Iddaily Mobile | Dari Anda Untuk Publik
Youtube Pilihan Iddaily: Pati berani!
       

01 Juli 2008

Saekan Menjaga Sumber Air Tetap Mengalir

Iman D. Nugroho

Keputusan Saekan menanam Pohon Pucung di atas sumber air Sanggar 36 tahun lalu menuai hasil. Beberapa sumber air yang biasanya kering saat musim kemarau itu terus bisa berair hingga kini. Kebutuhan air ribuan warga desa pun teratasi.



Langkah Saekan memperistri Tarmi, warga Desa Padas, Kecamatan Dagangan, Kabupaten Madiun Jawa Timur 1972 lampau, harus dibayar "mahal". Laki-laki yang kini menjadi sesepuh Desa Padas itu harus tinggal di daerah minus air. "Jangankan untuk minum, ketika pertama kali saya tinggal di sini, mendapatkan air untuk mandi saja susah," kata Saekan, Sabtu (28/06/08) ini. Bahkan, bagi laki-laki yang kini berusia 60 tahun itu tidak mandi selama lima hari adalah hal yang biasa.

Kesulitan air itu juga dirasakan setidaknya oleh 1000-an jiwa yang tinggal di Desa Padas ketika itu. Penduduk setempat menganggap hal itu sebagai kondisi yang "wajar". Selama bertahun-tahun, masyarakat memenuhi kebutuhan airnya dengan mengangsu (mengambil air) ke sumber air berjarak 1 Km yang letaknya jauh di dasar jurang.

Tapi tidak bagi Saekan. "Saya berpikir bagaimana orang terus hidup dengan kondisi seperti itu, bagaimana masa depan anak-anak desa ini mendatang," kenang Saekan.Kegelisahan itu mendorong laki-laki yang sejak muda gemar berladang ini, menanam pepohonan di sekitar sumber Sanggar, sumber terdekat yang selama ini menjadi sandaran hidup warga Desa Padas. Jaraknya hanya 1 Km.

Pohon Pucung dan pohon Aren menjadi pilihan Saekan. Pohon Pucung yang berbuah "kluwek" (rempah-rempah penghitam masakan Rawon-RED) ini adalah pilihan paling tepat. Selain pohonnya cepat besar, jumlah akar Pohon Pucung tergolong panjang, menguatkan tanah dan menyerap air dalam jumlah banyak pula.

"Daun pohon ini juga tidak mungkin dimakan ternak, karena ternak tidak mau, bila dipaksanakan, bisa mati," kata Saekan. Sementara Pohon Aren yang menghasilkan kolang-kaling, juga memiliki karakter yang hampir sama pula.

Sembari menunggu pohon itu besar, Saekan memutuskan untuk kembali ke Desa Ngrengat, sekitar 2 Km dari Desa Padas. Sepuluh tahun kemudian, tepatnya 1982, Saekan membawa keluarga, termasuk Tarmi dan anak pertamanya Hartono, kembali ke Desa Padas. Pohon -Pucung dan Pohon Aren yang ditanamnya sudah mulai bisa "dipanen" karena sudah tumbuh besar. Selain itu, saekan melihat adanya perubahan karakter sumber air. "Airnya lebih banyak," kenangnya.

Pekerjaan baru di mulai. Dengan dananya sendiri, Saekan membuat tempat penampungan air sementara di sekitar sumber air. Sekaligus membuat istalasi air yang terbuat dari bambu sejauh 1 Km. Dari sumber air menuju ke rumahnya. "Bambu saya belah, dan saya topangkan ke batang kayu, air pun mengalir menuju rumah saya," kata ayah dua anak, Hartono dan Udi Jatmiko ini.

Meski murah dan kuat, Saekan merasa penggunaan bambu untuk mengalirkan air rumit dalam perawatan. Banyaknya daun dalam hutan, acapkali membuat saluran bambu berhenti mengalirkan air. Dengan biaya sendiri, Saekan membeli selang plastik dengan diameter 3 Cm. "Dulu satu roll sepanjang 10 meter berharga 10 ribu, saya membeli 10 roll, untuk mengganti batang bambu," katanya.

Jumlah air yang terkumpul pun bertambah banyak. Alhasil, para tetangga pun bisa menikmati air sumber melalui rumah Saekan. Meski sederhana, apa yang dilakukan Saekan sangat membantu penduduk desa yang biasanya mengangsu air dengan menggunakan bambu ke sumber air di tepi jurang Desa Padas.

