana selalu didampingi istri Hasyim Musyadi, Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama. Begitu juga Calon No.3 Soenarjo-Ali Maschan Moesa (SALAM) yang kemana-mana tidak pernah lepas “mengabarkan” Ali Maschan Moesa adalah mantan ketua Pengurus Wilayah NU (PWNU).
Apalagi Calon No.4 Ahmady-Suhartono (ACHSAN) yang mengusung nama KH. Abdurahman Wahid atau Gusdur. “Kalau Syaifullah Yusuf (pasangan Calon No.5, Soekarwo-KARSA-RED), menunjukkan identitas sebagai ketua Ansor dan menyebut diri sebagau Gus (anak kyai-RED) Ipul,” kata Henry. Senada, Calon No.3 Soetjipto-Ridwan Hisjam (SR) menunjukkan identitas nasionalis dan pro wong cilik kemana pun mereka pergi. “Pertanyaan saya, apakah mereka akan terus seperti itu, atau akan berubah setelah mereka jadi gubernur,” kata Henry.
Apapun hasil akhirnya, Henry menilai, apa yang dilakukan kandidat itu sah-sah saja. Apalagi, cagub-cawagub itu menyadari, sebagian besar pemilih di Jawa Timur masih lebih mementingkan pencitraan “bungkus”, dari pada isi kampanyenya. Maka, para kandidat akan menciptakan “bungkus” sebaik-baiknya, daripada pemikiran yang bisa terurai melalui debat. “Kandidat lebih mementingkan iklan, ketimbang debat, ironisnya, masyarakat menyukai hal itu,” katanya.
Karena urusan “bungkus” itulah, salah satu “orang dalam” kandidat Khofifah Indar Parawansa sampai harus mati-matian mengubah sosok Khofifah melalui busana. Sumber The Jakarta Post menyebutkan, Khofifah sampai harus membeli puluhan jilbab dengan warna cerah dan minim motif untuk mengesankan kesederhanaan. Cara memakai jilbabnya pun berubah. Tidak ada lagi jilbab yang terjuntai di dada (khas NU), berganti dengan yang lebih modis. Tanpa meninggalkan kesan NU, yang ditandai dengan tekukan di sekitar sudut mata.
“Awalnya, ada salah satu pengusaha media yang mengatakan pada kami (Tim Kampanye KAJI) untuk membuat Khofifah marketable, akhirnya perubahan pun dilakukan,” kata sumber The Post. Tidak hanya itu, tim KAJI pun meminta salah satu fotografer terkemuka asal Jakarta untuk memotret Khofifah dan Mujiono. Awalnya, Khofifah sempat merasa kagok. “Ternyata Saya cantik juga ya,” kata Khofifah seperti ditirukan sumber The Post.
Tim Kampanye KAJI juga secara khusus menyiapkan tenaga untuk mengatur bahasa tubuh kandidat yang diusung 12 partai. Semisal, selalu mengingatkan Khofifah untuk menegakkan dagunya. Baik saat di event resmi, depan podium maupun di atas panggung.
Calon KARSA, yang menempatkan kumis sebagai salah satu tagline, “Coblos Brengose,” bahkan melarang dua kandidat, Soekarwo-Syafullah Yusuf untuk memotong kumis mereka. “Kebetulan dua calon kami punya kumis, akhirnya kami menjadikan kumis mereka sebagai cara untuk mempermudah memperkenalkan diri,” kata Mashuri, salah satu anggota Tim KARSA, ada The Post.
Dan hal itu sudah terpikir sejak dua tahun lalu, ketika pasangan KARSA mulai muncul ke permukaan. Soekarwo menamakan dirinya sebagai Pakde (Paman) Karwo. Pakde, dalam struktur Jawa memiliki peran lebih tinggi dari bapak. Pakde, dianggap lebih tua dan bisa mewakili peran bapak. “Makanya, kami menamakan Soekarwo sebagai Pakde Karwo, Pakdenya masyarakat Jawa Timur,” katanya.
Pasangan Soenarjo-Ali Maschan Moesa (SALAM) lain lagi. Mereka menampatkan baju batik, sebagai kekhasan pasangan itu. Pasangan yang diusung Partai Golkar ini selalu memakai batik dalam gambar-gambar poster yang dipasang dirempatan-perempatan jalan di Surabaya. Tidak hanya itu, Ali Maschan Moesa, yang ketika menjadi ketua PWNU terbiasa caplas-ceplos dalam berbicara, saat menjadi cawagub pun terlihat lebih tertata. “Ah, kami hanya ingin berhati-hati dalam berbicara, karena apa yang SALAM bicarakan adalah persoalan riil,” kata Ali Maschan Moesa pada The Post.
Henry Subiyakto menilai, apa yang dilakukan kandidat cagub dan cawagub adalah hal yang biasa. Meskipun hal itu merupakan salah satu bentuk pemenuhan high content culture yang sampai saat ini masih menjadi budaya masyarakat. Untuk itu merketing politik betul-betul “dimainkan”. “Hasilnya, orang lebih mementingkan tayangan iklan, dari pada debat kandidat,” katanya.
Bahkan, ada kecenderungan, kandidat yang jago dalam berdebat akan dijuluki dengan berbagai macam julukan negatif. Mulai omong doang, no action talk only (NATO) dll. “Padahal, kalau orang tahu, banyak iklan yang manipulatif,”katanya. Karena itulah, Henry meminta masyarakat untuk lebih cerdas dalam memilih kandidat mendatang. “Lihat dan cermati pelaksanaan debat, nilai isi perdebatannya, jangan cuma melihat poster dan iklannya,” kata Henry.
