Iman D Nugroho
Kampanye pertama kandidat calon gubernur dan calon wakil gubernur Jawa Timur digelar Minggu (6/06/08) ini. Tidak ada yang baru dalam sistem kampanye kali ini. Masing-masing kandidat memilih langsung mendekati massa pemilih di kantong-kantong pendukung, dengan rapat akbar, jalan sehat dan pasar murah.
Calon 12 partai kecil, Kofifah Indar Parawansa-Mudjiono menemani masyarakat Tulungagung dengan melaksanakan jalan sehat, sementara calon PKB Ahmady-Soehartono menggelar pasar murah di Surabaya. Calon PDIP Sutjipto-Ridwan Hisjam fokus pada wilayah nelayan Muncar di Banyuwangi, dan calon Partai Demokrat-PAN menggelar rapat akbar di Pamekasan, Madura. Pasangan yang diusung Golkar, Soenarjo-Ali Maschan Moesa tidak memanfaatkan kampanye hari pertama ini.
Arief Budiman dari KPU Jawa Timur mengatakan, kampanye yang dijadwalkan KPU Jatim sepenuhnya hak cagub-cawagub. "Kalau ada yang tidak memanfaatkan, ya tidak apa-apa," katanya pada The Post. Untuk menghindari bentrokan dan meratanya pelaksanaan kampanye di Jawa Timur, KPU Jatim membagi Jawa Timur dalam lima wilayah kampanye.
Pada kampanye hari pertama ini, Panitia Pengawas Pemilu (Panwaslu) Jawa Timur belum menemukan adanya pelanggaran. Seperti black campaign, money politics dll. Senin (7/06/08) besok, semua kandidat pilgub Jawa Timur akan menyampaikan visi dan misi di depan DPRD Jawa Timur di kantor DPRD Jawa Timur di Surabaya.
06 Juli 2008
05 Juli 2008
Netter Meminta FPI Dibubarkan
Iman D. Nugroho
Pembubaran organisasi Front Pembela Islam (FPI) adalah salah satu pilihan netter pengakses IDDAILY untuk menyelesaikan kasus penyerangan anggota FPI pada massa AKKBB di Monas beberapa waktu lalu. Hal itulah hasil polling di IDDAILY dengan pertanyaan: Bagaimana Seharusnya Menyelesaikan Kasus Penyerangan Oleh FPI?
Netter yang meminta FPI dibubarkan itu adalah 17 suara atau 48 persen dari seluruh suara sebanyak 35 suara. Selain meminta FPI dibubarkan, netter IDDAILY juga meminta polisi mengusut kasus itu. Jumlah suara untuk pengusutan kasus sebanyak 16 suara atau 34 persen. Sementara netter juga memilih untuk membiarkan saja FPI tanpa dilakukan tindakan apapun, sebanyak 5 suara atau 14 persen. Sisanya, 3 suara atau 8 persen, memilih untuk menyelesaikan dengan cara "lain". Sayangnya, tidak disebutkan bagaimana cara lain yang dimaksud.
Penyerangan FPI ke AKKBB saat ini sudah diusut oleh polisi. Beberapa pentolan FPI, seperti Habib Riziek Syihab dan Munarman, ditahan dan terus diperiksa. Penyerangan ini sempat diwarnai dengan munculnya video seorang yang diduga sebagai anggota AKKBB yang mengacungkan pistol. Meski belakangan, sosok itu diakui sebagai anggota polisi yang sedang membawa senjata api mainan. Juga, gambar Munarman yang diduga sedang mencekik salah satu anggota AKKBB, yang ternyata anggota FPI sendiri.
Pembubaran organisasi Front Pembela Islam (FPI) adalah salah satu pilihan netter pengakses IDDAILY untuk menyelesaikan kasus penyerangan anggota FPI pada massa AKKBB di Monas beberapa waktu lalu. Hal itulah hasil polling di IDDAILY dengan pertanyaan: Bagaimana Seharusnya Menyelesaikan Kasus Penyerangan Oleh FPI?