Selain mengurus sumber air, Saekan juga membangun sebuah kelompok bernama Kelompok Tani Agromulyo. Kelompok ini tergolong unik. Dengan bekal iuran Rp.1000-an/orang dan beras 1 Kg/orang, kelompok ini mengembangkan usaha simpan pinjam. Tidak tanggung-tanggung, kelompok ini sampai bisa membuat anggotanya memiliki hewan ternak.

Kelompok Tani Agromulyo jugalah yang bergotong-royong memperbaiki kondisi sumber air Sumber Bendo yang terletak 4 Km dari rumah Saekan. Sumber yang memiliki debit air jauh lebih besar itu pertama kali ditemukan oleh Saekan. Ketika itu, Saekan yang membantu proses pemadaman hutan secara tidak sengaja menemukan sumber Sumber Bendo.

Bersama Kelompok Tani Agromulyo, Saekan membangun tempat penampungan air di Sumber Bendo. Selain menanami pohon di sekitar sumber dengan tujuan untuk memperbanyak debit air. Saat air sudah terkumpul, Saekan dan kelompoknya membangun saluran air dari bambu, seperti yang dilakukannya di Sumber Sanggar. “Ïtu bukan hal yang mudah, karena jaraknya jauh, sampai 4 Km,” katanya. Air yang mengalir dari Sumber Bendo itu mampu memenuhi kebutuhan 7 kepala keluarga.

Kini, dua sumber air itu menjadi sandaran hidup masyarakat Desa Padas dalam persoalan air. Sumber Sanggar yang awalnya hanya bisa memenuhi kebutuhan 3 keluarga berkembang menjadi sumber air bersih untuk 13 keluarga. Sementara sumber Bendo, berkembang dari tujuh keluarga menjadi 50 keluarga. Tidak hanya itu, bila kebutuhan air bersih sudah selesai, air yang mengalir tiada henti, bisa digunakan untuk kocor-kocor (istilah setempat untuk pengairan lading).

Yang membanggakan, pohon Pucung dan pohon Aren yang ditanam Saekan membuat sumber air di daerah lain di luar Desa Padas, memiliki debit air lebih banyak. “Menurut beberapa warga, sumber air di tempat mereka kini tidak pernah mati, meskipun musim kemarau,”kata Saekan. Penduduk Desa Padas yang kini berjumlah 1.667 jiwa pun tidak lagi kesulitan air.

Kepala Desa Padas, Heru Sumanto yang juga anggota dari Kelompok Tani Argomulyo mengharapkan perjuangan Saekan 36 tahun lalu harus terus dilestarikan. Perkembangan anggota kelompok yang jumlahnya 55 orang tidak boleh berhenti di tengah jalan. “Perlunya melibatkan generasi muda. Sementara ini, pemuda-pemuda di Desa Padas sudah mulai terlibat penanaman tanaman yang mengandung air, selain itu juga menanam cengkeh,” jelas Heru.

Selain itu, juga dibentuk kelompok air yang disebut Himpunan Pengguna Air Minum (Hipam). Bagi anggota Hipam, kelangsungan hidup sumber air adalah segala-galanya. Secara berkala, anggota Hitam menyusuri saluran air (yang sudah diganti dengan paralon) untuk memeriksa kalau ada kerusakan. “Biasanya, usai hujan deras, pasti kami bersama-sama memeriksa saluran air, banyak pohon tumbang sering kali membuat air macet,” katanya.

Hipam juga yang secara mufakat mengatur penggunaan air. Semua anggota Hipam memiliki hak yang sama. “Namun bila ada yang membutuhkan air lebih banyak, anggota Hipam bisa meminta ijin dari anggota Hipam yang lain untuk menggunakan airnya,” jelas Heru.

Heru menggarisbawahi, ada keinginan dari Hipam dan Kelompok Tani Argomulyo untuk mempermanenkan sistem pengairan dari Sumber Sanggar maupun dari Sumber Bendo. Namun, debit air yang dimiliki kedua sumber itu tidak cukup besar. “Üntuk sementara, sistem pengairan yang kini sudah ada sudah cukup baik, kita sudah bisa menggunakannya dengan maksimal,” katanya.