Yang paling parah dari budaya “bungkus” itu, kata Henry adalah bagaimana para kandidat itu terkesan tidak percaya diri dengan kapasitasnya. Bentuk rasa tidak percaya diri itu adalah dengan memasang gambar tokoh nasional sebagai background dalam setiap poster atau spanduk.
Dalam pengamatan The Jakarta Post, dua pasangan yang selalu menempatkan tokoh politik nasional dalam spanduknya adalah pasangan Soetjipto-Ridwan Hisjam (SR) dan Achmady-Suhartono (ACHSAN). SR, selalu menempatkan Ketua Umum PDI Perjuangan Megawati Soekarno Putri dalam spanduknya. Sementara ACHSAN menempatkan Gus Dur sebagai background.
08 Juli 2008
Memunculkan Kepedulian Pada The Forgoten Killer
Iman D. Nugroho
Secara fisik, Nerisa memang tidak berbeda dengan anak-anak seusianya. Gadis berusia sekitar tujuh tahun itu memiliki bagian tubuh yang lengkap. Hanya saja, hampir semua bagian tubuhnya lunglai, bagai tidak bertulang. Mulai leher, tangan, kaki hingga punggungnya. "Leher anak saya seperti leher ayam yang sudah dipotong, tidak bisa tegak," kata Yuni, sang ibu.
Gejala yang dialami Nerisa terjadi saat gadis itu akan masuk sekolah. Saat itu, entah mengapa Nerisa mulai kesakitan dan kejang-kejang. Dokter dari sebuah rumah sakit di Jakarta mengatakan, ada peyakit yang menyerang otak yang kemudian didiagnosa sebagai kanker otak. Karena kanker itulah, pendengaran, pengelihatan dan kemampuan motorik Nerisa mulai berkurang.
Nerisa adalah salah satu anak yang sakit karena bakteri pnemokokus yang menyerang otak. Kisah tentang Nerisa dan tujuh anak lain (enam di antaranya meninggal dunia-RED) yang menderita karena pnemokukus dijadikan salah satu materi sosialisasi Asian Strategic for Pnemococcal Disease Prevention (ASAP) Indonesia.
"Mereka hanya contoh kecil, masih banyak lagi yang lainnya," kata Prof Dr. dr. Sri Rezeki S. Hadinegoro, Divisi of Infection and Tropical Disease, Universitas Indonesia yang juga ketua ASAP Indonesia.
ASAP adalah kelompok independen di Asia yang fokus pada pencegahan infeksi bakteri pnemokokus. Ada 20 negara yang menjadi anggota kelompok ini. Indonesia adalah salah satunya. Dana yang dirilis World Health Organisation (WHO) dan Unicef menyebutkan setidaknya ada 2 juta kematian setiap tahun oleh bakteri jenis ini. Sekitar 700 ribu hingga 1 juta korban adalah balita. Di Asia Pasifik, dilaporkan ada 98 balita meninggal dunia karena penemonia setiap jam. "Kita punya masalah yang seolah-oleh terpendam, yaitu penyakit yang disebabkan oleh Pnemokokus," kata Sri.
Karena pentingnya persoalan pnemokokus itulah, ASAP hadir. Dr. Lulu Bravo Ketua College of Medicine, Universitas Manila, Philipine yang juga ASAP Filipina mengatakan, awareness pada pnemokokus di Asia Tenggara tenggolong rendah. “Karena itu harus ada upaya bersama-sama untuk membangkitkan kepedualian terhadap hal ini,” kata Lulu Bravo di Surabaya.
MENGENAL PNEMOKOKUS
Dr. Soedjatmiko, Ketua III Pengurus Pusat Ikatan Dokter Anak Indonesia menjelaskan, ada 90-an jenis bakteri pnemokokus. Namun hanya 11 jenis yang berbahaya. Biasanya, bakteri jenis ini berada di daerah tenggorokan. “Hebatnya, meski terjangkit bakteri jenis ini, tidak ada keluhan dan tanpa gejala khusus,” kata Soedjatmiko. Justru karena itulah, pnemokokus cepat menyebar. Melalui bicara, bersin atau tertawa terbahak-bahak.
Bila pnemokokus masuk ke anak atau balita, yang kekebalannya rendah, maka bakteri itu akan berjembang jadi peneumoni. Bukan tidak mungkin, anak berkembang dalam darah dan bisa mencapai otak bisa. Anak tersebut akan menderita maningitis atau radang otak. “Juga bis amenjadi pnemoni atau radang paru yang ditandai dengan batuk dan sesak napas,” jelas Soedjatmiko.
Yang paling parah, bila menyebar melalui darah berkembang ke otak, maka akan terjadi radang selaput otak dengan tanda-tanda sakit kepala, muntah, gelisah, sampai koma. Soedjatmiko mencatat, angka kematian karena hal ini mencapai 30 persen. “Di Mataram, angka kematiannya mencapai 45 persen. Kalau toh sembuh, maka anak itu tidak bisa bergerak dan bicara, tidak cerdas,” katanya. Nerisa, adalah salah satu contohnya. Yang harus juga diperhatikan, kata Soedjatmiko, pnemoni adalah pembunuh terbesar bila dibanding AIDS, diare, TBC, malaria atau campak.
Di indonesia, pnemoni memang bukan hal baru. Seja tahun tahun 1976, penyakit yang disebabkan oleh pnemokokus sudah banyak ditemukan. Saat ini, penyakit jenis ini diperkirakan akan semakin meningkat. Lantaran kekebalan pada antibiotik juga meningkat. Data menyebutkan sejak 1990, antibiotik di beberapa negara seperti India, Singapura, Malaysia, China, Taiwan, Hongkong hingga Australia memiliki kekelan antibiotik yang tinggi. Kalau sudah seperti itu, maka pengobatan dengan cara apapun akan melambat.