Netter yang meminta FPI dibubarkan itu adalah 17 suara atau 48 persen dari seluruh suara sebanyak 35 suara. Selain meminta FPI dibubarkan, netter IDDAILY juga meminta polisi mengusut kasus itu. Jumlah suara untuk pengusutan kasus sebanyak 16 suara atau 34 persen. Sementara netter juga memilih untuk membiarkan saja FPI tanpa dilakukan tindakan apapun, sebanyak 5 suara atau 14 persen. Sisanya, 3 suara atau 8 persen, memilih untuk menyelesaikan dengan cara "lain". Sayangnya, tidak disebutkan bagaimana cara lain yang dimaksud.
Penyerangan FPI ke AKKBB saat ini sudah diusut oleh polisi. Beberapa pentolan FPI, seperti Habib Riziek Syihab dan Munarman, ditahan dan terus diperiksa. Penyerangan ini sempat diwarnai dengan munculnya video seorang yang diduga sebagai anggota AKKBB yang mengacungkan pistol. Meski belakangan, sosok itu diakui sebagai anggota polisi yang sedang membawa senjata api mainan. Juga, gambar Munarman yang diduga sedang mencekik salah satu anggota AKKBB, yang ternyata anggota FPI sendiri.
01 Juli 2008
Saekan Menjaga Sumber Air Tetap Mengalir
Iman D. Nugroho
Keputusan Saekan menanam Pohon Pucung di atas sumber air Sanggar 36 tahun lalu menuai hasil. Beberapa sumber air yang biasanya kering saat musim kemarau itu terus bisa berair hingga kini. Kebutuhan air ribuan warga desa pun teratasi.
Langkah Saekan memperistri Tarmi, warga Desa Padas, Kecamatan Dagangan, Kabupaten Madiun Jawa Timur 1972 lampau, harus dibayar "mahal". Laki-laki yang kini menjadi sesepuh Desa Padas itu harus tinggal di daerah minus air. "Jangankan untuk minum, ketika pertama kali saya tinggal di sini, mendapatkan air untuk mandi saja susah," kata Saekan, Sabtu (28/06/08) ini. Bahkan, bagi laki-laki yang kini berusia 60 tahun itu tidak mandi selama lima hari adalah hal yang biasa.
Kesulitan air itu juga dirasakan setidaknya oleh 1000-an jiwa yang tinggal di Desa Padas ketika itu. Penduduk setempat menganggap hal itu sebagai kondisi yang "wajar". Selama bertahun-tahun, masyarakat memenuhi kebutuhan airnya dengan mengangsu (mengambil air) ke sumber air berjarak 1 Km yang letaknya jauh di dasar jurang.
Tapi tidak bagi Saekan. "Saya berpikir bagaimana orang terus hidup dengan kondisi seperti itu, bagaimana masa depan anak-anak desa ini mendatang," kenang Saekan.Kegelisahan itu mendorong laki-laki yang sejak muda gemar berladang ini, menanam pepohonan di sekitar sumber Sanggar, sumber terdekat yang selama ini menjadi sandaran hidup warga Desa Padas. Jaraknya hanya 1 Km.
Pohon Pucung dan pohon Aren menjadi pilihan Saekan. Pohon Pucung yang berbuah "kluwek" (rempah-rempah penghitam masakan Rawon-RED) ini adalah pilihan paling tepat. Selain pohonnya cepat besar, jumlah akar Pohon Pucung tergolong panjang, menguatkan tanah dan menyerap air dalam jumlah banyak pula.
"Daun pohon ini juga tidak mungkin dimakan ternak, karena ternak tidak mau, bila dipaksanakan, bisa mati," kata Saekan. Sementara Pohon Aren yang menghasilkan kolang-kaling, juga memiliki karakter yang hampir sama pula.
Sembari menunggu pohon itu besar, Saekan memutuskan untuk kembali ke Desa Ngrengat, sekitar 2 Km dari Desa Padas. Sepuluh tahun kemudian, tepatnya 1982, Saekan membawa keluarga, termasuk Tarmi dan anak pertamanya Hartono, kembali ke Desa Padas. Pohon -Pucung dan Pohon Aren yang ditanamnya sudah mulai bisa "dipanen" karena sudah tumbuh besar. Selain itu, saekan melihat adanya perubahan karakter sumber air. "Airnya lebih banyak," kenangnya.
Pekerjaan baru di mulai. Dengan dananya sendiri, Saekan membuat tempat penampungan air sementara di sekitar sumber air. Sekaligus membuat istalasi air yang terbuat dari bambu sejauh 1 Km. Dari sumber air menuju ke rumahnya. "Bambu saya belah, dan saya topangkan ke batang kayu, air pun mengalir menuju rumah saya," kata ayah dua anak, Hartono dan Udi Jatmiko ini.