Perjuangan Saekan berbuah lebih manis ketika laki-laki yang selalu menghiasi wajahnya dengan senyum ini mendapatkan Penghargaan Kalpataru dari Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Saekan dan kelompok Kelompok Tani Agromulyo dianggap sebagai penyelamat lingkungan. Mereka dianggap berhasil dalam melakukan usaha-usaha penyelamat tanah dan air di wilayah Desa Padas yang masuk dalam Kelompok Pengelola Hutan (KPH) Lawu dan sekitarnya. Saekan menganggap, Kalpataru yang diterimanya tidak membuat kondisi di Desa Padas berbuah. "Masih banyak fasilitas yang harus dipenuhi, tidak punya cuma soal air," kata Saekan.

Di Desa Padas hanya ada dua sekolah dasar (SD). Sementara Sekolah Menengah Pertama (SMP) berada di Desa Segulung yang berjarak 2 Km dari Desa Padas. Untuk Sekolah Menangat Atas (SMA) lebih jauh lagi. "SMA ada di Kecamatan Dagangan, lebih jauh lagi, sekitar 10 Km, karena itu kalau bisa ada SMA di Segulung, karena banyak anak-anak muda yang tidak melanjutkan," katanya. Penduduk Desa Padas masuk dalam golongan miskin. Pendapat perkapita di desa itu hanya Rp.400- Rp.500 ribu.

Semoga Penghargaan Kalpataru bisa membawa perubahan,...***


26 Juni 2008

Ethanol Singkong

Dosen Biologi Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Surabaya Ir.Sri Nurhatika memperkenalkan ethanol dari singkong sebagai bahan bakar alternatif, Kamis (26/06/08) ini. Ethanol dari singkong jauh lebih hemat dengan perbandingan 1 : 9 liter minyak tanah. Semoga harga singkong tidak mendadak melambung karenanya. (Mad AWS)





Ethanol Sebagai Pengganti Minyak Tanah

Press Release

Satu lagi karya ITS dikenalkan kepada masyarakat yaitu Kkmpor berbahan bakar ethanol. Ethanol yang selama ini dikenal sebagai bahan minuman beralkohol dan juga bahan campuran kosmetik dan parfum dapat diubah menjadi bahan bakar pengganti minyak tanah.


Bahkan, tingkat efisiensi ethanol dibandingkan dengan minyak tanah cukup jauh. Satu liter ethanol setara dengan sembilan liter minyak tanah. ”Kami sudah bandingkan dan ternyata hemat sekali,”papar peneliti ethanol ini Ir Sri Nurhatika, MP. Apalagi, cara pembuatan ethanol ini cukup mudah.

Menurut dosen Biologi ITS ini, ethanol dapat dibuat dari bahan yang mengandung karbohidrat. ”Apapun bisa asal ada kandungan karbohidratnya dan pati,”ujarnya. Dalam percobaannya, perempuan yang akbar disapa Ika ini menggunakan ketela raksasa, atau yang lazim disebut masyarakat Jawa sebagai telo gendruwo

Alasannya, selain tingkat karbohidratnya tinggi, ketela ini tidak dapat dikonsumsi karena beracun. Namun, Ika menegaskan bahan selain ketela pun dapat dimanfaatkan. ”Pokoknya manfaatkan saja limbah yang masih ada karbohidratnya,”jelasnya. Ika mencontohkan, ethanol ini di Bekasi dapat dibuat dari limbah kulit kacang koro, sementara di daerah Kediri dapat menggunakan limbah tahu. ”Kami juga sedang mengincar Probolinggo karena disana banyak sekali tetes tebu,”tambahnya.

Proses pembuatannya pun cukup sederhana. Ketela ataupun bahan-bahan lain tersebut dihaluskan, lalu direbus. Kemudian ditambahkan enzim amylase dan diberi ragi. ”Untuks ementara ini, ragi tape biasa pun bisa digunakan. Tapi kami sedang mengkaji lebih lanjut ragi khusus untuk ethanol ini,”lanjutnya.

Larutan ini didiamkan selama 3-4 hari agar proses fermentasi berjalan. Setelah itu, ethanol akan dihasilkan. ”Tapi kadar ethanol ini masih 90 persen. Sementara untuk kompor kami membutuhkan kadar ethanol sebesar 95 persen,”ujarnya. Untuk menaikkan kadar ethanol ini perlu ditambahkan batu kapur.