MELAWAN PNEMOKOKUS
Seperti halnya penyakit yang lain, upaya pencegahan pnemokokus lebih baik dari pada pengobatannya. Hal yang dikatakan Prof. Iqbal Ahmad Memon, dokter Civil Hospital, Karachi, Pakistan. “Bagaimana pun pencegahan lebih bagus dari pengobatan,” kata Iqbal Ahmad Memon di Surabaya. Selain pemberian air susu ibu (IBU) ekslusif, nutrisi dan gizi yang baik dan seimbang bisa memperkecil menguatnya pnemokokus. Lantaran kekebalan bayi secara alamiah bisa meningkat.
Juga, membersihkan lingkungan dari berbagai polusi. Terutama polisi asap kendaraan dan asap rokok. Dua hal terakhir itu bisa mempercepat terjadinya invensi saluran pernapasan atas yang membuat pnemokokus cepat berkembang. Kebiasaan menitipkan bayi di tempat penitipan anak, pun bisa berbahaya. Di kota seperti Jakarta, setidaknya bayi yang dititipkan selama 8 jam/hari. Yang tidak kalah penting adalah prilaku sehat. Semisal membiasakan memakai masker saat batuk, hingga tidak mencium bayi mouth to mouth.
“Pencegahan terakhir dengan memberikan vaksin,” kata Iqbal. Vaksin, katanya, bisa sedikit demi sedikit menghilangkan penyakit, karena penyakit tidak diberi kesempatan untuk berkembang dalam tubuh yang sudah imun dengan penyakit tertentu karena vaksin. Vaksin cacar dan vaksin Folio misalnya, adalah contohnya.
Di AS, vaksinasi pnemokokus rutin diberikan. Hasilnya luar biasa. Jumlah penderita pnemokokus pada anak usia 1-3 tahun, menurun drastis. Di negara Paman Sam itu, vaksi pnemokokus dimasukkan dalam imuniasi wajib pada balita. Sementara di Indonesia, tidak seperti itu. Program nasional imunisasi hanya memasukkan tujuh jenis imunisasi wajib. Polio, Hepatitis, Campak, Difteri, Pertusis, Tetanus dan BCG.
Itupun masih berhadapan dengan penolakan di beberapa kawasan. Beberapa pemimpin agama di Madura misalnya, masih menolak imunisasi karena proses pembuatannya dari babi dan pangkreas kera. Bagi muslim, hal itu tergolong haram. Di luar hal itu, persoalan besarnya biaya menjadi salah satu alasan.
Di Indonesia, untuk vaksi pnemokokus lengkap dibutuhkan setidaknya Rp.600 ribu. Bisa dibayangkan, untuk 22,8 juta anak di Indonesia, setidaknya pemerintah perlu setidaknya Rp.1 T lebih. “Karena itu, perlu hitungan secara cermat bila pemerintah anak memasukkan pnemokokus sebagai program imunisasi nasional,” kata Prof Dr. dr. Sri Rezeki S. Hadinegoro, Divisi of Infection and Tropical Disease, Universitas Indonesia yang juga ketua ASAP Indonesia.
Namun, Prof. Sri lebih menekankan, persoalan biaya setidaknya tidak dilihat menjadi salah satu masalah. Yang lebih penting adalah kepedulian. Perlu dilihat, apakah vaksin ada dan aman untuk digunakan pada bayi di Indonesia atau tidak. “Kalau harga yang dipikirkan lebih dahulu, maka program itu akan berhenti di tengah jalan,” katanya. Harus dilihat data dan evek pada anak-anak. Lalu dilihat apakah faksin ada, aman dan mungkin tidak.
Satu-satunya vaksin yang digunakan untuk pnemokokus adalah Pnemococcal Sccharide Conjugated Vaccine atau PCV-7. Vaksin ini adalah vaksin yang aman digunakan pada bayi dan anak-anak. Selama ini ada 17 negara, termasuk Inggris Raya, AS, Australia dan Prancis yang menggunakan PCV-7. Akankah Indonesia memasukan PCV-7 dalam salah satu program imuniasi nasional? “Kita masih berusaha untuk itu,” kata Prof. Sri.
Secara fisik, Nerisa memang tidak berbeda dengan anak-anak seusianya. Gadis berusia sekitar tujuh tahun itu memiliki bagian tubuh yang lengkap. Hanya saja, hampir semua bagian tubuhnya lunglai, bagai tidak bertulang. Mulai leher, tangan, kaki hingga punggungnya. "Leher anak saya seperti leher ayam yang sudah dipotong, tidak bisa tegak," kata Yuni, sang ibu.
Gejala yang dialami Nerisa terjadi saat gadis itu akan masuk sekolah. Saat itu, entah mengapa Nerisa mulai kesakitan dan kejang-kejang. Dokter dari sebuah rumah sakit di Jakarta mengatakan, ada peyakit yang menyerang otak yang kemudian didiagnosa sebagai kanker otak. Karena kanker itulah, pendengaran, pengelihatan dan kemampuan motorik Nerisa mulai berkurang.
Nerisa adalah salah satu anak yang sakit karena bakteri pnemokokus yang menyerang otak. Kisah tentang Nerisa dan tujuh anak lain (enam di antaranya meninggal dunia-RED) yang menderita karena pnemokukus dijadikan salah satu materi sosialisasi Asian Strategic for Pnemococcal Disease Prevention (ASAP) Indonesia.
"Mereka hanya contoh kecil, masih banyak lagi yang lainnya," kata Prof Dr. dr. Sri Rezeki S. Hadinegoro, Divisi of Infection and Tropical Disease, Universitas Indonesia yang juga ketua ASAP Indonesia.