Meski murah dan kuat, Saekan merasa penggunaan bambu untuk mengalirkan air rumit dalam perawatan. Banyaknya daun dalam hutan, acapkali membuat saluran bambu berhenti mengalirkan air. Dengan biaya sendiri, Saekan membeli selang plastik dengan diameter 3 Cm. "Dulu satu roll sepanjang 10 meter berharga 10 ribu, saya membeli 10 roll, untuk mengganti batang bambu," katanya.
Jumlah air yang terkumpul pun bertambah banyak. Alhasil, para tetangga pun bisa menikmati air sumber melalui rumah Saekan. Meski sederhana, apa yang dilakukan Saekan sangat membantu penduduk desa yang biasanya mengangsu air dengan menggunakan bambu ke sumber air di tepi jurang Desa Padas.
Selain mengurus sumber air, Saekan juga membangun sebuah kelompok bernama Kelompok Tani Agromulyo. Kelompok ini tergolong unik. Dengan bekal iuran Rp.1000-an/orang dan beras 1 Kg/orang, kelompok ini mengembangkan usaha simpan pinjam. Tidak tanggung-tanggung, kelompok ini sampai bisa membuat anggotanya memiliki hewan ternak.
Kelompok Tani Agromulyo jugalah yang bergotong-royong memperbaiki kondisi sumber air Sumber Bendo yang terletak 4 Km dari rumah Saekan. Sumber yang memiliki debit air jauh lebih besar itu pertama kali ditemukan oleh Saekan. Ketika itu, Saekan yang membantu proses pemadaman hutan secara tidak sengaja menemukan sumber Sumber Bendo.
Bersama Kelompok Tani Agromulyo, Saekan membangun tempat penampungan air di Sumber Bendo. Selain menanami pohon di sekitar sumber dengan tujuan untuk memperbanyak debit air. Saat air sudah terkumpul, Saekan dan kelompoknya membangun saluran air dari bambu, seperti yang dilakukannya di Sumber Sanggar. “Ïtu bukan hal yang mudah, karena jaraknya jauh, sampai 4 Km,” katanya. Air yang mengalir dari Sumber Bendo itu mampu memenuhi kebutuhan 7 kepala keluarga.
Kini, dua sumber air itu menjadi sandaran hidup masyarakat Desa Padas dalam persoalan air. Sumber Sanggar yang awalnya hanya bisa memenuhi kebutuhan 3 keluarga berkembang menjadi sumber air bersih untuk 13 keluarga. Sementara sumber Bendo, berkembang dari tujuh keluarga menjadi 50 keluarga. Tidak hanya itu, bila kebutuhan air bersih sudah selesai, air yang mengalir tiada henti, bisa digunakan untuk kocor-kocor (istilah setempat untuk pengairan lading).
Yang membanggakan, pohon Pucung dan pohon Aren yang ditanam Saekan membuat sumber air di daerah lain di luar Desa Padas, memiliki debit air lebih banyak. “Menurut beberapa warga, sumber air di tempat mereka kini tidak pernah mati, meskipun musim kemarau,”kata Saekan. Penduduk Desa Padas yang kini berjumlah 1.667 jiwa pun tidak lagi kesulitan air.
Kepala Desa Padas, Heru Sumanto yang juga anggota dari Kelompok Tani Argomulyo mengharapkan perjuangan Saekan 36 tahun lalu harus terus dilestarikan. Perkembangan anggota kelompok yang jumlahnya 55 orang tidak boleh berhenti di tengah jalan. “Perlunya melibatkan generasi muda. Sementara ini, pemuda-pemuda di Desa Padas sudah mulai terlibat penanaman tanaman yang mengandung air, selain itu juga menanam cengkeh,” jelas Heru.
Selain itu, juga dibentuk kelompok air yang disebut Himpunan Pengguna Air Minum (Hipam). Bagi anggota Hipam, kelangsungan hidup sumber air adalah segala-galanya. Secara berkala, anggota Hitam menyusuri saluran air (yang sudah diganti dengan paralon) untuk memeriksa kalau ada kerusakan. “Biasanya, usai hujan deras, pasti kami bersama-sama memeriksa saluran air, banyak pohon tumbang sering kali membuat air macet,” katanya.