Ini perlu dilakukan sebab ethanol dengan kadar dibawah 95 persen masih mengandung Pb (timbal). Sedangkan ethanol untuk bahan bakar kompor ini harus bebas dari Pb. ”Kalau ada Pb-nya bisa meledak, makaya harus bersih dari Pb,”lanjutnya.

Selain itu, kompor yang digunakan pun bukan kompor untuk minyak tanah. Korpor ethanol ini khusus dirancang untuk bahan bakar ini. ”Kami bekerjasama dengan koperasi Manunggal Sejahtera untuk produski kompornya, ini kompor tanpa sumbu,”jelasnya.

Keunggulan bahan bakar ethanol ini selain lebih ekonomis juga terbukti tanpa jelaga. Namun, pemanasan ethanol diakui Ika lebih lama dibandingkan minyak tanah. ”Untuk memasak mie, kompor minyak tanah membutuhkan waktu 10 menit. Sedangkan kompor ethanol 2-3 menit lebih lama,”imbuhnya.

Ika mengungkapkan, ITS juga sudah mengandeng beberapa jurusan untuk mengembangkan produk ini. Seperti Teknik Mesin, Kimia, dan juga desain produk. ”Mereka bertugas mengembangkan sesuai dengan kapasitas mereka masing-masing.

Kompor berbahan bakar ethanol ini sudah diuji cobakan ke 4000 titik di Jakarta. Hasilnya cukup memuaskan. ”Kami ajari cara bikin bahan bakarnya hingga ke penggunaannya,”lanjutnya. Dengan keberhasilan ini, awal November nanti giliran Jawa Tengah yang akan menjadi daerah uji coba, kemudian menyusul Surabaya.

Khusus untuk Surabaya, Ika sedang menguji beberapa sampah yang dapat dijadikan sebagai bahan bakar ethanol. ”Kami cari sampah yang masih punya karbohidrat,”ujarnya. Targetnya ke depan, 50 persen pengguna minyak tanah akan beralih ke ethanol ini. Sehingga tidak perlu lagi menggantungkan diri pada ketersediaan minyak tanah. ”Nggak perlu lagi antri minyak tanah. Masyarakat bisa bikin sedniri bahan bakar,”pungkasnya.

24 Juni 2008

Tuntutan Diabaikan Buruh HM. Sampoerna Tbk Kembali Berunjukrasa

Iman D. Nugroho

Sekitar 2 ribu buruh pabrik rokok HM. Sampoerna Tbk menggelar demonstrasi di depan pabrik rokok HM. Sampoerna, Senin-Selasa(23-24/06/08) ini. Dalam demonstrasi itu mereka menuntut dibayarnya uang jasa setelah kepemilikan HM. Sampoerna berpindah tangan ke PT. Philip Morris Indonesia.


Demonstrasi pertama berlangsung Senin kemarin. Ribuan buruh dari berbagai unit produksi perusahaan rokok terbesar ketiga di Indonesia itu memenuhi halaman kantor HM. Sampoerna di komplek industri SIER Surabaya. Banyaknya jumlah buruh membuat demonstran menutup Jl. Raya SIER tepat di depan kantor HM. Sampoerna.

Dalam demonstrasi itu, buruh menuntut adanya dialog dengan Putra Sampoerna, selaku pemegang saham dan pemilik HM. Sampoerna Tbk. Buruh ingin bertanya secara langsung kepada Putra perihal pembayaran uang jasa sebagai prasyarat penjualan kepemilikan, sesuai dengan UU No.13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.

Dalam catatan, setelah pada tahun 2003, Putera Sampoerna mengalihkan kepemimpinan perusahaan kepada anaknya, Michael Sampoerna, pada Maret 2005 Putera memutuskan untuk menjual kepemilikan saham atas PT HM Sampoerna kepada PT Philips Morris Indonesia dengan nilai total USD 5 juta.

Peristiwa itu sempat memunculkan berbagai tanda tanya lantaran saat dialihkan, perusahaan sedang dalam kondisi sehat. Ada dugaan, hal itu adalah upaya membuka peluang bagi perusahaan yang berpusat di Swis itu untuk mengalihkan proses produksi ke Indonesia. Dan HM. Sampoerna adalah pilihan yang tepat. Perusahaan yang berpusat di Surabaya itu adalah perusahaan rokok pertama yang memperkenalkan rokok rendah tar dan nikotin, dengan produknya, Sampoerna A Mild.