ASAP adalah kelompok independen di Asia yang fokus pada pencegahan infeksi bakteri pnemokokus. Ada 20 negara yang menjadi anggota kelompok ini. Indonesia adalah salah satunya. Dana yang dirilis World Health Organisation (WHO) dan Unicef menyebutkan setidaknya ada 2 juta kematian setiap tahun oleh bakteri jenis ini. Sekitar 700 ribu hingga 1 juta korban adalah balita. Di Asia Pasifik, dilaporkan ada 98 balita meninggal dunia karena penemonia setiap jam. "Kita punya masalah yang seolah-oleh terpendam, yaitu penyakit yang disebabkan oleh Pnemokokus," kata Sri.
Karena pentingnya persoalan pnemokokus itulah, ASAP hadir. Dr. Lulu Bravo Ketua College of Medicine, Universitas Manila, Philipine yang juga ASAP Filipina mengatakan, awareness pada pnemokokus di Asia Tenggara tenggolong rendah. “Karena itu harus ada upaya bersama-sama untuk membangkitkan kepedualian terhadap hal ini,” kata Lulu Bravo di Surabaya.
MENGENAL PNEMOKOKUS
Dr. Soedjatmiko, Ketua III Pengurus Pusat Ikatan Dokter Anak Indonesia menjelaskan, ada 90-an jenis bakteri pnemokokus. Namun hanya 11 jenis yang berbahaya. Biasanya, bakteri jenis ini berada di daerah tenggorokan. “Hebatnya, meski terjangkit bakteri jenis ini, tidak ada keluhan dan tanpa gejala khusus,” kata Soedjatmiko. Justru karena itulah, pnemokokus cepat menyebar. Melalui bicara, bersin atau tertawa terbahak-bahak.
Bila pnemokokus masuk ke anak atau balita, yang kekebalannya rendah, maka bakteri itu akan berjembang jadi peneumoni. Bukan tidak mungkin, anak berkembang dalam darah dan bisa mencapai otak bisa. Anak tersebut akan menderita maningitis atau radang otak. “Juga bis amenjadi pnemoni atau radang paru yang ditandai dengan batuk dan sesak napas,” jelas Soedjatmiko.
Yang paling parah, bila menyebar melalui darah berkembang ke otak, maka akan terjadi radang selaput otak dengan tanda-tanda sakit kepala, muntah, gelisah, sampai koma. Soedjatmiko mencatat, angka kematian karena hal ini mencapai 30 persen. “Di Mataram, angka kematiannya mencapai 45 persen. Kalau toh sembuh, maka anak itu tidak bisa bergerak dan bicara, tidak cerdas,” katanya. Nerisa, adalah salah satu contohnya. Yang harus juga diperhatikan, kata Soedjatmiko, pnemoni adalah pembunuh terbesar bila dibanding AIDS, diare, TBC, malaria atau campak.
Di indonesia, pnemoni memang bukan hal baru. Seja tahun tahun 1976, penyakit yang disebabkan oleh pnemokokus sudah banyak ditemukan. Saat ini, penyakit jenis ini diperkirakan akan semakin meningkat. Lantaran kekebalan pada antibiotik juga meningkat. Data menyebutkan sejak 1990, antibiotik di beberapa negara seperti India, Singapura, Malaysia, China, Taiwan, Hongkong hingga Australia memiliki kekelan antibiotik yang tinggi. Kalau sudah seperti itu, maka pengobatan dengan cara apapun akan melambat.
MELAWAN PNEMOKOKUS
Seperti halnya penyakit yang lain, upaya pencegahan pnemokokus lebih baik dari pada pengobatannya. Hal yang dikatakan Prof. Iqbal Ahmad Memon, dokter Civil Hospital, Karachi, Pakistan. “Bagaimana pun pencegahan lebih bagus dari pengobatan,” kata Iqbal Ahmad Memon di Surabaya. Selain pemberian air susu ibu (IBU) ekslusif, nutrisi dan gizi yang baik dan seimbang bisa memperkecil menguatnya pnemokokus. Lantaran kekebalan bayi secara alamiah bisa meningkat.
Juga, membersihkan lingkungan dari berbagai polusi. Terutama polisi asap kendaraan dan asap rokok. Dua hal terakhir itu bisa mempercepat terjadinya invensi saluran pernapasan atas yang membuat pnemokokus cepat berkembang. Kebiasaan menitipkan bayi di tempat penitipan anak, pun bisa berbahaya. Di kota seperti Jakarta, setidaknya bayi yang dititipkan selama 8 jam/hari. Yang tidak kalah penting adalah prilaku sehat. Semisal membiasakan memakai masker saat batuk, hingga tidak mencium bayi mouth to mouth.
“Pencegahan terakhir dengan memberikan vaksin,” kata Iqbal. Vaksin, katanya, bisa sedikit demi sedikit menghilangkan penyakit, karena penyakit tidak diberi kesempatan untuk berkembang dalam tubuh yang sudah imun dengan penyakit tertentu karena vaksin. Vaksin cacar dan vaksin Folio misalnya, adalah contohnya.
Di AS, vaksinasi pnemokokus rutin diberikan. Hasilnya luar biasa. Jumlah penderita pnemokokus pada anak usia 1-3 tahun, menurun drastis. Di negara Paman Sam itu, vaksi pnemokokus dimasukkan dalam imuniasi wajib pada balita. Sementara di Indonesia, tidak seperti itu. Program nasional imunisasi hanya memasukkan tujuh jenis imunisasi wajib. Polio, Hepatitis, Campak, Difteri, Pertusis, Tetanus dan BCG.
Itupun masih berhadapan dengan penolakan di beberapa kawasan. Beberapa pemimpin agama di Madura misalnya, masih menolak imunisasi karena proses pembuatannya dari babi dan pangkreas kera. Bagi muslim, hal itu tergolong haram. Di luar hal itu, persoalan besarnya biaya menjadi salah satu alasan.