Hipam juga yang secara mufakat mengatur penggunaan air. Semua anggota Hipam memiliki hak yang sama. “Namun bila ada yang membutuhkan air lebih banyak, anggota Hipam bisa meminta ijin dari anggota Hipam yang lain untuk menggunakan airnya,” jelas Heru.
Heru menggarisbawahi, ada keinginan dari Hipam dan Kelompok Tani Argomulyo untuk mempermanenkan sistem pengairan dari Sumber Sanggar maupun dari Sumber Bendo. Namun, debit air yang dimiliki kedua sumber itu tidak cukup besar. “Üntuk sementara, sistem pengairan yang kini sudah ada sudah cukup baik, kita sudah bisa menggunakannya dengan maksimal,” katanya.
Perjuangan Saekan berbuah lebih manis ketika laki-laki yang selalu menghiasi wajahnya dengan senyum ini mendapatkan Penghargaan Kalpataru dari Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Saekan dan kelompok Kelompok Tani Agromulyo dianggap sebagai penyelamat lingkungan. Mereka dianggap berhasil dalam melakukan usaha-usaha penyelamat tanah dan air di wilayah Desa Padas yang masuk dalam Kelompok Pengelola Hutan (KPH) Lawu dan sekitarnya. Saekan menganggap, Kalpataru yang diterimanya tidak membuat kondisi di Desa Padas berbuah. "Masih banyak fasilitas yang harus dipenuhi, tidak punya cuma soal air," kata Saekan.
Di Desa Padas hanya ada dua sekolah dasar (SD). Sementara Sekolah Menengah Pertama (SMP) berada di Desa Segulung yang berjarak 2 Km dari Desa Padas. Untuk Sekolah Menangat Atas (SMA) lebih jauh lagi. "SMA ada di Kecamatan Dagangan, lebih jauh lagi, sekitar 10 Km, karena itu kalau bisa ada SMA di Segulung, karena banyak anak-anak muda yang tidak melanjutkan," katanya. Penduduk Desa Padas masuk dalam golongan miskin. Pendapat perkapita di desa itu hanya Rp.400- Rp.500 ribu.
Semoga Penghargaan Kalpataru bisa membawa perubahan,...***
Keputusan Saekan menanam Pohon Pucung di atas sumber air Sanggar 36 tahun lalu menuai hasil. Beberapa sumber air yang biasanya kering saat musim kemarau itu terus bisa berair hingga kini. Kebutuhan air ribuan warga desa pun teratasi.
Langkah Saekan memperistri Tarmi, warga Desa Padas, Kecamatan Dagangan, Kabupaten Madiun Jawa Timur 1972 lampau, harus dibayar "mahal". Laki-laki yang kini menjadi sesepuh Desa Padas itu harus tinggal di daerah minus air. "Jangankan untuk minum, ketika pertama kali saya tinggal di sini, mendapatkan air untuk mandi saja susah," kata Saekan, Sabtu (28/06/08) ini. Bahkan, bagi laki-laki yang kini berusia 60 tahun itu tidak mandi selama lima hari adalah hal yang biasa.
Kesulitan air itu juga dirasakan setidaknya oleh 1000-an jiwa yang tinggal di Desa Padas ketika itu. Penduduk setempat menganggap hal itu sebagai kondisi yang "wajar". Selama bertahun-tahun, masyarakat memenuhi kebutuhan airnya dengan mengangsu (mengambil air) ke sumber air berjarak 1 Km yang letaknya jauh di dasar jurang.
Tapi tidak bagi Saekan. "Saya berpikir bagaimana orang terus hidup dengan kondisi seperti itu, bagaimana masa depan anak-anak desa ini mendatang," kenang Saekan.Kegelisahan itu mendorong laki-laki yang sejak muda gemar berladang ini, menanam pepohonan di sekitar sumber Sanggar, sumber terdekat yang selama ini menjadi sandaran hidup warga Desa Padas. Jaraknya hanya 1 Km.
Pohon Pucung dan pohon Aren menjadi pilihan Saekan. Pohon Pucung yang berbuah "kluwek" (rempah-rempah penghitam masakan Rawon-RED) ini adalah pilihan paling tepat. Selain pohonnya cepat besar, jumlah akar Pohon Pucung tergolong panjang, menguatkan tanah dan menyerap air dalam jumlah banyak pula.