Sukartini, salah satu demonstran mengungkapkan, saat akusisi baru saja dilkakukan, ada janji untuk memberikan uang jasa pada buruh. Namun, hingga tiga tahun menjelang, janji-janji itu tidak terealisasi. "Kami sempat diberi "angin surga" dengan penambahan jam kerja (lembur), tapi belakangan hal itu tidak ada lagi, karena itu kami menuntut uang jasa dibayarkan," katanya.

Di sisi lain, kata Sukartini, divisi sopir transportasi nusantara (STN) sudah mendapatkan uang jasa itu. Menurut informasi yang beredar di kalangan buruh HM. Sampoerna, masing-masing anggota STN mendapatkan Rp. 30-Rp. 125 juta, tergantung jabatan dalam perusahaan. "Kalau buruh seperti kami, minimal kami mendapatkan Rp.2,5 juta/orang," kata Sukartini.

Namun hal itu dibantan oleh Director Human Resources HM. Sampoerna, Lucia Nancy Lucida. Dalam surat pemberitahuan perusahaan yang ditempelkan di kantor HM. Sampoerna tertulis, bahwa informasi tentang pemberian hadiah atau uang dari Putra Sampoerna adalah tidak benar. "Perusahaan menghimba agar karyawan dan karyawati tidak terpengaruh kabar-kabar yang tidak benar dan tidak bisa dipertanggungjawabkan," tulis Lucia Nancy Lusida.

Dalam demonstrasi Selas ini, sempat terjadi bentrokan antara buruh yang mogok dengan buruh lain yang tetap bekerja. Buruh yang mogok menghalang-halangi buruh yang akan tetap bekerja, hingga terjadi aksi saling pukul dan saling lembar antara kedua. Tidak ada korban jiwa dalam peristiwa ini.


21 Juni 2008

Tiga Cagub Senada Perpres, Satu Bungkam dan Satu Minta Lapindo Bertanggungjawab

*Calon Gubernur Jawa Timur dan Wakilnya Soal Lumpur Lapindo

Iman D. Nugroho


Tidak dipungkiri, bagi Calon Gubernur dan Calon Wakil Gubernur Jawa Timur, persoalan semburan lumpur Lapindo adalah persoalan penting yang harus ditanggulangi. Namun, tidak semua sepakat untuk menjatuhkan sanksi hukum pada Lapindo Brantas Inc.


Tiga diantara kandidat cagub/cawagub itu memiliki pendapat senada dengan Prespres lumpur. Bahkan ada satu kandidat yang bungkam. Hanya seorang cagub yang tegas meminta Lapindo Brantas Inc bertanggungjawab atas hal itu. Tiga kandidat yang senada dengan Peraturan Presiden no.14 tahun 2007 itu adalah Khofifah Indar Parawansa, Soekarwo dan Ali Maschan Moesa (cawagub pasangan Soenarjo).

Menurut Khofifah persoalan ganti rugi adalah hal utama yang harus dilakukan. Karena hal itu yang paling dibutuhkan oleh masyarakat Porong korban semburan lumpur Lapindo. "Bagi saya, penanganan Lapindo itu harusnya lebih diprioritaskan pada korban. Misalnya adanya, perpres yang harus disupport dengan update peta daerah terdampak. Beberapa daerah terdampak itu harus mendapatkan previlage yang sama," katanya.

Lebih jauh, calon yang akrab disebut KAJI (Khofifah Indar Parawansa-Mudjiono) itu menekankan pada persoalan pendidikan bagi pengungsi di Pasar Baru Porong. Soal penanganan infrastruktur, Khofifah meminta penelaahan lebih jauh."Tidak hanya Jawa Timur, harus dilihat efek yang ditimbulkan lumpur Lapindo sampai Bali dan Nusa Tenggara Barat," kata kandidat dari 12 partai ini.

Sementara Ali Maschan, meskipun tidak sepakat dengan pemberian uang, mantan Ketua Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) Jawa Timur itu menekankan pada pelaksanaan relokasi. "Menurut saya, relokasi tetap paling tepat. Daripada meminta Lapindo Brantas Ibc diwajibkan membayar, malah hasilnya tidak jelas," kata Ali.