Di Indonesia, untuk vaksi pnemokokus lengkap dibutuhkan setidaknya Rp.600 ribu. Bisa dibayangkan, untuk 22,8 juta anak di Indonesia, setidaknya pemerintah perlu setidaknya Rp.1 T lebih. “Karena itu, perlu hitungan secara cermat bila pemerintah anak memasukkan pnemokokus sebagai program imunisasi nasional,” kata Prof Dr. dr. Sri Rezeki S. Hadinegoro, Divisi of Infection and Tropical Disease, Universitas Indonesia yang juga ketua ASAP Indonesia.
Namun, Prof. Sri lebih menekankan, persoalan biaya setidaknya tidak dilihat menjadi salah satu masalah. Yang lebih penting adalah kepedulian. Perlu dilihat, apakah vaksin ada dan aman untuk digunakan pada bayi di Indonesia atau tidak. “Kalau harga yang dipikirkan lebih dahulu, maka program itu akan berhenti di tengah jalan,” katanya. Harus dilihat data dan evek pada anak-anak. Lalu dilihat apakah faksin ada, aman dan mungkin tidak.
Satu-satunya vaksin yang digunakan untuk pnemokokus adalah Pnemococcal Sccharide Conjugated Vaccine atau PCV-7. Vaksin ini adalah vaksin yang aman digunakan pada bayi dan anak-anak. Selama ini ada 17 negara, termasuk Inggris Raya, AS, Australia dan Prancis yang menggunakan PCV-7. Akankah Indonesia memasukan PCV-7 dalam salah satu program imuniasi nasional? “Kita masih berusaha untuk itu,” kata Prof. Sri.
Menkes Kembali Kritik WHO Soal Flu Burung
Press Release
Tak banyak perempuan Indonesia yang pemberani. Jika dulu kita mengenal RA Kartini, di masa ini Indonesia memiliki asset bangsa luar biasa. Dialah Menteri Kesehatan Republik Indonesia, Dr.dr. Siti Fadilah Supari, Sp.JP(K). Tak berlebihan jika Dr. Siti Fadilah disebut sebagai perempuan pemberani. Sebab berkat gebrakannya yang kontroversial, dia berhasil mereformasi kebijakan WHO yang sudah banyak memunculkan ketidakadilan, terutama bagi negara berkembang. Dalam acara bedah buku karyanya yang berjudul “Saatnya Dunia Berubah,
Tangan Tuhan Dibalik Virus Flu Burung”, Siti Fadilah mengungkapkan keprihatinannya terhadap tidak transparannya WHO (organisasi kesehatan dunia) dalam menanggapi kasus flu burung. Bedah buku yang dibuka Wakil Rektor III Unair, Prof. Soetjipto, dr., MS., PhD itu digelar di Ruang Garuda Mukti lantai V Gedung Rektorat Universitas Airlangga kemarin, Menkes juga menjelaskan perjuangannya mendobrak ketidaktransparanan WHO dalam mengelola data sequencing virus H5N1.
Menurut dia, terdapat banyak ketidakadilan yang WHO lakukan dalam kasus ini. Diantaranya adalah ketidakadilan WHO dalam mengatur pendistribusian obat-obatan pada keadaan outbreak dan virus sharing yang sangat tidak adil. “Satu hal lagi yang membuat saya marah adalah ketika WHO menyimpulkan klaster yang terjadi di Tanah Karo adalah suatu kejadian penularan antar manusia. Bagaimana bisa organisasi global seperti WHO yang memiliki banyak ahli epidemologi membuat keseimpulan segegabah itu,”jelas Siti Fadilah.
Menurut Siti Fadilah, berita tentang penularan flu burung secara langsung dari manusia ke manusia itu tidak benar. Sebab jika benar, maka korban yang pertama adalah tenaga kesehatan yang merawat mereka. Dan mungkin kematian di daerah korban akan sangat banyak, bisa mencapai puluhan bahkan ribuan orang. Pernyataan tersebut didukung oleh hasil penelitian dari Lembaga Eijkman yang berhasil melakukan sequencing specimen virus H5N1 dari Tanah Karo.
Akibat perisitiwa tersebut, Siti Fadilah pun segera meluncurkan aksi protes keras terhadap WHO. Ia menilai seharusnya masalah tersebut didiskusikan terlebih dahulu sebelum memberi kesimpulan kepada media internasional. Tak hanya itu, Siti Fadilah pun sangat menyayangkan ketidaktransparanan yang dilakukan WHO terhadap distribusi obat Tamiflu. Negara-negara kaya seperti Amerika Serikat menjadikan Tamiflu sebagai stockpiling padahal negara-negara kaya itu tidak mengalami pandemi flu burung. Sehingga pada saat Indonesia dan negara-negara
lain yang terkena kasus flu burung membutuhkan, di pasaran obat ini tidak dijumpai.
Ketidakadilan itu tidak berhenti disitu saja. “Saya sangat heran ketika mendengar para ilmuwan di dunia tidak semuanya bisa mengakses data sequencing DNA H5N1 yang disimpan di WHO CC. Data yang disimpan di WHO CC ternyata disimpan di Los Alamos, sebuah laboratorium yang berada di bawah Kementerian Energi Amerika Serikat,” ungkap Siti. Laboratorium inilah yang dulunya pernah merancang bom atom Hiroshima. Akibatnya informasi ilmiah itu hanya dikuasai oleh sedikit peneliti saja.