"Daun pohon ini juga tidak mungkin dimakan ternak, karena ternak tidak mau, bila dipaksanakan, bisa mati," kata Saekan. Sementara Pohon Aren yang menghasilkan kolang-kaling, juga memiliki karakter yang hampir sama pula.
Sembari menunggu pohon itu besar, Saekan memutuskan untuk kembali ke Desa Ngrengat, sekitar 2 Km dari Desa Padas. Sepuluh tahun kemudian, tepatnya 1982, Saekan membawa keluarga, termasuk Tarmi dan anak pertamanya Hartono, kembali ke Desa Padas. Pohon -Pucung dan Pohon Aren yang ditanamnya sudah mulai bisa "dipanen" karena sudah tumbuh besar. Selain itu, saekan melihat adanya perubahan karakter sumber air. "Airnya lebih banyak," kenangnya.
Pekerjaan baru di mulai. Dengan dananya sendiri, Saekan membuat tempat penampungan air sementara di sekitar sumber air. Sekaligus membuat istalasi air yang terbuat dari bambu sejauh 1 Km. Dari sumber air menuju ke rumahnya. "Bambu saya belah, dan saya topangkan ke batang kayu, air pun mengalir menuju rumah saya," kata ayah dua anak, Hartono dan Udi Jatmiko ini.
Meski murah dan kuat, Saekan merasa penggunaan bambu untuk mengalirkan air rumit dalam perawatan. Banyaknya daun dalam hutan, acapkali membuat saluran bambu berhenti mengalirkan air. Dengan biaya sendiri, Saekan membeli selang plastik dengan diameter 3 Cm. "Dulu satu roll sepanjang 10 meter berharga 10 ribu, saya membeli 10 roll, untuk mengganti batang bambu," katanya.
Jumlah air yang terkumpul pun bertambah banyak. Alhasil, para tetangga pun bisa menikmati air sumber melalui rumah Saekan. Meski sederhana, apa yang dilakukan Saekan sangat membantu penduduk desa yang biasanya mengangsu air dengan menggunakan bambu ke sumber air di tepi jurang Desa Padas.
Selain mengurus sumber air, Saekan juga membangun sebuah kelompok bernama Kelompok Tani Agromulyo. Kelompok ini tergolong unik. Dengan bekal iuran Rp.1000-an/orang dan beras 1 Kg/orang, kelompok ini mengembangkan usaha simpan pinjam. Tidak tanggung-tanggung, kelompok ini sampai bisa membuat anggotanya memiliki hewan ternak.
Kelompok Tani Agromulyo jugalah yang bergotong-royong memperbaiki kondisi sumber air Sumber Bendo yang terletak 4 Km dari rumah Saekan. Sumber yang memiliki debit air jauh lebih besar itu pertama kali ditemukan oleh Saekan. Ketika itu, Saekan yang membantu proses pemadaman hutan secara tidak sengaja menemukan sumber Sumber Bendo.
Bersama Kelompok Tani Agromulyo, Saekan membangun tempat penampungan air di Sumber Bendo. Selain menanami pohon di sekitar sumber dengan tujuan untuk memperbanyak debit air. Saat air sudah terkumpul, Saekan dan kelompoknya membangun saluran air dari bambu, seperti yang dilakukannya di Sumber Sanggar. “Ïtu bukan hal yang mudah, karena jaraknya jauh, sampai 4 Km,” katanya. Air yang mengalir dari Sumber Bendo itu mampu memenuhi kebutuhan 7 kepala keluarga.
Kini, dua sumber air itu menjadi sandaran hidup masyarakat Desa Padas dalam persoalan air. Sumber Sanggar yang awalnya hanya bisa memenuhi kebutuhan 3 keluarga berkembang menjadi sumber air bersih untuk 13 keluarga. Sementara sumber Bendo, berkembang dari tujuh keluarga menjadi 50 keluarga. Tidak hanya itu, bila kebutuhan air bersih sudah selesai, air yang mengalir tiada henti, bisa digunakan untuk kocor-kocor (istilah setempat untuk pengairan lading).