Penanganan transporstasi, bagi Ali penting pula untuk dicermati. Kerugian Rp.400 Miliar/bulan karena macetnya daerah Porong, katanya, bisa diminimalisir dengan pelebaran jalan. "Pelebaran jalan biayanya tidak mahal, selanjutnya adalah pembangunan jalan tol baru dari Porong ke Krembung, langsung ke Mojosari," jelas pasangan Soenarjo ini.

Soekarwo lebih mementingkap adanya penanggulan yang baik. Dalam bahasa tokoh yang menyebut dirinya Pakde Karwo itu, penanggulan berlapis akan mengurangi dampak "ancaman" yang lebih besar pada daerah berdampak dan "ancaman" lingkungan. "Saya usulkan tanggul yang berlapis, selain itu harus ada subsidi pemerintah untuk menanggulangi persoalan lingkungan, air, kemacetan dll," kata calon yang diusung Partai Amanat Nasional (PAN) dan Partai Demokrat (PD) ini.

Tahun 2009 ini, kata Soekarwo, Pemerintah Jawa Timur akan menyelesaikan persoalan infrastruktur. Utamanya jalan tol baru. Hal yang sama juga akan dilakukan untuk gas, listrik serta saluran PDAM. "Tahun 2009 ini semua tuntas dibenahi," katanya.

Sayangnya, baik Khofifah, Soekarwo dan Ali Maschan memilih untuk tidik "cawe-cawe"dalam persoalan penegakan keadilan dalam kasus semburan lumpur Lapindo. Dalam bahasa Khofifah, proses hukum bukan wilayah Calon Gubernur. Hal itu harus diserahkan pada lembaga hukum yang menanganinya.

"Wilayah Saya bukan wilayah yuridis, wartawan harus menyampaikan hal itu ke Polda Jawa Timur, kalau sampai sekarang belum maksimal, saya akui,..kalau pun Saya bicara, saya toh tidak bisa melakukan apa-apa," katanya.

Soekarwo lain lagi. Secara terang-terangan ia mengatakan bahwa sudah menjadi kewajiban pemerintah untuk menanggung pembiayaan dalam kasus lumpur Lapindo. Karena itulah diskripsi dari azas manfaat dalam proses penegakan hukum di Indonesia. "Sudah mejadi tanggungjawab pemerintah untuk itu menampung masyarakat yang termajinalisasi dalam kasus Lapindo," katanya.

Sementara Ali Mashcan lebih memilih untuk memfokuskan programnya pada pembangunan infratruktur yang rusak. "Bagi saya, hal itu lebih memenuhi rasa keadilan masyarakat," kata kandidat yang didukung oleh Partai Golkar ini.

Cagub Soetjipto adalah kandidat yang paling "keras" bicara soal penegakan hukum dalam kasus lumpur Lapindo. Menurut pasangan Ridwan Hisjam ini, kasus ini secara sederhana bisa dilihat seperti kasus kecelakaan lalu lintas. "Dalam kasus kecelakaan lalu lintas, sopirnya yang harus ditangkap dan bertanggungjawab secara hukum dan diadili, begitu pula dalam kasus Lapindo," kata calon PDI Perjuangan ini.

"Sopir" itu juga yang harus bertanggungjawab menanggung pembiayaan yang dikarenakan keteledorannya. "Ärtinya rakyat yang menjadi korban harus dientaskan dari kemiskinan dan kesengsaraan, dan semua pembiayaan harus dibebankan kepada Lapindo, dan bukan pada negara," tegasnya. Semua hal itu, katanya, pasti disetujui oleh korban lumpur.

Ahmady, cagub pasangan Achmady-Suhartono memilih untuk tidak menjawab. Saat ditemui di sela-sela acara Halaqoh Mashlahah Ammah PWNU Jatim di Surabaya, Sabtu (21/06/08) ini, pasangan yang mewakili Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) KH. Abdurahman Wahid atau Gus Dur ini hanya berlalu.

Korban lumpur dari Desa Besuki, Porong, Abdul Rochim merasakan, semua kandidat cagub dan cawagub tidak menunjukkan komitmen pada kasus lumpur Lapindo. Rochim memperkirakan bila hal itu terus terjadi, bukan tidak mungkin korban lumpur di Porong akan tidak memilih pada Pemilihan Kepala Daerah Jawa Timur pada 23 Juli mendatang. "Bukan tidak mungkin, korban lumpur akan golput,"katanya.