Menghadapi ketidaktransparanan tersebut, Menkes merancang serangkaian aksi. Tanggal 8 Agustus 2006 sejarah dunia mencatat Indonesia menggugat ketidaktransparanan data sequencing tersebut dengan cara mengirim data ke Gene Bank. Awalnya data yang dikirim Indonesia tersebut hanya disimpan di WHO saja. Gebrakan ini pun disambut gembira oleh para ilmuwan seluruh dunia. Semenjak gebrakan yang dilakukan tersebut, laboratorium Los Alamos kabarnya telah ditutup. Namun sayangnya hingga saat ini keberadaan data sequencing virus-virus yang pernah dikirim ke WHO CC tidak diketahui.
Buku tulisan Menkes tersebut juga dibedah oleh empat panelis, yaitu Prof. Rika Subarniati, dr. SKM., Dr.Teguh Sylvaranto,dr,Sp.An KIC; Dr. J.F.Palilingan,dr.SpP(K) dan Drs. Bagong Suyanto, Msi, semuanya dari Universitas Airlangga. Antusiasme peserta terhadap kegigihan Menteri Kesehatan memperjuangkan transparansi WHO telihat cukup tinggi. Di akhir pidatonya Menkes
kelahiran Solo ini mengatakan bahwa saat ini langkah yang harus dilakukan bangsa Indonesia adalah memperkuat kedaulatan. “Hanya negara berdaulat yang mampu menghapus ketidakadilan di muka bumi ini,” tegas menteri.
Tak banyak perempuan Indonesia yang pemberani. Jika dulu kita mengenal RA Kartini, di masa ini Indonesia memiliki asset bangsa luar biasa. Dialah Menteri Kesehatan Republik Indonesia, Dr.dr. Siti Fadilah Supari, Sp.JP(K). Tak berlebihan jika Dr. Siti Fadilah disebut sebagai perempuan pemberani. Sebab berkat gebrakannya yang kontroversial, dia berhasil mereformasi kebijakan WHO yang sudah banyak memunculkan ketidakadilan, terutama bagi negara berkembang. Dalam acara bedah buku karyanya yang berjudul “Saatnya Dunia Berubah,
Tangan Tuhan Dibalik Virus Flu Burung”, Siti Fadilah mengungkapkan keprihatinannya terhadap tidak transparannya WHO (organisasi kesehatan dunia) dalam menanggapi kasus flu burung. Bedah buku yang dibuka Wakil Rektor III Unair, Prof. Soetjipto, dr., MS., PhD itu digelar di Ruang Garuda Mukti lantai V Gedung Rektorat Universitas Airlangga kemarin, Menkes juga menjelaskan perjuangannya mendobrak ketidaktransparanan WHO dalam mengelola data sequencing virus H5N1.
Menurut dia, terdapat banyak ketidakadilan yang WHO lakukan dalam kasus ini. Diantaranya adalah ketidakadilan WHO dalam mengatur pendistribusian obat-obatan pada keadaan outbreak dan virus sharing yang sangat tidak adil. “Satu hal lagi yang membuat saya marah adalah ketika WHO menyimpulkan klaster yang terjadi di Tanah Karo adalah suatu kejadian penularan antar manusia. Bagaimana bisa organisasi global seperti WHO yang memiliki banyak ahli epidemologi membuat keseimpulan segegabah itu,”jelas Siti Fadilah.
Menurut Siti Fadilah, berita tentang penularan flu burung secara langsung dari manusia ke manusia itu tidak benar. Sebab jika benar, maka korban yang pertama adalah tenaga kesehatan yang merawat mereka. Dan mungkin kematian di daerah korban akan sangat banyak, bisa mencapai puluhan bahkan ribuan orang. Pernyataan tersebut didukung oleh hasil penelitian dari Lembaga Eijkman yang berhasil melakukan sequencing specimen virus H5N1 dari Tanah Karo.
Akibat perisitiwa tersebut, Siti Fadilah pun segera meluncurkan aksi protes keras terhadap WHO. Ia menilai seharusnya masalah tersebut didiskusikan terlebih dahulu sebelum memberi kesimpulan kepada media internasional. Tak hanya itu, Siti Fadilah pun sangat menyayangkan ketidaktransparanan yang dilakukan WHO terhadap distribusi obat Tamiflu. Negara-negara kaya seperti Amerika Serikat menjadikan Tamiflu sebagai stockpiling padahal negara-negara kaya itu tidak mengalami pandemi flu burung. Sehingga pada saat Indonesia dan negara-negara
lain yang terkena kasus flu burung membutuhkan, di pasaran obat ini tidak dijumpai.
Ketidakadilan itu tidak berhenti disitu saja. “Saya sangat heran ketika mendengar para ilmuwan di dunia tidak semuanya bisa mengakses data sequencing DNA H5N1 yang disimpan di WHO CC. Data yang disimpan di WHO CC ternyata disimpan di Los Alamos, sebuah laboratorium yang berada di bawah Kementerian Energi Amerika Serikat,” ungkap Siti. Laboratorium inilah yang dulunya pernah merancang bom atom Hiroshima. Akibatnya informasi ilmiah itu hanya dikuasai oleh sedikit peneliti saja.
Menghadapi ketidaktransparanan tersebut, Menkes merancang serangkaian aksi. Tanggal 8 Agustus 2006 sejarah dunia mencatat Indonesia menggugat ketidaktransparanan data sequencing tersebut dengan cara mengirim data ke Gene Bank. Awalnya data yang dikirim Indonesia tersebut hanya disimpan di WHO saja. Gebrakan ini pun disambut gembira oleh para ilmuwan seluruh dunia. Semenjak gebrakan yang dilakukan tersebut, laboratorium Los Alamos kabarnya telah ditutup. Namun sayangnya hingga saat ini keberadaan data sequencing virus-virus yang pernah dikirim ke WHO CC tidak diketahui.