Yang membanggakan, pohon Pucung dan pohon Aren yang ditanam Saekan membuat sumber air di daerah lain di luar Desa Padas, memiliki debit air lebih banyak. “Menurut beberapa warga, sumber air di tempat mereka kini tidak pernah mati, meskipun musim kemarau,”kata Saekan. Penduduk Desa Padas yang kini berjumlah 1.667 jiwa pun tidak lagi kesulitan air.
Kepala Desa Padas, Heru Sumanto yang juga anggota dari Kelompok Tani Argomulyo mengharapkan perjuangan Saekan 36 tahun lalu harus terus dilestarikan. Perkembangan anggota kelompok yang jumlahnya 55 orang tidak boleh berhenti di tengah jalan. “Perlunya melibatkan generasi muda. Sementara ini, pemuda-pemuda di Desa Padas sudah mulai terlibat penanaman tanaman yang mengandung air, selain itu juga menanam cengkeh,” jelas Heru.
Selain itu, juga dibentuk kelompok air yang disebut Himpunan Pengguna Air Minum (Hipam). Bagi anggota Hipam, kelangsungan hidup sumber air adalah segala-galanya. Secara berkala, anggota Hitam menyusuri saluran air (yang sudah diganti dengan paralon) untuk memeriksa kalau ada kerusakan. “Biasanya, usai hujan deras, pasti kami bersama-sama memeriksa saluran air, banyak pohon tumbang sering kali membuat air macet,” katanya.
Hipam juga yang secara mufakat mengatur penggunaan air. Semua anggota Hipam memiliki hak yang sama. “Namun bila ada yang membutuhkan air lebih banyak, anggota Hipam bisa meminta ijin dari anggota Hipam yang lain untuk menggunakan airnya,” jelas Heru.
Heru menggarisbawahi, ada keinginan dari Hipam dan Kelompok Tani Argomulyo untuk mempermanenkan sistem pengairan dari Sumber Sanggar maupun dari Sumber Bendo. Namun, debit air yang dimiliki kedua sumber itu tidak cukup besar. “Üntuk sementara, sistem pengairan yang kini sudah ada sudah cukup baik, kita sudah bisa menggunakannya dengan maksimal,” katanya.
Perjuangan Saekan berbuah lebih manis ketika laki-laki yang selalu menghiasi wajahnya dengan senyum ini mendapatkan Penghargaan Kalpataru dari Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Saekan dan kelompok Kelompok Tani Agromulyo dianggap sebagai penyelamat lingkungan. Mereka dianggap berhasil dalam melakukan usaha-usaha penyelamat tanah dan air di wilayah Desa Padas yang masuk dalam Kelompok Pengelola Hutan (KPH) Lawu dan sekitarnya. Saekan menganggap, Kalpataru yang diterimanya tidak membuat kondisi di Desa Padas berbuah. "Masih banyak fasilitas yang harus dipenuhi, tidak punya cuma soal air," kata Saekan.
Di Desa Padas hanya ada dua sekolah dasar (SD). Sementara Sekolah Menengah Pertama (SMP) berada di Desa Segulung yang berjarak 2 Km dari Desa Padas. Untuk Sekolah Menangat Atas (SMA) lebih jauh lagi. "SMA ada di Kecamatan Dagangan, lebih jauh lagi, sekitar 10 Km, karena itu kalau bisa ada SMA di Segulung, karena banyak anak-anak muda yang tidak melanjutkan," katanya. Penduduk Desa Padas masuk dalam golongan miskin. Pendapat perkapita di desa itu hanya Rp.400- Rp.500 ribu.
Semoga Penghargaan Kalpataru bisa membawa perubahan,...***
26 Juni 2008
Ethanol Singkong
Ethanol Sebagai Pengganti Minyak Tanah
Press Release
Satu lagi karya ITS dikenalkan kepada masyarakat yaitu Kkmpor berbahan bakar ethanol. Ethanol yang selama ini dikenal sebagai bahan minuman beralkohol dan juga bahan campuran kosmetik dan parfum dapat diubah menjadi bahan bakar pengganti minyak tanah.
Bahkan, tingkat efisiensi ethanol dibandingkan dengan minyak tanah cukup jauh. Satu liter ethanol setara dengan sembilan liter minyak tanah. ”Kami sudah bandingkan dan ternyata hemat sekali,”papar peneliti ethanol ini Ir Sri Nurhatika, MP. Apalagi, cara pembuatan ethanol ini cukup mudah.
Menurut dosen Biologi ITS ini, ethanol dapat dibuat dari bahan yang mengandung karbohidrat. ”Apapun bisa asal ada kandungan karbohidratnya dan pati,”ujarnya. Dalam percobaannya, perempuan yang akbar disapa Ika ini menggunakan ketela raksasa, atau yang lazim disebut masyarakat Jawa sebagai telo gendruwo
Alasannya, selain tingkat karbohidratnya tinggi, ketela ini tidak dapat dikonsumsi karena beracun. Namun, Ika menegaskan bahan selain ketela pun dapat dimanfaatkan. ”Pokoknya manfaatkan saja limbah yang masih ada karbohidratnya,”jelasnya. Ika mencontohkan, ethanol ini di Bekasi dapat dibuat dari limbah kulit kacang koro, sementara di daerah Kediri dapat menggunakan limbah tahu. ”Kami juga sedang mengincar Probolinggo karena disana banyak sekali tetes tebu,”tambahnya.
Proses pembuatannya pun cukup sederhana. Ketela ataupun bahan-bahan lain tersebut dihaluskan, lalu direbus. Kemudian ditambahkan enzim amylase dan diberi ragi. ”Untuks ementara ini, ragi tape biasa pun bisa digunakan. Tapi kami sedang mengkaji lebih lanjut ragi khusus untuk ethanol ini,”lanjutnya.
Larutan ini didiamkan selama 3-4 hari agar proses fermentasi berjalan. Setelah itu, ethanol akan dihasilkan. ”Tapi kadar ethanol ini masih 90 persen. Sementara untuk kompor kami membutuhkan kadar ethanol sebesar 95 persen,”ujarnya. Untuk menaikkan kadar ethanol ini perlu ditambahkan batu kapur.
Ini perlu dilakukan sebab ethanol dengan kadar dibawah 95 persen masih mengandung Pb (timbal). Sedangkan ethanol untuk bahan bakar kompor ini harus bebas dari Pb. ”Kalau ada Pb-nya bisa meledak, makaya harus bersih dari Pb,”lanjutnya.
Selain itu, kompor yang digunakan pun bukan kompor untuk minyak tanah. Korpor ethanol ini khusus dirancang untuk bahan bakar ini. ”Kami bekerjasama dengan koperasi Manunggal Sejahtera untuk produski kompornya, ini kompor tanpa sumbu,”jelasnya.
Keunggulan bahan bakar ethanol ini selain lebih ekonomis juga terbukti tanpa jelaga. Namun, pemanasan ethanol diakui Ika lebih lama dibandingkan minyak tanah. ”Untuk memasak mie, kompor minyak tanah membutuhkan waktu 10 menit. Sedangkan kompor ethanol 2-3 menit lebih lama,”imbuhnya.
Ika mengungkapkan, ITS juga sudah mengandeng beberapa jurusan untuk mengembangkan produk ini. Seperti Teknik Mesin, Kimia, dan juga desain produk. ”Mereka bertugas mengembangkan sesuai dengan kapasitas mereka masing-masing.
Kompor berbahan bakar ethanol ini sudah diuji cobakan ke 4000 titik di Jakarta. Hasilnya cukup memuaskan. ”Kami ajari cara bikin bahan bakarnya hingga ke penggunaannya,”lanjutnya. Dengan keberhasilan ini, awal November nanti giliran Jawa Tengah yang akan menjadi daerah uji coba, kemudian menyusul Surabaya.
Khusus untuk Surabaya, Ika sedang menguji beberapa sampah yang dapat dijadikan sebagai bahan bakar ethanol. ”Kami cari sampah yang masih punya karbohidrat,”ujarnya. Targetnya ke depan, 50 persen pengguna minyak tanah akan beralih ke ethanol ini. Sehingga tidak perlu lagi menggantungkan diri pada ketersediaan minyak tanah. ”Nggak perlu lagi antri minyak tanah. Masyarakat bisa bikin sedniri bahan bakar,”pungkasnya.
Satu lagi karya ITS dikenalkan kepada masyarakat yaitu Kkmpor berbahan bakar ethanol. Ethanol yang selama ini dikenal sebagai bahan minuman beralkohol dan juga bahan campuran kosmetik dan parfum dapat diubah menjadi bahan bakar pengganti minyak tanah.