Buku tulisan Menkes tersebut juga dibedah oleh empat panelis, yaitu Prof. Rika Subarniati, dr. SKM., Dr.Teguh Sylvaranto,dr,Sp.An KIC; Dr. J.F.Palilingan,dr.SpP(K) dan Drs. Bagong Suyanto, Msi, semuanya dari Universitas Airlangga. Antusiasme peserta terhadap kegigihan Menteri Kesehatan memperjuangkan transparansi WHO telihat cukup tinggi. Di akhir pidatonya Menkes
kelahiran Solo ini mengatakan bahwa saat ini langkah yang harus dilakukan bangsa Indonesia adalah memperkuat kedaulatan. “Hanya negara berdaulat yang mampu menghapus ketidakadilan di muka bumi ini,” tegas menteri.
06 Juli 2008
Pilgub Jatim Mulai Menuai Sengketa
Iman D. Nugroho
Rangkaian proses Pemilihan Gubernur (Pilgub) Jawa Timur yang digelar Minggu (6/06/08) ini, mulai menuai sengketa. Panitia Pengawas Pemilu (Panwaslu) Jawa Timur menuding Komisi Pemilihan Umum (KPU) Jatim telah salah meregulasi Pilgub. Hasilnya, ada beberapa amanat UU yang tidak bisa dilaksanakan. "Ini semua salah KPU Jatim," kata Ketua Paswaslu Jatim, Sri Sugeng Prijatmoko.
Salah satu item yang dipersoalkan adalah pelaksanaan kampanye hari pertama. Kampanye hari pertama Pilgub Jatim dilaksanakan di berbagai tempat. Kofifah Indar Parawansa-Mudjiono misalnya, melakukan jalan sehat dengan masyarakat Tulungagung (Zona A). Calon PKB Ahmady-Soehartono menggelar pasar murah dan bertemu dengan korban lumpur Lapindo di Porong, Sidoarjo (Zona E).
Calon PDIP Sutjipto-Ridwan Hisjam fokus pada wilayah nelayan Muncar di Banyuwangi (Zona C), dan calon Partai Demokrat-PAN menggelar rapat akbar di Pamekasan, Madura (Zona D). Pasangan yang diusung Golkar, Soenarjo-Ali Maschan Moesa tidak memanfaatkan kampanye hari pertama di Zona B, melainkan justru memilih ke Zona A, yang seharusnya menjadi jatah pasangan Kofifah Indar Parawansa.
Apa yang dilakukan psangan Soenarjo-Ali Maschan Moesa itu menurut Ketua Paswaslu Jatim Sri Sugeng Prijatmoko, melanggar aturan. KPU Jatim, kata Sugeng sudah membagi zona kampanye untuk menghindarkan adanya bentrok massa. Zona A adalah daerah Ngawi dan sekitarnya, Zona B melingkupi Tuban dan sekitarnya, Zona C berada di Banyuwangi dan sekitarnya, Zona D di Pulau Madura dan Zona E mencakup daerah sekitar Surabaya. "Tapi yang dilakukan oleh Soenarjo-Ali Maschan berada di luar zona yang dijadwalkan," kata Sugeng.
Selain pelanggaran zona, Panwaslu Jatim juga mempersoalkan pelaksanaan kampanye hari pertama yang jenisnya beragam. Menurut Peraturan Pemerintah (PP) tentang Pemilu, kampanye hari pertama adalah penyampaian visi dan misi kandidat di depan Rapat Paripurna DPRD Jawa Timur. "Itu adalah amanat UU Pemilu dan Peraturan Pemerintah, tapi justru KPU Jatim yang melanggarnya, dengan mengizinkan dilakukannya kampanye di banyak tempat pada hari pertama," kata Sugeng.
Pelanggaran ketiga adalah tidak diserahkannya jumlah sumbangan dan asal sumbangan dari pihak ketiga untuk kandidat calon gubernur. Aturannya, penyerahan jumlah sumbangan diserahkan setidaknya dua hari sebelum pelaksanaan kampanye. Namun, hingga saat ini, tidak seorang pun dari kandidat calon gubernur yang sudah menyerahkan asal uang yang mereka pakai dalam kampanye. "Akan bisa dilihat asal uang yang digunakan kampanye," kata Sugeng. Lagi-lagi, KPU Jatim seakan meanggap aturan hukum itu tidak ada, dan mengabaikannya.
Namun, KPU Jatim justru membenarkan hal itu. Arief Budiman dari KPU Jatim menjelaskan, zona kampanye yang diatur KPU Jatim itu hanya sebatas zona kampanye Rapat Umum yang mendatangkan massa yang sangat banyak. Di luar rapat umum, kata Arief, bisa dilakukan di mana saja. Terlebih, masa kampanye sangat pendek, KPU Jatim memberikan toleransi bagi kandidat pilgub untuk berkampanye di luar zona.
Menyangkut kampanye hari pertama yang seharusnya adalah penyampaian visi dan misi, Arief berpendapat, hal itu ditetapkan karena KPU Jatim menghormati peraturan DPRD Jawa Timur yang menyebutkan DPRD Jatim tidak akan melakukan rapat paripurna di hari libur. "Kami menghormati DPRD Jawa Timur, untuk itulah, hari pertama kampanye yang jatuh pada hari Minggu ditetapkan bukan penyampaian visi dan misi, bari pada hari kedua, pada Senin ini, visi-misi baru dilakukan," katanya. Sementara menyangkut dilaporkannya sumber keuangan, Arief memilih untuk tidak berkomentar.