Bahkan, tingkat efisiensi ethanol dibandingkan dengan minyak tanah cukup jauh. Satu liter ethanol setara dengan sembilan liter minyak tanah. ”Kami sudah bandingkan dan ternyata hemat sekali,”papar peneliti ethanol ini Ir Sri Nurhatika, MP. Apalagi, cara pembuatan ethanol ini cukup mudah.
Menurut dosen Biologi ITS ini, ethanol dapat dibuat dari bahan yang mengandung karbohidrat. ”Apapun bisa asal ada kandungan karbohidratnya dan pati,”ujarnya. Dalam percobaannya, perempuan yang akbar disapa Ika ini menggunakan ketela raksasa, atau yang lazim disebut masyarakat Jawa sebagai telo gendruwo
Alasannya, selain tingkat karbohidratnya tinggi, ketela ini tidak dapat dikonsumsi karena beracun. Namun, Ika menegaskan bahan selain ketela pun dapat dimanfaatkan. ”Pokoknya manfaatkan saja limbah yang masih ada karbohidratnya,”jelasnya. Ika mencontohkan, ethanol ini di Bekasi dapat dibuat dari limbah kulit kacang koro, sementara di daerah Kediri dapat menggunakan limbah tahu. ”Kami juga sedang mengincar Probolinggo karena disana banyak sekali tetes tebu,”tambahnya.
Proses pembuatannya pun cukup sederhana. Ketela ataupun bahan-bahan lain tersebut dihaluskan, lalu direbus. Kemudian ditambahkan enzim amylase dan diberi ragi. ”Untuks ementara ini, ragi tape biasa pun bisa digunakan. Tapi kami sedang mengkaji lebih lanjut ragi khusus untuk ethanol ini,”lanjutnya.
Larutan ini didiamkan selama 3-4 hari agar proses fermentasi berjalan. Setelah itu, ethanol akan dihasilkan. ”Tapi kadar ethanol ini masih 90 persen. Sementara untuk kompor kami membutuhkan kadar ethanol sebesar 95 persen,”ujarnya. Untuk menaikkan kadar ethanol ini perlu ditambahkan batu kapur.
Ini perlu dilakukan sebab ethanol dengan kadar dibawah 95 persen masih mengandung Pb (timbal). Sedangkan ethanol untuk bahan bakar kompor ini harus bebas dari Pb. ”Kalau ada Pb-nya bisa meledak, makaya harus bersih dari Pb,”lanjutnya.
Selain itu, kompor yang digunakan pun bukan kompor untuk minyak tanah. Korpor ethanol ini khusus dirancang untuk bahan bakar ini. ”Kami bekerjasama dengan koperasi Manunggal Sejahtera untuk produski kompornya, ini kompor tanpa sumbu,”jelasnya.
Keunggulan bahan bakar ethanol ini selain lebih ekonomis juga terbukti tanpa jelaga. Namun, pemanasan ethanol diakui Ika lebih lama dibandingkan minyak tanah. ”Untuk memasak mie, kompor minyak tanah membutuhkan waktu 10 menit. Sedangkan kompor ethanol 2-3 menit lebih lama,”imbuhnya.
Ika mengungkapkan, ITS juga sudah mengandeng beberapa jurusan untuk mengembangkan produk ini. Seperti Teknik Mesin, Kimia, dan juga desain produk. ”Mereka bertugas mengembangkan sesuai dengan kapasitas mereka masing-masing.
Kompor berbahan bakar ethanol ini sudah diuji cobakan ke 4000 titik di Jakarta. Hasilnya cukup memuaskan. ”Kami ajari cara bikin bahan bakarnya hingga ke penggunaannya,”lanjutnya. Dengan keberhasilan ini, awal November nanti giliran Jawa Tengah yang akan menjadi daerah uji coba, kemudian menyusul Surabaya.
Khusus untuk Surabaya, Ika sedang menguji beberapa sampah yang dapat dijadikan sebagai bahan bakar ethanol. ”Kami cari sampah yang masih punya karbohidrat,”ujarnya. Targetnya ke depan, 50 persen pengguna minyak tanah akan beralih ke ethanol ini. Sehingga tidak perlu lagi menggantungkan diri pada ketersediaan minyak tanah. ”Nggak perlu lagi antri minyak tanah. Masyarakat bisa bikin sedniri bahan bakar,”pungkasnya.