Ketua Paswaslu Jatim, Sri Sugeng Prijatmoko menjelaskan, apapun alasan KPU Jatim, yang pasti KPU Jatim telah dengan sadar melanggar UU Pemilu. Sayangnya, tambah Sugeng, Panwaslu Jatim tidak memiliki daya untuk meluruskan hal itu. "Regulasi pilkada sepenuhnya ada pada KPU Jatim, pelanggaran yang dilakukan kandidat seharusnya bisa membuat kandidat itu disanksi, apakah KPU Jatim bersedia mensanksi kandidat pilgub? Yang pasti, Panwaslu akan mencacat semua pelanggaran ini," tanya Sugeng.***
Jadwal Kampanye Pilgub Jatim.
Rangkaian proses Pemilihan Gubernur (Pilgub) Jawa Timur yang digelar Minggu (6/06/08) ini, mulai menuai sengketa. Panitia Pengawas Pemilu (Panwaslu) Jawa Timur menuding Komisi Pemilihan Umum (KPU) Jatim telah salah meregulasi Pilgub. Hasilnya, ada beberapa amanat UU yang tidak bisa dilaksanakan. "Ini semua salah KPU Jatim," kata Ketua Paswaslu Jatim, Sri Sugeng Prijatmoko.
Salah satu item yang dipersoalkan adalah pelaksanaan kampanye hari pertama. Kampanye hari pertama Pilgub Jatim dilaksanakan di berbagai tempat. Kofifah Indar Parawansa-Mudjiono misalnya, melakukan jalan sehat dengan masyarakat Tulungagung (Zona A). Calon PKB Ahmady-Soehartono menggelar pasar murah dan bertemu dengan korban lumpur Lapindo di Porong, Sidoarjo (Zona E).
Calon PDIP Sutjipto-Ridwan Hisjam fokus pada wilayah nelayan Muncar di Banyuwangi (Zona C), dan calon Partai Demokrat-PAN menggelar rapat akbar di Pamekasan, Madura (Zona D). Pasangan yang diusung Golkar, Soenarjo-Ali Maschan Moesa tidak memanfaatkan kampanye hari pertama di Zona B, melainkan justru memilih ke Zona A, yang seharusnya menjadi jatah pasangan Kofifah Indar Parawansa.
Apa yang dilakukan psangan Soenarjo-Ali Maschan Moesa itu menurut Ketua Paswaslu Jatim Sri Sugeng Prijatmoko, melanggar aturan. KPU Jatim, kata Sugeng sudah membagi zona kampanye untuk menghindarkan adanya bentrok massa. Zona A adalah daerah Ngawi dan sekitarnya, Zona B melingkupi Tuban dan sekitarnya, Zona C berada di Banyuwangi dan sekitarnya, Zona D di Pulau Madura dan Zona E mencakup daerah sekitar Surabaya. "Tapi yang dilakukan oleh Soenarjo-Ali Maschan berada di luar zona yang dijadwalkan," kata Sugeng.
Selain pelanggaran zona, Panwaslu Jatim juga mempersoalkan pelaksanaan kampanye hari pertama yang jenisnya beragam. Menurut Peraturan Pemerintah (PP) tentang Pemilu, kampanye hari pertama adalah penyampaian visi dan misi kandidat di depan Rapat Paripurna DPRD Jawa Timur. "Itu adalah amanat UU Pemilu dan Peraturan Pemerintah, tapi justru KPU Jatim yang melanggarnya, dengan mengizinkan dilakukannya kampanye di banyak tempat pada hari pertama," kata Sugeng.
Pelanggaran ketiga adalah tidak diserahkannya jumlah sumbangan dan asal sumbangan dari pihak ketiga untuk kandidat calon gubernur. Aturannya, penyerahan jumlah sumbangan diserahkan setidaknya dua hari sebelum pelaksanaan kampanye. Namun, hingga saat ini, tidak seorang pun dari kandidat calon gubernur yang sudah menyerahkan asal uang yang mereka pakai dalam kampanye. "Akan bisa dilihat asal uang yang digunakan kampanye," kata Sugeng. Lagi-lagi, KPU Jatim seakan meanggap aturan hukum itu tidak ada, dan mengabaikannya.
Namun, KPU Jatim justru membenarkan hal itu. Arief Budiman dari KPU Jatim menjelaskan, zona kampanye yang diatur KPU Jatim itu hanya sebatas zona kampanye Rapat Umum yang mendatangkan massa yang sangat banyak. Di luar rapat umum, kata Arief, bisa dilakukan di mana saja. Terlebih, masa kampanye sangat pendek, KPU Jatim memberikan toleransi bagi kandidat pilgub untuk berkampanye di luar zona.
Menyangkut kampanye hari pertama yang seharusnya adalah penyampaian visi dan misi, Arief berpendapat, hal itu ditetapkan karena KPU Jatim menghormati peraturan DPRD Jawa Timur yang menyebutkan DPRD Jatim tidak akan melakukan rapat paripurna di hari libur. "Kami menghormati DPRD Jawa Timur, untuk itulah, hari pertama kampanye yang jatuh pada hari Minggu ditetapkan bukan penyampaian visi dan misi, bari pada hari kedua, pada Senin ini, visi-misi baru dilakukan," katanya. Sementara menyangkut dilaporkannya sumber keuangan, Arief memilih untuk tidak berkomentar.
Ketua Paswaslu Jatim, Sri Sugeng Prijatmoko menjelaskan, apapun alasan KPU Jatim, yang pasti KPU Jatim telah dengan sadar melanggar UU Pemilu. Sayangnya, tambah Sugeng, Panwaslu Jatim tidak memiliki daya untuk meluruskan hal itu. "Regulasi pilkada sepenuhnya ada pada KPU Jatim, pelanggaran yang dilakukan kandidat seharusnya bisa membuat kandidat itu disanksi, apakah KPU Jatim bersedia mensanksi kandidat pilgub? Yang pasti, Panwaslu akan mencacat semua pelanggaran ini," tanya Sugeng.***
Jadwal Kampanye Pilgub Jatim.